JAKARTA - Netralitas Tim Seleksi komisioner baru Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipertanyakan karena diisi sejumlah orang yang diduga berhubungan erat dengan pemerintah dan partai politik tertentu.
Tudingan itu dibantah tim seleksi yang menyebut keputusan mereka akan diambil secara bersama-sama, tanpa didominasi satu atau dua orang anggota. Adapun DPR, yang juga akan berperan dalam penyiapan berbagai hal terkait pemilu, menjamin para komisioner baru KPU tidak dapat main mata dan menguntungkan pihak tertentu.
Lantas dapatkah pemilu tahun 2024 benar-benar berlangsung bebas dan adil?
Pangkal polemik ini adalah keputusan Presiden Joko Widodo menjadikan Juri Ardiantoro sebagai Ketua Tim Seleksi (Timsel) Komisioner KPU. Juri memang memiliki rekam jejak di bidang kepemiluan. Dia pernah menjabat sebagai komisioner KPU periode 2012-2017.
Namun netralitasnya sebagai pimpinan tim seleksi diragukan sebagian pemerhati pemilu karena pernah terlibat dalam Tim Kampanye Joko Widodo-Ma'ruf Amin pada pemilihan presiden tahun 2019.
Independensi tim seleksi ini krusial karena mereka akan memilih calon penyelenggara pemilu yang sarat pertarungan kepentingan, kata Hadar Navis Gumay, anggota Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu 2024. "Kalau tim ini terperangkap preferensi pilihan yang subjektif dan tidak bisa lepas dari kelompok atau jaringan mereka berasal, publik akan mendapatkan anggota KPU yang berpotensi besar menyimpang," kata Hadar.
Merujuk pasal 22 ayat (3) UU 7/2017 tentang Pemilu, Timsel KPU dibentuk presiden dan terdiri dari tiga perwakilan pemerintah serta masing-masing empat orang dari unsur akademisi dan masyarakat. Posisi Juri Ardiantoro sebagai ketua tim seleksi disayangkan oleh koalisi kawal pemilu karena jabatan itu biasanya diberikan kepada anggota yang berasal dari pihak masyarakat atau akademisi.
Ketua Timsel KPU-Bawaslu tahun 2016, misalnya, dijabat Saldi Isra. Ketika itu Saldi berstatus akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Andalas. Mereka juga mempertanyakan keputusan Jokowi yang tidak menjelaskan siapa saja anggota Timsel yang berasal dari pemerintah dan dua unsur lainnya.
Namun Hamdi Muluk, salah seorang anggota Timsel KPU yang baru saja ditunjuk Jokowi, menilai tidak ada yang perlu dipersoalkan oleh publik terkait penyeleksi penyelenggara pemilu ini.
Hamdi berkata, Timsel menerapkan sistem kolektif kolegial. Artinya, kata dia, seluruh pengambilan keputusan diambil secara bersama-sama oleh anggota Timsel. Potensi menyisipkan kepentingan tertentu dalam pemilihan anggota KPU mustahil dilakukan, klaim Hamdi. "Posisi ketua, sekretaris dan anggota nyaris sama. Hanya urusan tanda tangan yang melakukan ketua tim. Proses pengambilan keputusan kolektif kolegial, tidak ada yang bisa memaksakan keputusan karena harus disepakati bersama-sama," kata Hamdi dirilis BBC News Indonesia.
"Ada anggapan ketua Timsel akan mendominasi. Hampir di semua Timsel yang saya ikuti, anggapan itu tidak berlaku karena anggota tim independen dan memiliki jejak rekam tinggi. Jadi tidak mungkin dijinakkan oleh seorang ketua," tuturnya.
Bagaimanapun, Hadar Navis Gumay, yang pernah menjabat komisioner KPU pada periode yang sama dengan Juri Ardianto, mendesak tim seleksi membuka hasil kerja pada setiap tahapan.
Walau pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, telah menjanjikan kinerja tim seleksi yang netral, Hadar mendesak mereka untuk membuka keterlibatan publik pada proses pemilihan anggota KPU. "Kalau publik punya masukan atau catatan, tim seleksi harus membuka diri," kata Hadar.
Siapa saja anggota Timsel?
Selain Juri Ardiantoro, yang kini menjabat Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan, tim seleksi itu diisi oleh Bahtiar (Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri), Poengky Indarti (anggota Kompolnas), dan Edward Omar Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM).
Anggota Timsel lainnya adalah Chandra Hamzah (advokat), Abdul Ghaffar Rozin (pengurus badan otonom di Nahdlatul Ulama), dan Betti Alisjahbana (praktisi bisnis).
Sisanya adalah Airlangga Pribadi Kusman (dosen UGM), I Dewa Gede Palguna (dosen Universitas Udayana), Hamdi Muluk (dosen Universitas Indonesia), dan Endang Sulastri (dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta).
Merujuk UU Pemilu, dalam tiga bulan tim seleksi ini harus menetapkan dan menyerahkan 14 calon komisioner KPU kepada presiden. Mereka yang masuk dalam daftar itu kemudian wajib mengikuti uji kelayakan di Komisi II DPR.
Lembaga inilah yang pada tahap akhir akan memutuskan tujuh komisioner baru untuk KPU. Bagaimanapun, anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, menilai siapapun yang akan terpilih menjadi komisioner KPU, kualitas pemilu tahun 2024 tidak akan lebih buruk daripada pemilu era sebelumnya.
Menurut Guspardi, penyelenggaraan pemilu secara umum telah ditentukan oleh regulasi dan mekanisme yang disepakati pemerintah dan DPR. Guspardi meragukan tudingan sejumlah kalangan yang mengaitkan komposisi Timsel KPU dengan penetapan waktu pemilu 2024 yang belum disepakati. "Ini merupakan sistem. Kita sudah beberapa kali menjalankan pilpres dan pemilihan legislatif, pergantian sosok tidak mempengaruhi kualitas pelaksanaan pemilu," kata Guspardi.
"Berakhirnya jabatan komisioner KPU periode ini adalah April 2022, tidak ada kaitannya dengan kapan penetapan waktu pemilu," ujarnya.
Pemilihan komisioner KPU disorot karena sebelumnya, seorang pimpinan lembaga ini terjerat kasus suap. Wahyu Setiawan, komisioner KPU periode 2017-2022, dihukum tujuh tahun penjara karena terbukti menerima suap pada kasus pergantian anggota DPR antarwaktu tahun 2019.
Salah satu tersangka pada kasus itu, yaitu politikus PDIP, Harun Masiku, masih buron hingga saat ini. Dua kolega Wahyu, yaitu Evi Novida Ginting dan Arief Budiman juga sempat dipecat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Namun pemecatan keduanya dianulir Pengadilan Tata Usaha Negara. (*)
Tags : Pilpres, Polemik Tim Seleksi Komisioner KPU, KPU Netral di Pilpres Nanti,