JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menunda pembacaan putusan terkait gugatan warga negara atas pencemaran udara Jakarta, yang melibatkan para pejabat tinggi sebagai pihak tergugat - termasuk Presiden Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta.
Menurut majelis hakim, dalam sidang pada Kamis 20 Mei 2021 ini, ada berkas-berkas yang belum lengkap sehingga perlu waktu untuk mempelajari berkas-berkasnya. Sidang kemudian ditunda sampai 10 Juni 2021. Kuasa hukum penggugat, Ayu Ezra Tiara, mengungkapkan ini adalah kali kedua sidang pembacaan putusan ditunda. "Penundaan pertama tiga minggu, [penundaan] sekarang juga tiga minggu," kata Ayu Ezra Tiara dirilis BBC News Indonesia.
Sedangkan Yudi Aryanto dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mewakili salah satu pihak tergugat mengatakan bahwa pihaknya siap menunggu putusan majelis hakim. "Kalau putusan, ranahnya kan di majelis hakim. Jadi kami para pihak menyerahkan ke majelis saja," ujarnya.
Sungguh mengerikan
Gugatan soal polusi udara Jakarta itu diajukan oleh Koalisi Ibu Kota ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 Juli 2019. Mereka menggugat tujuh pihak, yaitu Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. Sebelumnya, salah satu pihak penggugat berharap gugatan ini dapat dikabulkan, setelah kasus itu menggantung selama hampir dua tahun, agar ada jaminan bagi warga negara untuk menghirup udara bersih. Di sisi lain pemerintah mengklaim sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi tingkat pencemaran.
'Saya ingin anak saya hidup lebih sehat'
Sudah sebulan terakhir ini, kualitas udara di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan mayoritas masuk dalam kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif, sebagaimana ditunjukkan data Airnow, pengukur kualitas udara yang dipasang Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Airnow mengukur partikel kecil yang berukuran 2,5 mikron atau kurang, yang bisa masuk paru-paru dan membahayakan kesehatan.
Kondisi ini sudah dikeluhkan warga Jakarta selama bertahun-tahun. Maka itulah sejumlah warga menggugat pemerintah pada tahun 2019 lalu untuk bertanggung jawab atas polusi udara yang terjadi. Peneliti lembaga Walhi, Khalisah Khalid, adalah salah satu penggugat. Ia mengaku semakin terdorong mengajukan gugatan karena anaknya, yang berusia 10 tahun, kerap mengalami alergi dan mimisan sejak kecil.
Oleh sebab itu, menurut Khalisah, udara bersih tak bisa ditawar-tawar, baik bagi anaknya maupun anak-anak lain, yang disebutnya kelompok rentan. "Ini yang melatarbelakangi. Saya ingin anak saya bisa hidup lebih sehat, mendapatkan udara yang bersih dan sehat. Saya yakin semua orang tua, semua ibu, ingin anaknya bisa tumbuh dan berkembang, bukan seadanya, tapi dengan kualitas lingkungan yang bersih dan sehat," ujar Khalisah.
Sementara itu, peneliti kesehatan masyarakat, Irma Hidayana, mengatakan ada korelasi antara udara yang kotor dengan kesehatan. Penelitiannya itu dipaparkan saat ia menjadi saksi ahli dalam persidangan. "Di tempat-tempat yang polusi udara tinggi, tingkat kesehatan ibu dan anaknya lumayan rendah, jadi korelasinya terbalik," ujar Irma yang juga penggagas Platform Lapor Covid-19 itu.
Berdasarkan data Air Quality Life Index yang disajikan Energy Policy Institute, Universitas Chicago, tahun 2020, Indonesia adalah negara paling tercemar kesembilan di dunia. Menurut laporan itu, polusi udara dapat memperpendek harapan hidup rata-rata orang Indonesia sebanyak dua tahun, dan di wilayah paling tercemar sebanyak tujuh tahun. Di Jakarta, tingkat polusi disebut enam kali lipat dari pedoman WHO, dan jika hal itu terus terjadi, angka harapan hidup warga Jakarta bisa berkurang sebanyak 4,8 tahun. Pihak penggugat berharap dapat memenangkan perkara ini agar pemerintah dapat menerbitkan regulasi yang menjamin perlindungan kesehatan warga Negara.
Parameter PM 2,5 hingga uji emisi
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan telah melakukan sejumlah upaya untuk mengurangi polusi udara. Salah satunya, pemerintah memasukkan PM 2,5 sebagai salah satu parameter pencemaran udara dalam Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021, ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian, Sigit Reliantoro.
Polusi udara membuat jadi terang benderang.
KLHK, katanya, juga sudah membuat baku mutu emisi yang baru untuk pembangkit listrik thermal, kendaraan bermotor, industri pupuk, semen. "Dari segi transportasi penggunaan busway dan regulasi transportasi listrik juga sudah disiapkan. Pengawasan terhadap implementasi peraturan juga sudah dilaksanakan," ujarnya.
Pihak tergugat lainnya, yakni pemprov DKI Jakarta juga mengatakan sudah menjalankan sejumlah kebijakan. Kabid Pengendalian Dampak Lingkungan DLH DKI Jakarta, Yusiono Supalal, mengatakan Pemprov secara gencar melakukan uji emisi kendaraan bermotor, juga terus mengawasi polusi pabrik-pabrik yang ada.
Ia mengeklaim tren positif dari kebijakan tersebut. "Jadi data hasil pemantauan, kami kan setiap hari mengukur dan mengevaluasi. Tren dari 2018 sampai 2021 ini [polusi udara] menurun di DKI Jakarta," ujar Yusiono.
Ia menambahkan pihaknya akan melakukan inventarisasi sumber-sumber polusi di Jakarta dalam upaya pengurangan polusi udara. Jika dikabulkan, apa akan dilaksanakan pemerintah?. Sebelumnya, sejumlah aktivis pernah menggugat pemerintah dalam kasus kebakaran hutan di Kalimantan, yang juga menggunakan mekanisme citizen lawsuit.
Pengadilan memutuskan pemerintah bersalah dalam hal tersebut. Meski demikian, beberapa poin dari gugatan itu belum dijalankan pemerintah. Pengajar hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Agung Wardana menjelaskan beberapa problematika dalam citizen lawsuit, salah satunya adalah karena mekanisme itu dilakukan dengan jalur perdata. "Dalam konteks citizen lawsuit, yang jadi tergugat adalah negara, bisa presiden, kementerian, gubernur. Ketika mereka dinyatakan kalah dan diminta harus melakukan sesuatu, permasalahan timbul karena logika perdata tidak masuk, dalam hal ini ke hal administrasi negara.
"Ada semacam blind spot (titik buta) sehingga menyebabkan gugatan-gugatan citizen lawsuit yang banyak dimenangkan, seperti dalam kasus Palangkaraya, eksekusinya lambat karena titel eksekutorial yang dikeluarkan PN hingga MA belum bisa memaksa putusan itu dilakukan oleh negara," ujarnya.
Polusi udara ini sudah tak bisa dimaafkan.
Meski kadang dianggap sebagai "kemenangan di atas kertas", menurut Agung, kemenangan bisa menjadi secercah harapan yang menunjukkan negara sudah gagal dalam mewujudkan lingkungan hidup yang sehat. "Dan itu termanifestasi dalam putusan hukum," ujarnya.
Dalam hal pemerintah lambat melaksanakan eksekusi pengadilan, Agung mengatakan penggugat dapat meminta pengadilan memanggi tergugat. Di sana, ujarnya, pengadilan bisa membuat tergugat membuat rencana atau timeline pelaksanaan eksekusi untuk memenuhi kewajiban mereka. (*)
Tags : Presiden Jokowi Hingga Gubernur Anies Baswedan Digugat, Polusi Udara di Jakarta, Polusi Udara Sudah Membludak,