Pemilhan Kepala Daerah [Pilkada] merupakan bagian dari proses demokrasi untuk mencetak pemimpin daerah yang merakyat.
RIAUPAGI.COM, PEKANBARU - H Darmawi Aris SE, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] memperkirakan penilaian yang terjadi di Riau, sejauh ini Ia menilai Pilkada belum menghasilkan kepala daerah yang merakyat dan berprestasi untuk melindungi masyarakat dan alam.
"Pilkada dilakukan secara langsung, agar hasilnya mampu memberikan manfaat bagi rakyat dan lingkungan hidup. Namun kenyataannya Pilkada yang abai kepada rakyat dan alam besar kemungkinan karena menumpang pada kepentingan korporasi. Hampir semua kandidat Pilkada di daerah kaya sumber daya alam," kata H Darmawi Aris SE, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] memperkirakan penilaian yang terjadi di Riau, Jumat (4/3).
Dia menilai ada persengkokolan dengan korporasi untuk memperoleh sokongan dana untuk pembiayaan Pilkada. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modal. Misalnya, korupsi dan gratifikasi. Penerimaan-penerimaan yang melanggar hukum (seperti illicit enrichment dan kickback) kemudian dilumrahkan oleh kepala daerah terpilih.
Darmawi menilai, uang merupakan sumber utama untuk politik. Sumber uang berasal dari pencari lahan skala besar dan pemilik sawit luas. Pilkada kemudian sebagai tempat pertemuan kekal antara politisi, birokrat dan bisnis. "Sebut saja seperti bayang-bayang yang terjadi dengan mantan Bupati Inhu Yopi Arianto, untuk menggambarkan bagaimana hubungan tali-temali antara kandidat kepala daerah dalam Pilkada dengan perusahaan sawit dalam bingkai koruptif. Namun isu-isu dirinya menerima suap dan gratifikasi dari perusahaan sawit hingga kini tak terbukti oleh hukum hingga dirinya dipastikan bebas dari jeratan hukum," kata dia menggambarkan yang terjadi di Inhu.
Menurutnya, kasus lainnya juga banyak dan serupa di daerah Riau. Sepanjang 2004-2019, Komisi Pemberantasan Korupsi telah memproses 114 kepala daerah: 17 gubernur, 74 bupati dan 23 Wali Kota. Orang kuat lokal Orang kuat dalam terminology Joel S. Migdal (2004) merupakan suatu sistem jaringan antara politisi, birokrat dan pengusaha hingga memiliki kontrol sosial sangat kuat di daerah. "Aliansi yang paten ini kemudian ikut menguasai sumber-sumber daya lokal seperti tanah dan keuangan," sebutnya.
Desentralisasi membuka ruang bagi mereka menjadi pemain bebas untuk mengendalikan politik ekonomi di tingkat daerah. "Akhirnya demokrasi hanya digenggam oleh orang kuat lokal," ujarnya.
Darmawi menilai, pengusaha sawit, hidup dalam bayang-bayang rezim lokal dan berdiri antara masyarakat dan petani pemilik tanah dan elit. Mereka juga memiliki kontrol sosial serta politik yang kuat dan menjadi bagian aliansi lokal sebagai predator tanah rakyat. Kalau mengutip seperti disebutkan Yashiro Kunio (1990); mereka kapitalis semu, yakni pengusaha yang hidup karena koneksi dengan pemerintah. "Sepertinya, antara politikus dan pengusaha seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, membutuhkan satu sama lain," kata Darmawi berumpama.
Menurutnya, politikus melalui parpolnya membutuhkan dana untuk merebut pemerintahan. Sementara pengusaha butuh politikus yang mengelola negara agar bisnis dan usahanya tetap berjalan lancar atau makin besar. Setelah mereka berkuasa, pengusaha dapat memaksa pemerintah untuk mendapatkan konsesi lahan. Pilkada mestinya membawa perubahan bagi masyarakat. Namun, calon kepala daerah yang dibiaya oleh korporasi hanya akan menjadi benalu yang menempel pada pohon bisnis.
Kepala daerah sebetulnya memiliki kedaulatan untuk menata bisnis secara adil dan memuliakan masyarakat sebagai mandat politik demokrasi. Jebakan batman sawit membuat pemimpin di daerah tidak banyak melakukan inovasi. Kepala daerah terjebak pada kesibukan dan rutinitas pemberian izin sawit bagi cukong atau pengusaha hitam. Akhirnya, inovasi untuk daerah hampir nihil dan birokrasi menjadi tidak melayani rakyat.
Pertumbuhan izin sawit setelah Pilkada sangat pesat. Ruang hidup masyarakat dibatasi oleh konsesi sawit. Secara nasional tahun 2015, luas Izin Usaha Perkebunan (IUP) mencapai 18.391.601 hektar (FWI, 2019). Kenaikan jumlah izin konsesi naik pesat pada 2020. IUP sudah mencapai 20.004.299 hektar di 23 provinsi (Kementan 2019). Terjadi peningkatan signifikan dalam penerbitan IUP untuk satu periode kepala daerah seluas 1,7 juta hektar. Eskalasi izin sawit tersebut nyata-nyata dipicu oleh keterbatasan dana para calon kepala daerah.
Alhasil, Darmawi memperkirakan, kepala daerah terpilih bisa dipastikan memburu dana dari konsesi perkebunan. Lagi-lagi, contoh yang dapat diambil dari beberapa kasus korupsi tentang hal ini adalah korupsi mantan Bupati Kutai Kertanegara, kasus di Provinsi Riau serta Kabupaten Buol Sulawesi Tengah, di mana para kepala daerah memperoleh dana dari perusahaan sawit. Bupati Rita di Kutai Kertanegara setelah dilantik pada tahun 2015 memuluskan perizinan PT Sawit Golden Prima seluas 16.000 hektar. Rita mendapat dana sejumlah Rp 6 miliar. Sementara Gubernur Riau Annas Makmun ditangkap KPK karena mendapatkan dana suap dari PT Duta Palma Group tahun 2014 dengan tujuan untuk merubah status Kawasan Hutan menjadi Areal Penggunaan Lainnya dan menerima uang sebesar Rp 2 miliar.
"Annas tidak sampai satu tahun menjabat," kata dia.
Inilah karya-karya pertautan bos lokal berkaitan dengan izin sawit, sebutnya, marjinalisasi masyarakat kuatnya persekutuan orang kuat lokal dan pengelola pemerintahan lokal, berdampak pada tergusurnya wilayah kelola masyarakat akibat luasnya konsesi izin. Bandingkan misalnya, di Provinsi Riau, tutupan sawit seluas 3,2 juta hektar (Madani, 2019), pertambangan 310 ribu hektar, konsesi hutan tanaman industri 1,9 juta hektar, dan kawasan lindung 3.3 juta hektar. Kumulasi luasan tersebut memakan hampir menguasai luas wilayah Riau yang hanya 8,7 juta hektar.
"Banyak rakyat dan komunitas yang terjadi di Riau dimarjinalkan. Wilayah kelola masyarakat adat yang dimiliki secara turun-temurun digusur seketika oleh secarik kertas bernama IUP dan HGU (Hak Guna Usaha) yang diberikan sewenang-wemang oleh kepala daerah. Begitupun Petani kelapa sawit dikebiri dalam skema kemitraan oleh perusahaan perkebunan," kata Darmawi menilai.
Menurutnya, kepala daerah cendrung abai membela petani sawit. Belum lagi izin yang ikut menggunduli hutan. Perebutan wilayah kelola di masa mendatang dapat menghadirkan konflik sosial antara perusahaan dan masyarakat serta antara masyarakat dan negara. Sebagaimana konflik yang terjadi di Indragiri Hulu. Lahan milik masyarakat adat suku Talang Mamak mulai digusur oleh Izin Usaha perusahaan. Pemprov Riau yang memiliki inovasi pembangunan hijau dengan indikator capaian belum memadai. "Pada hal jika dilakukan dan dimotori dengan baik program ini tentu menyelamatkan masyarakat lokal," katanya.
Kepala daerah terpilih hendaknya tidak hanya menonjolkan kemampuan memberi izin, kata Darmawi lagi. Akan tetapi, mengedepankan inovasi pembangunan daerah tanpa harus mengeksploitasi sumberdaya alam. Tulang punggung daerah adalah kekuatan warga untuk dimobilisasi guna menghasilkan beragam inovasi bagi pertumbuhan ekonomi di daerah. "Ini merupakan salah satu misi mengapa masyarakat ikut memilih pemimpinnya secara langsung. Kepala daerah terpilih, perlu menjaga masyarakat dan lingkungan agar menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat marjinal," harapnya.
Dengan kata lain, tambah Darmawi, kepala daerah harus mampu menyelesaikan ketimpangan penguasaan sumber daya alam yang kebanyakan dikuasai oleh korporasi. Transformasi ekonomi di wilayah yang kaya akan sawit hanya akan mampu dihadirkan oleh kepala daerah yang bersih dari kepentingan oligarki korporasi sawit dan sektor bisnis besar lainnya."Tampa itu mustahil terjadi," ujarnya. (*)
Tags : Lembaga Melayu Riau Darmawi Aris, Pilkada, Kepala Daerah yang Merakyat dan Berprestasi, Kepala Daerah Melindungi Masyarakat dan Alam,