JAKARTA - Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, resmi mengumumkan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal calon wakil presidennya, Minggu (22/10) malam.
"Baru saja Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari delapan partai politik, yang dihadiri lengkap oleh ketum masing-masing dan sekjen masing-masing kita telah berembug secara final, secara konsensus, seluruhnya sepakat mengusung Prabowo Subianto sebagai capres Koalisi Indonesia Maju untuk 2024-2029 dan saudara Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden," ujar Prabowo dalam jumpa pers di kediamannya, Minggu.
Dipilihnya Gibran yang masih berusia 36 tahun tidak lepas dari putusan Mahkamah Konstitusi pada Senin (16/10) yang memberi ruang kepada kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk dapat menjadi capres dan cawapres.
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai legalitas pasangan Prabowo-Gibran berpotensi digugat secara hukum melalui dua pintu, yaitu UU MK dan peraturan KPU.
Dari sisi politik, pengamat politik dari Indostrategic, Ahmad Khoirul, menilai keputusan MK itu dapat menjadi amunisi yang sangat efektif untuk mendegradasi kredibilitas pasangan Prabowo-Gibran.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai langkah itu menunjukkan bahwa Prabowo mendukung gagasan dinasti politik.
“Saya yakin kalau pasangan ini menang pun, ikut campur Jokowi dalam berbagai birokrasi yang ditangani anaknya akan tinggi dan itu tidak sehat,“ kata Feri.
Bivitri Susanti mengatakan terdapat dua pintu hukum yang berpotensi digunakan untuk mengugat legalitas pasangan Prabowo dan Gibran.
Pertama adalah potensi dugaan ada atau tidaknya konflik kepentingan dalam putusan MK terkait batas usia yang menjadi pintu masuk Gibran menjadi bacawapres Prabowo.
“Dalam UU MK ada pasal yang mengatakan bila ada benturan kepentingan maka putusan itu tidak sah. Ini masih belum masuk radar, dan belum ada yang memasalahkan, tapi potensi itu ada,” kata Bivitri.
Pintu lain, ujar Bivitri, adalah dengan mempermasalahkan mekanisme yang dilakukan KPU dalam menyikapi putusan MK itu, melalui cara mengirimkan surat ke partai politik, bukan dengan perubahan PKPU.
“Persyaratan capres dan cawapres sah atau tidak karena hanya melalui surat KPU, bukan perubahan peraturan KPU. Dua legalitas itu yang menjadi ranah abu-abu yang berpotensi dimanfaatkan,” kata Bivitri.
Lebih luas dari sekedar pasangan Prabowo-Gibran, Bivitri menyoroti dampak buruk dari putusan MK itu pada proses penyelesaian konflik hasil pemilu 2024 di MK, baik pilpres, pileg, hingga pilkada.
“Bayangkan tahun depan kalau MK sudah diolok-olok dan direndahkan seperti sekarang karena kelakuan sendiri, lalu dia [MK] bilang si X menang. Lawannya sudah tidak percaya dengan MK, publik juga tidak percaya dengan MK.
“Maka akan dengan mudah meletupkan emosi orang-orang kalah jadi konflik, artinya nanti konflik tidak bisa dikelola kalau lembaga penyelesai konflik sudah tidak punya legitimasi,” kata Bivitri.
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, melihat, majunya Gibran menunjukkan bahwa Prabowo mendukung gagasan dinasti politik.
Feri menambahkan, keputusan mengajak Gibran juga akan menjadi bumerang bagi Prabowo dalam menjalankan pemerintahan.
“Saya yakin kalau ini pasangan menang pun, ikut campur Jokowi dalam berbagai birokrasi yang ditangani anakanya akan tinggi, dan itu tidak sehat bagi pemerintahan,” ujar Feri.
Direktur Eksekutif Indostrategic, Ahmad Khoirul Umam, melihat putusan MK yang menjadi “karpet merah“ bagi Gibran sebagai pendamping Prabowo berpotensi menjadi amunisi dalam menjatuhkan pasangan ini.
“Hal itu akan menjadi amunisi yang sangat efektif untuk mendegradasi dan menghancurkan kredibilitas pencapresan mereka,“ tambahnya.
Khoirul melihat, caranya adalah dengan mempermasalahkan secara hukum putusan MK itu, menunjukkan adanya konflik kepentingan atau tekanan politik yang merusak independensi dan netralitas hakim.
Analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mengatakan, penunjukkan Gibran menjadi pendamping Prabowo menyempurnakan dinasti politik Joko Widodo.
“Putusan MK pintu sempurnanya dinasti politik Jokowi karena dengan putusan itu pintu untuk anak Jokowi, Gibran menjadi bakal cawapres. Putusan itu diketuk oleh paman iparnya sendiri sebagai Ketua MK,“ kata Ubedilah.
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, dinasti politik secara sederhana adalah sebuah praktik pewarisan kekuasaan politik kepada anggota keluarganya tanpa melalui sistem yang didasarkan pada kapabilitas.
“Praktik politik dinasti sudah menjadi kebiasaan buruk para politisi yang menjadi ancaman serius terhadap penurunan kualitas demokrasi itu sendiri,“ kata Pangi.
Menurut survei Voxpol Center, ujar Pangi, mayoritas masyarakat, sekitar 69,3%, tidak setuju adanya praktik politik dinasti, sementara mayoritas lainnya (67,9%) percaya bahwa praktik semacam ini dapat merusak kualitas demokrasi.
“Bahkan, sebanyak 74,8% responden mendukung adanya regulasi yang membatasi praktik politik dinasti,“ kata Pangi.
Selain itu, penunjukkan Gibran sebagai anak presiden yang maju menjadi cawapres pada Pilpres 2024 mendatang juga mendatangkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
“Terutama karena presiden masih berkuasa dan memegang kendali penuh hingga hari H pencoblosan. Hal ini mengancam prinsip dasar demokrasi yang harus dijunjung, yaitu kesetaraan dalam demokrasi,“ tambahnya.
Prabowo-Gibran tetap berpeluang ikut Pilpres 2024
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan usia maksimal capres-cawapres dan syarat tak pernah melanggar HAM yang berpotensi menghambat Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024.
Merujuk putusan yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, Senin (23/10), Prabowo tetap berpeluang menjadi capres pada Pemilihan Presiden 2024.
Dua dari tiga gugatan yang diadili oleh MK, meminta agar batas usia maksimal capres dan cawapres diatur paling tinggi 70 tahun. Satu gugatan lainnya meminta batas usia maksimal 65 tahun.
Dalam putusannya, MK menyebut syarat usia capres-cawapres yang tertuang pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu sudah pernah mereka periksa dan adili. Oleh karenanya, MK menyatakan tiga gugatan tersebut "kehilangan obyek perkara sehingga tidak dapat diterima".
Dalam mengambil putusan ini, MK merujuk putusan mereka terhadap gugatan yang diajukan dua kakak-beradik Almas Tsaqibbirru dan Arkaan Wahyu, terkait batas minimal usia capres-cawapres.
Terhadap gugatan Almas dan Arkaan, MK memutus bahwa Pasal 169 huruf q tidak melanggar konstitusi selama dimaknai 'siapapun yang berusia di bawah 40 tahun tapi pernah atau sedang menduduki jabatan publik yang dipilih melalui pemilu'.
Di sisi lain, pada putusan MK terhadap gugatan Almas dan Arkaan itu, MK tidak menambah syarat usia maksimal capres-cawapres. Dalam kata lain, MK mempertahankan Pasal 169 huruf q yang tidak mengatur syarat usia maksimal capres-cawapres.
Sesuai putusan MK tersebut, Prabowo tetap berpeluang berkompetisi dalam Pilpres mendatang. Lahir pada 17 Oktober 1952, Prabowo kini berusia 72 tahun.
Dalam sidang yang sama, MK mengeluarkan putusan terhadap gugatan soal syarat capres-cawapres yang tertuang pada Pasal 169 huruf d UU Pemilu yang berbunyi:
“tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.”
Tiga pemohon, yaitu Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro menggugat pasal itu. Mereka beralasan, pasal tersebut tidak mengatur secara rinci dan jelas mengenai tindak pidana berat lain yang tidak boleh dilakukan capres cawapres.
Pemohon berargumentasi pasal tersebut bertentangan dengan UUD terutama Pasal 28 yang memuat banyak mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia. Mereka juga mengatakan, bahwa kasus penculikan 1997-1998 telah menjadi bagian dari 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui pemerintah.
Karena ketidakjelasan itu, menurut para pemohon, pasal tersebut menimbulkan kekaburan dan tidak memenuhi asas kepastian hukum.
Oleh karena itu, para pemohon dalam surat permohonan kepada MK untuk mengubah ketentuan syarat capres-cawapres Pasal 169 (d) menjadi:
“Tidak pernah menkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana kroupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejatahan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang antidemokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.”
Permohonan perubahan pasal ini kembali menyorot sosok Prabowo Subianto, yang menurut dokumen rahasia Amerika Serikat memerintahkan penghilangan aktivis 1998.
Namun, gugatan ini disebut Waketum Gerindra sebagai "aneh” karena sifatnya khusus.
"Ini aneh, petitum yang sangat aneh soal UU kok mencantumkan hal yang bersifat khusus. Ini orang nggak mengerti hukum jangan-jangan yang mengajukan permohonan ini," kata Habiburokhman seperti dikutip dari Kompas.
Ia menyatakan, UUD 1945 hanya mensyaratkan agar capres-cawapres berkelakuan baik dan tidak memberi pengaturan spesifik.
"Secara umum siapapun yang daftar sebagai capres, ada persyaratan tidak pernah melakukan perbuatan tercela," katanya.
Pada putusannya, MK menolak gugatan tersebut dengan pertimbangan, "memperluas pemaknaan pasal 169 huruf d justru dapat melemahkan kepastian hukum yang sudah ada dan melekat pada norma pasal tersebut".
"Dengan menambah jenis tindak pidana berat baru, tanpa memberi penegasan apakah jenis tindak pidana berat itu cukup dengan adanya anggapan, asumsi, dugaan, penyelidikan, penyidikan, atau bahkan adanya putusan pengadilan berkekuatan tetap, akan menambah kerumitan tersendiri pada waktu akan menerapkan norma hukum tersebut," ujar Hakim Daniel Yusmic saat membacakan pertimbangan MK.
Hakim Daniel berkata, kalaupun pasal 169 huruf d memuat jenis tindak pidana berat secara rinci, penerapannya harus didasarkan pada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap terhadap kasus yang menjerat capres-cawapres.
"Ini penting karena apabila keinginan para pemohon dikabulkan, maka justru akan berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah," kata Hakim Daniel.
Putusan ini secara tidak langsung juga merujuk isu pelanggaran HAM yang selama ini dilekatkan kepada Prabowo.
Selama periode menuju kejatuhan Orde Baru tahun 1996 hingga 1998, dia diduga terlibat dalam sejumlah kasus seperti penghilangan orang secara paksa dan penculikan aktivis. Namun seluruh tuduhan dan dugaan itu tidak pernah diadili di pengadilan.
Satu gugatan lain yang ditolak MK berkaitan dengan Pasal 169 huruf n pada UU Pemilu. Pasal ini mengatur bahwa syarat menjadi capres-cawapres adalah "belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama".
Penggugat pasal ini adalah Gulfino Guevarrato, seorang pekerja di lembaga riset dan advokasi non-pemerintah. Dia meminta MK menambahkan syarat tambahan ke dalam pasal itu, yaitu "belum pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sebanyak dua kali dalam jabatan yang sama".
Hakim Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan MK, menyebut syarat baru yang dimohonkan oleh Gulfino itu merupakan norma baru yang secara substansial tidak berkaitan langsung dengan norma Pasal 169 huruf n.
Menurut MK, kata Saldi, penambahan syarat "maksimal dua kali mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres" berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Saldi berkata, syarat baru yang dimohonkan itu juga akan membuat makna baru atas Pasal 169 huruf n.
MK menyatakan dalil yang diajukan oleh Galfino tidak beralasan menurut hukum. Atas pertimbangan tersebut, MK menolak mengabulkan penambahan syarat baru tersebut.
Permohonan terhadap MK untuk menambahkan syarat baru ini juga secara tidak langsung berkaitan dengan Prabowo. Jika MK mengabulkannya, Prabowo tidak akan bisa menjadi capres dalam Pilpres 2024 karena sudah dua kali memegang status itu, yaitu pada Pilpres 2014 dan 2019. Namun karena MK menolak permohonan ini, Prabowo tetap bisa bertarung pada Pilpres 2024.
Sebelumnya, Koalisi Indonesia Maju (KIM) resmi menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo Subianto. Namun, pasangan Prabowo-Gibran masih harus menanti putusan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan usulan batas maksimal usia capres.
Pengumuman menjadikan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal cawapres dilakukan setelah semua ketua umum partai politik di Koalisi Indonesia Maju (KIM) menggelar rapat di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Satu hari sebelumnya, Partai Golkar mengumumkan secara resmi dukungan mereka kepada Gibran untuk menjadi cawapres Prabowo Subianto melalui rapat pimpinan nasional pada Sabtu (21/10).
"Baru saja Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari delapan partai politik, yang dihadiri lengkap oleh ketum masing-masing dan sekjen masing-masing kita telah berembuk secara final, secara konsensus, seluruhnya sepakat mengusung Prabowo Subianto sebagai capres Koalisi Indonesia Maju untuk 2024-2029 dan saudara Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden," ujar Prabowo dalam jumpa pers di kediamannya, Minggu (22/10).
"Ini keputusan aklamasi bulat dan konsensus, dan kita siap maju untuk Indonesia maju," tambah Prabowo.
Prabowo mengatakan pihaknya akan mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai bakal capres yang akan didampingi Gibran sebagai bakal cawapres, Rabu (25/10).
Setidaknya terdapat lima permohonan gugatan masuk ke MK yang menginginkan syarat bagi capres dan cawapres dibatasi usianya 65 tahun atau 70 tahun. Gugatan dalam Pasal 169 Undang Undang Pemilu, akan diputuskan MK pada Senin (23/10).
MK akan memutuskan perkara dalam berkas yang terpisah dari Rudy Hartono (Perkara Nomor 107/PUU-XXI/2023), Gulvino Guevarrato (Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023), Guy Rangga Boro (Perkara Nomor 93/PUU-XXI), Riko Andi Sinaga (Perkara Nomor 96/PUU-XXI/2023), Rio Saputra dkk (Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023).
Dalam argumentasinya, salah satu pihak pemohon mengatakan faktor usia calon presiden dan calon wakil presiden akan berpengaruh terhadap "kesehatan jasmani dan rohani“ serta produktivitas saat menjalani tugas.
Di samping itu, para pemohon juga mengaitkan syarat pembatasan usia ini dengan aturan lembaga-lembaga lain seperti masa pensiun ASN 65 tahun, serta masa pensiun jabatan hakim MK dan Mahkamah Agung di usia 70 tahun. Oleh karena itu, para pemohon juga meminta MK agar capres dan cawapres dibatasi usianya.
Ketukan palu hakim MK, Senin (23/10), akan menentukan pencapresan Prabowo Subianto – satu-satunya bakal capres berusia lebih dari 70 tahun. Sebab, putusan MK bersifat final dan mengikat.
Bagaimana pun, Peneliti Pusat Studi Politik Hukum Kepemiluan dan Demokrasi dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan kecil kemungkinan MK mengabulkan gugatan para pemohon. Musababnya, saat menolak permohonan batas minimum capres – cawapres, MK beralasan akan menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi [intolerable injustice].
“Mengubah batas [usia] maksimum akan potensial mengganggu hak orang lain,” kata Feri.
Selain itu, Feri juga meyakini “MK itu sangat pro dengan kepentingan Jokowi”. Hal ini tidak terlepas dari putusan terbaru MK yang memberi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi untuk melenggang ke putaran Pilpres 2024.
"Menutup kepentingan Prabowo [dengan pembatasan usia], itu sama saja dengan menutup kepentingan anaknya [Jokowi],” katanya.
“Saya pikir, kesan yang timbul MK sedang jadi trigger, atau pemicu keributan politik di Republik ini. Ada faktor kesengajaan kalau itu dilakukan,” jelas Feri.
Sementara itu, Ketua Yayasan ASA Indonesia, Syamsuddin Alimsyah mengatakan, jika MK menerima gugatan pembatasan maksimum usia capres-cawapres, peta politik bisa “semakin runyam”.
“Karena masa pendaftaran itu sisa beberapa hari, terakhir Rabu tanggal 25 Oktober mendatang. Tapi itu kecil kemungkinan,” tambahnya.
Menurut Syam, putusan MK “mudah ditebak” dan “arahnya sudah jelas”, yaitu menolak permohonan pembatasan usia maksimum capres-cawapres. Hal ini berangkat dari putusan sebelumnya, dan ada kepentingan Jokowi di baliknya, kata Syam.
“Jadi seolah-olah putusan hari Senin ini sudah dilupakan. Sudah tidak bermakna,” kata pendiri Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia.
Ia menambahkan, apa pun putusan MK nanti, publik masih bisa menilai kemampuan jasmani dan rohani capres-cawapres tak melulu dipengaruhi faktor usia, tapi bisa melalui tes kesehatan.
“Apakah yang bersangkutan masih layak menjalankan tugas dan macam-macam. Atau yang bersangkutan memiliki penyakit yang justru dianggap dalam posisi yang sudah mengkhawatirkan,” kata Syam. Ia meminta tim kesehatan KPU bekerja independen dan membuka hasil tes kesehatan capres-cawapres kepada publik.
“Supaya bisa memberikan konfirmasi kepada publik, bagian dari pertimbangan. Karena kalau itu tidak dibagikan ke publik, untuk apa ada pemeriksaan kesehatan?” katanya bertanya-tanya.
Dalam sejumlah pembacaan politik, Presiden Jokowi nampaknya sudah bersikap atas dukungan Prabowo Subianto sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Gejalanya bisa dilihat dari wacana menjodohkan Gibran dengan Prabowo, sampai relawan Pro Joko Widodo (Projo) yang telah mendeklarasikan dukungan ke sosok yang sudah empat kali ikut bursa pilpres tersebut.
Jokowi disebut terlihat ingin berperan sebagai “king maker” dan penentu pertarungan elektoral, meskipun hal ini akan bertentangan dengan partainya sendiri – PDI Perjuangan – yang mengusung Ganjar Pranowo.
"Jadi tidak berlebih bila disimpulkan dukungan relawan Projo terhadap Prabowo merupakan cerminan dari preferensi politik dari Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2024," kata Peneliti Indikator Politik, Bawono Kumoro.
"Apa yang dilakukan dengan anak-anaknya [Jokowi] juga tidak menunjukkan loyalitas kepada partai [PDI Perjuangan], baik Kaesang maupun Gibran," ujar Firman Noor, analis politik dari BRIN. Kaesang Pangarep kini menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Dalam merespons wacana Gibran menjadi cawapres pasangan Prabowo Subianto, Jokowi mengatakan itu sudah menjadi urusan pribadi anaknya.
“Orang tua itu hanya mendoakan dan merestui," kata Jokowi usai menghadiri acara Apel Hari Santri di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (22/10).
Gerindra: Gugatan batasan usia capres merampas hak konstitusi orang
Dahnil Anzar Simanjuntak selaku juru bicara Prabowo Subianto sempat menjanjikan wawancara dengan BBC News Indonesia, tapi kemudian tidak ada kabarnya lagi saat dihubungi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Gerindra, Habiburokhman mengatakan gugatan ini akan merampas hak konstitusi orang lain.
"Petitumnya, secara prinsip ingin membatasi hak orang, hak konstitusional orang," kata Habiburokhman beberapa waktu lalu, sambil menambahkan gugatan ini bisa merugikan Prabowo Subianto.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, dalam keterangan terbaru kepada media, mengatakan penentuan batas usia capres-cawapres merupakan ranah presiden dan DPR sebagai pemangku kepentingan.
PBB merupakan salah satu partai yang mendukung pencapresan Prabowo Subianto dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Baginya, usia tidak mempengaruhi kemampuan calon pemimpin negara.
"Tidak ada isu konstitusional di sini, karena berapa pun batas usia yang ditetapkan, tidak akan bertentangan dengan UUD 45, sepanjang seseorang sudah dewasa menurut hukum," katanya, Jumat (20/10).
MK, kata dia, harus mengacu pada asas tersebut, agar tidak menciptakan keputusan kontroversial dan bermasalah.
"MK seyogyanya memegang tegus asas ini, agar tidak menciptakan putusan kontroversial dan problematik mengingat putusan MK itu bersifat final dan mengikat," katanya. (*)
Tags : Prabowo Pilih Gibran Sebagai Bakal Cawapres, Prabowo-Gibran Diusung Delapan Partai Politik, Hak asasi, Pilpres 2024, Hukum, Kaum muda, Politik, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024,