INTERNASIONAL - Seorang perempuan pelaku unjuk rasa menolak kudeta militer di Myanmar dilaporkan dalam kondisi kritis dan dinyatakan mengalami kematian otak. Ia diduga tertembak peluru tajam oleh aparat keamanan.
Dia terluka pada protes pada hari Selasa (09/02) di ibu kota Nay Pyi Taw, di mana polisi berusaha membubarkan pengunjuk rasa menggunakan meriam air, peluru karet dan peluru tajam. Kelompok hak asasi manusia dan kantor berita mengatakan perempuan itu ditembak di kepala. Terdapat beberapa laporan terjadinya cedera serius yang dialami demonstran karena polisi meningkatkan kekuatan, tetapi sejauh ini belum ada korban jiwa.
Puluhan ribu orang melakukan protes di jalan-jalan menentang kudeta -menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis minggu lalu- meskipun ada larangan baru-baru ini dilakukannya pertemuan besar dan diberlakukannya jam malam. Demonstrasi dimulai kembali pada Rabu pagi (10/02), untuk hari kelima berturut-turut, dengan sekelompok besar pegawai negeri berkumpul di Nay Pyi Taw untuk berdemonstrasi.
Polisi telah menggunakan meriam air untuk melawan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw, yang menolak mundur. Tembakan peringatan dilaporkan ditembakkan ke udara sebelum peluru karet ditembakkan ke kerumunan - tetapi dokter kemudian mengatakan tampaknya amunisi langsung (peluru tajam) mengenai pengunjuk rasa. Menurut BBC Burma, yang berbicara dengan petugas medis yang tidak disebutkan namanya dari rumah sakit Nay Pyi Taw, seorang perempuan menderita cedera kepala yang serius dan seorang demonstran lainnya mengalami cedera dada. Wanita itu sekarang dalam perawatan intensif.
Kelompok hak asasi manusia dan outlet berita lokal mengatakan perempuan itu ditembak di kepala saat melakukan protes. Menurut laporan Human Rights Watch, seorang dokter dari rumah sakit mengatakan perempuan itu memiliki "proyektil yang bersarang di kepalanya dan telah kehilangan fungsi otak yang signifikan". Dokter itu mengatakan bahwa luka perempuan konsisten dengan peluru tajam, dan peluru logam telah menembus bagian belakang telinga kanannya. Seorang pria yang terluka pada protes yang sama juga tampaknya memiliki luka serupa.
Laporan terpisah oleh Fortify Rights mengutip seorang dokter yang mengatakan perempuan itu mengalami mati otak karena "luka tembak yang fatal di kepala". Sebelumnya, sebuah rekaman beredar di sosial media menunjukkan seorang perempuan sedang ditembak. Rekaman itu menunjukkan seorang perempuan yang mengenakan helm sepeda motor itu tiba-tiba roboh. Secara terpisah, gambar di media sosial menunjukkan apa yang tampak seperti helm berlumuran darah. BBC belum memverifikasi ini.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyuarakan "keprihatinan yang kuat" atas kekerasan hari Selasa. "Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap para demonstran tidak dapat diterima," kata Ola Almgren, koordinator penduduk dan koordinator kemanusiaan PBB di Myanmar.
Protes sebelumnya terhadap pemerintahan militer selama puluhan tahun di negara itu, pada 1988 dan 2007, menyebabkan para demonstran tewas. Pada Selasa malam, militer Myanmar juga "menyerbu dan menghancurkan" markas NLD, kata partai itu. BBC Burma melaporkan bahwa pasukan keamanan mendobrak pintu secara paksa Selasa malam. Tidak ada anggota partai yang hadir di gedung itu. Penggerebekan itu terjadi selama jam malam nasional, yang berlangsung dari pukul 20:00 hingga 04:00 waktu setempat.
Larangan orang berkumpul dan jam malam diterapkan di sejumlah kota dan pemimpin militer Min Aung Hlaing memperingatkan tak ada yang berada di atas hukum. Ia tidak mengeluarkan ancaman langsung kepada demonstran, tetapi TV negara memperingatkan bahwa "langkah akan diambil" terhadap mereka yang melanggar hukum, menyusul pidato Hlaing. Militer melarang pertemuan lebih dari lima orang di kota Yangon dan Mandalay dan menerapkan aturan jam malam. Aturan diterapkan setelah tiga hari berturut-turut protes massal. "Mereka melepaskan tembakan peringatan ke langit dua kali, kemudian mereka menembakkan peluru karet [ke pengunjuk rasa]," kata seorang warga kepada kantor berita AFP.
Sementara itu, pemimpin kudeta di Myanmar untuk pertama kalinya menyampaikan pidato yang disiarkan di televisi, dalam upaya membenarkan tindakan militer. Di hari keempat demonstrasi massal, demonstran berhadapan dengan polisi yang menembakkan meriam air di kota Bago. Meriam air juga berulang kali ditembakkan ke kerumunan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw, yang menolak mundur, menurut kantor berita Reuters. "Akhiri kediktatoran militer", teriak para demonstran.
BBC Burma melaporkan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw bahkan didukung seorang petugas polisi. Para pengunjuk rasa telah meminta petugas polisi untuk bergabung dengan tujuan mereka. Seorang analis politik, Kin Zaw Win, sebelumnya mengatakan kepada media, Al Jazeera bahwa polisi lebih dekat ke Aung San Suu Kyi dibandingkan dengan militer dan akan lebih "mungkin berdiri dengan pengunjuk rasa" daripada tentara.
Di kota-kota lain di Myanmar, pengunjuk rasa terus berkumpul, dengan sejumlah foto menunjukkan kerumunan besar di beberapa tempat. Di hari Senin, demonstrasi juga diikuti para guru, pengacara, pejabat bank dan pegawai pemerintah yang berkumpul di kota-kota di seluruh negeri. Beberapa demonstran dilaporkan cedera, tetapi tidak ada laporan soal kekerasan. Para biksu Buddha, anggota komunitas Muslim minoritas, pesepakbola top, dan bintang film dan musisi juga telah bergabung dalam protes anti-kudeta, yang menurutnya akan menjadi lebih terorganisir seiring berjalannya waktu.
Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan bahwa pemilihan umum pada November berlangsung tidak adil. Pemilu itu dimenangkan telak oleh partai pimpinan Aung San Suu Kyi - kini dalam tahanan militer. Aksi militer tersebut memicu unjuk rasa besar-besaran yang memasuki hari ketiga pada Senin (08/02), disertai mogok kerja di seluruh negeri. Menanggapi protes massal, militer mulai memberlakukan pembatasan di sejumlah wilayah, termasuk larangan keluar rumah dan pembatasan kerumunan.
Suu Kyi dan pemimpin senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD), termasuk Presiden Win Myint, telah ditempatkan dalam tahanan rumah. Departemen Luar Negeri AS berkata pada Senin (08/02) bahwa mereka berusaha menemui Suu Kyi namun permintaannya ditolak. AS mengatakan mereka berpihak pada rakyat Myanmar dalam menjalankan hak mereka untuk berkumpul dan berunjuk rasa dengan damai.
Seorang penasihat ekonomi Suu Kyi, Sean Turnell, yang merupakan warga Australia, juga ditahan dan pada Senin kemarin keluarganya mengunggah pernyataan di Facebook yang meminta agar ia segera dilepaskan. Pidato Jenderal Min Aung Hlaing lebih fokus pada alasan kudeta daripada ancaman terhadap para pengunjuk rasa. Dia berkata komisi pemilihan telah gagal menyelidiki penyimpangan terkait daftar pemilih pada pemilu bulan November dan tidak mengizinkan kampanye yang adil. Komisi telah mengatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim tentang kecurangan masif.
Jenderal Min Aung Hlaing yang mengenakan seragam militer, berjanji akan mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenangnya. Komisi pemilihan yang baru "direformasi" akan mengawasinya. Dia juga menyatakan pemerintahannya akan "berbeda" dari rezim militer selama 49 tahun yang berakhir pada 2011, dan yang mengawal represi brutal terhadap pengunjuk rasa 1988 dan 2007.
Dia berbicara tentang mencapai "demokrasi yang benar dan disiplin", frase yang menuai cemoohan dari beberapa penentang kudeta di media sosial. Dia juga mengatakan kepada warga untuk "bertindak berdasarkan fakta yang benar dan tidak mengikuti perasaan Anda sendiri". Sang jenderal tidak memberikan ancaman langsung kepada pengunjuk rasa, hanya mengatakan bahwa tidak ada yang di atas hukum. Namun telah terjadi tindakan keras di beberapa daerah, dengan penerapan jam malam dari pukul 20:00 sampai 04:00 dan pembatasan kerumunan hingga maksimal lima orang, di sebagian kota Yangon dan Mandalay, serta sejumlah daerah lain.
Sebelumnya, sebuah siaran di TV pemerintah memperingatkan "tindakan harus diambil, berdasarkan hukum ... terhadap pelanggaran yang mengganggu, mencegah, dan menghancurkan stabilitas negara, keamanan publik, dan supremasi hukum". Phil Robertson, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch, mengatakan: "Sebagai pemerintahan [hasil] kudeta militer yang telah menginjak-injak demokrasi dan supremasi hukum, tidak masuk akal bagi mereka untuk mengklaim bahwa mereka berhak melakukan 'tindakan hukum' terhadap pengunjuk rasa damai. "
Sementara itu, Indonesia telah menyiapkan evakuasi WNI bila kondisi memburuk di Myanmar di tengah demo puluhan ribu warga yang turun ke jalan-jalan menentang perebutan kekuasaan dan menuntut pihak militer menghormati hasil pemilu bulan November tahun lalu. Di ibu kota Myanmar, Nay Pyi Taw, polisi menggunakan meriam air dalam menghadapi para buruh yang mogok. Sejumlah laporan menyebutkan ada beberapa yang terluka.
TV negara memperingatkan pengunjuk rasa bahwa mereka akan mengambil tindakan bila mengancam keamanan publik atau "melanggar hukum". Buruh di berbagai wilayah di Myanmar melancarkan aksi mogok nasional dalam demonstrasi hari ketiga, pada Senin (08/02). Dalam aksinya, para buruh juga menuntut pembebasan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi, dan dikembalikannya demokrasi di negara tersebut.
Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Iza Fadri, dalam pertemuan virtual dengan warga negara Indonesia Senin, mengatakan sejak dua hari lalu Kementerian Luar Negeri RI telah menyiapkan persiapan darurat untuk berjaga-jaga, termasuk kemungkinan evakuasi WNI. "Evakuasi (akan dilakukan) kalau situasi sudah anarkis, tak ada lagi hukum dan pemerintah sudah tak bisa mengendalikan situasi lagi, Tak ada lagi otoritas, dan WNI sudah tidak bekerja juga. Menurut saya lebih baik, evakuasi, itu yang bisa dijadikan patokan untuk evakuasi," kata Iza.
Dubes RI juga mengimbau kepada WNI di Myanmar, yang perusahaannya tutup dan tak beroperasi lagi, untuk lebih baik kembali ke Indonesia. Rencana darurat yang telah disiapkan itu, menurut Iza, termasuk beberapa aliternatif, menggunakan pelabuhan bila bandar udara tutup. Warga negara Indonesia di Myanmar tercatat sekitar 600 orang dan sejauh ini sudah lebih dari 400 yang mendaftarkan diri melalui online di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon.
Iza mengatakan demonstrasi yang telah terjadi dalam beberapa hari ini terdengar dari kantor kedutaan dan ia mengimbau warga Indonesia untuk tidak keluar rumah. "Kami lihat (demo ini) sangat masif. Kami imbau warga untuk tidak usah ikut. Pak Athan [atase pertahanan] mengirim foto, ada orang yang pakai senjata panjang dari gedung tinggi [sniper dalam istilah militer]," tambah Dubes Iza.
Tetapi sejauh ini, unjuk rasa dalam tiga hari terakhir berjalan damai. Gerald Eman, ketua Kerukunan Indonesia Myanmar (KIM), WNI yang telah tinggal di negara itu selama 17 tahun, mengatakan berdasarkan pengalamannya, demonstrasi di negara itu belum pernah diwarnai kerusuhan dan penjarahan. "(Sejauh pengalaman saya), karakternya (demonstrasi) tak anakarkis. Kerusuhan, menjarah toko dan lain-lain belum pernah kita liat, kondisinya benar-benar politik," kata Gerald.
Tak ada yang merusak, menjarah atau melawan aparat - Cerita WNI di Yangon Cecep Yadi (bukan nama sebenarnya), warga negara Indonesia yang tinggal di pusat kota Yangon, mengatakan dari apa yang dilihatnya dalam tiga hari terakhir ini, para demonstran tidak ada yang sampai merusak fasilitas umum. "Mereka di sini tidak ada yang merusak fasilitas, menjarah toko ataupun melawan aparat pengamanan Semuanya berisik, berteriak, dan berorasi..
"Tidak ada yang hanya menonton.. Kalaupun tinggal di rumah, mereka akan diam di depan rumah dan ikut mengangkat tangan tiga jari sebagai bentuk partisipasi demokrasi dan ikut membagikan makanan dan minuman ke setiap orang yang lewat," tambah Cecep.
"Berdasarkan dua hari kemarin, demo selesai jam 20:00, dan mereka kembali ke rumah masing-masing dan membuat suara bising selama kurang lebih 15 menit dengan memukul mukul alat alat dapur (panci atau wajan). Setelah itu sepi". Ribuan orang berkumpul di Yangon dan Mandalay, sementara meriam air telah disiagakan di Ibu Kota Nay Pyi Taw untuk mengantisipasi puluhan ribu pendemo. Aksi ini terjadi sehari setelah rakyat Myanmar menggelar demo terbesar dalam lebih dari satu dekade.
Pada Senin (08/02) pagi, puluhan ribu orang telah berkumpul di Nay Pyi Taw. Aksi serupa digelar di sejumlah kota lainnya yang diikuti pendemo dalam jumlah signifikan, sebagaimana dilaporkan BBC Burmese. Para demonstran mencakup para guru, pengacara, pegawai bank, hingga pegawai negeri sipil. Sekitar 1.000 guru telah berpawai dari berbagai penjuru Yangon menuju Pagoda Sule di pusat kota tersebut. Di Nay Pyi Taw, kepolisian menggunakan meriam air untuk menghalau para pendemo dan sudah ada beragam laporan mengenai sejumlah orang yang cedera.
Sebuah video daring memperlihatkan para pendemo mengusap mata mereka dan saling membantu setelah disemprot meriam air. Kyaw Zeyar Oo, seorang warga Myanmar yang mengabadikan video itu, mengatakan ada dua kendaraan meriam air yang menghampiri para demonstran—walau mereka berunjuk rasa secara damai dan tidak melintasi garis polisi. "Kendaraan-kendaraan itu menyeruak ke tengah kerumunan dan menyemprotkan meriam air. Tiada peringatan yang dikeluarkan terlebih dahulu," katanya menambahkan bahwa pada Senin (08/02) sore, situasinya "benar-benar tenang" namun kendaraan meriam air masih disiagakan.
Aksi unjuk rasa dan seruan agar para buruh tidak bekerja juga berlangsung di dunia maya. "Ini adalah hari kerja, tapi kami tidak akan bekerja bahkan jika gaji kami dipotong," kata seorang buruh pabrik garmen berusia 28 tahun, Hnin Thazin, kepada kantor berita AFP. Sehari sebelumnya, pada Minggu (07/02), puluhan ribu orang melakukan protes di kota Yangon, untuk menentang kudeta, gerakan yang tidak bisa dibendung oleh pemblokiran internet yang diberlakukan oleh penguasa militer. "Kami tidak ingin kediktatoran militer," teriak banyak demonstran.
Banyak yang memegang foto pemimpin yang ditahan Aung San Suu Kyi dan mengenakan pakaian merah, warna partai Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. Mereka juga menuntut agar Suu Kyi dibebaskan. Dia tidak terlihat lagi sejak tentara menggulingkan pemerintahannya Senin (01/02) lalu. Demonstrasi yang lebih kecil dilaporkan terjadi di Kota Mawlamine dan Mandalay. Meskipun unjuk rasa dan penentangan terhadap kudeta semakin luas, sejauh ini militer sama sekali belum mengeluarkan pernyataan.
Penguasa militer telah menempati ibu kota, Nay Pyi Daw, dan sejauh ini menghindari keterlibatan langsung dengan para pengunjuk rasa. Beberapa gambar dan video protes telah diunggah ke internet, meskipun penguasa militer telah memutus internet sejak hari Sabtu (06/02). Sebagian layanan internet hingga Minggu malam (07/02) waktu setempat dilaporkan berangsur pulih meskipun belum total. Sebelumnya, militer juga memblokir akses ke Facebook, Twitter, dan Instagram untuk menghalangi orang-orang bergerak untuk protes.
Di Yangon, pengunjuk rasa memegang balon merah, sementara mobil dan bus melambat untuk membunyikan klakson mendukung demonstran. Banyak yang memberikan hormat tiga jari, yang telah menjadi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme di wilayah tersebut. "Hormati suara kami," tertulis di salah satu spanduk yang merujuk pada kemenangan telak NLD dalam pemilihan November. Myo Win, seorang pengunjuk rasa berusia 37 tahun, mengatakan kepada kantor berita AFP: "Kami akan bergerak maju dan terus menuntut sampai kami mendapatkan demokrasi."
Sejauh ini, otoritas militer, yang dikenal dengan taktik penindasan dan kekerasan, tidak menghentikan aksi pembangkangan massal ini. Namun, banyak orang berasumsi otoritas akan mencoba melakukannya dalam waktu dekat, lapor wartawan BBC Asia Tenggara, Jonathan Head. Suu Kyi dan para pemimpin senior NLD, termasuk Presiden Win Myint, telah menjadi tahanan rumah sejak militer mengambil kendali pemerintah dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun.
Truk polisi dan petugas antihuru hara ditempatkan di jalan-jalan dekat Universitas Yangon (07/02), tapi belum ada laporan tentang kekerasan. Protes hari Minggu disebut sebagai yang terbesar sejak apa yang disebut Revolusi Saffron pada 2007, ketika ribuan biksu negara itu bangkit melawan rezim militer, lapor kantor berita Reuters. Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyebut pemblokiran internet "keji dan sembrono" dan memperingatkan hal itu dapat menempatkan rakyat Myanmar pada risiko pelanggaran hak asasi manusia. Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengatakan: "Para jenderal sekarang berusaha untuk melumpuhkan gerakan perlawanan warga - dan membuat dunia luar berada dalam kegelapan - dengan memutuskan hampir semua akses internet."
Kudeta terjadi ketika sesi baru parlemen akan dimulai, menyusul pemilihan November di mana partai NLD memenangkan 80% kursi parlemen. Banyak orang Burma menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung di Facebook, yang merupakan sumber informasi dan berita utama negara itu. Tetapi tiga hari kemudian, penyedia internet diperintahkan untuk memblokir platform tersebut karena alasan stabilitas. Menyusul larangan tersebut, ribuan pengguna aktif di Twitter dan Instagram menggunakan tagar untuk menyatakan penentangan mereka terhadap kebijakan itu. Pada pukul 22:00 waktu setempat pada hari Jumat, akses ke platform media sosial itu juga diblokir. Kudeta militer Myanmar: 'Mantan saya buruk, tapi militer lebih buruk,' kata pendemo milenial dan Gen Z.
Ketika banyak warga memenuhi jalan-jalan untuk mengikuti demonstrasi hari ketiga di Myanmar yang menolak kudeta militer, beberapa demonstran muda membawa karton-karton bertuliskan pesan-pesan yang jauh berbeda dengan pesan tradisional saat protes. Berbeda dengan gerakan oposisi sebelumnya, generasi ini tumbuh di negara yang lebih bebas, dengan akses yang lebih baik ke internet dan pengetahuan tentang budaya Barat serta meme.
Kami telah mengumpulkan foto-foto beberapa pesan jenaka, yang mencela diri sendiri dan memuat humor nakal ala Gen Z (biasanya berusia di bawah 24 tahun) yang ditambahkan ke desakan pro-demokrasi mereka. Militer mengklaim, tanpa bukti, bahwa pemilihan November yang mengembalikan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi ke tampuk kekuasaan dipenuhi kecurangan.
'Mantan saya buruk, tetapi militer Myanmar lebih buruk'
Pesan-pesan bertema peruntungan asmara ala generasi Z dan milenial terlihat dalam unjuk rasa. Satu demonstran membawa pesan bertuliskan, "Mantan saya buruk tetapi militer Myanmar lebih buruk", sementara yang lain menunjukkan pesan, "Saya tidak ingin diktator, saya hanya ingin pacar". Pesan populer lainnya adalah "Ah [kata sumpah serapah] kita ada di sini lagi", meme yang populer secara global, yang berasal dari adegan video gim Grand Theft Auto tahun 2004.
Aksi protes tersebut adalah yang terbesar sejak gerakan yang disebut Revolusi Saffron pada tahun 2007. Puluhan ribu orang melakukan unjuk rasa di kota-kota di seluruh negeri. Pada hari Senin polisi memperingatkan pengunjuk rasa untuk meninggalkan jalan-jalan atau mereka akan menghadapi perlawanan. Pengunjuk rasa lain lebih eksplisit dalam penolakan mereka terhadap kudeta. Mereka melambaikan pesan-pesan yang menunjukkan bahwa militer telah membuat masalah dengan orang yang salah. "Anda [kata sumpah serapah] dengan generasi yang salah," bunyi salah satu pesan, yang dapat dengan sopan ditulis ulang menjadi "Anda membuat masalah dengan generasi yang salah".
Dan pesan lain, yang dibagikan di media sosial, menggambarkan stereotip yang meluas tentang milenial sebagai generasi yang tidak bisa memperoleh hidup yang baik. "Kami tidak akan pernah diizinkan untuk merusak masa depan kami sendiri," kata pesan itu.
Dan pesan lain, yang dibagikan di media sosial, menggambarkan stereotip yang meluas tentang milenial sebagai generasi yang tidak bisa memperoleh hidup yang baik. "Kami tidak akan pernah diizinkan untuk merusak masa depan kami sendiri," kata pesan itu.
"Favorit saya, Ariana Grande LEBIH TINGGI daripada [Mal]", kata pesan lain, merujuk pada penyanyi pop AS yang dikenal karena ukuran tubuhnya yang tak terlalu tinggi.
Musisi Amerika muncul di pesan lain, yang merujuk pada lagu rapper Cardi B 'WAP' yang menjadi hit dan meme instan pada tahun 2020. "Kami melakukan protes (We Are Protesting) dengan damai," kata pesan itu. (*)
Tags : Polisi di Duga Gunakan Peluru Tajam, Pendemo, Kudeta Myanmar,