Headline Sorotan   30-05-2025 20:17 WIB

Petani Hadapi Perubahan Iklim dalam Tingkatkan Arsenik pada Bahan Makanan Beras, Peneliti: mereka Hadapi Risiko untuk Pengendalian Pangan

Petani Hadapi Perubahan Iklim dalam Tingkatkan Arsenik pada Bahan Makanan Beras, Peneliti: mereka Hadapi Risiko untuk Pengendalian Pangan
Di sawah yang tergenang, bakteri anaerobik di dalam tanah berubah menjadi arsenik karena oksigen yang berkurang.

"Sebagian besar masyarakat masih mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya"

ertanian padi merupakan sumber pendapatan utama bagi petani dan merupakan tanaman pangan terpenting di Indonesia.

"Pertambahan penduduk yang pesat menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia; sebagian besar masyarakatnya mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya," kata Devi Fatmasari, Peneliti di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Menurutnya, sektor pertanian sangat bergantung pada kondisi iklim.

Perubahan variabilitas iklim yang ekstrem berpotensi menurunkan produktivitas pertanian padi dan berdampak pada perekonomian serta ketahanan pangan.

Kondisi seperti ini perlu dikendalikan dengan menerapkan strategi adaptif untuk mengurangi kerugian masyarakat, katanya.

Ada pendapat bahwa perubahan iklim akan merugikan pertanian padi dan juga masyarakat. Keadaan ini memerlukan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah dan seluruh pihak terkait.

Menurunkan Produktivitas

Variabilitas curah hujan, suhu, dan kenaikan permukaan laut yang berubah-ubah telah menurunkan produktivitas padi secara signifikan. Berdasarkan data BPS, produksi padi pada 2023 diperkirakan mengalami penurunan sebesar 1,12 juta ton GKG dibandingkan dengan produksi padi pada 2022 yang sebesar 54,75 juta ton GKG.

Pertanian padi memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda di seluruh negeri karena dampak yang timbul akibat perubahan iklim bergantung pada lokasinya.

Persawahan yang terletak di dekat pantai akan terkena dampak kenaikan permukaan air laut. The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan laju kenaikan permukaan laut global tahunan akan berkisar antara 10-20 mm/tahun berdasarkan skenario RCP8.5.

RCP 8.5 mengacu pada konsentrasi karbon yang menyebabkan pemanasan global rata-rata 8,5 watt per meter persegi di seluruh dunia. Sehingga berdasarkan skenario ini dapat menghasilkan peningkatan suhu sekitar 4,3˚C pada 2100, dibandingkan dengan suhu pra-industri.

Persawahan yang terletak di dataran rendah di sekitar wilayah pantai akan sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut karena dapat menyebabkan genangan pantai dan peningkatan salinitas tanah.

Peningkatan garam akan membawa kerusakan pada lahan pertanian dalam jangka waktu yang lama, dan kandungan tanah menjadi tidak sesuai untuk varietas padi yang sudah ada.

Dalam hal ini, petani perlu melakukan adaptasi bertahap dengan mengganti varietas padi yang toleran terhadap garam atau melakukan adaptasi transformasi dengan berpindah ke lokasi lain.

Variabilitas suhu dan curah hujan yang berubah juga mempengaruhi produksi hasil padi. Dampak langsung dari kenaikan suhu adalah evapotranspirasi yang menurunkan kadar air dan mengakibatkan berkurangnya areal persawahan yang mendapat cukup air.

Kenaikan suhu juga meningkatkan respirasi padi sebagai bentuk pelepasan panas yang dapat menurunkan produktivitas.

Penurunan produksi padi diperkirakan antara 10,5 - 19,94% di Jawa dan Bali serta 11,7% di pulau lain akibat peningkatan respirasi (Sriyanti, 2009).

Bahaya besar lainnya terkait dengan perubahan pola curah hujan.

Terlebih lagi dalam kondisi pemanasan, fenomena iklim ekstrem seperti El Nino diperkirakan akan semakin sering terjadi dan ekstrem (Cai dkk, 2014), yang menyebabkan penurunan curah hujan dan membawa kekeringan parah di Indonesia.

Kondisi ini menyebabkan musim kemarau menjadi lebih kering dan panjang sehingga permulaan musim hujan bisa saja tertunda (Syaukat, 2011).

Dalam kondisi normal, beberapa wilayah di Indonesia bisa panen padi dua kali dalam setahun, satu kali pada musim hujan, dan satu kali pada peralihan ke musim kemarau.

Tertundanya musim hujan akibat periode kemarau yang lebih panjang berpotensi mengubah pola ini. Misalnya, akan terjadi perubahan dari dua kali panen padi per tahun (padi, padi, lainnya) menjadi hanya satu kali panen per tahun, yang akan berdampak negatif terhadap produksi beras dan harga beras.

Kenaikan harga beras dapat menurunkan taraf hidup masyarakat karena beras merupakan makanan pokok mereka, sedangkan penurunan produksi beras membuat petani menurunkan biaya produksi pada siklus penanaman berikutnya.

Hal ini dapat mencakup pengurangan tenaga kerja, yang menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencahariannya.

Menurunnya produktivitas padi juga berdampak pada ketahanan pangan.

Ketahanan pangan akan dipengaruhi oleh perubahan produksi pertanian dalam hal pasokan pangan, mata pencaharian, dan aksesibilitas pangan.

Perdagangan beras dari negara lain merupakan salah satu cara untuk menjamin ketahanan pangan Indonesia, namun distribusinya tidak merata di seluruh Indonesia karena terbatasnya akses transportasi, sebut Devi Fatmasari.

Sulitnya akses pangan, terganggunya pasokan pangan, dan kegagalan hasil panen di daerah terpencil sering memunculkan masalah kelaparan yang berujung pada kekurangan gizi.

Kegagalan panen yang membuat para petani kehilangan pendapatan dan sumber pangan serta ketidakmampuan membeli pangan menjadi faktor utama terjadinya permasalahan kelaparan di Indonesia.

Kurangnya nutrisi dan meningkatnya kelaparan dapat menyebabkan lebih banyak masalah kesehatan dan lebih banyak kematian.

Masalah kerawanan pangan juga berkorelasi dengan kemiskinan.

Menurutnya, jika para petani tersebut sangat bergantung pada produksi padi dan tidak memiliki kemampuan lain maka mereka akan terkena dampak terburuk dari perubahan iklim.

Dampak ini akan lebih buruk lagi di masa depan karena semakin intensnya iklim ekstrem dan bertambahnya jumlah penduduk.

Membutuhkan perhatian lebih

Tingkat kerentanan berbeda-beda di setiap tempat, ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor penentu yang pertama adalah persentase/kepadatan lahan sawah di suatu wilayah.

Daerah dengan kepadatan persawahan yang tinggi akan lebih rentan dibandingkan daerah dengan kepadatan persawahan yang lebih sedikit apabila bahaya yang sama menimpa kedua wilayah tersebut.

"Intinya, jika suatu bahaya terjadi pada suatu wilayah yang tidak ada lahan pertanian dan tidak ada penduduknya, berarti wilayah tersebut tidak rentan karena bahaya tersebut tidak berdampak pada apa pun."

"Sehingga sentralisasi sawah di suatu wilayah tertentu khususnya di Pulau Jawa dan Bali mencapai lebih dari 40% dari total luas sawah di Indonesia (Kementerian Pertanian, 2018) akan membuat pulau-pulau ini lebih rentan, terutama di daerah pedesaan dimana terdapat ladang pertanian,"  kata Devi Fatmasari.

Arsenik dalam beras dapat meningkat seiring dengan terus meningkatnya kadar karbon dioksida dan suhu.

Faktor kedua adalah jumlah petani skala kecil di negara ini. Perubahan pola produksi padi akan membawa dampak yang lebih besar bagi petani skala kecil karena mereka hanya mempunyai lahan pertanian yang terbatas dan penggunaan teknologi yang rendah.

Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan produktivitas padi karena keterbatasan anggaran. Jika mereka mengalami kegagalan panen selama siklus panen, berarti petani skala kecil kehilangan satu-satunya pendapatan mereka.

Lain halnya dengan pertanian skala besar milik industri yang mempunyai lahan pertanian luas yang tersebar di beberapa wilayah. Mereka mungkin mempunyai lahan pertanian yang ditanami jenis tumbuhan yang berbeda-beda di lokasi yang berbeda, sehingga berpotensi tetap mendapatkan keuntungan dari lahan lain jika terjadi kegagalan hasil di lahan pertanian padi.

Sebagian besar lahan pertanian di Indonesia (58,7%) dimiliki oleh petani skala kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 ha (BPS, 2018).

Petani kecil lebih rentan karena anggaran mereka yang rendah dan sangat bergantung pada sektor ini sebagai mata pencaharian utama mereka.

Sensitivitas pertanian padi berikutnya adalah rasio luas lahan tadah hujan.

Dampak buruk penurunan curah hujan lebih parah pada lahan tadah hujan dibandingkan pada lahan irigasi karena ketersediaan air untuk pertanian tadah hujan hanya bergantung pada curah hujan.

Lahan tadah hujan mempunyai ketidakpastian yang tinggi terhadap jumlah dan durasi curah hujan serta permulaan musim.

"Jika petani sawah tadah hujan bersikeras untuk menerapkan pola padi-padi-lainnya ketika kekeringan melanda, maka dampaknya bisa lebih buruk lagi karena potensi gagal panen sangat tinggi akibat kekurangan air pada siklus tanam kedua atau peralihan ke musim kemarau," ujarnya.

Indonesia memiliki lebih dari 41% lahan pertanian yang bergantung pada curah hujan untuk ketersediaan airnya (Kementerian Pertanian, 2018). Sebaliknya, pada lahan irigasi, lahan tersebut mempunyai tempat penyimpanan air yang lebih besar seperti bendungan dan tanggul yang dapat digunakan ketika terjadi kekeringan. Dapat dikatakan bahwa pertanian irigasi kurang sensitif terhadap kondisi kekeringan. Oleh karena itu, 41% pertanian tadah hujan akan lebih rentan terhadap perubahan curah hujan karena tidak ada sumber air lain selain hujan.

Rentannya pertanian padi terhadap perubahan iklim sangat membutuhkan perhatian lebih dari para pemangku kebijakan. Tidak hanya impor beras saja yang bisa menjadi solusinya, namun pemerintah dapat lebih memperhatikan kebutuhan dan kendala yang dihadapi oleh para petani.

Memang benar bahwa impor beras dapat menanggulangi krisis beras yang kita hadapi, namun hal tersebut memiliki dampak negatif bagi kesejahteraan para petani.

Dampak negatif impor beras di antaranya adalah harga ditingkat petani akan turun, harga beras akan turun bahkan anjlok, dan lebih ekstremnya, para petani mogok menanam padi. Hal ini bisa terjadi jika biaya produksi menjadi jauh lebih tinggi daripada harga jualnya.

"Oleh sebab itu program-program adaptasi bagi para petani juga sangat diperlukan. Di sinilah peran pemerintah melalui kementerian dan dinas-dinas terkait sangat berperan penting untuk membantu petani dalam menghadapi perubahan iklim," terang  kata Devi Fatmasari.

Perubahan iklim memberikan dampak signifikan bagi petani

 

Dengan anomali cuaca yang tak terduga menjadi tantangan utama. Petani perlu beradaptasi dengan perubahan pola tanam, penggunaan pupuk organik, serta diversifikasi komoditas untuk meningkatkan ketahanan mereka terhadap perubahan iklim. 

Dampak Perubahan Iklim pada Petani:

  1. Anomali Cuaca: Perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian cuaca ekstrem (banjir, kekeringan) menjadi ancaman serius bagi hasil panen dan produktivitas lahan pertanian. 
  2. Penurunan Produktivitas: Perubahan iklim dapat mengurangi kesuburan tanah, menyebabkan serangan hama dan penyakit yang lebih parah, serta mengganggu pertumbuhan tanaman. 
  3. Kenaikan Permukaan Air Laut: Dampaknya terasa di daerah pesisir, terutama di lahan pertanian yang rentan terhadap intrusi air laut dan peningkatan salinitas tanah. 
  4. Kalender Tanam: Petani dapat mengantisipasi musim hujan dengan memajukan atau menunda waktu tanam berdasarkan prakiraan iklim. 
  5. Varietas Unggul: Menanam varietas tanaman yang tahan terhadap kekeringan, genangan, dan serangan hama dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap perubahan iklim. 
  6. Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Lahan: Penggunaan pupuk organik, pengelolaan air yang efisien, dan penerapan teknik pertanian berkelanjutan dapat meningkatkan kesuburan tanah dan ketahanan tanaman. 
  7. Diversifikasi Komoditas: Beralih ke komoditas yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, seperti cabai atau tanaman lain yang tidak terikat dengan musim, dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim. 
  8. Asuransi Pertanian: Perlindungan asuransi pertanian dapat membantu petani mengurangi risiko kerugian akibat gagal panen. 
  9. Penerapan Pertanian Berkelanjutan: Penggunaan pupuk organik, rotasi tanaman, dan agroforestri dapat meningkatkan kesuburan tanah dan ketahanan ekosistem pertanian terhadap perubahan iklim. 
  10. Manajemen Pengairan: Menggunakan embung atau sistem irigasi yang efisien dapat membantu petani mengatasi kekeringan dan memastikan ketersediaan air untuk tanaman. 
  11. Penerapan Teknologi: Penggunaan kincir air, pompa air listrik, dan teknologi pertanian canggih lainnya dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi emisi. 
  12. Peran Pemerintah: Pemerintah memiliki peran penting dalam mendukung petani menghadapi perubahan iklim melalui:
  13. Penyuluhan dan Edukasi: Menyediakan informasi tentang perubahan iklim, strategi adaptasi, dan praktik pertanian berkelanjutan. 
  14. Pengembangan Varietas Unggul: Mempromosikan penggunaan varietas tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim. 
  15. Infrastruktur Pertanian: Membangun embung, irigasi, dan infrastruktur lainnya untuk meningkatkan ketersediaan air dan ketahanan lahan. 
  16. Asuransi Pertanian: Menawarkan program asuransi pertanian yang terjangkau dan memberikan perlindungan bagi petani dari risiko gagal panen. 
  17. Penyediaan Bantuan: Membantu petani dalam mendapatkan akses modal, teknologi, dan informasi yang mereka butuhkan. 

Apa risikonya perubahan iklim?

Nasi merupakan makanan pokok bagi lebih dari separuh populasi dunia. Jumlah beras yang setiap hari dikonsumsi lebih banyak daripada gandum atau jagung.

Merujuk data itu, para akademisi mengungkapkan temuan terbaru mereka dengan rasa khawatir.

Mereka menemukan bahwa seiring emisi karbon yang meningkat dan Bumi yang terus menghangat, kadar arsenik dalam beras juga akan meningkat.

Keberadaan arsenik dalam beras sejak lama telah dianggap sebagai masalah. Hampir semua beras mengandung arsenik.

Bahan kimia berbahaya yang terjadi secara alami ini dapat terakumulasi di tanah persawahan, lalu meresap ke dalam bulir padi yang tumbuh di sana.

Namun kadar arsenik yang ditemukan di dalam bulir beras dapat sangat bervariasi, dari yang jauh di bawah batas yang direkomendasikan oleh badan pengawas hingga yang beberapa kali lebih tinggi dari "garis normal" itu.

Namun mengonsumsi arsenik anorganik–istilah yang digunakan untuk arsenik yang tidak memiliki atom karbon yang terikat padanya–dalam jumlah sedikit pun, baik melalui makanan atau air minum, dapat menyebabkan kanker dan berbagai masalah kesehatan lainnya, seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes.

Para peneliti di seluruh dunia masih berupaya menemukan cara untuk mengurangi kadar arsenik dalam beras. Namun selama ini terdapat sejumlah siasat memasak beras yang dapat menekan unsur berbahaya ini.

Sebuah studi baru justru mencapai satu kesimpulan baru bahwa arsenik dalam beras mungkin akan menjadi persoalan yang lebih besar karena perubahan iklim.

Para periset dalam kajian tersebut menanam 28 galur padi yang berbeda di empat lokasi berbeda di China dalam kondisi eksperimental selama periode 10 tahun.

Mereka menemukan bahwa kadar arsenik dalam beras meningkat seiring dengan meningkatnya kadar karbon dioksida di atmosfer dan suhu yang melonjak.

Para ahli epidemiologi kemudian membuat model tentang bagaimana, pada tingkat konsumsi beras saat ini, kadar arsenik tersebut dapat memengaruhi kesehatan masyarakat.

Mereka memperkirakan, peningkatan kadar arsenik dalam beras dapat menyebabkan sekitar 19,3 juta kasus kanker di China, tak termasuk negara lainnya.

"Arsenik anorganik dalam banyak penelitian telah terbukti sebagai karsinogen, memiliki efek buruk terhadap kesehatan paru-paru, kesehatan kardiovaskular–daftarnya panjang," kata Lewis Ziska, profesor ilmu kesehatan lingkungan di Columbia University, New York.

"Dua aspek perubahan iklim, yaitu peningkatan karbon dioksida dan suhu, menghasilkan jumlah arsenik yang lebih besar," kata Ziska, yang turut terlibat dalam penelitian terbaru ini.

Perlu dicatat bahwa skenario terburuk para akademisi ini lebih tinggi dari skenario emisi yang ditetapkan oleh Panel antarPemerintah tentang Perubahan Iklim, sebuah badan PBB dalam isu perubahan iklim.

Prediksi paling mengerikan yang dibuat para akademisi itu mengasumsikan suhu naik 2 derajat Celsius dan kadar karbon dioksida meningkat sebesar 200 bagian per satu juta (ppm) pada periode tahun 2025 dan 2050.

Skenario perubahan suhu dan kadar karbon dioksida itu memberikan gambaran tentang kondisi yang mungkin terjadi pada tanaman padi di masa depan jika emisi tidak dikurangi.

Meski para peneliti riset ini berfokus pada lokasi di China saat menjalankan eksperimen, mereka menyebut dampak yang sama kemungkinan besar terlihat pada padi yang ditanam di berbagai wilayah lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat. Alasannya, arsenik anorganik umumnya ditemukan pada padi yang ditanam di seluruh dunia.

"Kami bukan yang pertama yang meneliti karbon dioksida dan suhu, tapi kami yang pertama menggabungkan dua faktor ini di lapangan. Dan itulah yang mengejutkan kami," kata Ziska.

Tentu saja penelitian mereka memiliki keterbatasan, di luar skenario perubahan iklim.

Keterbatasan pertama, para akademisi itu mengasumsikan bahwa orang akan terus mengonsumsi beras dalam jumlah yang sama pada tahun 2050, seperti yang mereka makan pada tahun 2021.

Faktor ini mengabaikan fenomena bahwa seiring sebuah negara menjadi lebih kaya, konsumsi beras mereka cenderung menurun.

Penelitian ini juga berasumsi bahwa orang akan terus mengonsumsi lebih banyak beras putih daripada beras merah, seperti yang mereka lakukan sekarang. Karena cara pengolahannya, beras putih mengandung lebih sedikit arsenik anorganik daripada beras merah. Artinya, pergeseran konsumsi meninggalkan beras putih dapat memperburuk temuan mereka.

Bagaimanapun, penelitian ini dianggap salah satu penelitian paling komprehensif yang pernah dilakukan terkait arsenik dalam beras, menurut Andrew Meharg, biolog di Universitas Queen Belfast.

Andrew sejak lama telah meneliti arsenik dalam beras, tapi tidak terlibat dalam penelitian terbaru ini. "Ini adalah penelitian yang paling kuat yang pernah Anda dapatkan," ujarnya.

Manusia telah mengetahui selama ratusan tahun bahwa arsenik bersifat racun. Sifatnya yang tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau bahkan menjadikannya metode yang disukai untuk mengalahkan musuh di era Romawi kuno dan pada abad pertengahan di Eropa.

Namun, dalam dosis tunggal dalam jumlah sedikit, arsenik tidak menyebabkan keracunan.

Selama beberapa dekade terakhir, para akademisi telah menemukan bahwa arsenik dalam jumlah yang lebih rendah pun dapat menyebabkan dampak kesehatan jika paparan terjadi secara kronis seumur hidup.

Kesimpulan itu secara khusus berlaku untuk arsenik anorganik yang lebih mudah terikat pada biomolekul dalam tubuh manusia sehingga dapat membahayakan.

Meskipun terdapat secara alami di bebatuan dan tanah, arsenik anorganik dapat menjadi produk sampingan dari aktivitas seperti penambangan, pembakaran batu bara, dan proses industri lainnya.

Ini berarti arsenik anorganik sangat umum ditemukan di air tanah di sejumlah wilayah, termasuk Amerika Selatan dan sebagian Asia selatan dan tengah.

Namun, orang-orang di wilayah lain juga rentan. Di AS, misalnya, lebih dari 7% pemilik sumur pribadi, atau 2,1 juta orang, meminum arsenik anorganik dalam kadar yang berbahaya.

Di seluruh dunia, sekitar 140 juta orang meminum air dengan kadar arsenik di atas pedoman yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Selain air minum, sumber utama paparan arsenik dari makanan di seluruh dunia adalah beras. Di wilayah yang cenderung memiliki sedikit arsenik di air tanahnya, seperti Eropa, beras merupakan sumber paparan arsenik anorganik terbesar dari makanan.

Masalahnya terletak pada bagaimana sekitar 75% pasokan beras dunia ditanam, kata Ziska, yakni di sawah irigasi.

Beras cenderung tercekik oleh gulma. Namun beras dapat tumbuh di air, sedangkan gulma tidak.

"Situasi itu memberi beras keuntungan besar dibanding gulma. Anda tidak perlu menyemprot, Anda tidak perlu mencangkul," kata Ziska.

"Namun ada sisi negatifnya, karena padi tergenang, tidak ada oksigen di tanah."

Dalam kondisi ini, bakteri anaerob di tanah kemudian beralih ke arsenik sebagai alternatif oksigen untuk menerima elektron saat mereka bernapas.

Bakteri ini kemudian memfasilitasi reaksi dengan mineral lain di dalam tanah. Dampaknya, arsenik lebih mudah diserap oleh tanaman padi melalui sistem akarnya.

"Ketika Anda mengubah tanah dengan membuatnya lebih sedikit mengandung oksigen, arsenik akan bekerja dengan sendirinya," kata Ziska.

Arsenik mengubah mikrobioma tanah sedemikian rupa sehingga bakteri yang menyukai arsenik menjadi lebih produktif.

Inilah yang diprediksi oleh Ziska dan rekan-rekan penelitinya akan semakin memburuk seiring meningkatnya suhu dan kadar karbon dioksida di atmosfer.

"Bakteri di dalam tanah ini mendapatkan lebih banyak karbon. Suhu semakin hangat dan menjadi lebih aktif," kata Ziska.

"Ini benar-benar efek sinergis. Anda membuat bakteri kecil lebih bahagia dengan suhu yang hangat, tapi Anda juga memberi mereka lebih banyak karbon dan bakteri ini menjadi liar," tuturnya.

Ziska dan tim risetnya menemukan, efek ini terjadi pada sekitar 90% dari 28 jenis padi berbeda yang mereka tanam selama penelitian 10 tahun di China.

Yang membuat para ahli kesehatan masyarakat khawatir adalah semakin banyak penelitian yang dilakukan, semakin banyak dampak buruk arsenik anorganik terhadap manusia yang terungkap.

Pada Januari 2025, Badan Perlindungan Lingkungan AS memperbarui penilaian mereka terhadap "faktor potensi kanker" arsenik anorganik, dengan mempertimbangkan semua penelitian baru tentang arsenik dan penyakit.

Penilaian terbaru mereka menemukan bahwa "arsenik jauh lebih kuat sebagai karsinogen daripada yang diduga selama ini".

Temuan tersebut dikatakan Keeve Nachman, pakar kesehatan lingkungan di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, sekaligus salah satu periset dalam penelitian beras dan arsenik terbaru.

Secara khusus, sekarang terdapat bukti kuat bahwa arsenik tidak hanya meningkatkan risiko kanker kulit, tapi juga kanker paru-paru dan kandung kemih.

Selain kanker, arsenik anorganik meningkatkan risiko penyakit jantung dan diabetes. Bila dikonsumsi oleh ibu hamil, zat ini juga meningkatkan risiko kematian janin atau bayi.

Arsenik anorganik ini juga dapat meningkatkan risiko bayi lahir dengan berat badan rendah, yang dapat berdampak pada kesehatan seumur hidup, seperti penyakit kardiovaskular.

Zat ini dapat pula berdampak pada perkembangan neurokognitif seorang bayi yang baru lahir.

Pada tingkat individu, risiko arsenik anorganik kecil. Misalnya, tinjauan EPA terbaru menemukan bahwa mengonsumsi 0,13 mikrogram arsenik anorganik per kilogram berat badan per hari akan meningkatkan risiko relatif terkena kanker kandung kemih atau diabetes sekitar 3%.

Namun, di seluruh populasi, terutama mereka yang banyak makan nasi, risiko kecil ini dapat bertambah. Dan, jika prediksi yang dibuat oleh Ziska dan rekan-rekan penelitinya ternyata benar, hal ini dapat berdampak signifikan terhadap penyakit pada populasi yang bergantung pada nasi sebagai makanan pokok selama beberapa dekade mendatang.

Jadi, selain memangkas emisi dan menjaga kenaikan suhu serendah mungkin, apa yang dapat dilakukan untuk menghindari arsenik anorganik?

"Kita tidak dapat berpura-pura bahwa kita akan menyingkirkan nasi dari meja makan. Itu tidak mungkin," kata Keeve Nachman.

Selain sebagai tradisi makanan yang penting, nasi penting bagi orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, terutama memenuhi setengah dari kalori harian mereka dari nasi saja.

"Namun perlu dilakukan sesuatu yang berbeda," ujar Keeve.

Para peneliti juga telah bereksperimen untuk mengetahui apakah berbagai jenis pengelolaan air dapat mengurangi kadar arsenik dalam beras.

Salah satu strategi yang mereka coba adalah dengan membanjiri sebagian ladang, mengeringkannya, lalu membanjirinya lagi. Cara ini disebut dapat mengurangi jumlah arsenik anorganik dalam beras.

"Namun strategi itu meningkatkan kadmium," kata biolog Andrew Meharg.

"Kadmium dianggap sebagai ancaman yang lebih besar," ujarnya.

Kadmium dapat menyebabkan kanker payudara, paru-paru, prostat, pankreas, dan ginjal, serta penyakit hati dan ginjal.

Sementara itu, ada pula yang tertarik untuk mencoba membudidayakan varietas padi yang menyerap lebih sedikit arsenik anorganik. Namun siasat itu "belum menemukan hasil positif", kata para peneliti.

Karena beberapa jenis padi menyerap lebih sedikit arsenik anorganik, ada yang tertarik untuk meneliti cara membudidayakannya.

Solusi lain yang dicoba adalah menambahkan sulfur ke dalam air, yang dapat menyerap elektron, seperti arsenik.

Cara lain untuk mengubah mikrobioma di ladang adalah dengan menambahkan jenis pupuk tertentu, seperti campuran thyme gunung dan kotoran burung. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian tentang pendekatan ini.

Pendekatan lain yang telah dikaji adalah menanam padi dengan air hujan, atau di tempat dengan tanah dan air irigasi yang rendah arsenik.

Padi dari Afrika Timur, yang cenderung menggunakan air hujan ketimbang air irigasi, memiliki kadar arsenik anorganik yang sangat rendah, seperti halnya padi di Indonesia.

Padi yang ditanam di AS, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, Eropa, dan Australia semuanya ditemukan memiliki kadar arsenik yang lebih tinggi.

Para peneliti menyebut pentingnya pemantauan dan regulasi yang lebih baik terkait paparan arsenik dalam makanan. "Para pembuat kebijakan telah menunda-nunda selama beberapa dekade terkait hal ini," kata Andrew Meharg.

Saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS tidak mengatur kadar arsenik dalam beras, tapi mereka telah menetapkan batas 0,1 miligram per kilogram beras yang ditujukan untuk dikonsumsi anak-anak.

Pada tahun 2023, Uni Eropa menetapkan batas baru untuk arsenik anorganik dalam beras sebesar 0,2 miligram/kilogram.

China telah mengusulkan untuk memberlakukan batas yang sama. Namun, rekomendasi ini tidak memperhitungkan fakta bahwa beberapa komunitas mengonsumsi lebih banyak beras daripada yang lain.

"Ada cara untuk mengurangi jumlah arsenik anorganik, tetapi hal itu memerlukan perubahan mendasar dalam pengelolaan cara menanam padi saat ini," kata Ziska.

"Hal itu benar-benar perlu mendapat perhatian, karena hal itu memengaruhi begitu banyak orang di seluruh dunia," tuturnya. (*)

Tags : perubahan iklim, pertanian, diet dan nutrisi, pangan, polusi, perubahan iklim, kesehatan, lingkungan, sains,