Kepri   2023/09/15 11:26 WIB

Masyarakat dari 16 Kampung Adat di Pulau Rempang Tolak Pindah, 'mereka Menyatakan Tak Mau Beranjak Meski Terkubur Sekalipun’

Masyarakat dari 16 Kampung Adat di Pulau Rempang Tolak Pindah, 'mereka Menyatakan Tak Mau Beranjak Meski Terkubur Sekalipun’
Masyarakat dari 16 Kampung Adat di Pulau Rempang tolak pindah.

KEPULAUAN RIAU, RIAUPAGI.COM - Perwakilan masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, menyatakan sikap menolak relokasi “tak akan berubah”, meski pemerintah memberi tenggat waktu pengosongan kawasan tersebut hingga 28 September 2023 demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

"Masyarakat dari 16 Kampung Adat di Pulau Rempang menolak untuk pindah."

“Mau makan apa, istri pun sudah ngomel-ngomel kalau kami ndak kerja. Kalau kami kerja kan, tapi kami tinggalkan [rumah], kata orang-orang kampung mau ada pematok-pematok, jadi ndak jadi kerja, takut,” tutur Sobirin, warga setempat.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo menganggap penolakan masyarakat Rempang disebabkan “komunikasi yang kurang baik”.

Karenanya, dia mengutus Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk menjelaskan kepada warga.

Bentrokan yang terjadi pada Kamis 7 September 2023 lalu membuat Sobirin kian resah dan khawatir. Ketika itu, petugas dari BP Batam dan aparat mencoba masuk ke kampung-kampung ini untuk mengukur lahan.

“Bukannya kami melarang orang itu, kami enggak melarang, tapi tolonglah jangan dipatok dulu sebelum selesai negosiasinya.”

Kampung Tanjung Banon berada di sisi selatan Pulau Rempang, berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Batam.

Seperti Sobirin, mayoritas warga di sini adalah nelayan.

Sobirin menetap di kampung ini sejak 2003, setelah menikah dengan istrinya yang merupakan orang asli Tanjung Banon.

Selama itu pula, Sobirin menggantungkan hidupnya pada laut di sekitarnya yang telah dia kenali.

Ketika mendengar kabar bahwa masyarakat harus direlokasi demi proyek Rempang Eco City, dia mengaku tak bisa membayangkan akan seperti apa hidupnya nanti.

“Nggak akan bisa kita hidup di darat. Kita harus mulai dari nol lagi, nggak tahu tempat kita kerja, enggak akan bisa, malah bisa jadi mati kelaparan dulu. Kita harus memahami laut dulu. Di sini kan kita sudah tahu di mana tempat udang, tempat gonggong, kita tahu di mana yang ada ikannya,” tuturnya.

Sobirin sudah mendengar tawaran ganti rugi rumah dari BP Batam, namun dia enggan mendaftarkan diri.

“Kami nggak mau. Makanya kami memohon, meminta tolong kepada pemimpin-pemimpin kami, janganlah gusur kami,” ujarnya.

Ketakutan yang sama dirasakan oleh Naharuddin, seorang kakek berusia 79 tahun. Dia merasa aspirasi masyarakat tidak didengarkan. Unjuk rasa yang digelar masyarakat untuk menyampaikan aspirasi pada Senin (11/9) di depan Kantor BP Batam pun berujung ricuh.

”Tak ada keadilan terhadap kami, tidak memberi kesempatan bagi kami untuk tinggal di kampung tua ini,” kata Naharuddin.

“Ke mana kami akan dipindahkan? Sedangkan kami nelayan asli kampung tua kan. Sudah begitu lama nenek moyang kami, kuburan-kuburan masih ada, peninggalan-peninggalan nenek moyang kami masih ada,” tuturnya.

Dalam konferensi pers di Batam pada Selasa, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan bahwa warga akan direlokasi ke wilayah Dapur Tiga, Sijantung, di lahan seluas 450 hektare.

Di situ, warga dijanjikan akan mendapatkan rumah tipe 45 senilai Rp120 juta.

Rudi menjanjikan “fasilitas yang komprehensif”, mencakup pembangunan rumah bernuansa melayu, fasilitas pendidikan, rumah ibadah, lapangan bola, dermaga dan peningkatan infrastruktur jalan.

"Termasuk listrik akan kita masukkan permanen, tidak seperti sekarang. Hidup jam enam, mati jam enam. Jadi hidup 24 jam dari PLN sendiri," kata Rudi.

Namun pembangunan hunian tahap pertama dari rencana itu ditargetkan baru rampung pada Agustus 2024. Sementara itu, BP Batam menawarkan bantuan sewa rumah, uang tunggu, atau rusun untuk warga yang direlokasi.

BP Batam mengatakan setiap orang dalam satu keluarga akan mendapat biaya hidup sebesar Rp1,2 juta. Selain itu, setiap keluarga juga akan menerima biaya sewa hunian sebesar Rp1,2 juta.

“Kita sudah sepakat sebetulnya dari pusat sampai ke daerah, mudah-mudahan masyarakat bisa terima dengan baik. Kalau tidak, kami buka ruang untuk berdialog dengan kami,” kata Rudi.

Dihubungi terpisah, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastruty Sirait, mengeklaim bahwa “sudah ada” masyarakat yang mendaftarkan diri dan menerima tawaran tersebut.

Namun dia enggan merinci berapa banyak masyarakat yang mendaftar dengan alasan “konfidensial”.

Tetapi bagi Naharuddin, tawaran itu tidak cukup menenangkan hatinya yang menolak untuk direlokasi.

“Di mana-mana penggusuran itu pasti lahan masyarakat sudah disiapkan, sudah jadi bangunan, baru masyarakat pindah,” kata dia.

Dia mengatakan bahwa masyarakat setempat bukannya menolak pembangunan, namun mereka menolak direlokasi.

“Silakan membangun sebesar Pulau Rempang, tapi penduduk kami, hampir dua abad sudah terbangun di kampung kami, kami ndak mau dipindah. Biarlah kami tetap di sini. Mereka mau bangun proyek apapun, bangunlah, tapi jangan usir dari tempat kami,” kata Naharuddin.

‘Sikap masyarakat tidak akan berubah’

Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, Suardi, mengatakan “akan mempertahankan marwah” kampung-kampung mereka terlepas dari apa pun yang dilakukan pemerintah.

Kampung-kampung itu didirikan oleh nenek moyang mereka sejak 1843.

“Kami tidak akan mau pindah meskipun kami terkubur di situ. Karena dengan cara apa pun, itu tanah ulayat yang menjadi tanggung jawab kami untuk menjaganya,” kata Suardi menanggapi pertanyaan BBC News Indonesia mengenai tenggat waktu yang diberikan pemerintah, dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (12/9).

Dia juga mempertanyakan klaim BP Batam yang menyebut bahwa sudah ada warga yang setuju dan menerima tawaran ganti rugi rumah.

“Apakah itu mereka dapat dari aparat yang menyisir dari rumah ke rumah melewati proses sosialisasi? Kalau dilakukan oleh oknum aparat, sehingga mendapat persetujuan, menurut saya masyarakat hanya ketakutan,” kata dia.

Menurut Suardi, masyarakat dari 16 kampung tua justru menitipkan perjuangan kepada dirinya untuk mempertahankan agar mereka tidak direlokasi.

Dia mengatakan sikap masyarakat “tidak akan berubah walaupun kemungkinan buruk terjadi”.

“Jika memang kami ditakdirkan mati di tangan pemerintah, kami sudah ikhlas, karena itu akan jadi catatan sejarah buat kami bangsa Melayu yang berada di Pulau Rempang,” katanya.

Eskalasi situasi selama sepekan terakhir, menurut Suardi, membuat masyarakat ketakutan bahkan trauma pasca-penembakan gas air mata yang terjadi hingga di sekolah-sekolah pada 7 September.

Sehari pasca-bentrokan, Dinas Pendidikan Kota Batam menerbitkan surat untuk menghentikan sementara proses pembelajaran di sekolah.

Tak hanya itu, Suardi mengatakan banyak anak-anak takut pergi sekolah atau dilarang orang tuanya pergi ke sekolah karena khawatir dengan keamanan mereka.

“Saya punya cucu kelas 1 SD, disuruh mamanya sekolah tidak mau lagi, dia takut ditembak. Alasannya, dia masih mau hidup. Ini yang saya rasakan.. miris, sedih, melihat kejadian itu,” kata Suardi.

Selain itu, polisi juga mendirikan posko-posko di wilayah Pulau Rempang. 

Direktur Walhi Nasional, Zenzi Suhadi, mengatakan bahwa langkah itu justru membuat warga kian ketakutan.

Untuk membuat situasi kondusif, Zenzi mengatakan langkah-langkah yang berkaitan dengan proyek ini harus dihentikan dan aparat harus ditarik.

“Kami meminta Kapolri untuk menarik seluruh personil polisi dari Rempang dan Galang,” kata Zenzi.

Menanggapi permintaan itu, Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan bahwa pembentukan posko-posko itu dilakukan setelah masyarakat memblokir jalan menuju Pulau Rempang dan Galang.

Dia mengeklaim posko yang didirikan adalah "posko kesehatan".

"Ini untuk mendekatkan rasa kemanusiaan Polri dengan masyarakat Rempang. Kan pasca-kejadian orang pastri trauma dong. Dalam kesempatan ini, kalau ada tindakan Polri yang membuat masyarakat tidak nyaman, kami mohon maaf," kata Pandra ketika ditanya alasan polisi mendirikan posko-posko tersebut.

Sementara itu, polisi juga telah menangkap 43 orang dalam unjuk rasa yang berujung ricuh pada Senin (11/9) karena “diduga melawan petugas dan berbuat anarkis”.

Sebelumnya, delapan orang juga telah ditangkap dalam kericuhan yang terjadi pada 7 September. Unjuk rasa pada Senin, salah satunya menuntut agar mereka yang ditangkap dibebaskan.

Namun Pandra mengatakan bahwa kasus hukum mereka “tetap berlanjut” dan yang dilakukan polisi hanyalah penangguhan penahanan.

"Penangguhan penahanan itu tidak membatalkan unsur pidana yang disangkakan, dengan jaminan mereka bisa mengajak kelompoknya agar tidak turun ke jalan, apalagi sampai terulang aksi anarkis tanggal 7," jelas Pandra.

"Tapi kalau sampai ditemukan di kelompok mereka itu tetap memprovokasi dan menyerang petugas, bahkan akan lebih banyak lagi yang kami tahan."

Menanggapi bentrokan yang terjadi di Rempang, Presiden Jokowi mengatakan hal itu karena "komunikasi yang kurang baik".

"Saya kira kalau warga diajak bicara, diberikan solusi," kata Jokowi dikutip dari Detik.com.

Jokowi juga akan mengutus Menteri Bahlil untuk menjelaskan kepada warga terkait proyek strategis nasional ini. Rencananya, Bahlil akan datang ke Kepulauan Riau pada Rabu atau Kamis ini.

Secara terpisah, Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, mengimbau masyarakat “untuk menjaga situasi di Kepulauan Riau tetap kondusif dalam rangka menjamin keberlangsungan investasi”.

Dalam konferensi pers di Batam, Ansar juga meminta masyarakat untuk “tidak mudah terpancing oleh provokasi” dan “isu-isu miring”.

“Kita berdoa semoga Kepri tetap aman dan damai, dapat melanjutkan pengembangan investasi dan dapat membangun provinsi ke depan dan tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kepri,” kata Ansar.

Namun para pegiat HAM dan lingkungan mempertanyakan tujuan pembangunan dari proyek investasi senilai Rp381 triliun hingga 2080 yang merupakan kerja sama BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG).

“Sebenarnya untuk siapa pembangunan itu? Investasi itu untuk siapa kalau rakyatnya sendiri harus diusir dari tempat itu?" kata Zenzi dari Walhi.

Menurutnya, pemerintah harus transparan terkait perhitungan keuntungan dari investasi itu dan dampak ekonominya bagi masyarakat.

"Jangan-jangan [investasi itu] lebih kecil angkanya dari nilai ekonomi di Rempang itu sendiri. Negara sudah hitung belum ekonomi 7000-an kepala keluarga itu berapa totalnya?" tutur Zenzi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan apa yang terjadi di Rempang juga "bukan sekadar relokasi masyarakat", melainkan "perampasan tanah rakyat" yang dilakukan "secara struktural oleh pemerintah" melalui kerangka PSN.

"Label, judul bahwa apa yang dilakukan di Pulau Rempang itu adalah PSN harus dicabut. Segala upaya yang dilakukan BP Batam yang dibekingi aparat harus dihentikan," kata dia.

Kasus di Rempang juga menambah daftar panjang konflik agraria yang disebabkan oleh PSN. Menurut catatan KPA, terdapat 35 kasus konflik agraria yang disebabkan oleh pembangunan PSN. (*)

Tags : kampung adat di pulau rempang, batam, kepri, masyarakat rempang tolak pindah, 16 kampung adat di pulau rempang tolak pindah, ekonomi, hak asasi, masyarakat,