PENDIDIKAN - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi swasta di Indonesia.
Pasalnya kampus-kampus itu melakukan pelanggaran berat.
Mulai dari jual beli ijazah kepada mereka yang tidak berhak atau tanpa proses belajar mengajar, manipulasi data mahasiswa, pembelajaran fiktif, dan penyalahgunaan dana beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.
Pemerhati pendidikan, Supriadi Rustad, menyebut beberapa kampus yang ditutup oleh Kemendikbud-Ristek sudah "bermasalah" sejak lama namun tak kunjung dicabut izinnya karena ada upaya dari pihak lain untuk "melindungi".
Dia memberi contoh kampus "abal-abal" biasanya mahasiswanya kurang dari 1.000, tidak memiliki fasilitas laboratorium, dan program studinya adalah manajemen.
Akan tetapi pengelola dua kampus yang ditutup di Bekasi, Jawa Barat, berkeras lembaganya tidak melakukan penyelewengan seperti disebut Kemendikbud-Ristek. Karenanya, mereka bakal menggugat keputusan tersebut ke pengadilan.
Sementara itu seorang mahasiswa di salah satu kampus di Bekasi meminta pihak pengelola tidak mempersulit mereka untuk pindah ke universitas lain.
Di Bekasi, Jawa Barat, ada dua kampus yang kena sanksi penutupan yakni Universitas Mitra Karya dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tribuana.
Keduanya dikelola oleh Yayasan Tri Praja Karya Utama.
Pembina yayasan, Suroyo, menampik segala tuduhan pelanggaran berupa penyalahgunaan uang beasiswa KIP-K dan juga pembelajaran fiktif.
Dia menjelaskan Inspektorat Jenderal Kemendikbud-Ristek memang pernah menemukan dugaan penyimpangan penyaluran dana beasiswa KIP-K tahun 2021 .
Saat itu diketahui ada tiga mahasiswa menerima dua kali dana KIP-K. Masing-masing di STIE Tribuana dan satu kampus lain yang tak disebutkan Suroyo.
Sesuai rekomendasi Inspektorat Jenderal, sambungnya, pihak kampus STIE Tribuana mengembalikan uang beasiswa tersebut ke negara.
"Dan itu [pengembalian dana beasiswa] sudah dieksekusi beberapa bulan lalu," ujar Suroyo lewat kanal YouTube Tribuana TV, Jumat (09/06).
Persoalan serupa juga terjadi di Universitas Mitra Karya pada tahun 2020.
Tim monitoring dan evaluasi (monev) Kemendikbud-Ristek, lanjut Suroyo, menemukan indikasi pihak kampus menahan uang KIP-K mahasiswa.
Namun yang sesungguhnya terjadi, klaim Suroyo, tidak seperti itu.
Karena situasi kala itu masih pandemi Covid-19, pihak bank tidak bisa mencairkan uang beasiswa KIP-K secara langsung.
Sehingga, katanya, pihak bank meminta kampus "dicairkan secara kolektif" dengan syarat pihak kampus membawa surat kuasa pemegang KIP-K yang dilampiri kartu tanda penduduk.
"Itu kami lakukan dan cair [dana beasiswa]. Karena buku rekening dan ATM masih di bank, pihak kampus menyalurkan secara manual satu persatu ke seluruh mahasiswa penerima KIP-K. Itu ada tanda buktinya," ucap Suroyo.
"Bukti surat pernyataan mahasiswa telah menerima dana KIP-K sebesar Rp4,2 juta tunai tanpa ada potongan."
"Hanya memang mungkin kami dianggap salah, kok mencairkan secara kolektif."
Suroyo menyebut, beberapa mahasiswa ada yang sudah mengambil dana beasiswa KIP-K. Sedangkan bagi yang belum, dia memastikan uang tersebut masih disimpan pihak kampus.
"Jadi kalau ditanya ada penyimpangan, penyimpangan yang mana?" ujarnya kesal.
Adapun mengenai pengelolaan dana beasiswa KIP-K, klaimnya, dipegang oleh orang yang berbeda dengan keuangan kampus.
Setiap tahun pun mereka membuat laporan dan telah diaudit lembaga internal maupun eksternal.
Pembelajaran fiktif?
Soal tuduhan bahwa Universitas Mitra Karya dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tribuana melakukan pembelajaran fiktif, juga disanggah Suroyo.
Dua kampus yang dikelolanya, kata Suroyo, sudah menerapkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dicetuskan Menteri Nadiem Makarim.
Karenanya para mahasiswa hanya efektif belajar di kelas sampai empat semester.
Semester lima, kata dia, mahasiswa mulai magang atau kuliah kerja nyata. Kemudian semester berikutnya melanjutkan magang kedua.
Di semester tujuh, mahasiswa mengambil mata kuliah lintas prodi.
"Jadi mereka absennya di kampus lain, bukan di kita. Semester delapan sudah tugas akhir."
Itu mengapa, sambung Suroyo, pihaknya akan melayangkan gugatan ke Pengadian Tata Usaha Negara (PTUN) karena menganggap keputusan pencabutan tersebut tidak sesuai fakta.
Di STIE Tribuana, ada tiga program studi: S1 Akuntasi, S1 Manajemen, dan Pascasarjana Ilmu Manajemen.
Total seluruh mahasiswa STIE Tribuana yang terdata di situs Pengkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) sebanyak 2.980 orang.
Sedangkan Universitas Mitra Karya menyediakan delapan program studi: D3 Komputerisasi Akuntasi, D3 Manajemen Informatika, S1 Bisnis Jasa, S1 Pendidikan Kepelatihan Olahraga, S1 Pendidikan Komputer, S1 Teknik Elektro, S1 Teknik Industri, dan S1 Teknik Informatika.
Total keseluruhan mahasiswa Universitas Mitra Karya menurut data di situs Pengkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) sebanyak 3.031 orang.
Apakah pencabutan izin sudah tepat?
Direktur Kelembagaan Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek), Lukman, mengatakan keputusan mencabut izin operasional 23 kampus tersebut setelah menerima aduan dari masyarakat sepanjang Mei 2022 sampai 2023.
Sejak 25 Mei, katanya, Ditjen Dikristek telah menindaklanjuti 52 aduan masyarakat terkait pelanggaran yang dilakukan perguruan tinggi swasta.
Dari jumlah itu, 23 kampus dicabut izinnya, 19 kampus berupa penghentian pembinaan, tujuh kampus penghentian pembinaan dan pencabutan izin pembukaan prodi, dan tiga kampus lain kena sanksi administrasi sedang.
Keputusan sanksi itupun, kata Lukman, berdasarkan fakta dan data yang telah diverifikasi. Juga sudah sesuai dengan Permendikbud nomor 7 tahun 2020.
Pemerhati pendidikan, Supriadi Rustad, mengatakan beberapa perguruan tinggi swasta yang dicabut izinnya sudah "bermasalah sejak lama" dan patut ditutup.
Mereka, sambungnya, memiliki niat yang "tidak benar" dari awal mendirikan kampus lantaran hanya ingin "mencari untung" semata.
Itu mengapa dia mengapresiasi keberanian Kemendikbud-Ristek menutup kampus abal-abal tersebut.
Pasalnya perguruan tinggi itu tidak kunjung ditutup lantaran ada upaya dari pihak lain untuk "melindungi", kata Supriadi.
"Dulu kalau misalnya ditutup, akan bermetamorfosa menjadi universitas yang baru. Tapi orangnya itu-itu saja. Beberapa [pemilik kampus bermasalah] pemain lama."
Menurutnya keputusan pencabutan ini sudah tepat, sebab bagaimanapun yang dirugikan adalah masyarakat.
"Memang ada yang sengaja ingin dapat ijazah abal-abal, tapi kan ada juga yang tidak tahu," ucapnya.
Kepada masyarakat, ia mewanti-wanti agar tidak salah memilih kampus. Beberapa ciri kampus abal-abal yang umum diketahui adalah mahasiswanya tidak sampai 1.000 orang.
Ini karena biaya operasional sebuah universitas swasta sangat besar dan dengan jumlah mahasiswa yang sedikit kian sulit bagi kampus untuk bertahan.
Demi bertahan kadang kala perguruan tinggi melakukan berbagai cara agar ada dukungan finansial, termasuk melakukan pelanggaran.
Ciri berikutnya, sambungnya, tidak memiliki fasilitas laboratorium dan program studinya adalah manajemen.
Agar kasus serupa tidak terulang, Supriadi Rustad menyarankan Kemendikbud-Ristek untuk melakukan beberapa hal.
"Jumlah kampus di Indonesia teramat banyak. Menurut saya tidak perlu buka kampus lagi. Apalagi di daerah yang sudah padat dengan perguruan tinggi. Kecuali di daerah terpencil."
"Kedua, saya anjurkan agar perguruan tinggi yang kecil disatukan dengan perguruan tinggi besar yang sudah jelas kualitasnya (merger)."
Bagaimana dengan nasib mahasiswa?
Pembina Yayasan Tri Praja Karya Utama, Suroyo, mengatakan bagi mahasiswa di Unversitas Mitra Karya dan STIE Tribuana yang menerima beasiswa dari yayasan wajib mengembalikan uang beasiswa yang telah diberikan jika hendak pindah ke kampus lain.
Untuk diketahui, katanya, mahasiswa penerima beasiswa dari yayasan hampir 50% dari total keseluruhan.
Di kontrak beasiswa yayasan tersebut, sambung Suroyo, tertulis bahwa kalau mereka drop out alias berhenti harus mengganti uang beasiswa kepada yayasan.
Pengecualian berlaku kalau mereka bersedia diarahkan ke kampus baru yang direkomendasikan yayasan.
Kampus baru yang dimaksud Suroyo adalah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Syariah Mitra Karya.
"Sekarang kita ditutup, yayasan akan bertanggung jawab, apapun ceritanya mahasiswa kita arahkan supaya di kampus baru dan nilainya diakui."
Direktur Kelembagaan Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek), Lukman, mengatakan seharusnya para mahasiswa di sana tidak perlu membayar ganti rugi uang. Sebab pemindahan itu merupakan tanggung jawab kampus yang bermasalah.
Kemendikbud-Ristek pun berjanji akan memfasilitasi para mahasiswa untuk pindah ke perguruan tinggi lain asalkan memiliki rekam jejak akademik.
Seorang mahasiswa di Unversitas Mitra Karya yang tak mau disebutkan namanya mengaku tidak ingin meneruskan kuliah di kampus yang disarankan pihak yayasan.
Ia takut kejadian yang sama bakal terulang.
Itu sebabnya dia meminta kampus dan yayasan agar tidak mempersulit mereka apalagi kalau harus mengganti uang beasiswa.
"Saya ingin kalau mahasiswa ingin pindah jangan dipersulit. Biar mahasiswa bisa melanjutkan pendidikan," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Dia bercerita saat ini nasib kawan-kawannya menggantung lantaran pihak universitas tidak juga memberikan penjelasan resmi kepada mereka soal penutupan ini dan langkah selanjutnya.
Usai ujian akhir semester pada Maret lalu, para mahasiswa diliburkan dan semestinya mulai mengikuti kegiatan belajar beberapa minggu kemudian.
Tapi sampai awal Mei, tidak ada aktivitas belajar mengajar. Pihak universitas pun, sambungnya, tidak memberikan keterangan.
Hingga akhirnya pada 3 Mei 2023 berembus kabar bahwa kampusnya ditutup oleh Kemendikbud-Ristek.
Ia juga mengatakan selama menempuh pendikan di sana tak pernah mendengar isu atau melihat ada pelanggaran berupa pembelajaran fiktif.
"Selama ini kalau belajar mata kuliah selalu ada dosennya. Normal-normal saja". (*)
Tags : kaum muda, hukum, pekerjaan, indonesia, kemiskinan, pendidikan, pengangguran, biaya hidup,