Internasional   2021/05/20 15:40 WIB

Sungai Suci Gangga Kini Jadi Kuburan Korban Covid-19, Warga Sudah Banyak 'Kelenger dan Hilang Ingatan'

Sungai Suci Gangga Kini Jadi Kuburan Korban Covid-19, Warga Sudah Banyak 'Kelenger dan Hilang Ingatan'
Jumlah korban meninggal akibat Covid-19 di India sudah melampui.

INTERNASIONAL - Sungai tersuci di India, Gangga, dipenuhi dengan ratusan mayat manusia dalam beberapa hari terakhir - baik mengapung di sungai atau terkubur pasir di tepiannya. Kini banyak warga bahkan sudah murca, pingsan, selap, semaput; koma dan berkunang-kunang bahkan hilang ingatan. Masyarakat yang hidup dekat sungai dan menggunakan air itu untuk keperluan sehari-hari di negara bagian utara Uttar Pradesh khawatir mayat-mayat itu adalah korban Covid-19.

India telah kewalahan menghadapi gelombang kedua pandemi Covid-19 yang menghancurkan dalam beberapa pekan terakhir. Tercatat, terdapat lebih dari 25 juta kasus dan 275.000 kematian - walaupun para ahli mengatakan jumlah kematian sebenarnya beberapa kali lebih tinggi. Mayat-mayat di tepi sungai tersuci di India itu menceritakan kisah tentang korban tewas yang tidak terlihat dan tidak diketahui dalam data resmi.

Pejabat lokal, dan saksi mata setempat di beberapa distrik yang terkena dampak paling parah di Uttar Pradesh ditemukan cerita di balik ratusan mayat yang mengapung itu mulai dari kepercayaan tradisional, kemiskinan, dan pandemi yang menewaskan orang dengan kecepatan kilat.

Dasar sungai penuh kuburan

Kengerian di Uttar Pradesh itu pertama kali terungkap pada 10 Mei lalu ketika 71 mayat terdampar di tepi sungai desa Chausa Bihar, dekat perbatasan negara bagian. Neeraj Kumar Singh, inspektur polisi Buxar di Chausa mengatakan, autopsi dilakukan pada sebagian besar mayat yang membusuk, sampel DNA diambil, dan mayat dikuburkan di liang dekat tepi sungai.

Petugas mengatakan beberapa jenazah mungkin berasal dari kremasi rutin yang dilakukan di tepi Sungai Gangga, tetapi ada juga dugaan lain bahwa mayat tersebut telah dibuang ke sungai. Polisi pun memasang jaring di atas air untuk menangkap lebih banyak lagi. Sehari kemudian, berjarak 10 kilometer dari Chausa, puluhan mayat yang sudah membusuk ditemukan berserakan di tepi sungai di desa Gahmar, Distrik Ghazipur, Uttar Pradesh, dengan anjing liar dan burung gagak "berpesta" di atasnya.

Ratusan mayat ditemukan mengapung di sungai atau terkubur di pasir tepiannya.

Penduduk setempat mengatakan, mayat-mayat itu telah terdampar di tanggul selama beberapa hari, tetapi pihak berwenang telah mengabaikan keluhan mereka tentang bau busuk yang ditimbulkan sampai berita tentang mayat itu menjadi berita utama. Puluhan tubuh yang bengkak dan busuk mengambang di sungai itu ditemukan warga desa di distrik tetangga Ballia ketika akan berendam pagi di sungai paling suci di India itu. Surat kabar Hindustan melaporkan bahwa polisi menemukan 62 mayat.

Di Kannauj, Kanpur, Unnao, dan Prayagraj, dasar sungai dipenuhi dengan kuburan yang dangkal. Video yang dari tanggul Mehndi ghat di Kannauj menunjukkan sejumlah gundukan yang panjangnya seukuran tubuh manusia. Banyak yang terlihat seperti benjolan di dasar sungai, masing-masing berisi tubuh manusia. Di dekat Mahadevi Ghat, setidaknya 50 mayat ditemukan.

Perbedaan 'masif' dalam jumlah korban tewas

Secara tradisional, umat Hindu mengkremasi jenazah sesama umat yang wafat. Tetapi banyak komunitas mengikuti apa yang dikenal sebagai "Jal Pravah" - praktik melarungkan mayat di sungai seperti anak-anak, gadis yang tidak menikah, atau mereka yang meninggal karena penyakit menular atau gigitan ular. Banyak orang miskin juga tidak mampu membayar kremasi, sehingga mereka membungkus jenazah dengan kain kasa putih dan mendorongnya ke dalam air.

Ada jenazah diikat dengan batu untuk memastikan mereka tetap terendam, tetapi banyak juga yang terapung tanpa beban. Di waktu normal saja, mayat yang mengapung di Sungai Gangga bukan pemandangan biasa. Yang jarang terjadi adalah begitu banyak mayat bermunculan dalam waktu sesingkat itu, dan berada di banyak tempat di sepanjang tepi sungai. Seorang jurnalis di Kanpur mengatakan, mayat-mayat itu adalah bukti dari "perbedaan besar antara angka kematian resmi Covid-19 dan angka sebenarnya di lapangan".

Dia mengatakan secara resmi 196 orang telah meninggal akibat virus di Kanpur antara 16 April dan 5 Mei, tetapi data dari tujuh krematorium menunjukkan hampir 8.000 kremasi. "Semua krematorium listrik beroperasi 24/7 pada bulan April. Itu pun belum cukup, sehingga pemerintah mengizinkan pekarangan luar digunakan untuk kremasi dengan menggunakan kayu," katanya dirilis BBC.

"Tetapi mereka hanya menerima jenazah yang datang dari rumah sakit dengan sertifikat Covid-19, dan sejumlah besar orang meninggal di rumah, tanpa menjalani tes apa pun. Keluarga mereka membawa jenazah ke pinggiran kota atau ke distrik tetangga seperti Unnao. Ketika mereka tidak dapat menemukan kayu atau tempat kremasi, mereka hanya menguburnya di dasar sungai."

Seorang jurnalis di Prayagraj meyakini banyak jenazah itu adalah pasien Covid yang meninggal di rumah tanpa tes, atau orang miskin yang tidak mampu membayar kremasi. "Ini memilukan," katanya. "Semua orang ini adalah putra, putri, saudara laki-laki, ayah, dan ibu seseorang. Mereka pantas dihormati dalam kematian. Tetapi mereka bahkan belum menjadi bagian dari statistik - mereka meninggal tanpa diketahui dan dikuburkan tanpa diketahui."

Penguburan dari jam 7 pagi sampai 11 malam

Penemuan kuburan dan mayat yang membusuk, serta ketakutan akan terinfeksi virus corona, telah mengirimkan gelombang kejut ke desa-desa di sepanjang tepian sungai. Berasal dari Himalaya, Gangga adalah salah satu sungai terbesar di dunia. Umat Hindu menganggapnya sakral dan percaya bahwa mandi di Sungai Gangga akan membersihkan dosa-dosa mereka dan menggunakan airnya untuk ritual keagamaan.

Di Kannauj, Jagmohan Tiwari, seorang warga desa berusia 63 tahun mengatakan kepada saluran lokal bahwa dia telah melihat "150-200 kuburan" di dasar sungai. "Penguburan berlangsung dari jam 7 pagi sampai jam 11 malam, Itu menghancurkan jiwa," katanya.

Penemuan kuburan tersebut telah memicu kepanikan di daerah tersebut. Orang-orang khawatir jenazah yang terkubur di dasar sungai akan mulai mengapung begitu hujan turun dan permukaan air naik. Rabu lalu, pemerintah negara bagian melarang "Jal Pravah" dan menawarkan bantuan dana kepada keluarga miskin yang tidak mampu membayar kremasi.

Di banyak tempat, polisi menarik mayat keluar dari sungai dengan tongkat dan merekrut tukang perahu untuk membawa mereka ke darat. Kemudian, jenazah yang membusuk dikubur di dalam lubang atau dibakar di atas kayu bakar. Vipin Tada, inspektur polisi di Ballia, mengatakan tengah berkomunikasi dengan pemimpin dewan desa untuk membuat mereka sadar bahwa jenazah tidak boleh diapungkan di sungai dan bagi yang tidak mampu membayar kremasi dapat mencari bantuan keuangan.

Hakim Distrik Ghazipur Mangala Prasad Singh mengatakan, tim sedang berpatroli di tanggul dan tempat kremasi untuk menghentikan orang membuang mayat ke dalam air atau menguburnya. Namun timnya masih menemukan satu atau dua mayat di sungai setiap hari. "Kami telah melakukan upacara keagamaan terakhir mereka, sesuai ritual," katanya.

Apa kesalahan India 

Seorang pejabat senior dari pemerintah federal India mengatakan kepada wartawan bahwa tidak ada kekurangan oksigen di Delhi atau di mana pun di negara itu pada Senin 3 Mei 2021. Saat dia berbicara, beberapa rumah sakit kecil - hanya beberapa kilometer dari tempat dia berdiri - mengirimkan pesan bahwa mereka kehabisan oksigen sehingga membahayakan nyawa pasien.

Kepala dokter dari salah satu rumah sakit - dokter spesialis anak - mengatakan dirinya "sangat cemas" karena adanya risiko kematian pada anak-anak. Belakangan mereka mendapat pasokan oksigen tepat, setelah seorang politisi lokal turun tangan. Namun, pemerintah federal telah berulang kali menegaskan bahwa tidak ada kekurangan pasokan. "Kami hanya menghadapi masalah dalam pengangkutannya," kata Piyush Goyal, seorang pejabat senior dari Kementerian Dalam Negeri India.

Semestinya rumah sakit yang "memastikan penggunaan oksigen secara bijaksana sesuai pedoman", lanjut Goyal, membuat para dokter bingung. Tetapi para pakar mengatakan bahwa kekurangan oksigen hanyalah salah satu masalah yang menunjukkan bahwa pemerintah India abai dan gagal melakukan cukup banyak hal untuk menghentikan atau meminimalisir kerusakan gelombang kedua.

Peringatan sebenarnya sudah berkali-kali dikeluarkan, antara lain:

  • Pada bulan November, komite tetap parlemen untuk kesehatan mengatakan pasokan oksigen yang tidak memadai dan tempat tidur rumah sakit pemerintah yang "sangat tidak memadai".
  • Pada bulan Februari, beberapa ahli mengatakan bahwa mereka mengkhawatirkan 'tsunami Covid' yang akan datang.
  • Pada awal Maret, sekelompok ilmuwan ahli, yang dibentuk oleh pemerintah, memperingatkan para pejabat tentang varian virus corona yang lebih menular yang menyebar di negara itu - tapi tidak ada tindakan penahanan yang signifikan yang harus diambil, kata salah satu ilmuwan dari tim itu kepada BBC. Pemerintah India belum memberi tanggapan atas tudingan tersebut.
  • Meskipun demikian, pada 8 Maret, menteri kesehatan negara itu mengumumkan bahwa India berada dalam "tahap akhir pandemi".

Pada Januari dan Februari, kasus harian India turun menjadi di bawah 20.000. Jumlah ini jauh lebh rendah dari puncak kasus harian yang mencapai sekitar 90.000 pada September 2020. Perdana Menteri Narendra Modi menyatakan Covid telah kalah, dan semua tempat pertemuan umum dibuka. Dan segera, orang-orang tidak mengikuti protokol kesehatan Covid, sebagian berkat pesan membingungkan dari pemerintah.

Ketika Modi meminta orang-orang untuk memakai masker dan mengikuti jarak sosial dalam pesan publiknya, dia berbicara kepada kerumunan massa yang tidak mengenakan masker selama kampanye pemilihannya di lima negara bagian. Sejumlah menterinya juga terlihat berpidato di pertemuan publik besar-besaran tanpa mengenakan masker. Kumbh Mela, festival umat Hindu yang menarik jutaan orang juga diberi lampu hijau untuk digelar. "Ada keterputusan total antara apa yang mereka praktikkan dan apa yang mereka khotbahkan," kata pakar kebijakan publik dan sistem kesehatan, Dr Chandrakant Lahariya.

Ahli virologi terkemuka, Dr Shahid Jameel, mengatakan "pemerintah tidak mengantisipasi gelombang kedua datang dan mulai merayakannya terlalu dini". Dampak lonjakan kasus juga telah mengekspos kekurangan dana dan pengabaian sistem perawatan kesehatan publik di India. Pemandangan memilukan di luar rumah sakit - orang meninggal tanpa mendapatkan perawatan - menunjukkan kenyataan suram infrastruktur perawatan kesehatan India.

Seperti yang dikatakan seorang ahli, "infrastruktur kesehatan publik India selalu rusak, orang kaya dan kelas menengah baru mengetahuinya". Mereka yang mampu selalu bergantung pada rumah sakit swasta untuk perawatan, sementara orang miskin kesulitan hanya untuk mendapatkan janji dengan dokter. Skema terkini, seperti asuransi kesehatan dan obat-obatan bersubsidi untuk orang miskin, tak banyak membantu karena sangat sedikit yang telah dilakukan dalam beberapa dekade untuk meningkatkan jumlah staf medis atau rumah sakit.

Pengeluaran perawatan kesehatan India, termasuk swasta dan publik, adalah sekitar 3,6% dari PDB selama enam tahun terakhir, persentase terendah di lima negara BRICS. Brasil menghabiskan paling banyak dengan persentase 9,2%, diikuti oleh Afrika Selatan pada 8,1%, Rusia pada 5,3%, dan China sebesar 5% pada 2018. Negara-negara maju membelanjakan proporsi PDB mereka yang jauh lebih tinggi untuk kesehatan, seperti misalnya AS yang menggelontorkan 16,9% dan Jerman 11,2% pada tahun yang sama.

Bahkan negara-negara yang lebih kecil seperti Sri Lanka (3,76%) dan Thailand (3,79%) membelanjakan lebih banyak daripada India. Tahun lalu, beberapa "komite" sengaja ditugaskan untuk mempersiapkan segala yang diperlukan untuk mengatasi gelombang virus corona berikutnya. Karena itu, para ahli bertanya-tanya mengapa ada kekurangan oksigen, tempat tidur, dan obat-obatan. "Ketika gelombang pertama melonjak, saat itulah mereka harus bersiap untuk gelombang kedua dan mengasumsikan yang terburuk. Mereka seharusnya melakukan inventarisasi oksigen dan [obat] remdesivir dan kemudian meningkatkan kapasitas produksi," kata Mahesh Zagade, mantan pejabat kesehatan di Negara Bagian Maharashtra.

Para pejabat mengatakan India menghasilkan cukup oksigen untuk memenuhi lonjakan permintaan, tetapi transportasi adalah masalahnya - meskipun hal ini dipertanyakan oleh para ahli. Pemerintah sekarang menjalankan kereta khusus yang membawa oksigen dari satu negara bagian ke negara bagian lain dan menghentikan penggunaan oksigen dalam industri - namun itu terjadi setelah banyak pasien meninggal karena kekurangan oksigen. "Akibatnya adalah anggota keluarga yang putus asa menghabiskan ribuan rupee untuk mengamankan tabung oksigen di pasar gelap dan kemudian berdiri berjam-jam dalam antrean untuk mengisinya," kata Dr Lahariya.

Sementara itu, mereka yang mampu juga membayar mahal untuk membeli obat-obatan seperti remdesivir dan tocilizumab. Seorang eksekutif dari perusahaan farmasi yang memproduksi remdesivir mengatakan "permintaan telah menurun" pada Januari dan Februari. "Kalau pemerintah sudah memesannya, pasti kami menimbun dan tidak ada kekurangan. Kami tingkatkan produksi, tapi permintaan tumbuh signifikan," katanya.

Sebaliknya, Negara Bagian Kerala mengantisipasi gelombang tersebut terlebih dahulu. Dr A Fathahudeen, yang merupakan bagian dari gugus tugas Covid negara bagian, mengatakan tidak ada kekurangan oksigen di negara bagian itu karena langkah-langkah yang diperlukan telah diambil pada Oktober tahun lalu. "Kami juga mendapatkan stok remdesivir dan tocilizumab serta obat lain yang cukup jauh sebelumnya. Kami juga memiliki rencana untuk mengatasi setiap peningkatan eksponensial jumlah kasus dalam beberapa minggu mendatang," katanya.

Mr Zagade mengatakan negara bagian lain juga harus mengambil langkah serupa "untuk menghindari penderitaan". "Belajar berarti orang lain telah melakukannya dan Anda dapat melakukannya sekarang, tetapi itu berarti butuh waktu," kata mantan sekretaris kesehatan Maharashtra.

Tetapi waktu hampir habis karena gelombang kedua sekarang menyebar ke desa-desa di mana sistem perawatan kesehatan tidak dipersiapkan untuk mengatasi lonjakan tersebut. Pengurutan genom virus merupakan langkah penting dalam mengidentifikasi varian baru yang bisa lebih menular dan mematikan. Konsorsium Genomik SARS-CoV-2 India (INSACOG) didirikan tahun lalu dan mengumpulkan 10 laboratorium di negara tersebut.

Namun kelompok tersebut dikabarkan kesulitan mendapatkan dana pada awalnya. Ahli virologi Dr Jameel mengatakan India mulai serius melihat mutasi cukup terlambat, dengan upaya pengurutan baru "dimulai dengan benar" pada pertengahan Februari 2021. India mengurutkan lebih dari 1% dari semua sampel saat ini. "Sebagai perbandingan, Inggris telah melakukan sekuens genom sekitar 5-6% pada puncak pandemi. Tetapi Anda tidak dapat membangun kapasitas seperti itu dalam semalam," katanya.

Harapan utama India pada vaksinasi

"Setiap pakar kesehatan masyarakat akan memberitahu Anda bahwa tidak ada cara praktis untuk memperkuat sistem perawatan kesehatan publik yang sudah rusak dalam hitungan bulan. Alternatif terbaik dan paling efektif untuk memerangi Covid adalah dengan memvaksinasi populasi secepat mungkin sehingga mayoritas tidak memerlukan perawatan rumah sakit dan karenanya tidak membebani sistem perawatan kesehatan secara berlebihan," kata seorang perempuan, yang keluarganya menjalankan rumah sakit swasta besar di Delhi.

Tumpukan mayat di pemakaman terlihat di sepanjang tepi Sungai Gangga di Garhmukteshwar, Uttar Pradesh.

India awalnya menargetkan 300 juta orang divaksinasi pada bulan Juli, "tetapi tampaknya pemerintah tidak melakukan perencanaan yang cukup untuk mengamankan pasokan vaksin guna menjalankan program tersebut", kata Dr Lahariya.

"Selain itu, India telah membuka vaksinasi bagi semua orang dewasa tanpa mengamankan pasokan vaksin."

Sejauh ini, hanya sekitar 26 juta orang yang telah divaksinasi penuh dari seluruh 1,4 miliar populasi, dan sekitar 124 juta telah menerima satu dosis. India memiliki jutaan dosis lagi yang dipesan, tetapi masih jauh dari yang sebenarnya dibutuhkan. Pemerintah juga telah membatalkan ekspor vaksin, mengingkari komitmen yang telah dibuat dengan negara-negara lain.

Pemerintah telah meminta perusahaan lain seperti Biological E dan Haffkine Institute yang dikelola negara untuk memproduksi vaksin. Pemerintah juga telah memberikan dukungan kredit sebesar US$609 juta, atau sekitar Rp8,7 triliun, kepada Serum Institute of India, yang memproduksi vaksin Oxford-AstraZeneca yang dibuat di India dengan nama Covishield, untuk meningkatkan produksi.

Tapi dana itu semestinya datang lebih awal, kata Dr Lahariya, untuk menyelamatkan nyawa yang berharga. Para ahli mengatakan ironis bahwa India dikenal sebagai apotek dunia dan sekarang menghadapi kekurangan vaksin dan obat-obatan. Semua ini, kata Dr Lahariya, harus menjadi peringatan bagi pemerintah federal dan negara bagian, agar berinvestasi lebih banyak di sektor perawatan kesehatan karena "ini jelas bukan pandemi terakhir yang harus kita lawan". "Pandemi di masa depan mungkin datang lebih awal dari yang dapat diprediksi oleh model mana pun," katanya. (*)

Tags : Covid-19.Virus Corona, Sungai Suci Gangga Jadi Kuburan Korban Covid-19, Warga di India Sudah Banyak Kelenger,