Petani sawit swadaya masih banyak alami masalah hingga kondisi mereka jauh dari kata sejahtera.
PEKANBARU - Berbagai masalah itu, antara lain, mulai dari sulit mendapat legal lahan, harga jual sawit murah, aturan berbelit, sulit mengurus surat tanda daftar usaha perkebunan untuk budidaya (STDB) dan lain-lain.
"Persoalan produktivitas sawit rendah, legalitas kebun seperti sertifikat hak milik atau STDB sulit mereka dapatkan masih melilit petani sawit swadaya."
“Petani sawit jauh dari kata sejahtera apalagi masa pandemi, produksi mengalami penurunan drastis,” kata Yusro Fadli, Ketua Serikat Petani Kebun Sawit (SPKS) Rokan Hulu (Rohul) ini menceritakan dalam diskusi yang diadakan belum lama ini di Pekanbaru.
Konflik lahan pun, katanya, terjadi di berbagai daerah, pengetahuan budidaya petani masih minim, kelembagaan tani seperti 'kelompok tani' belum terbentuk dengan kuat sampai biaya operasional tinggi.
"Biaya angkutan pabrik kebun sawit (PKS) masih tinggi, dan jalan maupun infrastruktur pun buruk."
"Alhasil pabrik selalu cincai-cincai harga dalam penetapan tandan buah segar [TBS] milik petani," sebutnya.
"Petani sawit swadaya selalu dihadapkan pada harga jual TBS yang selalu alami nilai rendah."
"Seharusnya, kalau rantai penjualan lebih pendek, perusahaan langsung menjemput hasil panen ke petani," kata Yusro Fadli.
“Kenapa tidak pabrik yang mengambil langsung hasil panen?, kenapa harus melalui tengkulak dan agen?. Inilah yang menyebabkan harga jauh dari rata-rata,” katanya.
Lain lagi disebutkan Sofyan Antoni SE, Kepala Divisi Pertanian lembaga swadaya masyarakat [LSM] Gerakan Pemuda Anti Korupsi [GPAK] Inhu lebih menyoroti hasil kerja Tim Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) Pemkab Inhu.
"Saya melihat tim dari Dinas Pertanian dan Perikanan (Distankan) Inhu tak terlihat kinerjanya," kata Sofyan pada wartawan, Kamis (9/12) ini.
"Pemerintah harus serius perhatikan petani swadaya."
Menurutnya, petani swadaya tak hanya memproduksi juga sebagai konsumen penting.
Dia mengaku, petani swadaya memiliki masalah cukup banyak, seperti cenderung tidak punya organisasi, tak ada dukungan pemerintah dan perusahaan.
“Selain itu petani juga berada di jalan berisiko seperti berada di sempadan, lahan rendah, di tepi hutan, gambut,” katanya.
Apa kinerja tim PUP terhadap perusahan perkebunan?
Sofyan Antoni mencontohkan seperti di Inhu bahwa latar belakangnya saja sudah 'menyalah'.
"Banyaknya perusahaan sawit beroperasi menyumbang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tapi berlatar belakang menyalah," katanya.
"Bayangkan saja dari data 2009-2012 ada 60 perusahaan perkebunan kelapa sawit dari jumlah 108 perusahaan yang beroperasi di Riau."
Dari jumlah tersebut, ada perusahaan yang beroperasi di lahan perkebunannya diduga bermasalah.
Dugaan ini bukan tak beralasan, kata Sofyan Antoni, perusahaan perkebunan dan pabrik sawit ada juga yang menyalahi aturan.
"Ada perkebunan sawit berada di kawasan penyangga hutan lindung seperti di kecamatan Peranap Inhu itu."
Namun untuk meningkatkan PAD itu sendiri tentu berdasarkan data jumlah perusahaan yang terdata di bagian perizinan dan yang legal pula.
Bagaimana tugas Tim Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) dari Pemkab Inhu, Riau selama ini sesuai dengan diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Republik Indonesia?
Tugas tim PUP, sebelumnya juga terkandung dalam Peraturan Bupati (Perbup) Inhu Nomor 69 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi, serta Tata Kerja Dinas Pertanian dan Perikanan.
Sedangkan tugas Tim PUP juga sesuai dengan amanat Permentan No 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan (PUP).
Jadi untuk menjawab kesulitan petani swadaya mandiri ini, Sofyan Antoni setuju kalau petani swadaya mendapatkan RSPO Independent Smallholder Standard (RISS) sesuai standar baru.
"Aturan dalam standar baru petani swadaya tak perlu mempunyai syarat STDB untuk mengajukan sertifikasi," harapnya.
Tetapi Sofyan Antoni menekankan, sertifikasi tidak bisa menjadi tujuan utama petani.
"Tujuan utama petani, agar benar-benar mandiri, berdaya saing, kuat dan sejahtera."
“Sertifikasi bisa dianalogikan rest area untuk memperbaiki dan memperkuat petani,” katanya.
Menurut Sofyan Antoni, tidak hanya bermasalah di STDB, petani kecil juga dipersulit untuk mengurus administrasi terkait surat itu.
“Masuk ke dinas itu, petani kita kesulitan minta ampun, kecuali kalau ada orang dalam, itu cepat sekali keluar STDB,” katanya.
'Pabrik sawit main cincai-cincai'
Bukan hal yang mustahi banyaknya dan kelebihan pabrik sawit, bahkan tanaman kebun sawit yang sudah menjadi pencaharian petani, lantas pabrik sawit menilai 'sebelah mata' pada petani.
"Untuk ini kita mendesak kabupaten untuk mengevaluasi kondisi lapangan terkait pembelian tandan buah segar (TBS) oleh pabrik kelapa sawit di daerah ini," kata Sofyan Antoni lagi.
Pasalnya, pabrik kelapa sawit tidak siap dan tidak mau membeli dengan harga yang telah ditetapkan.
Dinas Pertanian dan Perkebunan menetapkan harga tandan buah segar setiap bulannya. Tetapi walaupun sudah tertera dalam surat keputusan tentang penetapan harga tandan buah segar, namun pelaksanaan di lapangan tidak sesuai ketetapan yang ada.
“Pelaksanaan di lapangan masih banyak pabrik yang membeli di bawah harga yang ditetapkan oleh pemerintah bersama tim penetapan harga."
"Pabrik kelapa sawit seperti memainkan harga di daerahnya,” kata Sofyan Antoni.
Menurut Sofyan Antoni masih adanya pabrik kelapa sawit yang nakal. Selain itu, pabrik di daerah ada yang main "cincai-cincai" harga beli di antara sesama pabrik.
"Pabrik kelapa sawit di daerah ini seperti bermufakat untuk membeli murah sawit di bawah harga yang ditetapkan pemerintah."
"Oleh karena itu, pemerintah melalui dinas pertanian dan perkebunan diminta untuk melakukan pemantauan dan investigasi. Sehingga harga sawit tak sampai merugikan para petani dan menguntungkan pemilik pabrik," harap Sofyan Antoni.
Plt Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan (Distankan) Kabupaten lnhu, Paino SP melalui Kepala Bidang (Kabid) Perkebunan Dedi Dianto SP menanggapi permasalahan ini. Dia bilang, di daerahnya STDB tak pernah jadi alat meminta setoran kepada petani.
“Kalau proses kerja kita jelas, berdasarkan surat tugas, STDB kan ke lapangan mengukur seberapa luas lahan, setelah itu dibuat STDB” katanya.
"Seharusnya STDB diatur oleh pemerintah pusat melalui petunjuk teknis, di bawah UU Perkebunan, belum ada peraturan pemerintah soal STDB,” sebutnya.
Menyikapi naik turun harga sawit petani Dedi Dianto, menyatakan keprihatinannya terhadap hal tersebut.
"Kita tidak bisa berbuat banyak dengan situasi ini, karena daerah bukan penentu harga," sebutnya.
"Kami harap kepada petani sawit untuk bersabar menghadapi kondisi ini," ungkapnya.
"Petani sawit harus terus semangat dan fokus untuk bekerja agar dapat meningkatkan produktifitas hasil perkebunan sawit mereka."
Pihaknya juga meminta kepada masyarakat petani sawit untuk bermitra dengan perusahaan dan kerjasama, sehingga harga dapat dimonitor.
Menurut Dedi, biasanya akan terjadi perbedaan harga antara masyarakat yang berkerjasama dengan perusahaan dengan yang tidak atau melalui pengepul.
"Apabila trend harga sawit cenderung naik kepada masyarakat petani sawit diminta untuk berhemat."
"Yang terpenting diharapkan agar petani sawit melakukan diversifikasi tanaman pada areal perkebunan sawit, sehingga jika harga komoditi tanaman pokok jatuh masih bisa dapat adil dari tanaman versifikasi tersebut," katanya. (*)
Tags : Petani Sawit Swadaya, Petani Sawit Masih Hadapi Berbagai Masalah, Inhu, Riau, Pabrik Sawit Masih Main Cincai,