JAKARTA - Pemerintah Indonesia dinilai gegabah dengan menunjuk organisasi nonpemerintah internasional sebagai pelaksana manajemen proyek reforma agraria.
Langkah tersebut dianggap mencerminkan 'ketidakpahaman pemerintah atas urusan besar bernama reforma agraria dan perhutanan sosial.'
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika memandang pemerintah -dalam hal ini Kemenko Perekonomian- telah 'melakukan langkah gegabah' atas nama percepatan reforma agraria dan perhutanan sosial.
Hal ini menunjukkan sinergi antara tim reforma agraria dibawah Kemenko Perekonomian dan tiga pokja terkait 'belum efektif dan belum sinkron.'
Pada 19 Oktober lalu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian meluncurkan kerja sama dengan badan Dana Satwa Liar atau WWF Indonesia untuk membentuk pelaksana manajemen proyek program dalam reforma agraria dan perhutanan sosial. Lima hari sesudahnya, pada Selasa 24 Oktober 2022 keduanya mengakhiri kerjasama tersebut.
Dewi menuturkan, sebagaimana diketahui, WWF sebagai lembaga konservasi hutan dan satwa langka tidak mempunyai pengalaman dalam perkara reforma agraria. Sementara, reforma agraria sudah menjadi agenda nasional.
"Kesepakatan antara pemerintah dan WWF menunjukkan juga ada pengalihan tanggung jawab dalam hal ini pemerintah untuk menjalankan RA (reforma agraria ) kepada NGO internasional," ujar Dewi dalam konferensi pers Evaluasi Tiga Tahun Reforma Agraria di Jakarta, seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (25/10).
Dewi Satriani -Manajer Kampanye dan Mobilisasi WWF Indonesia- mengatakan keputusan diambil setelah mempertimbangkan sejumlah masukan dari berbagai pengampu kepentingan (stakeholder) yang terkait isu Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria.
"Kedua belah pihak juga mempertimbangkan bahwa pembentukan sekretariat bersama tersebut memerlukan pertimbangan yang lebih matang dan konsultasi dengan pihak yang lebih luas," ujar Dewi dalam siaran pers.
Konflik agraria justru bertambah
Pada kesempatan yang sama, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rahma Meri, menilai antara reforma agraria dengan penyelesaian konflik berjalan terpisah. Padahal, reforma agraria tidak akan berjalan tanpa adanya penyelesaian konflik.
Ia memandang dalam program reforma agraria, pemerintah justru mengedepankan bagi-bagi sertifikat dan perhutanan sosial yang seluas 12,7 juta hektar. Padahal, menurutnya, perhutanan sosial tidak dapat menyelesaikan konflik, jika konfliknya berbasis perampasan tanah masyarakat di masa lalu.
"Nah selama ini program PS ini yang terus dikejar, sementara penyelesaian konflik berbasis hak atas tanah tidak pernah diberlakukan. Sebagai akibatnya, terjadi kriminalisasi kepada masyarakat yang menjadi semakin tidak berkurang, malah bertambah," ujarnya.
Dewi Kartika menambahkan, berdasar data KPA, sejak 2015-2016 telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 kepala keluarga petani.
"Artinya, dalam satu hari telah terjadi satu konflik agraria di tanah air."
Sementara dalam rentang waktu tersebut, sedikitnya 455 petani dikriminalisasi, 229 petani mengalami kekerasan dan 18 orang tewas.
Salah satunya adalah pembunuhan Salim, seorang petani yang vokal menolak kegiatan penambangan pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada September 2015.
"Angka ini berbanding terbalik dengan janji dan rencana reforma agraria dan penguatan hak-hak dasar petani.
Hal yang sama terjadi terhadap masyarakat di pesisir dan pulau kecil. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menemukan, di tahun 2016 saja, setidaknya terdapat 28 titik area pesisisr yang direklamasi dan 20 titik area pesisir yang ditambang dan pada akhirnya menimbulkan konflik horizontal, serta 40 kasus kriminalisasi yang dialami oleh nelayan.
"Dari total jumlah tersebut, 107.361 KK yang akan tersingkirkan akibat reklamasi di pulau kecil dan pesisir," ujar Deputi Advokasi, Hukum dan Kebijakan KIARA, Tigor Gemdita Hutapea.
Senada dengan pengamatan KIARA, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, juga menuturkan dari tahun ke tahun sengketa lahan mengalami tren peningkatan sejalan dengan perluasan perkebunan.
"Bahkan di banyak kasus, justru kita dengar dari calon investor yang diminta oleh pemerintah daerah untuk investasi di daerahnya tapi tanah yang jadi sasaran izin justru tidak jelas dan main-main caplok," kata dia.
Inda menambahkan bahwa pada 2016 saja, terdapat 742 kasus sengketa lahan sawit yang sudah terindentifikasi. Maka dari itu ia mendesak Presiden Joko Widodo untuk memperketat perizinan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit dan jika melakukan moratorium.
Lembaga khusus langsung dibawah presiden
Melihat perkembangan reforma agraria selama tiga tahun ini, Komite Nasional Pembaruan Agraria mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk meluruskan dan mempercepat reforma agraria.
Salah satu yang disarankan adalah memanggil semua kementerian dan lembaga terkait perencanaan dan implementasi reforma agraria serta penyelesaian konflik.
Tim Reformasi Agraria saat ini "terlanjur" telah dibentuk oleh pemerintah, yang dipimpin oleh Kemenko bidang Perekonomian bersama tiga kelompok kerja utamanya, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bersama Kantor Staf Presiden.
Mereka harus memprioritaskan kerjanya selama dua tahun ke depan pada lokasi-lokasi priroritas RA yang telah diusulkan rakyat dari bawah (bottom up process).
"Ini harus duduk bersama karena reforma agraria tidak bisa diselesaikan secara sektoral atau terpisah. Penentuan objek reforma agraria itu tidak bisa kembali menjadi pemisahan antara hutan dan nonhutan. ATR/BPN dan KLHK harus duduk bersama, sembilan juta hektar ada dimana dan bagaimana mekanisme untuk menentukan TORA-TORA usulan dari bawah," ujar Dewi.
Idealnya, lanjut dia, harus ada lembaga khusus yang bersifat otoritatif, artinya langsung dibawah presiden yang khusus menangani refroma agraria. Lembaga tersebut juga harus bersifat lintas sektoral lantaran masalah agraria dan konflik yang hendak dijawab oleh reformasi agraria bersifat lintas sektoral.
"Jadi tidak bisa masyarakat kalau mau mengurus TORA di kawasan nonhutan harus ke ATR, terus kalau di kawasan hutan harus datang ke KLHK, artinya tim RA ini masih bekerja secara sektoral," kata dia.
'Upaya pemberdayaan masyarakat'
Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan reforma agraria dan perhutanan sosial menjadi salah satu upaya pemerataan ekonomi bagi masyarakat di Indonesia.
"Semangat reforma agraria dan perhutanan sosial adalah bagaimana lahan, bagaimana hutan, yang merupakan bagian dari sumber daya alam Indonesia dapat diakses oleh rakyat, dapat diakses oleh masyarakat dan dapat menghadirkan keadilan ekonomi dan menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat," kata Presiden dalam sambutan pembukaan Konferensi Tenuria Reformasi Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Hutan Indonesia 2017 di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (25/10).
Presiden berharap dari konferensi tenurial dapat menghasilkan sinergi kerja masyarakat sipil bersama kementerian dan lembaga negara.
"Saya harap melalui konferensi ini akan lahir hasil nyata, rumusan peta jalan yang dapat diterapkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil dan para pelaku usaha dalam rangka mempercepat program reforma agraria dan perhutanan sosial dan terutama, peta jalan yang dapat menunjukan arah yang pasti dan berkelanjutan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada rakyat," jelasnya.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menambahkan program tersebut akan memberi akses kepada masyarakat untuk mengolah lahan milik pemerintah melalui perhutanan sosial. Program reforma agraria antara lain dengan pengakuan hutan adat dan hutan desa, maka kawasan itu dapat dikelola masyarakat dengan berbagai kreativitas dan bisa bermacam-macam.
"Ada ekowisata dan lainnya, itulah kelebihan kita dari negara lain, itu adalah keragaman hayati, mereka bisa mengembangkan itu," tutur Darmin.
Target pemerintah dalam bentuk perhutanan sosial seluas 12,7 hektar dan reforma agraria seluas sembilan juta hektar merupakan cita-cita dalam semangat Nawa Cita yang ditegaskan dalam RPJMN 2015-2019.
Fokus program reforma agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo adalah legalisasi dan redistribusi aset yang digolongkan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas sembilan juta hektare.
Dari luasan tersebut, ditargetkan 4,5 juta hektare untuk legalisasi aset yang terdiri dari 3,9 juta hektare untuk sertifikasi tanah-tanah warga dan 0,6 juta hektare untuk lahan transmigrasi.
Kemudian, sisanya seluas 4,5 juta hektar dialokasikan untuk redistribusi aset yang terdiri dari 0,4 juta hektare dari lahan HGU yang telah habis masa berlakunya dan tanah-tanah terlantar, dan 4,1 juta hektare dari pelepasan kawasan hutan negara. (*)
Tags : Manajemen Proyek Reforma Agraria, Proyek Reforma Agraria Dinilai Gegabah, Organisasi Nonpemerintah Jalankan Pembaharuan Agraria,