Sorotan   2023/05/15 14:55 WIB

Petani Sebut 'Panas Luar Biasa', Apakah Indonesia Terkena Gelombang Panas yang Lebih Intens?

Petani Sebut 'Panas Luar Biasa', Apakah Indonesia Terkena Gelombang Panas yang Lebih Intens?
Petani waspada terhadap musim kemarau yang diprediksi akan lebih panas dari biasanya

"Bumi makin panas yang kemungkinan suhu bisa naik 1,5 derajat celcius dalam setahun, suhu terpanas ini akibat adanya gelombang panas lebih intens"

adan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa gelombang panas Asia yang tengah melanda Asia Selatan tidak terjadi pada Indonesia. Namun, para petani dan warganet mulai khawatir cuaca di Indonesia akan semakin panas memasuki musim kemarau.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dodo Gunawan, mengatakan bahwa gelombang panas tidak berpotensi terjadi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan wilayah geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan.

“Wilayah Indonesia ini secara bentuknya kepulauan yang diselingi oleh laut, dia sebagai unsur pendingin. Ibaratnya radiator, sehingga tidak dimungkinkan untuk penjalaran panas,” kata Dodo, Selasa (25/4).

Meski tidak bisa disebut gelombang panas, ia mengatakan bahwa wajar jika Indonesia kini mengalami cuaca panas. Sebab, sekarang negara sudah memasuki musim kemarau yang diprediksi akan berlanjut cukup lama.

Hal tersebut membuat sejumlah petani dan pengamat pertanian mengantisipasi kekeringan yang akan melanda mulai April hingga Juni ini.

“Semester kedua akan ada El Nino. El Nino itu adalah kondisi kemarau yang di luar kemarau biasa.

“Bulan April-Mei pun sudah bisa terjadi kemarau biasa dan itu sudah setiap tahun. Tapi mungkin tahun ini, suhunya mungkin bisa lebih tinggi dari biasanya,” kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Muhammad Firdaus.

Sementara, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, mengatakan sejumlah Badan Meteorologi di sejumlah negara di kawasan Asia Selatan telah melaporkan suhu panas lebih dari 40°C.

”Lonjakan panas di wilayah sub-kontinen Asia Selatan, kawasan Indochina dan Asia Timur pada tahun 2023 ini termasuk yang paling signifikan lonjakannya,” ungkap Dwikorita lewat keterangan resmi pada Selasa (25/4).

Apakah Indonesia terkena gelombang panas yang lebih intens?

Saat ini, suhu terpanas terekam di Kumarkhali, Bangladesh dengan suhu maksimum harian sebesar 51,2°C pada Senin (17/4) lalu.

Di Indonesia, suhu harian tertinggi masih berada di angka 37,2॰C di stasiun pengamatan BMKG di Ciputat pada pekan lalu.

Secara umum suhu tertinggi yang tercatat di beberapa lokasi berada pada kisaran 34॰C - 36॰C hingga saat ini.

Meski begitu, masyarakat diminta agar tidak panik dan tetap waspada.

Sebab, sambung Dwikorita, para pakar iklim menyimpulkan pemanasan global dan perubahan iklim membuat gelombang panas berpeluang semakin sering terjadi.

Apa itu gelombang panas?

Menurut BMKG, heat wave alias gelombang panas merupakan sebuah periode cuaca di mana terjadi kenaikan suhu panas yang tidak biasa berlangsung selama setidaknya lima hari berturut-turut atau lebih.

Hal tersebut merupakan batasan yang ditentukan oleh Badan Meteorologi Dunia atau WMO.

Agar suatu fenomena cuaca dapat dikategorikan sebagai gelombang panas, lokasi tersebut harus mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik - misalnya 5 ॰C lebih panas - dari rata-rata klimatologis suhu maksimum.

Jika suhu maksimum tersebut masih berada dalam rentang yang wajar dan tidak berlangsung lama maka kondisi tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai gelombang panas.

Secara karakteristik fenomena, gelombang panas pada umumnya terjadi pada wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan daratan dengan luasan yang besar, atau wilayah kontinental atau sub-kontinental.

Sementara, Indonesia terletak di wilayah ekuator, dengan kondisi geografis kepulauan yang dikelilingi perairan yang luas.

Gelombang panas pada umumnya terjadi akibat pola cuaca system tekanan atmosfer tinggi di suatu wilayah dengan luas daratan besar yang terjadi secara berturut-turut setiap harinya.

Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, pergerakan udara dari atmosfer bagian atas menekan udara permukaan sehingga menjadi mampat dan suhu permukaan meningkat karena umpan balik positif antara massa daratan dan atmosfer.

Pusat tekanan atmosfer tinggi ini menyulitkan aliran udara dari daerah lain mengalir masuk ke area tersebut.

Semakin lama sistem tekanan tinggi berkembang di suatu area akibat umpan balik tersebut, maka semakin panas suhu di area tersebut.

Apakah Indonesia berpotensi mengalami gelombang panas?

Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dodo Gunawan mengatakan bahwa Indonesia tidak berpotensi mengalami gelombang panas. Hal tersebut karena kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan membantu meredam panas matahari.

“Kekhawatiran kita terhadap gelombang panas ini, tidak begitu khawatir lah. Karena memang secara potensi posisi geografis itu yang menyebabkan kita kecil kemungkinan untuk dilanda gelombang panas,” kata Dodo.

Ia mengatakan bahwa saat ini, gelombang panas yang melanda Eropa, kemudian Asia Selatan, merupakan dampak langsung dari pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi.

“Bumi semakin panas, pola cuaca semakin menjadi. Jadi enginenya itu sudah semakin cepat panas karena mesinnya sudah mulai trennya memanas. Ibaratnya cuaca mesinnya itu sudah semakin panas,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa memang benar musim kemarau tahun ini akan dipengaruhi oleh fenomena El Nino.

Namun, hal tersebut tidak bisa disebut sebagai musim kemarau yang ‘berkepanjangan’. Hanya saja, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang masih masuk ke dalam kategori La Nina.

“Kita tiga tahun terakhir ada fenomena La Nina, banyak hujan, di musim kemaraunya pun. Sekarang ini yang namanya fenomena La Nina ini akan selesai dan menuju ke kondisi normalnya,” kata Dodo.

Musim kemarau yang ekstrem dapat menyebabkan petani gagal panen karena tanaman mereka kekurangan air

Lebih lanjut, ia mengatakan perubahan iklim yang ekstrem seperti El Nino serta gelombang panas akan lebih sering terjadi seiring waktu.

Bahkan, fenomena alam seperti siklon tropis pun bisa saja muncul, padahal dulu itu sangat jarang terjadi di Indonesia.

“Jadi termasuk gelombang panas, kemudian kalau di kita yang dinamakan ekstrem itu adanya El Nino-La Nina atau mungkin nanti kalau suatu saat ada tropical cyclone.

"Itu indikasi-indikasi ekstrem, yang menyertai kondisi cuaca yang terjadi sebagai dampak iklim yang sudah semakin berubah,” ungkapnya.

Warganet mengeluh cuaca di luar sangat panas

Meskipun Indonesia saat ini tidak mengalami gelombang panas, sejumlah warganet mengaku kepanasan saat keluar rumah, khususnya dalam beberapa hari terakhir.

Akun @V4MFIELD menanggapi cuitan dari akun lain bernama @Jogja_Uncover yang menunjukkan sebaran peta suhu di berbagai daerah di Indonesia.

Ia merasa bahwa meski suhu masih berada di angka 33॰C, yakni belum separah negara lain yang suhunya sampai 54॰C, udara sudah terasa sangat panas.

“Gila suhu 33 aja rasanya panas banget apalagi 54,” cuit akun itu.

Ada pula akun @tanyakanrl yang mengunggah keluhan seorang pengguna yang bertanya-tanya kapan cuaca panas itu akan berakhir.

“Kira-kira kapan ya suhu yang sangat panas ini akan berakhir? Aku kayak udah gak betah gerah, baru keluar dr kamar mandi setelah mandi, udah gerah banget,” tulisnya.

Kemudian, akun @OmarWR17 mengatakan bahwa suhu panas yang ia rasakan beda dari yang biasanya. Terutama di daerah tempat ia tinggal.

“Pada ngerasain suhu panas ga kaya biasanya ga sih.. panas banget mana di karawang lagi. Masyaallah." tulis akun itu.

Meski Indonesia sedang tidak mengalami gelombang panas, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dodo Gunawan, menjelaskan bahwa wajar jika saat ini cuaca terasa panas sekali.

Salah satu faktor yang membuat suhu udara di berbagai belahan dunia semakin panas, katanya, adalah tren perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global.

Selain itu, ada pula pancaran energi matahari yang bervariasi serta siklus pergerakan matahari yang menuju selatan.

“Saat ini wajar juga [suhu] tinggi karena posisi matahari di April masih dekat sekitar wilayah Indonesia. Sambil bergerak ke Utara, nanti setelah itu kembali lagi ke Selatan,” kata Dodo.

Petani mengantisipasi musim kemarau  

Joko Prianto merupakan seorang petani yang sudah mulai menanam bawah merah di Rembang, Jawa Tengah. Ia mengaku dalam tiga sampai empat hari terakhir cuaca terasa lebih panas dari biasanya.

“Panasnya luar biasa, panasnya luar biasa. Beda. Kita itu kalau di sawah itu kan, sampai jam 11, setengah 12 itu baru pulang, itu masih kuat. Tapi tiga-empat hari terakhir ini beda, panasnya beda,” kata Joko, Selasa (25/4).

Walaupun begitu, ia mengatakan bahwa panennya masih aman dan belum ada perubahan signifikan akibat cuaca tersebut. Namun, ia mulai khawatir saat mendengar kabar tentang gelombang panas yang melanda di Asia Selatan.

“Kalau memang kejadian, ya kita harus siap-siap. Kan seperti itu. Kita harus siap-siap. Karena kemungkinan besar kalau memang itu terjadi kan kemungkinan terburuk untuk petani gagal panen,“ ungkap Joko.

Untuk mengantisipasi semakin panasnya cuaca serta musim kemarau yang akan datang, Joko selalu memastikan ketersediaan air yang ia butuhkan untuk memanen mencukupi untuk beberapa bulan ke depan.

Guru Besar IPB, Dr Muhammad Firdaus, mengatakan bahwa sejak tahun lalu, sudah ada ramalan dari National Center for Environmental Predicition (NCEP) bahwa tahun ini akan terjadi fenomena El Nino.

El Nino merupakan fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Hal tersebut dapat memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.

Firdaus mengatakan El Nino dapat menyebabkan terjadinya musim kemarau yang luar biasa panas dan lebih lama jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

“Artinya bulan April-Mei pun sudah bisa terjadi kemarau biasa dan itu sudah setiap tahun. Nah tapi mungkin tahun ini, suhunya mungkin bisa lebih tinggi dari biasanya,“ kata Firdaus.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar petani dan pemerintah bersiap-siap menghadapi musim kemarau tersebut. Sebab, sambungnya, asuransi pertanian tidak menanggung kerugian karena cuaca ekstrem.

Salah satu caranya adalah dengan membangun rumah kaca sederhana, yakni menggunakan bambu atau dan layar plastik tipis untuk screening tanaman.

“Jadi kalau kemaraunya itu sangat panjang ya kita bisa defisit, kalau misalnya dunia itu mengamankan cadangan, berarti harga kan naik udah pasti. Itu yang terjadi di 2008. Harga naik sampai dua kali lipat,“ ujarnya.

Nurkila, seorang petani penghitung curah hujan di Indramayu, Jawa Barat, mengatakan ia dan para petani lainnya sedang bingung melihat kondisi iklim yang tengah terjadi.

Ia mengatakan bahwa meski sekarang seharusnya mereka memasuki musim kekeringan – seperti yang ia dengar dari petani-petani lain yang tinggal di daerah-daerah lain – hujan lebat masih terjadi beberapa kali di Indramayu.

“Di Indramayu atau di Jawa Barat khususnya, ternyata masih banyak hujan. Nah itu tadi, dipengaruhi oleh menghangatnya permukaan laut. Sehingga ini, yang berlaku itu bukan dari prediksi iklimnya,“ jelas Nurkila.

Setiap hari, Nurkila dan para petani lainnya mengumpulkan data dari analisa mereka dengan menghitung curah hujan untuk mencoba memprediksi kondisi iklim untuk panen mereka ke depan.

“Nanti kita evaluasi benar enggak nih? Akan terjadi kemarau panjang. Seperti itu prediksinya. Kita bisanya mencocokan dari informasi kemarau musiman yang telah dikirim ke kami dengan data yang kami miliki,” katanya.

Namun, berdasarkan data mereka sampai dengan bulan April, mereka tidak bisa mengatakan pasti akan seperti apa kondisi iklimnya.

“Jadi data yang terkumpul kalau menurut data yang kita miliki, ini memang benar ada pengaruh dari menghangatnya permukaan air laut. Karena hujannya tidak bisa diprediksi. Karena kita masih mendapatkan banyak hujan besar.

“ Kalau melihat dari presentasenya 99%, itu sudah pasti [El Nino]. Tapi masih ada hujan itu. Dan kalau prediksi netralnya itu 50% itu bisa terjadi dan bisa tidak terjadi,” ungkapnya.

"Orang yang sudah pakai tabir surya merasa kebal"

Dokter Spesialis Kulit, Dr I Gusti Nyoman Darmaputra, mengatakan di tengah suhu udara yang panas serta radiasi matahari yang meningkat, masyarakat perlu waspada akan penyakit kulit yang dapat timbul dari paparan matahari.

Secara jangka pendek, jika seseorang terlalu lama berpanas-panasan tanpa pelindung apapun, kulit dapat terbakar sinar matahari alias terkena sunburn.

“Ini sering kejadian apabila orang berkulit putih berjemur di pantai. Itu yang paling sering. Tapi dengan panas matahari yang kayak sekarang, artinya bisa saja kalau kita enggak pakai tabir surya,“ kata Dr Darma.

Pencetus DNI Skincare itu juga mengatakan bahwa dampak jangka panjang yang dapat timbul adalah berubahnya warna kulit menjadi lebih gelap dan terjadinya penuaan dini.

“Penuaan dini artinya kulitnya akan lebih mudah keriput, lebih cepat kering, lebih cepat tipis. Itu karena radikal bebas atau paparan sinar matahari ini merusak kulit kita,” jelasnya.

Selain itu, risiko kesehatan paling fatal jika terlalu sering terpapar sinar matahari dengan radiasi tinggi adalah meningkatnya risiko terkena kanker kulit.

Walau itu tidak berlaku bagi semua orang, Dr Darma menekankan pentingnya deteksi dini. Biasanya tanda-tanda kanker kulit adalah muncul karsinoma sel basal yang paling sering muncul di bagian muka.

“ Tandanya itu ada bercak kehitaman di wajah yang sering terkelupas sendiri, seperti tahi lalat tapi dia lebih ke- sering kelupas sendiri, seperti luka-luka sendiri. Tanpa ada gesekan tapi dia ada luka. Yang engga sembuh-sembuh,” kata Dr Darma.

Untuk melindungi kulit dalam keadaan cuaca yang sangat panas, ia menyarankan agar masyarakat menggunakan pelindung fisik seperti topi, payung atau lengan panjang selain penggunaan tabir surya.

“Karena kadang orang salah persepsi. Orang yang sudah pakai tabir surya, merasa kebal. Padahal, secanggih atau setinggi-tinggi apapun tabir surya itu, dia hanya perlindungannya maksimal 90% dan itu masih banyak yang lolos,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menambahkan bahwa sebaiknya tabir surya dioles ulang pada kulit setiap dua sampai tiga jam. Lebih lagi jika panas matahari membuat kulit lebih sering mengeluarkan keringat.

“Apalagi orangnya makin panas kan berkeringat. Kalau makin berkeringat itu semakin cepat tabir suryanya berkurang efeknya. Sedangkan dia udah merasa aman pakai tabir surya."

Bumi makin panas

Semakin besar kemungkinan temperatur global mendekati ambang batas yang telah disepakati untuk tahun tertentu dalam lima tahun mendatang.

Sebuah penelitian memperkirakan pada 2025 mendatang terdapat 40% kemungkinan temperatur 1,5 derajat Celcius (1,5C) lebih panas setidaknya dalam setahun dibandingkan masa pra industri (atau pada 1850an).

Itu tidak sesuai dengan dua batas temperatur yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris dalam rangka mengendalikan perubahan iklim.

Kesimpulan ini didapat dari laporan yang dipublikasikan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Penelitian ini berdasarkan permodelan oleh Kantor Meteorologi Inggris (UK Met Office) dan para peneliti iklim dari 10 negara termasuk AS dan China.

Dalam riset sebelumnya, diperkirakan peluang satu tahun mencapai ambang batas kenaikan 1,5C hanya 20%.

Sedangkan penelitian terbaru menempatkan risiko tersebut mencapai 40%.

  • Suhu September 2020 adalah 'yang terhangat dalam catatan' di seluruh dunia
  • Cuaca ekstrem sebabkan kerugian besar pada 2020, mencapai setidaknya Rp1,4 kuadriliun
  • Ketika air terjun terbesar di Afrika berhenti mengalir karena krisis iklim

Peneliti senior dari Met Office, Leon Hermanson mengatakan kepada BBC News bahwa proyeksi perbandingan temperatur periode 1890-1900 menunjukkan peningkatan yang jelas.

"Artinya kita mendekati kenaikan suhu 1,5C - kita belum sampai, tapi sudah dekat," katanya.

"Waktu terus bergulir, tindakan nyata yang kita butuhkan sekarang."

Para peneliti menunjukkan bahwa meskipun satu dari lima tahun ke depan suhu udara 1,5 derajat C lebih tinggi dari level era pra industri, tapi ini akan terjadi sementara waktu.

Variabilitas alami, berarti dalam beberapa tahun suhu udara akan menjadi lebih dingin, dan mungkin perlu satu atau dua dekade lagi sebelum melampau batas 1,5C secara permanen.

Perjanjian Paris menetapkan tujuan untuk tetap menjaga suhu udara global yang meningkat tak lebih dari 2 derajat Celcius dan juga berusaha agar tak melewati 1,5C - dan bila kenaikan suhu terjadi hal itu diharapkan terjadi dalam rentang waktu yang panjang ketimbang dalam kurun setahun.

Menurut Dr Joeri Rogelj, direktur riset di Institute Grantham, Imperial College London, "pengumuman dari Met Offce mengenai 1,5C semestinya tak bisa disamakan dengan batas 1,5C dalam Perjanjian Paris".

"Tujuan Perjanjian Paris mengacu pada pemanasan global - bahwa, peningkatan temperatur bumi setelah kita menghitung variasi dari tahun per tahun (YoY)," jelasnya.

"Satu tahun mencapai 1,5C oleh karena itu bukan berarti Perjanjian Paris dilanggar, tapi itu tetaplah berita buruk.

"Hal ini mengatakan kepada kita, sekali lagi, bahwa tindakan kita mengendalikan perubahan iklim hingga saat ini sama sekali tidak cukup, dan emisi perlu segera dikurangi dengan cepat menuju nol untuk menghentikan pemanasan global".

Laporan penting dari panel perubahan iklim PBB pada 2018 menyoroti bagaimana dampak perubahan iklim bisa lebih parah ketika terjadi peningkatan suhu udara lebih besar dari 1,5C.

Saat ini, perkiraan bahkan dengan perjanjian-perjanjian baru mengenai pengurangan emisi gas rumah kaca, tak akan membendung kenaikan suhu udara bumi hingga 3C.

Sekretaris Jenderal WMO, Prof Petteri Taalas, mengatakan hasil penelitian terbaru itu "lebih dari sekadar statistik".

"Penelitian ini menunjukkan - dengan keterampilan ilmiah tertinggi - bahwa kita semakin secara terukur dan tak terelakan telah mendekati target terendah dari Perjanjian Paris mengenai Perubahan Iklim," jelasnya.

"Ini adalah panggilan untuk bertindak bahwa dunia perlu mempercepat komitmen untuk memangkas emisi gas rumah kaca dan mencapai karbon pada titik netral."

Praf Ed Hawkins, peneliti iklim di University of Reading, mengatakan kepada saya, jika prediksi terbaru itu terbukti benar, "maka ini bukan berarti kita telah melampaui batas Perjanjian Paris."

Dia menunjukkan, bahwa pernah terjadi kenaikan suhu udara hingga 1,5C pada bulan-bulan tertentu tahun 2016.

"Saat iklim memanas, kita telah mendapatkan bulan-bulan dengan kenaikan suhu di atas 1,5C, kemudian mengurutkannya, kemudian selama satu tahun penuh berada di atas 1,5C dan kemudian dua atau tiga tahun, dan kemudian hampir tiap tahun," kata Prof Hawkins.

Dia juga menggarisbawahi bahwa 1,5C bukanlah "angka ajaib yang harus kita hindari".

"Ini bukan bukanlah ujung dari sebuah jurang, ini lebih seperti lembah yang telah kita lalui, dan saat iklim memanas, efeknya semakin buruk.

"Kita seperti menetapkan garis di atas pasir untuk berusaha membatasi kenaikan suhu udara, tapi kita jelas-jelas perlu mengakui bahwa kita sedang melihat dampak nyata perubahan iklim di Inggris dan seluruh dunia, dampaknya akan terus berlanjut terus menjadi lebih buruk."

Laporan ini dikeluarkan jelang pertemuan perubahan iklim COP26, yang akan dihelat di Galsgow pada November mendatang.

Pertemuan ini bertujuan untuk mendorong cita-cita para pemimpin negara untuk mengatasi krisis iklim.

‘Kode merah bagi umat manusia’

Dampak merusak yang dilakukan oleh umat manusia terhadap iklim adalah "pernyataan fakta", kata ilmuwan PBB dalam sebuah studi penting.

Laporan itu mengatakan bahwa emisi gas yang membuat suhu Bumi menghangat saat ini kemungkinan akan melampaui batasan yang telah ditetapkan hanya dalam waktu 10 tahun.

Para penulis laporan ini juga menunjukkan bahwa kenaikan permukaan laut mendekati dua meter di akhir abad ini "tidak dapat terhindarkan".

Namun begitu, ada harapan baru bahwa pengurangan tajam emisi dari gas rumah kaca bisa menstabilkan kenaikan suhu.

Penilaian dari Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), terangkum dalam dokumen setebal 42 halaman dan dikenal dengan nama Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan.

Laporan ini membuka serangkaian laporan lain yang akan diterbitkan dalam beberapa bulan mendatang dan merupakan tinjauan besar yang pertama dari segi sains perubahan iklim sejak 2013.

Studi ini diluncurkan kurang dari tiga bulan sebelum pertemuan iklim penting di Glasgow, Skotlandia, COP26.

"Laporan Kelompok Kerja 1 IPCC yang diterbitkan hari ini adalah kode merah untuk umat manusia," kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.

"Jika kita menyatukan kekuatan sekarang, kita dapat menghindari bencana iklim. Tapi, seperti yang dijelaskan oleh laporan pada hari ini, tidak ada waktu untuk penundaan dan tidak ada ruang untuk alasan. Saya mengandalkan para pemimpin pemerintahan dan semua pihak terkait untuk memastikan COP26 berhasil."

Dengan nada yang keras dan tegas, dokumen IPCC menyatakan bahwa "tidak dipungkiri lagi, manusia telah membuat suhu meningkat di atmosfer, lautan, dan daratan".

Menurut Profesor Ed Hawkins dari Universitas Reading, Inggris, yang juga merupakan salah satu penulis laporan tersebut, para ilmuwan tidak bisa lebih jelas lagi.

"Ini adalah pernyataan yang memuat fakta, kita tidak bisa lebih yakin lagi; tidak bisa dipungkiri dan diperdebatkan, manusia telah membuat Bumi memanas."

Petteri Taalas, Sekjen Organisasi Meteorologi Dunia, berkata, "Meminjam istilah dalam olahraga, atmosfer kita telah terpapar doping, artinya kita telah melihat peristiwa ekstrem terjadi lebih sering dari sebelumnya."

Para penulis laporan menyebutkan, sejak 1970-an, suhu permukaan global telah meningkat lebih cepat ketimbang periode 50 tahunan lain, selama 2.000 tahun terakhir."
Gelombang panas sampai banjir

Pemanasan global ini "telah berdampak pada banyak cuaca dan peristiwa iklim ekstrem di semua wilayah di seluruh dunia".

Apakah itu gelombang panas seperti yang baru-baru ini menerjang Yunani dan bagian barat Amerika Utara, atau banjir seperti di Jerman dan China, "atribusi gelombang panas pada pengaruh manusia telah menguat" di satu dekade terakhir.

Fakta-fakta di laporan IPCC

  • Suhu permukaan global 1,09C lebih tinggi dalam sepuluh tahun antara 2011-2020 dibandingkan 1850-1900.
  • Lima tahun terakhir adalah suhu terpanas dalam sejarah sejak 1850.
  • Tingkat kenaikan permukaan laut baru-baru ini nyaris tiga kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 1901-1971.
  • Pengaruh manusia sangat mungkin (90%) menjadi alasan utama mencairnya gletser secara global sejak 1990-an dan penurunan jumlah es di Laut Arktik.
  • Pemanasan ekstrem termasuk gelombang panas "hampir pasti" telah menjadi semakin sering terjadi dan semakin intens sejak 1950-an, sementara peristiwa pendinginan semakin jarang dan tidak terlalu parah.

Laporan terbaru ini juga semakin menjelaskan bahwa pemanasan yang kita rasakan hingga hari ini telah merubah banyak sistem penunjang di planet kita, yang tidak dapat dikembalikan dalam jangka waktu ratusan hingga ribuan tahun.

Lautan akan terus menghangat dan semakin asam. Pegunungan dan gletser kutub akan terus mencair selama puluhan atau ratusan tahun.

"Konsekuensi ini akan terus berlanjut atau semakin buruk setiap kali Bumi semakin panas," kata Prof Hawkins.

"Dan untuk banyak konsekuensi di antaranya, tidak ada jalan untuk kembali."

Untuk persoalan kenaikan permukaan laut, para ilmuwan telah membuat model perkiraan untuk emisi dengan level berbeda-beda.

Meski begitu, kenaikan permukaan laut sekitar dua meter di akhir abad ini tidak bisa terhindarkan -- juga kenaikan lima meter pada 2150.

Dengan hasil seperti ini, meski kemungkinannya kecil, akan mengancam kehidupan jutaan orang yang hidup di wilayah pesisir dengan banjir pada 2100.

Aspek terpenting dalam laporan ini adalah perkiraan kenaikan suhu dan apa artinya bagi keselamatan umat manusia.

Nyaris semua negara di dunia turut menyepakati tujuan Perjanjian Iklim Paris pada 2015.

Pakta ini bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2C di abad ini, dan melanjutkan usaha untuk menekan kenaikan di bawah 1,5C.

Laporan baru ini menyatakan, dari semua skenario emisi yang diperkirakan oleh para ilmuwan, kedua target ini tidak akan tercapai abad ini, kecuali pengurangan karbon besar-besaran dilakukan.

Para saintis juga meyakini kenaikan suhu sebesar 1,5C akan terjadi pada 2040 dalam semua skenario. Jika emisi tidak juga dikurangi dalam beberapa tahun, kemungkinan ini akan terjadi lebih cepat.

Prediksi ini tertulis dalam laporan khusus IPCC pada 1,5C di 2018, dan studi terbaru ini mengkonfirmasinya.

"Kita akan mencapai satu setengah derajat di tahun-tahun terpisah jauh lebih awal. Kita telah melihatnya dalam dua bulan selama El Niño pada 2016," ujar Prof Malte Meinshausen, salah satu penulis IPCC dari Universitas Melbourne di Australia.

Apa itu IPCC?

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change) adalah badan PBB yang didirikan pada 1988 untuk menganalisis ilmu pengetahuan seputar perubahan iklim.

IPCC memberi informasi berbasis sains kepada para pemimpin negara yang bisa mereka gunakan untuk merancang kebijakan tentang pemanasan global.

Laporan Penilaian tentang perubahan iklim yang komprehensif pertama mereka dirilis pada 1992. Keenam laporan dalam seri tahun ini akan dibagi menjadi empat volume. Laporan terbaru - dari para ilmuwan di Kelompok Kerja 1 IPCC - adalah volume pertama.

"Perkiraan dalam laporan terbaru ini menyebutkan pertengahan 2034, namun ketidakpastiannya sangat besar dan berkisar antara sekarang atau tidak sama sekali."

Konsekuensi suhu memanas melebihi 1,5C dalam periode beberapa tahun akan menyebabkan dampak luar biasa untuk dunia yang telah mengalami peningkatan pesat dalam kejadian iklim ekstrem, dengan kenaikan suhu sebesar 1,1C sejak masa pra-industri.

"Kita akan melihat gelombang panas yang lebih intens dan lebih sering," kata Dr Friederike Otto dari Universitas Oxford, Inggris, yang juga merupakan salah satu penulis laporan IPCC.

"Dan kita juga akan melihat peningkatan peristiwa hujan deras dalam skala global, termasuk peningkatan kekeringan di beberapa wilayah di dunia."

Jadi, apa yang bisa kita lakukan?

Meskipun laporan ini lebih jelas dan tegas tentang efek buruk pemanasan global, para saintis mengatakan lebih berharap, bahwa jika kita dapat mengurangi emisi global hingga setengahnya pada 2030, dan mencapai net zero atau nol pada pertengahan abad ini, kita dapat menghentikan dan mungkin membalikkan kenaikan suhu.

Mencapai net zero atau nol bersih berarti melibatkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak mungkin menggunakan teknologi bersih, lalu mengubur pelepasan karbon yang tersisa dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, atau menyerapnya dengan menanam pohon.

"Pemikiran sebelumnya adalah, kita bisa mengalami kenaikan suhu bahkan setelah net zero," kata penulis laporan yang lain, Prof Piers Forster dari Universitas Leeds, Inggris.

"Tapi sekarang kita berharap alam berbaik hati kepada kita dan jika kita mampu mencapai net zero, kita berharap tidak akan ada lagi kenaikan suhu; dan jika kita bisa mencapai net zero untuk gas-gas rumah kaca, kita pada akhirnya akan mampu membalikkan sebagian kenaikan suhu tersebut dan mengalami pendinginan suhu."

Lima dampak di masa depan

  • Suhu global akan 1,5C lebih panas di atas level 1850-1900 pada 2040 dengan semua skenario emisi.
  • Kutub Utara kemungkinan akan kehabisan es pada bulan September setidaknya satu kali sebelum 2050, dalam semua skenario.
  • Akan ada peningkatan kejadian ekstrem berkaitan dengan iklim dengan skala "yang belum pernah terjadi sebelumnya" bahkan dengan kenaikan suhu sebesar 1,5C.
  • Peristiwa kenaikan permukaan laut ekstrem yang terjadi sekali dalam seabad di masa lalu diproyeksikan terjadi setidaknya setiap tahun di lebih dari setengah lokasi pengukuran ombak pada 2100.
  • Kemungkinan besar akan ada peningkatan dalam peristiwa kebakaran di banyak wilayah.

Meskipun proyeksi masa depan pemanasan global sangat jelas dalam laporan ini, dan banyak dampak yang tidak mungkin terhindarkan, para penulis memperingatkan tentang fatalisme.

"Menurunkan pemanasan global dapat meminimalkan kemungkinan kita mencapai titik kritis ini," kata Dr Otto. "Kita belum tamat."

Titik kritis yang disebutkannya merujuk pada ketika sebagian sistem iklim Bumi mengalami perubahan begitu besar karena pemanasan yang terus terjadi.

Bagi para pemimpin politik, laporan ini adalah salah satu dari sekian banyak peringatan tentang pemanasan global. Namun karena dikeluarkan mendekati COP26 yang akan dilaksanakan pada November, laporan ini memberi bobot ekstra. (*)

Tags : Pertanian, Indonesia, Perubahan iklim, Kesehatan, Bencana alam, Kekeringan,