JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto berkata akan "selalu menjaga kedaulatan kami" saat ditanya tentang isu Laut China Selatan di Washington pada Rabu (13/11) waktu setempat.
Prabowo juga menambahkan bahwa menurutnya, "kemitraan lebih baik daripada konflik" dan bahwa Indonesia "menghormati semua negara", seperti dilaporkan Kantor Berita Reuters.
Pernyataan ini disampaikan oleh Prabowo kepada media di Washington, setelah Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan Indonesia tidak mengakui klaim China atas Laut China Selatan meskipun telah menandatangani kesepakatan maritim dengan Beijing pekan lalu.
"Kami menghormati semua kekuatan [negara], tetapi kami akan selalu menjaga kedaulatan kami. Namun, saya memilih untuk selalu mencari kemungkinan kemitraan," sebut Prabowo.
Sebelumnya, sengketa wilayah di Laut China Selatan memasuki babak baru dengan dikeluarkannya pernyataan bersama Indonesia dan China yang antara lain mengangkat isu tumpang tindih klaim kemaritiman.
Pernyataan bersama Indonesia-China soal kerja sama strategis itu dipublikasikan pascatatap muka Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping di Beijing pada Sabtu (9/11).
Salah satu paragraf dalam deklarasi itu menyebut “kedua belah pihak mencapai pemahaman bersama yang penting tentang pengembangan bersama di wilayah-wilayah yang menjadi objek klaim tumpang tindih”.
Dalam pernyataan yang sama, Indonesia dan China juga menegaskan komitmen untuk bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Dilansir kantor berita Antara, pemerintah China menyatakan siap bernegosiasi dengan Indonesia terkait klaim-klaim tumpang tindih kemaritiman.
Kementerian Luar Negeri Indonesia telah mengeluarkan pernyataan yang menegaskan Indonesia tidak mengakui klaim China di Laut China Selatan.
Meskipun demikian, beberapa pengamat menyebut ini merupakan langkah mundur bagi Indonesia dalam konteks sengketa Laut China Selatan karena kemunculan "negosiasi".
Bagaimana pernyataan bersama Indonesia-China tentang tumpang tindih wilayah laut?
Sebagai bagian dari lawatan internasionalnya, Presiden Prabowo Subianto mengunjungi Presiden Xi Jinping di Beijing pada Sabtu (09/11).
Kedua negara juga menyepakati pembentukan komite bersama untuk meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disepakati untuk menangani klaim tumpang tindih.
Paragraf ini tidak menyebut “Laut China Selatan” secara eksplisit. Akan tetapi, dalam pernyataan yang sama, Indonesia dan China juga menegaskan komitmen untuk bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Dilansir kantor berita Antara, pemerintah China menyatakan siap bernegosiasi dengan Indonesia terkait klaim-klaim tumpang tindih kemaritiman.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jiang, menekankan Laut China Selatan ditetapkan berdasarkan sejarah yang panjang dan konsisten dengan hukum dan praktik internasional.
“Sejak 1948, pemerintah China secara resmi telah mengumumkan garis putus-putus dan menegaskan kembali kedaulatan dan hak-haknya di Laut China Selatan,” ujar Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing pada Senin (11/11).
Pada Senin (11/11), Kementerian Luar Negeri Indonesia menekankan pernyataan bersama tersebut tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim “Nine-Dash-Lines” dari China.
“Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Roy Soemirat, dalam keterangan tertulis.
Konvensi Hukum Laut PBB alias UNCLOS tahun 1982 merupakan kesepakatan batas-batas wilayah kelautan yang telah diratifikasi lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia.
Selain itu, Pengadilan Arbitrase Permanen 2016 membatalkan klaim sembilan garis putus-putus tersebut.
Mengapa pernyataan bersama Indonesia-China ini menuai kontroversi?
Peneliti International Institute for Strategic Studies (IISS), Evan A Laksmana, memaknai pernyataan bersama tersebut sebagai kemunduran.
Evan menekankan posisi Indonesia selama ini adalah pihaknya tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan China di Laut China Selatan.
Dengan kata lain, kalimat “tumpang tindih klaim laut” pada pernyataan bersama tadi dapat dimaknai Indonesia secara implisit mengakui klaim China.
“Negosiasi [adalah] sesuatu yang selalu dihindari Kementerian Luar Negeri selama dua-tiga dekade terakhir,” ujar Evan kepada BBC News Indonesia pada Selasa (12/11).
“Karena kalau kita negosiasi, artinya kita mengakui ada dasar negosiasi: [yaitu] ada dispute [perselisihan],” kata Evan.
Ia menambahkan, walau Kementerian Luar Negeri Indonesia merilis pernyataan lanjutan bahwa Indonesia tetap tidak mengakui klaim sembilan garis putus-putus China, hal itu tidak menghindarkan konsekuensi dari pernyataan bersama Indonesia-China.
“Apapun pernyataan lanjutan dari Kemenlu, sudah keluar bahwa ada dokumen joint statement [pernyataan bersama] yang menyatakan overlapping claims [tumpang tindih klaim],” ujarnya.
Evan juga menyoroti pernyataan bersama Indonesia-China baru dirilis Kementerian Luar Negeri sekitar 36-48 jam setelah China mempublikasikannya.
Pendapat senada diutarakan pakar hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Idil Syawfi.
Bahkan, Idil menyebut pernyataan Kementerian Luar Negeri tersebut merupakan suatu upaya untuk meluruskan “blunder” yang terlanjur menjadi sorotan berbagai negara lainnya.
“Sepertinya para pengambil kebijakan waktu di Beijing tidak melihat atau menyadari ada masalah dari joint statement yang akan ditandatangani. Hal ini kemudian menjadi masalah setelah [Kementerian Luar Negeri] China merilis joint statement tersebut,” ujar Idil pada Selasa (12/11).
Sementara Evan, walaupun tidak secara lugas menyebutnya sebagai “blunder”, tapi ia mempertanyakan "ramifikasi" (dampak politik) dari pernyataan bersama ini,
“Apakah kita masih dianggap bisa mewakili kepentingan negara-negara ASEAN yang lainnya? Apakah Filipina dan Vietnam akan melihat Indonesia sebagai pemimpin kawasan untuk menjaga kepentingan kawasan [dan] bukan hanya menaikkan kepentingan bilateral? Ini yang sesuatu yang ramifikasinya cukup panjang,” ujar Evan.
“Saya enggak yakin sudah diperdebatkan secara sebelum diambil keputusan untuk menjalankan ini,” imbuhnya.
Konsekuensi apa yang dihadapi Indonesia pada masa yang akan datang?
Idil menyoroti posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara yang kemungkinan akan dipertanyakan negara-negara tetangga—khususnya mereka yang punya sengketa di Laut China Selatan seperti Vietnam dan Filipina.
“Sikap Indonesia selama ini selalu jadi referensi bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk dalam pembicaraan mengenai batas wilayah,” ujar Idil.
Senada, Evan mempertanyakan posisi Indonesia “penengah yang baik” di antara negara-negara ASEAN dalam konteks Laut China Selatan.
“Apakah kita masih dianggap bisa mewakili kepentingan negara-negara ASEAN yang lainnya?” tanyanya.
Sementara Siswanto Rusdi, direktur the National Maritime Institute (Namarin), mengatakan pernyataan lanjutan dari Kementerian Luar Negeri Indonesia lebih merupakan upaya diplomasi ke negara-negara ASEAN.
“Sebagai negara besar di Asia Tenggara dan perairan paling besar, kalau kita tidak ‘ikut-ikutan’ bersikap kritis kepada China, [mereka] seperti kehilangan dukungan,” ujarnya.
'Bisa menjadi bumerang'
Pernyataan bersama ini bisa saja menjadi bumerang bagi Indonesia pada masa yang akan datang, papar Idil.
“Ini bisa saja menjadi dasar bagi China untuk membuka pembicaraan terkait penyelesaian tumpang tindih klaim di Laut Cina Selatan dengan Indonesia.. dan bisa saja kemudian meningkatkan tingkatannya menjadi sengketa wilayah,” ujar Idil.
Idil juga mengingatkan pernyataan bersama ini juga bisa dijadikan pembenaran bagi nelayan dan patroli laut China untuk meningkatkan aktivitas mereka di Natuna.
“Kalau kita lihat polanya, China pada awalnya melakukan gertakan selama satu bulan terakhir. Coast guard dan nelayan China memasuki wilayah perairan Natuna setidaknya sebanyak tiga kali,” ujar Idil mengutip laporan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Dilansir Antara, Bakamla mengusir salah satu kapal coast guard China dari Laut Natuna Utara di Kepulauan Riau pada 24 Oktober 2024.
Idil juga menyebut pernyataan bersama ini merupakan sebuah kemajuan bagi China.
“Karena China selama ini yang kemudian selalu menyuarakan bahwa ada overlapping claims [tumpang tindih klaim] antara Indonesia dengan China,” ujar Idil.
“Walaupun di sisi lain, mereka selalu mengatakan bahwa mereka mengakui tidak ada sengketa wilayah antara Indonesia dengan China di Laut Cina Selatan.”
Idil menyebut pola serupa dari pernyataan bersama ini juga bisa diterapkan China ke negara-negara lainnya.
Bagaimana respons Kementerian Luar Negeri Indonesia?
Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno mengakui upaya untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan sudah berlangsung sejak lama.
“Kita mengharapkan pernyataan bersama ini mudah-mudahan menciptakan momentum baru,” ujar Arif Havas kepada BBC News Indonesia ketika dihubungi pada Selasa (12/11).
Sekalipun sudah ada Declaration of the Conduct of the Parties in the South China Sea yang disepakati negara-negara ASEAN dan China pada tahun 2002, Arif Havas mengakui “ketegangan kadang-kadang muncul.”
Arif Havas, yang sebelumnya menjabat sebagai Deputi Koordinasi Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman, menegaskan sudah ada banyak perjanjian internasional dan ratifikasi hukum internasional yang dilakukan
“Artinya, kita punya safeguard [jaminan] dari peraturan perundang-undangan kita yang cukup solid,” ujarnya.
Menanggapi kritik dari sejumlah pengamat mengenai pernyataan bersama ini, Arif Havas mengatakan pihaknya tidak “beroperasi atas asumsi pribadi”.
“Pengamat tidak mengatasnamakan pemerintahan [tertentu],” ujar Arif Havas.
Sementara ihwal pernyataan dari juru bicara Kementerian Luar Negeri China tentang “siap bernegosiasi”, Arif Havas mengatakan hal itu sudah dinyatakan sejak lama.
“Dari dulu [China] sudah menyatakan siap bernegosiasi,” ujarnya. (*)
Tags : ASEAN, Cina, Politik, Hukum, Asia, Indonesia, Asia tenggara,