Headline Kepri   2023/04/08 23:13 WIB

Menyelusuri 'Pulau Hantu' yang Berpotensi Sebagai Lokasi Wisata, 'Warga Menyambung Hidup Tangkap Ikan dan Tanam Cengkeh'

Menyelusuri 'Pulau Hantu' yang Berpotensi Sebagai Lokasi Wisata, 'Warga Menyambung Hidup Tangkap Ikan dan Tanam Cengkeh'
Desa Pulau Tiga, Kecamatan Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

KEPULAUAN RIAU, RIAUPAGI.COM - Tinggal di kawasan minim fasilitas, sudah menjadi kebiasaan turun temurun bagi warga yang tinggal di Desa Pulau Tiga, Kecamatan Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Warga di pulau ini dalam kesehariannya untuk menyambung hidup menangkap ikan dan menanam cengkeh. 

Menuju ke daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Vietnam dan Laut Cina Selatan ini, tidaklah mudah. Membutuhkan waktu yang pan­jang dan jalan berliku demi men­capai desa yang berpenduduk dua ribu jiwa ini.

Salah satu pulau yang terletak di Desa Pulau Tiga banyak menyimpan keindahan dan kealamian tekstur pantai dan pasirnya.

Dengan memiliki keindahan itu, Desa Pulau Tiga yang juga disebut 'Pulau Hantu' dinilai sangat cocok dijadikan sebagai kawasan pariwisata bahari.

"Pulau Tiga ini sangat cantik dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah pariwisata. Apalagi pulau terletak di tengah antara Pulau Sededap, Pulau Teluk Labuh dan Teluk Melam," kata Ustriadi, salah satu warga Desa Pulau Tiga.

“Pulau Tiga memiliki pasir putih dengan garis pantai relatif panjang. Di perairan sekitar pulau itu juga terdapat terumbu karang dan bisa dibuat wahana olahraga air,” paparnya belum lama ini.

Perairan di sekitar pulau memiliki air yang jernih dan berpotensi untuk dikembangkan keindahan bawah lautnya yang sangat menakjubkan.

"Pemerintah daerah maupun pusat melalui Dinas Pariwisata harus memperhatikan pulau – pulau yang ada di Pulau Tiga untuk dijadikan daerah wisata."

"Pulau Tiga banyak pulau – pulau yang indah. Ditambah lagi kalau dibangun jembatan penghubung antara Pulau Sededap, Pulau Teluk Labuh, ke Pulau Hantu dan Pulau Hantu ke Teluk Melam,” ucap Ustriadi.

Dia mengemukakan, apabila dilihat dari geografisnya sangat memungkinkan untuk pengembangan sektor pariwisata, dimana saat ini menjadi objek pembangunan pariwisata oleh pemerintah pusat dari salah satu lima pilar yang akan dibangun di Natuna.

“Jika Pulau Hantu jadi tempat wisata, kemungkinan bisa menarik wisatawan lokal, nasional, bahkan internasional datang ke pulau ini,” katanya.

Untuk menuju ke pulau ini jika dari Jakarta tidak ada penerbangan langsung ke Kabupaten Natuna, harus transit lebih dahuludi Batam, Kepri.

Beristirahat sejenak, kemudian menggunakan pesawat dengan tipe lebih kecil, berjenis ATR selama satu jam menuju Bandara Ranai, Natuna. 

Dari Ranai, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan transportasi darat ke Selat Lampa sejauh 85 km.

Kendati cukup jauh, kendaraan bisa dipacu lebih dari 100 km/jam dengan kondisi jalan yang mulusdan lebar. Selama lebih dari satu jam perjalanan itu, hampir tidak pernah berpapasan dengan kendaraan lain.

Setelah sampai Selat Lampa, perjalanan dilanjutkan naik perahu tradisional milik nelayan selama 40 menit untuk sampai Pulau Tiga. Tarifnya sebesar Rp 50 ribu per orang. Bila ingin mencarter perahu sendirian, harus merogoh kocek sebesar Rp 500 ribu.

Sesampai di Pulau Tiga, ter­lihat puluhan rumah berderet di tepi laut. Seluruh rumah warga membelakangi laut. Bentuk rumah dibuat layaknya panggung agar tidak terkena hempasan air laut yang cukup kencang itu. Sementara, bagian belakang rumah warga digunakan untuk penang­karan ikan laut bernilai tinggi. 

"Kami sudah tinggal di sini sejak awal 1900-an," ujar Hanafi Jamaludin, warga Pulau Tiga.

Masuk ke dalam kampung, kondisinya cukup ramai. Banyak anak kecil berlarian di jalan desa yang cukup lebar.

Kondisi jalan lumayan mulus dan kuat, karena terbuat dari beton. Ada juga ru­mah penduduk berdiri berderet di sepanjang jalan kampung sepanjang dua kilometer.

Tidak ada kendaraan roda empat yang beroperasi di daerah itu. Hanya ada kendaraan roda dua yang menjadi transportasi warga dari tempat satu ke tempat lain.

"Warga membeli kendaraan dari Batam langsung, soalnya harganya lebih murah," tambah Hanafi.

Mayoritas rumah penduduk terbuat dari kayu ulin. Alasannya, kayu tersebut terkenal kuat dan tahan lama bila terendam air laut.

Rumah yang terbuat dari tembok bisa dihitung jari. "Kami lebih senang dari kayu karena tidak terlalu dingin bila malam hari," kata pria berumur 60 tahun ini.

Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke desa tersebut, tidak perlu khawatir karena beberapa rumah penduduk ada yang disewakan.

Kebutuhan pokok juga cukup mudah diper­oleh karena tersedia dengan harga yang terjangkau.

"Sewa kamar Rp 200 ribu per malam. Biasanya yang banyak menyewa orang Singapura," kata Hanafi melanjutkan.

Di beberapa sudut jalan, beberapa petugas PLN sibuk me­masang tiang listrik yang akan menerangi desa tersebut.

Selama ini, warga hanya menggunakan genset untuk memenuhi kebutu­han listrik sehari-hari.

"Listrik hanya menyala 8 jam sehari, mulai jam 5 sore sampai jam 12 malam," kata dia.

Hanafi mengatakan, hidup di kawasan perbatasan memang harus siap dengan fasilitas minim dan harga kebutuhan pokok yang mahal.

Namun, sejak ada tol laut yang digagas pemerintah pusat saat ini, harga kebutuhan pokok dan barang berangsur turun.

"Tol laut saat ini baru dua minggu sekalidatang ke sini," ucap Hanafi.

Menyinggung tentang harga kebutuhan pokok dan juga BBM sudah sama dengan harga di Pulau Jawa. "Harga solar Rp 5.500 per liter. Semen Rp 75 ribu per sak," tandasnya.

Sebelum ada tol laut, kata Hanafi, harga kebutuhan pokok dan barang membumbung tinggi, bahkan ada yang dua kali lipatdiband­ing harga saat ini.

"Akhirnya kami harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk kebutuhan sehari-hari," ucapnya.

Terkait mata pencaharian warga, Hanafi mengatakan, sebagian be­sar warga bekerja sebagai nelayan dan petani cengkeh. "Jadi nelayan kalau kondisi bagus. Kalau bu­ruk seperti bulan Desember dan Januari, berganti menjadi petani cengkeh," ucapnya.

Untuk cengkeh, lanjutnya, hanya bisa dipanen tiga tahun sekali. Tapi, sekali panen bisa sampai 400 ton dengan harga Rp 120 ribu/kg. "Hasil cengkeh kami kirim seluruhnya ke Pulau Jawa," jelasnya.

Walhasil, menurut Hanafi, warga tetap menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan. "Alhamdulillah, kami sangat mudah menangkap ikan tongkol hanya dengan bermodal pancing," tuturnya.

Mantan Kepala Desa Pulau Tiga ini berharap, tol laut bisa lebih rutin dioperasikan di daerah perbatasan seperti Pulau Natuna. "Kalau bisa seminggu sekali,"  harapnya.

Warga Pulau Tiga lainya, Bahri mengatakan, seluruh warga desa sebelumnya menggunakan Pembangkit Listirk Tenaga Diesel (PLTD) berkapasitas 100 kilowatt milik perusahaan daerah untuk kebutuhan penerangan.

"Sejak dua tahun lalu, mereka tak sanggup mengoperasikan, akhirnya warga yang mengelolanya," kata Bahri.

Menurut Bahri, PLTD tersebut hanya beroperasi selama 7 jam sehari dan melayani 276 rumah.

"Setiap hari warga iuran antara Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu untuk membeli solar sebanyak 280 liter," tandasnya.

Bahri menambahkan, bila warga hanya mempunyai lampu dan televisi, biasanya dipungut Rp 5 ribu. Namun, bila di rumah terdapat kulkas, maka akan dipungut Rp 10 ribu.

Terpisah, Manajer Bidang SDM dan Umum PLN Wilayah Riau dan Kepri, Dwi Suryo Abdullah mengatakan, akan menyiapkan jaringan tegangan menengah, trafo dan saluran ka­bel tegangan rendah sepanjang 10 km untuk mengaliri listrik di Desa Pulau Tiga, Natuna. "Targetnya Desember nyala,"  ujar Dwi.

Menurut Dwi, sebelumnya warga di wilayah tersebut menda­pat listrik dari swakelola warga, di mana mereka setiap hari mem­bayar iuran untuk membeli solar rata-rata Rp 5 ribu-Rp 15 ribu setiap warga.

Iuran tersebut di­pakai untuk membeli kebutuhan solar sekitar 280 liter per hari un­tuk menerangi wilayah tersebut.

"Dengan solar tersebut, listrik bisa menyala 7 jam dari jam 5 sore," ujarnya.

Setelah listrik masuk ke Desa Pulau Tiga, dia menyatakan akan menyala selama 24 jam "Ada tiga mesin dengan kapasitas 1.500 kw," sebutnya.

Bila listrik PLN sudah beroperasi, lanjut Dwi, maka besaran tagihan masyarakat didasarkan sesuai penggunaannya.

"Tarif diberlakukan nasional, sesuai dengan daya yang digunakan pelanggan," tandasnya.

Ia mencontohkan, jika pelanggan menggunakan daya 450 VA, maka dikenai tarif subsidi sekitar Rp 650 per kilowatt hour (kWh), sedangkan 900 VA tarif bersubsidi sekitar Rp 800 per kWh, sedangkan nonsubsidi Rp 1.352 per kWh. (*)

Tags : desa pulau tiga, natuna, kepri, pulau tiga berpotensi sebagai daerah wisata, desa pulau tiga minim transportasi, warga pulau tiga menyambung hidup tangkap ikan dan tanam cengkeh,