MUNGKIN kita hanya mengenalnya sebagai tanaman yang digunakan untuk perlombaan panjat pinang saat peringatan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus. Namun sejatinya, sejarah pohon pinang membentang ribuan tahun lamanya - teramat penting hingga diabadikan menjadi nama banyak tempat, serta perlambang penyambutan dan kehangatan.
Pinang adalah jenis palem-paleman berpokok tunggal yang bisa menjulang hingga dua puluh lima meter. Buahnya akan memerah atau oranye bila sedang ranum.
Buah pinang digunakan dalam tradisi di hampir seluruh Asia Tenggara paling sedikit sejak abad ketujuh, kalau menurut sumber-sumber China.
Kegiatan menginang juga terekam dalam relief Borobudur. Dalam tradisi itu, buah pinang diiris-iris dan dikunyah-kunyah bersama dengan bahan lain - misalkan sirih, gambir, kapur, pala, atau tembakau - hingga mulut memerah. Inilah tradisi menginang atau menyirih.
Biji pinang mengandung zat psikoaktif keempat yang paling lazim ditemukan di dunia setelah nikotin, alkohol, dan kafein.
Pinang dalam batas-batas tertentu juga digunakan untuk mengobati depresi, skizofrenia, kejang yang semuanya berhubungan dengan sistem saraf pusat.
Inilah yang mungkin jadi alasan kenapa tradisi ini, meski telah berkurang drastis, masih dilakukan oleh sepersepuluh populasi manusia di dunia, karena jadi sumber kenikmatan.
Pinang juga hadir dalam berbagai ritual di banyak bagian Nusantara, mulai dari kelahiran sampai dengan kematian.
“Setiap kali ada pernikahan, sirih pinang itu jadi benda yang harus ada di tempat itu. Ada juga yang mewajibkannya sebagai mas kawin atau mahar,” kata Nazaruddin, linguis dari Universitas Indonesia.
Karena itu lah, hingga sekarang kita menyebut prosesi melamar dengan kata “meminang.”
Kita juga mengenal banyak nama tempat yang terkait dengan pinang: Ada Tanjung Pinang, Pangkal Pinang, Sungai Pinang. Di Malaysia kita mengenal Penang.
“Ini menurut saya bisa membuktikan bahwa obyek ini sudah jadi bagian budaya dari masyarakat dari sekitar Asia Tenggara,” tutup Nazar seperti dirilis BBC News Indonesia.
'Pohon kehidupan'
Nazar masih mondar-mandir ke timur Nusantara untuk merekam dan mempelajari bahasa-bahasa, termasuk di Kampung Saweru Kepulauan Yapen, Papua.
Di Papua dan sebagian timur Nusantara, tradisi menginang masih berlaku dan dilakukan di sembarang waktu.
Menginang itu menyehatkan gigi dan gusi, membantu orang-orang tetap terjaga dan semangat, juga teman saat bekerja - baik di hutan maupun di dalam perahu di lautan, kata Adowi dan Karori, tetua di kampung Saweru yang menjadi narasumber penelitian Nazar.
Menginang boleh dilakukan siapa saja, kapan saja, dari awal kehidupan hingga kematian.
“Kalau (seseorang) sakit-sakitan, (tapi) masih menginang, nah dia (masih ada harapan) tidak meninggal. Tapi kalau dia sudah lepas rokok, lepas pinang, berarti tandanya (kematian) sudah kelihatan,” tukas Nazar.
Selain dikaitkan dengan mitos-mitos penciptaan, pinang juga diberi atribut kultural semacam: buah yang dipetik tidak boleh langsung dijatuhkan, tapi harus dibawa turun oleh pemetiknya.
Karena itu, buah pinang tak boleh diambil pakai galah atau bambu.
Kalau memang tak terhindarkan, dan pinang dipanen menggunakan galah kemudian jatuh ke tanah, maka buah pinang harus segera diambil dan dibawa mengelilingi pohon tiga kali agar - konon - tidak menyebabkan pusing atau keracunan.
“Di Sumba Barat dan Timur, hasil kunyahan itu dibuang ke tanah. Mereka percaya itu membawa kesuburan. Sirih dan pinang itu simbol laki-laki dan perempuan,” kata Valentina Beatrix Sondaag, peneliti di Museum Nasional.
Di Museum Nasional kita bisa menjumpai bagaimana tradisi menginang memicu kreativitas manusia Nusantara.
Para petani atau peladang yang keluar masuk hutan mengembangkan wadah-wadah pekinangan dari anyaman pandan atau lontar dengan motif yang amat detail.
Wadah lainnya berbentuk tabung dengan manik-manik warna-warni. Ada pula wadah yang terbuat dari bambu dengan ukir-ukiran floral yang pasti butuh kesabaran dan kecermatan tinggi untuk membuatnya.
“Wadah ini memudahkan mereka traveling. Jadi ini seperti kita kalau kalau sedang jalan, lalu beli kopi Starbuck. [Pinang] bisa menahan lapar lho!” kata Valentina.
Di lantai empat Museum Nasional, kita bisa menjumpai wadah-wadah pinang alias pekinangan dari logam atau emas dan berhiaskan batu permata.
Ada yang berasal dari istana di Bali, Lombok, dan Palembang.
Satu set pekinangan para raja dan bangsawan ini biasanya terdiri dari cupu alias wadah kecil untuk menyimpan bahan-bahan, kacip atau gunting, dan paidon atau tempat untuk meludah.
Pangeran Diponegoro dan kebiasaan menginang
Kebiasaan menginang juga diam-diam merasuk ke orang-orang Belanda. Lewat kawin campur yang melahirkan golongan indo, menginang diadopsi di rumah-rumah tangga Belanda, bahkan sampai ke rumah resmi gubernur.
Inggris yang berkuasa di Nusantara pada awal abad ke-19 mulai mengikis kebiasaan itu.
Tapi ada satu orang yang gemar menyirih dan bikin pusing Belanda. Dialah Pangeran Diponegoro.
“Waktu Diponegoro ditahan di Stadhuis, salah satu kegiatan sehari adalah mengunyah sirih,” kata Peter Carey, empu yang telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk meneliti sang Pangeran.
Untuk kebiasaan ini, kata Peter, Diponegoro mengutus anak buahnya untuk membeli pinang secara rutin. Ongkosnya 82 gulden.
“Belanda mencatat pengeluaran dengan tekun untuk meminta kembali dari Keraton Yogya yang membiayai tunjangan bulanan Diponegoro,” tukas Peter.
Diponegoro adalah pangeran Jawa terakhir yang melancarkan perang total terakhir di Jawa. Perang ini merenggut lebih dari 200 ribu nyawa dan menghancurkan lebih dari seperempat dari total lahan pertanian di Jawa dalam waktu lima tahun pergolakannya.
Lewat perjanjian licik, Diponegoro ditangkap lalu dibawa ke Stadhuis Batavia – yang sekarang jadi Museum Sejarah Jakarta.
Ia menghabiskan 26 hari di dua kamar yang pengap dan sumpek, yang jadi Kamar Diponegoro sekarang, sebelum berangkat ke pembuangannya di Manado.
Saking tak bisa lepasnya dari kebiasaan menginang, Diponegoro meminta pengawal di kapal untuk membeli suplai sirih pinang, karena persediaannya habis atau busuk, menurut Peter.
“Waktu kapal kira-kira sejajar dengan Gresik atau Surabaya Diponegoro dia minta kapten kapal membeli di Sedayu,” kisah Peter.
Kapten kapal menolak, “Sebab ini pelayaran rahasia. Dan kalau orang di Surabaya di dermaga sudah tahu ada Diponegoro di salah satu kapal, geger penduduk Surabaya.”
Hingga menjelang akhir hayatnya, Diponegoro masih setia menginang.
“Dari keluarga di Makassar kita tahu bahwa Diponegoro sangat gemar menginang. Dan dia punya dua lap dari pola paisley, yang sangat terkenal dari Skotlandia. Yang dia pakai untuk mencuci mulut,” kata Peter.
“Seumpama kita ingin tahu DNA Diponegoro kita bisa ambil DNA dari lap itu,” ia berkata.
Diponegoro tak cuma dijadikan ikon kebangkitan nasional. Maestro-maestro perupa nusantara seperti Raden Saleh, Sudjonono, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan pernah mengambil figurnya dalam lukisan-lukisan monumental.
Diponegoro diabadikan dalam patung, nama laskar militer, hingga sajak sohor Chairil Anwar.
“Dia diakui oleh semua pihak. Pihak nasionalis: Sebab dia orang kejawen. Pihak komunis: Sebab dia bahu-membahu bersama wong cilik. Dan juga orang Islam,” lanjut Peter.
Salah satu organisasi Islam terbesar di nusantara, Muhammadiyah, juga menjadikan Diponegoro sebagai ikon dalam poster kongresnya di Yogyakarta.
“Jadi di satu sudut Islam yang saleh, di sudut lain seorang seorang kejawen yang tulen,” tutup Peter. (*)
Tags : Pinang, Pohon Pinang Memiliki Sejarah, Pinang Terus Dilestarikan,