
PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) melihat Pulau Kecil Rupat, Bengkalis masih menjadi sasaran korporasi untuk mencari untung baik diwilayah darat dan laut.
"Tujuh korporasi berlomba-lomba cari untung di Pulau Rupat, Bengkalis"
“Dalam dua tahun terakhir, kami melakukan pemantauan dan assesment di Pulau Rupat. Dari assesment spasial dan assesment lapangan, kami menemukan fakta bahwa Pulau Rupat adalah pulau kecil yang luasnya kurang lebih 1500 Km2 terus mengalami kehancuran," kata Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau dalam m=keterangan persnya, Minggu.
Menurut Undang-undang Wilayah Pesisir Pulau Kecil, yang disebut pulau kecil adalah pulau yang sama atau lebih kecil dari 2000 km2. Dilihat dari data spasial, Pulau Rupat ini 77,9% wilayah gambut.
"Saat ini, Pulau Rupat mengalami berbagai ancaman perizinan baik di darat maupun di laut. Di darat, ada tujuh korporasi yang menguasai sekitar 61% daratan, sementara di laut ada tambang pasir yang mengakibatkan abrasi dan berkurangnya hasil tangkap nelayan,” terangnya di dalam website intern pemerhati lingkungan ini.
Sebelumnya, Walhi telah mengadakan diskusi publik dan meluncurkan Lembar Fakta berjudul “Pulau Kecil Rupat: Dihancurkan di Darat, Dirusak di Laut” pada 8 Februari 2022 lalu.
Lembar fakta tersebut dipaparkan Boy Jerry Even Sembiring diperlihatkan dan mendapat tanggapan Hj. Azlaini Agus (Wakil Ketua FKPMR) dan Riko Kurniawan (Direktur Paradigma).
Diskusi yang diadakan di Rumah Gerakan Rakyat Walhi Riau waktu lalu dihadiri oleh beberapa individu dari berbagai kalangan, seperti jaringan anggota WALHI Riau, media, dan mahasiswa.
Boy Jerry Even Sembiring mengatakan, tidak hanya meninjau secara empiris, lembar fakta itu juga menyajikan analisis kebijakan yang menunjukkan bahwasanya apa yang terjadi di Pulau Rupat tidak sesuai dengan amanat Undang-undang.
Misalnya, terkait adanya tambang pasir, Pasal 35 huruf (i) UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) mengatakan “setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.”
“Penolakan terhadap adanya tambang pasir di Pulau Rupat ini pun tidak hanya disuarakan oleh WALHI Riau, namun juga pihak pemerintah. Misalnya, Dinas Pariwisata Provinsi Riau, dalam pertimbangan surat gubernur kepada Kementerian ESDM, secara tegas menyatakan bahwa penambangan pasir laut di Pulau Rupat bertentangan dengan status Pulau Rupat sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Senada dengan Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam surat yang sama, juga menolak tambang PT Logomas Utama karena dari sisi perizinan AMDAL perusahaan itu sudah kadaluwarsa.”
Satu perusahaan yang diketahui melakukan penambangan di wilayah laut Pulau Rupat bernama PT Logomas Utama.
Tetapi berdasarkan informasi yang dimiliki Ibu Hj. Azlaini, ada sekitar 11 perusahaan lain yang memiliki izin tambang di pesisir Pulau Rupat.
Hj. Azlaini berpesan agar selanjutnya WALHI Riau dapat melakukan investigasi untuk memastikan tidak ada lagi penyesuaian terhadap perizinan tambang lain yang akan menambah ancaman terhadap Pulau Rupat.
Dulu Tahun 1998, Ibu Hj. Azlaini pernah menuntut moratorium perizinan tambang pasir di pulau kecil ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap tambang pasir di Pulau Karimun.
Moratorium keluar dan sampai sekarang belum dicabut.
“Tapi kenapa tiba-tiba 2017 pemerintah bisa mengelluarkan izin untuk Logomas Utama? Selama ini orang tidak berani mengotak-atik perizinan karena ada moratorium. Yang dilakukan bu Eva itu penyesuaian perizinan, tapi tidak ada keterlibatan dari masyarakat. Kita akan menyurati pemerintah dan akan melampirkan lembar fakta ini. WALHI juga bisa menyurati dan meminta KLHK melakukan audit. Mengenai sawit ini, ketika saya di Ombusman ada laporan tentang Marita Makmur Jaya, tidak semua berizin, tapi dia buat seolah-olah menjadi koperasi. Bodong semua koperasinya,” kata Ibu Hj. Azlaini.
Riko Kurniawan juga turut menambahkan bahwa masalah perizinan industri ekstraktif di pulau kecil di Riau tidak hanya terjadi di Rupat, tapi juga berbagai pulau kecil lain di Bengkalis, Kepulauan Meranti, dan Pulau Rangsang juga mengalami hal sama. (*)
Tags : pulau kecil rupat, bengkalis, riau, darat dan laut alami degradasi lingkungan, tujuh korporasi merusak dan hancurkan pulau rupat,