JAKARTA - Di tengah upaya sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Petisi 100 meminta pemakzulan Presiden Joko Widodo, pakar hukum tata negara dan pengamat politik mengaku tidak yakin hal itu dapat dilakukan.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan pemakzulan presiden harus melewati proses yang tidak sederhana, mulai dari penentuan alasan pemberhentian presiden, hingga proses panjang yang harus dilewati.
“Jadi secara substansi [alasan pemakzulan] bukan hal sederhana, dan secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus ke DPR, MK, dan MPR,” kata Zainal, Kamis (11/01).
Alasan lainnya, menurut peneliti senior pusat riset politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor, karena mayoritas partai politik di parlemen masih mendukung pemerintahan Jokowi.
Sebelumnya, sejumlah masyarakat dalam Petisi 100 mengunjungi Menko Polhukam Mahfud MD untuk meminta pemakzulan Jokowi.
Salah satu anggota Petisi 100, Faizal Assegaf menuding pemerintahan Jokowi melakukan "praktik kekuasan yang korup dan berwatak dinasti politik".
“Tujuan mencegah kejahatan politik cawe-cawe Jokowi dan keluarga intinya… Cara untuk menghentikan intervensi kekuasaan Jokowi dalam Pilpres adalah pemakzulan,” kata Faizal dalam keterangannya persnya.
Apa syarat pemakzulan presiden?
Terdapat tiga alasan seorang presiden dapat dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatannya.
Pertama, kata pakar hukum tata negara dari Universitas Gadja Mada Zainal Arifin, adalah presiden melakukan pelanggaran pidana, seperti suap, korupsi, penghianatan kepada negara, dan tindak pidana berat lainnya.
Selanjutnya, imbuh Zainal, presiden melakukan perbuatan tercela.
Zainal melihat frasa perbuatan cela diambil dari aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat, namun bedanya pemaknaan atas kejahatan itu di AS lebih spesifik daripada Indonesia.
“Misal skandal Bill Clinton dengan Lewinsky itu bukan karena hubungan seksual, tapi karena Clinton berbohong di bawah sumpah. Saya tidak tahu kalau di Indonesia perbuatan tercela diterjemahkannya seperti apa karena perdebatannya bisa panjang,” kata Zainal.
Terakhir adalah jika presiden tidak lagi memenuhi syarat untuk memimpin negara.
Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Melihat dari ketiga alasan ini, apakah Jokowi bisa dimakzulkan?
Zainal menjawab, “bisa iya, bisa tidak. Apakah misalnya presiden cawe-cawe dalam pemilu itu bisa dianggap sebagai perbuatan pidana atau perbuatan tercela.
“Secara substansi perdebatannya ada dan panjang, walaupun tentu saja sangat mungkin dikualifikasi terjadi pelanggaran presiden karena selama ini sudah banyak sekali terakumulasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan itu, banyak sekali sebenarnya," jelas Zainal.
"Cuma apakah bisa dikualifikasikan ke tiga jenis tadi itu pasti ada perdebatannya,” ujarnya kemudian.
Bagaimana proses pemakzulan presiden?
Selain penentuan alasan yang tidak sederhana, Zainal menambahkan, proses pemakzulan pun juga memakan waktu yang panjang dan lintas lembaga.
Zainal menjelaskan, proses pemakzulan dimulai dari suatu penyelidikan yang dilakukan DPR, atau disebut hak angket, atas suatu tuduhan pelanggaran pidana yang dilakukan presiden.
Setelah panitia khusus DPR itu melakukan penyelidikan dan menemukan kesimpulannya, DPR kemudian mengeluarkan hak menyatakan pendapat yang menyebut bahwa presiden harus diberhentikan.
Pendapat ini kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa, apakah benar presiden melakukan pelanggaran atau sekedar pernyataan politik saja.
Pengajuan permintaan DPR ke MK ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan minimal dua per tiga jumlah anggota DPR dalam sidang paripurna.
Jika MK memutuskan untuk menolak maka perkara gugur. Sebaliknya, jika MK menerima maka pendapat ini diserahkan kembali ke DPR yang kemudian menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian ke MPR.
Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga per empat dari jumlah anggota.
“Jadi secara substansi bukan hal sederhana, secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus matang di DPR, dikirim ke MK untuk memutuskan iya, baru ke MPR,” kata Zainal.
Apakah situasi saat ini berbeda dengan pemakzulan Gus Dur?
Zainal mengatakan situasi saat ini berbeda dengan proses pemakzulan terhadap Abdurrahman Wahid, atau dikenal Gus Dur, sebagai presiden pada tahun 2001.
Saat itu, katanya, MPR memberhentikan Gus Dur hanya melalui sidang istimewa, setelah presiden keempat Indonesia itu mengeluarkan maklumat untuk membubarkan legislatif dan membekukan Partai Golkar.
Dosen hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Bambang Sutiyoso dalam tulisannya berjudul Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pemakzulan Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Di Indonesia mengatakan pemakzulan telah terjadi beberapa kali sejak Indonesia merdeka.
“Presiden pertama, Soekarno, dimakzulkan setelah menjadi presiden selama dua puluh tahun. Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD 1945, meskipun MPR yang menurunkannya secara resmi.
Hal itu terjadi karena secara de facto Soeharto memegang kekuasaan negara. Pemakzulan ini dengan cara ‘kudeta lembut’,” tulis Bambang.
Kemudian, kata Bambang, adalah Presiden Soeharto yang dimakzulkan dengan paksaan halus setelah secara de facto rakyat tidak mendukungnya.
“Namun, Soeharto 'tahu diri’, dia memakzulkan dirinya sendiri. Itulah sebabnya beliau sangat cerdik sehingga lepas dari jerat hukum untuk dibawa ke pengadilan,” tambahnya.
Apakah mungkin Jokowi dimakzulkan?
Merujuk pada sisi substansi dan proses pemakzulan, Zainal Arifin mengatakan terdapat beberapa prasyarat yang memungkinkan Jokowi dapat dilengserkan dari jabatannya atau tidak.
Pertama, adalah kemauan politik. “Partai-partai di DPR mau tidak mengkonstruksi pelanggaran seperti apa, lalu memulai proses dengan membentuk pansus dan hak angket,” kata Zainal.
Kedua adalah dukungan dari partai di parlemen, apakah jumlahnya memenuhi syarat untuk dikeluarkannya hak angket.
“Sebenarnya pelanggaran Pak Jokowi ini sudah cukup banyak. Apakah bisa dikualifikasikan ke arah sana? Bisa. Tapi apakah parpol mau melakukan itu, dari dulu sampai sekarang tidak.”
“Apalagi pemilu ini mungkin akan dua putaran, artinya konfigurasi politik bisa terbentuk baru di putaran kedua. Kalau dianggap Jokowi pro Paslon 02 maka belum tentu partai-partai di paslon 01 akan mendukung 03 atau sebaliknya, di putaran kedua.
Senada, peneliti politik BRIN Firman Noor melihat bahwa partai-partai parlemen kini masih mendukung pemerintahan Jokowi, sehingga kemungkinan bagi mereka untuk memulai proses pemakzulan sangat kecil.
“Selain itu parpol juga akan berhitung dampak bagi mereka di tengah konstelasi pemilu. Pemakzulan akan menciptakan situasi politik yang rawan dan tidak stabil, ditambah lagi membentuk pemerintahan baru akan menguras energi dan berpotensi memicu konflik,” kata Firman.
“Jadi sangat kecil kemungkinan terjadi pemakzulan. Ini hanya dinamika atau wacana publik saja,” katanya.
Selain itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari melihat waktu yang semakin mendekati pemilu pada 14 Februari 2024 juga menjadi pertimbangan apakah pemakzulan dibutuhkan dan diperlukan.
“Tapi kalau melanggar konstitusi hampir bisa dikatakan tidak ada pilihan lain ya memang ketentuan utama pemakzulan selalu memungkinkan,” ujar Feri.
Siapa yang mewacanakan pemakzulan Jokowi dan mengapa?
Permintaan pemakzulan Jokowi muncul dari sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Petisi 100.
Salah satu anggotanya, Faizal Assegaf mengatakan bahwa parlemen yang mesti berperan menyuarakan hak dan kedaulatan politik rakyat justru "diperbudak oleh praktik kekuasaan Jokowi yang korup dan berwatak dinasti politik".
Selain itu, Faizal juga menyinggung isu kecurangan dalam pilpres yang dia sebut kian meresahkan.
“Tujuan mencegah kejahatan politik cawe-cawe Jokowi dan keluarga intinya… Cara untuk menghentikan intervensi kekuasaan Jokowi dalam Pilpres adalah pemakzulan. Itu adalah pendapat politik yang sangat bergantung pada konsolidasi partai di parlemen,” kata Faizal.
Beberapa orang dalam Petisi 100 itu bertemu dan menyampaikan pandangannya dengan Menko Polhukam Mahfud MD.
"Mereka minta pemakzulan Pak Jokowi, minta pemilu tanpa Pak Jokowi," kata Mahfud, Selasa (09/01).
"Saya bilang kalau urusan pemakzulan itu sudah didengar orang, mereka sampaikan di beberapa kesempatan, dan itu urusan parpol dan DPR, bukan Menko Polhukam," kata Mahfud yang kini menjadi calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo.
Mahfud juga mengatakan bahwa pemakzulan Jokowi sebelum Pemilu 2024 juga adalah hal yang tak mungkin terjadi.
“Pemilu sudah kurang 30 hari, (pendakwaan) di tingkat DPR saja tidak bakal selesai untuk mencari sepertiga (anggota) DPR yang memakzulkan, belum lagi sidangnya (di Mahkamah Konstitusi)," kata Mahfud.
Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan DPR masih dalam masa reses dan belum mendapatkan masukan terkait wacana pemakzulan Jokowi itu.
"Kita jalankan konstitusi sesuai aturan yang ada. Jadi aspirasi silakan disampaikan, tapi kita tetap menjaga situasi jelang pemilu ini tetap damai, terjaganya netralitas semua aparat penegak hukum," kata Puan yang juga pengurus PDI Perjuangan, Kamis (11/01).
"Kita sama-sama menjaga agar pesta demokrasi yang akan datang berjalan jujur dan adil," ujarnya kemudian.
Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo menilai proses pemakzulan bukanlah lewat menteri.
"Kan pemakzulan itu ada urutannya. Tidak begitu. Kan ada proses politiknya... Itu di parlemen kan, saya kira bicaranya mesti di parlemen, alasannya apa. Saya belum tahu itu," kata Ganjar, Rabu (10/01).
Sementara itu, anak Presiden Jokowi yang kini menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka tidak berkomentar panjang terkait adanya permintaan pemakzulan itu. "Ya monggo, kalau ada masukan dari warga, evaluasi, kita tampung nggih (ya)," kata Gibran di Solo, Kamis (11/01).
Kemudian, cawapres 01 yang mendampingi Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa belum ada satu pihak pun di legistatif yang memproses hal itu.
"Pemakzulan, saya belum mendengar langsung siapa saja. Tapi, dan saya kira nggak ada satupun yang sedang memproses (di DPR RI)… Karena kalau ada pemakzulan itu melalui DPR RI. Jadi DPR memproses (jika ada). Namun, sampai hari ini tidak ada," ujar Cak Imin. (*)
Tags : Politik, Kebebasan berekspresi, Pilpres 2024, Pemilu 2024, Populisme,