Linkungan   26-04-2025 14:5 WIB

Ratusan Perusahaan Berkonflik di Kawasan Hutan, Relawan GARAPAN: 'MMJ dan IP Seakan Menantang Satgas Gakum yang Bisa jadi Ladang Korupsi Gaya Baru'

Ratusan Perusahaan Berkonflik di Kawasan Hutan, Relawan GARAPAN: 'MMJ dan IP Seakan Menantang Satgas Gakum yang Bisa jadi Ladang Korupsi Gaya Baru'
Larshen Yunus, Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN)

Ratusan ribu hektar sawit di kawasan hutan bakal diputihkan dengan diterbitkannya Kepmenhut 36 tahun 2025.

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.36 tahun 2025 (Kepmenhut 36/2025).

"Dalam kebijakan ini tercantum daftar subjek hukum perusahaan sawit yang melakukan aktivitas kebun yang ilegal di kawasan hutan."

"Tetapi dibalik Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.36 tahun 2025 sepertinya bisa terjadinya main mata dan modus ladang korupsi gaya baru dalam penertiban 436 perusahaan yang berkonflik sawit di kawasan hutan ini," kata Larshen Yunus, Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) yang menyampaikan seperti Sabtu (26/4) ini.

Menurutnya, sejumlah nama grup sawit besar tertera di dalamnya diketahui memiliki komitmen besar dalam mematuhi prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan melalui keanggotaan di Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), dua diantaranya adalah Bumitama Group dan Sampoerna Agro Group.

Sementara perusahaan Samsung Group (PT Inecda Plantations/IP dan PT Marita Makmur Jaya/MMJ) lahan hak guna usaha (HGU) nya perlu dikaji ulang, seakan menantang Satgas Gakum dengan terus berkonflik ditengah masyarakat.  

Larshen Yunus mengatakan, “Selain terindikasi melakukan pelanggaran dengan beraktivitas di kawasan hutan, sejumlah perusahaan juga menyisakan persoalan konflik sosial yang melibatkan masyarakat setempat."

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat Jakarta ini juga mencatat tidak kurang dari 1126 komunitas menuai konflik atas aktivitas perkebunan sawit hingga tahun 2024 lalu.

"Hasil temuan dilapangan kami, ada dua perusahaan (PT IP dan PT MMJ) yang bukan merupakan anggota RSPO namun menyisakan persoalan konflik sosial dengan masyarakat dan ditengarai melakukan aktivitas kebun sawit ilegal di kawasan hutan (merujuk Kepmenhut 36/2025) ini,” kata Larshen Yunus dalam keterangan resminya.

Ia mencontohkan pada kasus lain, seperti anak perusahaan grup besar dari grup Bumitama Group dan Sampoerna Agro Group di Kalimantan Tengah, kesemuanya bermasalah.

Demikian juga PT BGA anak perusahaan Bumitama Group di Kotawaringin Barat, Kalteng misalnya diindikasikan melakukan penggarapan lahan diluar izin dan konsesi yang dimiliki, terlebih dilakukan di sempadan sungai dan danau.

Tetapi Larshen kembali menyinggung soal PT IP dan PT MMJ itu, didalam pembangunan kebun dan aktivitas perkebunan tersebut berdampak pada mengeringnya sungai dan rawa.

"Hal ini berakibat pada hilangnya sumber pangan, mengancam habitat satwa, hilangnya jalur transportasi sungai, serta rawan terjadi banjir saat musim hujan. Selain itu sejumlah ijin dan HGU yang dimiliki pun terindikasi tumpang tindih dengan kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK),” ungkap Larshen.

“Kerjasama kemitraan PT IP dan PT MMJ dengan masyarakat desa terus berujung konflik. Pasalnya dua perusahaan itu terindikasi belum melaksanakan kekurangan kewajiban dalam memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat."

"Hingga saat ini masyarakat desa terus berjuang agar perusahaan menunaikan kewajiban plasmanya. Dinamika konflik terus terjadi dan berujung pada peristiwa kriminalisasi petani yang memperjuangkan haknya," sebutnya.

Melihat dua contoh diatas bahwa, sertifikasi berkelanjutan tidak menjamin tata kelola kebun sawit yang bebas pelanggaran prinsip dan kriteria berkelanjutan.

"Keseriusan berbagai pihak dalam memastikan hal ini tidak terjadi dilapangan penting dilakukan,” tambah Larshen.

Menurutnya, upaya pemerintah untuk menarik cuan dari sektor sawit terus digalakkan, terutama terhadap perekebunan besar yang menempati kawasan kehutanan.

"Meskipun upaya penegakkan hukum akan segera dilaksanakan, namun pemerintah agaknya masih menawarkan solusi non-litigasi, melalui program pemutihan," kata Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana ini.

Kebijakan yang merujuk pada UU Ciptaker ini meskipun menguntungkan pengusaha, kata Larshen, tetapi tidak berjalan lancar.

"Jadi perlu transparansi proses pemutihan dan integritas aparat pemerintah. Jika pemerintah tak jeli dan tegas dalam dua hal tersebut, kebijakan pemutihan ini rawan menjadi ladang korupsi gaya baru," sebutnya.

Kawasan hutan yang ditanam sawit secara ilegal sekurangnya mencapai 3,37 juta hektare yang tersebar di 23 provinsi. Tetapi di Riau dan Sumatera menjadi yang terbesar dengan total gabungan 1.52 juta hektare atau hampir separuh total cakupan lahan.

Menurutnya, per Maret 2024, terdapat 365 korporasi yang mengajukan pemutihan dari total ribuan itu. Namun, data KPK menunjukkan hanya ada 155 perusahaan yang membayar PSDH-DR.

"Jumlahnya cuma Rp648,8 miliar yang tidak sebanding dengan jumlah ratusan perusahaan yang ingin dilegalkan aktivitas bisnis sawitnya."

Pada awalnya, sebutnya, korporasi atau pelaku usaha sawit dapat dicabut izin usahanya secara permanen jika kedapatan menanam sawit di kawasan hutan. Tetapi, melalui UU Cipta Kerja ini aktivitas perusahaan bisa dilegalkan selama melengkapi syarat sebelum 2 November 2023.

Dalam Pasal 110A, kata Larshen, misalnya, perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan dapat dilegalkan atau diputihkan area tanam sawitnya.

"Area operasi bisnisnya akan dianggap sebagai kawasan di luar hutan. Hal itu dengan catatan, jika korporasi memenuhi persyaratan yang diatur KLHK."

"Jika tidak, perusahaan dapat dikenai sanksi pembayaran secara administratif dan atau izin usahanya dicabut."

Sementara itu, dalam Pasal 110B dijelaskan bahwa korporasi yang tidak punya izin usaha sebelum UU Cipta Kerja berlaku, tetapi sudah beroperasi di dalam kawasan hutan, maka mendapat kesempatan satu waktu daur sejak masa panen dan mesti membayar denda administratif yang disetor ke KLHK.

Jadi merujuk data KLHK, ada 2.130 perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja.

Data dari monitoring tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan ada korporasi nakal yang seharusnya diwajibkan membayar kewajiban dan denda.

Jumlahnya sekira mencapai 2.130 perusahaan yang tersebar di hampir semua provinsi. Adapun pendataan sawit ilegal dalam kawasan hutan dimulai dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Riau, Sulawesi Barat sampai Papua.

Prosesnya melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten bersama Badan Informasi Geospasial, Kementerian hingga lembaga swadaya masyarakat.

Pada akhir 2023, Stranas-PK memperluas cakupan ke area Aceh, Jambi, Sumatera Utara, Seumatera Selatan, Bengkulu, hingga Kalimantan Barat.Tim yang dipimpin Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan ini memverifikasi dan penyandingan data di lapangan, verifikasi ke korporasi, serta menganalisis spasial dan legal.

Data-data itu lalu diteruskan ke KLHK (kini Kementerian Kehutanan) sebagai pijakan untuk memberlakukan tarif PNBP atau skema denda administratif.

Dari data yang dimilik tim Pahala, setidaknya terdapat 761 perusahaan yang dikenai tarif PNBP dengan luas 655.123 hektare.

Korporasi diwajibkan membayar provisi sumber daya hutan-dana reboisasi (PSDH-DR) atau tanpa denda sesuai dengan Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja.

Lalu, ditemukan juga 486 perusahaan dengan luas 217.809 hektare yang dikenai denda administratif sesuai dengan Pasal 110B.

Juga ditambah adanya 1,34 juta hektare kawasan hutan yang dikangkangi perusahaan belum teridentifikasi pelakunya.

Di saat bersamaan, data Kementerian Kehutanan yang dipakai tim Pahala mendata 2.130 unit perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 110A dan 110B.

Jumlah tersebut merujuk pada Surat Keputusan Data dan Informasi yang diterbitkan Kementerian Kehutanan. Dari pendataan Kementerian, hanya 365 korporasi yang ditagihkan denda sesuai Pasal 110A.

Adapun dari 365 perusahaan itu, hanya ada 155 korporasi yang membayar PSDH-DR dengan nilai total Rp 648,8 miliar.

Sedangkan, 210 korporasi lain belum membayar kewajibannya. Data ini juga ditambah sura keputusan tagihan denda administratif terhadap 49 perusahaan sesuai dengan Pasal 110B.

Jadi saat ini, kata dia, perusahaan kebun sawit yang diproses permohonannya tergabung dalam raksasa korporasi sawit. Di antaranya Duta Palma Grup, First Resources (Surya Dumai Grup), Sinarmas Agro dan Astra Agro. Juga ada perusahaan dari Musim Mas dan Salim Ivomas, Mahkota Grup dan PTPN IV (eks PTPN V). Kemudian grup Bumitama Gunajaya Abadi, Citra Borneo Indah, Sampoerna Grup, Tor Ganda, Best Agro, Eagles High Plantations, London Sumatera, Triputra dan Incasi serta USTP. Kemudian Wilmar Grup, PTPN,  Permata Hijau, Sinar Alam Plantations, DSN, Nusantara Sawit Sejahtera, KLK, Genting, Mahkota Grup, ANJ, Gawi, Djarum, MP Evans Grup, USTP, Cargill, KPN Plantations, Genting, Austindo, Goodhope, Kencana dan Sinar Mas Agro serta sejumlah grup besar lainnya.

'Proses pemutihan buka celah ladang korupsi baru'

Pemutihan sawit adalah program legalisasi perkebunan sawit yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Program ini dilakukan oleh Kementerian Kehutanan (KLHK).  

Pemutihan sawit dilakukan dengan mekanisme Pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Program tersebut juga mengundang kontroversi di publik karena menuai pro kontra.

Kebijakan ini juga dipertanyakan karen dinilai kurang transparan ke publik dan isu tersebut kini sering menjadi perbincangan publik.

Saat RDPU dengan Walhi, Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Soeharto menyakinkan bahwa Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo tidak akan gegabah melanggar Undang-Undang (UU) dalam alih fungsi hutan.

Hal tersebut dikatakan Titiek Hediati Soeharto merespon aspirasi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait dengan isu lahan 20 juta hektar yang digunakan untuk pertanian dan industri lainnya.

Hal tersebut juga terkait dengan masalah sawit yang selalu menjadi isu publik yang dibahas.  

“Terkait lahan 20 juta hektar yang digunakan untuk pertanian dan industri lainnya, Presiden Prabowo tentunya tidak akan gegabah dalam mengalihfungsikan hutan yang melanggar Undang-Undang,” ujar Titiek saat Komisi IV DPR RI menerima audiensi Walhi yang digelar di Ruang Rapat Komisi IV, Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (12/02) kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Titiek Soeharto mengungkapkan rasa prihatin terhadap kondisi lingkungan di Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, serta berbagai wilayah lainnya di Indonesia yang tengah menghadapi permasalahan serupa.

Ia meyakinkan Walhi bahwa pemerintahan Presiden Prabowo akan segera menangani isu-isu lingkungan yang menyakitkan hati rakyat ini.

“Percayalah, dalam pemerintahan Presiden Prabowo, kami akan segera menanggulangi permasalahan ini. Beliau sangat peduli terhadap kesejahteraan masyarakat dan ingin memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat memberikan manfaat untuk rakyat,” tutur Legislator Fraksi Partai Gerindra tersebut yang juga mengingatkan bahwa Pemerintah akan berusaha menghindari kebijakan yang merugikan masyarakat.

Lebih lanjut, ia berencana untuk mempertanyakan hal ini kepada Menteri Kehutanan untuk mendapatkan klarifikasi mengenai daerah-daerah yang akan diprioritaskan.  

Titiek mengungkapkan jika daerah tersebut tidak produktif atau tidak melanggar aturan, maka pihaknya menilai hal tersebut bisa dilaksanakan demi kepentingan masyarakat khususnya untuk mencapai ketahanan pangan dan swasembada pangan yang sukses.

“Jadi nanti kita akan pertanyakan kepada Menteri Kehutanan sebetulnya daerah-daerahnya yang mana saja sih yang akan diplot, kalau memang itu daerah-daerah yang tidak produktif, atau tidak melanggar, saya rasa itu bisa dilakukan karena ini juga untuk kepentingan masyarakat juga untuk supaya bagaimana kita bisa ketahanan pangan ini bisa sukses dan kita bisa swasembada pangan,” tandas Titiek Soeharto.

Politikus Gerindra ini juga menegaskan Komisi IV DPR akan terus memantau permasalahan ini dengan serius, serta berkomitmen untuk melibatkan Pemerintah dan Kementerian terkait dalam upaya melindungi lingkungan dan mendukung ketahanan pangan nasional.

“Dengan langkah-langkah strategis yang akan diambil, diharapkan Indonesia dapat mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan, demi kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan mendorong supaya pemerintah dan lembaga terkait melakukan evaluasi kepada korporasi sawit yang bermasalah hingga merugikan masyarakat. Daniel meminta pemerintah untuk memastikan semua izin yang terkait dengan hal tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur.

"Intinya disini ya jangan sampai ada korporasi yang merugikan masyarakat dan harus mempertimbangkan asas keadilan," kata Daniel kepada Law-Justice, Kamis (13/02).

Politisi PKB tersebut menekankan pentingnya dilakukan evaluasi secara menyeluruh kepada korporasi sawit yang memiliki masalah.

Menurutnya, bila korporasi sawit tersebut bermasalah dengan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar maka pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas.

"Saya minta penegak hukum harus netral dan transparan supaya masyarakat tidak ada lagi yang dirugikan," imbuhnya.

Tetapi dalam catatan pihak Relawan GARAPAN mencatat terdapat sekitar 1,9 juta hektare lahan di Indonesia mengalami deforestasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.  

Deforestasi adalah penggundulan hutan, secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan serta ekosistemnya.  

Larshen Yunus mengatakan, hutan yang kini tersisa sekitar 90 juta hektare terus mengalami kerusakan.

“Deforestasi sepanjang 2021-2023 sekitar 1,9 juta hektare, itu masih sangat tinggi sebetulnya dalam konteks kita menghadapi krisis iklim. Tidak ada keseriusan kita melindungi sumber daya alam,” ujarnya.

Menurut Larshen, Indonesia kehilangan 23 juta hektare hutan pada 2000-2017. Kalimantan menjadi wilayah yang mengalami deforestasi paling parah.  Berdasarkan data Auriga Nusantara, Kalimantan Barat tercatat sebagai provinsi dengan deforestasi tertinggi di 2023.

Wilayah ini kehilangan 35.162 hektare lahan hutan. Disusul Riau dan Kalimantan Tengah seluas 30.433 hektare, Kalimantan Timur seluas 28.633 hektare, Sulawesi Tengah seluas 16.678 hektare.

Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan terjadi penurunan deforestasi pada 2021-2022 yang mencapai 104.000 hektare.

"Angka deforestasi ini turun dari sebelumnya seluas 113.000 hektare pada 2020-2021."

Larshen menyebut bila Masyarakat Adat Kunci Pelestarian Hutan dan masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang dapat menjadi solusi penting untuk pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Pengelolaan berbasis masyarakat adat dinilai mampu menjadi kunci keberhasilan perlindungan hutan, terutama di tengah kerusakan hutan yang tidak terhentikan akibat konsesi-konsesi besar seperti tambang, perkebunan, dan hutan tanaman industri.

“Jadi kami mendefinisikan bahwa hutan dan sumber daya alam itu tidak bisa dipisahkan dengan manusianya,” tuturnya.

Relawan garapan berpandangan sangat penting untuk membenahi tata kelola sawit ketimbang menambah luasan tanaman sawit.

Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa operasional izin sawit dilakukan secara berkelanjutan dan transparan.

Tantangan implementasi penertiban kawasan hutan seperti yang dijelaskan pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 adalah memperbaiki tata kelola dengan membuka data informasi mengenai hak guna usaha untuk perkebunan kelapa sawit.

Pasalnya, luas pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit hingga tahun 2023 sudah mencapai 6,1 juta hektare. Sementara hanya 5,8 juta hektare izin perkebunan kelapa sawit yang mengantongi HGU. IUP tanpa HGU merupakan tindakan ilegal.

Dalam catatan dia (2025) luas HGU di tahun 2024 mencapai 9,26 juta hektare, dan seluas 795 ribu hektare berada di dalam kawasan hutan.

Sekelumit tata kelola sawit yang berdampak tidak hanya pada merusak hutan alam Indonesia, tetapi juga berpotensi mendorong terjadinya korupsi yang lebih besar di sektor sumber daya alam.

"Sementara penertiban kawasan hutan sendiri dimaksudkan untuk optimalisasi penerimaan negara melalui denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, serta pemulihan aset di kawasan hutan, yang tidak akan terpenuhi tanpa menjalankan prinsip keterbukaan," ujarnya.

Keterbukaan informasi HGU seperti terkait lokasi spesifik, pemegang HGU, dan jenis komoditas yang dibuka ke publik diyakini dapat meminimalisir praktik-praktik ilegal seperti perambahan kawasan hutan dan korupsi dalam proses perizinan dan penertiban kawasan hutan. 

Di tengah banyaknya penyimpangan perusahaan dalam menggasak hutan untuk kepentingan bisnis, petani kecil sawit justru paling berdampak.

Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana, Larshen Yunus, mengatakan petani kecil sawit ditimpah dua masalah besar. Pertama soal dana BPDPKS yang tidak berpihak pada petani, alih-alih berpihak pada kepentingan korporasi.

“Derita yang sudah lama dirasakan soal ketimpangan akses dan sumber daya modal petani kecil sawit untuk bertahan. Dana BPDPKS saja kan sudah dikorupsi dan kini masuk kasus di Kejaksaan” ujarnya.

Masalah kedua, ujar Larshen, yaitu serampangannya tata kelola sawit.

Dia menyadari pengusaha diberi keleluasaan dalam mengelola lahan hutan, termasuk kawasan hutan lindung untuk diubah menjadi kawasan sawit.

Di sisi lain, petani sawit kecil yang mengambil sedikit lahan justru kerap dikriminalisasikan.

“Sejarah pengelolaan sawit memang berpihak pada oligarki sawit, yang kita ketahui orangnya itu-itu saja,” ujarnya.

Kebijakan sektor kehutanan memang selalu menarik untuk diteliti. sebab, potensi ekonomis yang luar biasa besar ini kerap tidak termonitor dan akhrnya hanya menjadi bancakan bagis egelintir pengusaha nakal, birokrat dan politisi yang membentuk kelindan bisnis gelap di tengah hutan.

Besarnya volume bisnis ditengah hutan ini, akhirnya membentuk jaringan oligarki yang bersimbiosis dengan memanfaatkan celah hukum, terkadang secara terang-terangan melanggar hukum yang ada.

Bahkan, pada lebel paling canggih, oligarki ini justru mampu membentuk norma hukum yang menguntungkan pihaknya saja. lagi, lagi rakyat kecil dan lingkungan yang bakal menjadi tumbal.

Upaya Presiden Prabowo Subianto membentuk Satgas penetiban Kehutanan patut diapresiasi sebagai upaya awal untuk menata hutan sekaligus menata ulang usaha yang terlanjur berada di kasawan kehutanan.

Namun, perlu diingat, ini bukanlah upaya pertama yang pernah dilakukan pemerintah. Presiden sebelumnya pun membentuk satgas serupa, dengan hasil yang tak memuaskan.

Transparansi dan integritas menjadi kata kunci jika ingin satgas ini berjalan sesuai dengan idealnya. Kalau presiden sampai abai terhadap dua hal tersebut, maka diskresi yang dimiliki Satgas ini justru berpotensi menjadi ladang korupsi gaya baru.

Jadi upaya Prabowo untuk mendulang cuan sembari menata ulang hutan, bisa gagal. Prabowo harus berani bersikap tegas terhadap kerja Satgas ini, kalau perlu menggunakan kebijaka tangan besi terhadap satgas. 

Tindak tegas perusahaan punya kebun di kawasan hutan

Sebelumnya, Komisi IV DPR juga mendukung langkah penindakan terhadap 436 perusahaan sawit dan tambang yang dilaporkan memiliki kebun dan tambang tanpa izin di dalam kawasan hutan.

Penindakan ini mutlak diperlukan mengingat perusahaan-perusahaan sawit tersebut telah mengantongi banyak keuntungan lantaran beroperasi di luar izin yang ditentukan.

Data Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyebutkan setidaknya terdapat 3,37 juta hektare lahan hutan yang berubah status menjadi lahan kebun dan tambang ilegal.

“Saya usul ke 436 perusahaan sawit ini didenda sebesar mungkin karena sudah menikmati untung dari kegiatan perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan ini,” tegas anggota Komisi IV DPR Robert J. Kardinal di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Kamis (13/3).

Sebagaimana diketahui, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Nomor 36 Tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang telah Terbangun dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan yang Berproses Atau Ditolak Permohonannya di Kementerian Kehutanan (Kemenhut).

Surat keputusan menteri tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Keputusan menteri tersebut ditandatangani langsung Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, 6 Februari 2025 lalu.

Robert meminta Kementerian Kehutanan tidak ragu menindak tegas setiap prilaku menyimpang dari pelaku usaha sawit.

Terlebih akibat kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan yang mereka lakukan, telah menyebabkan ratusan ribu hektar lahan hutan mengalami rusak berat dan alih fungsi.

“Mereka ini merupakan pengusaha-pengusaha yang masuk dalam 100 orang kaya di Indonesia. Saatnya mereka membantu Pemerintah dan ikut berpartisipasi membela kepentingan bangsa dan negara. Toh mereka sudah menikmati puluhan tahun,” ujarnya.

Mantan Bendahara Umum DPP Golkar ini menyatakan prihatin dengan banyaknya pelaku usaha yang dilaporkan memiliki kebun sawit tanpa izin di dalam hutan ini.

Apalagi perilaku menyimpang ini terjadi hampir di seluruh Indonesia. Baginya, ini menunjukkan rendahnya kesadaran pelaku usaha untuk berinvestasi sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

“Kami Komisi IV mendukung Pemerintah mengambil tindakan tegas. Bagi yang tidak mau bayar denda, lahannya dikembalikan negara. Apalagi ini sudah terang-terangan dan banyak dilakukan di luar areaal hak mereka,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Robert juga meminta agar tambang-tambang yang beroperasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil ditindak.

Dia menyerukan agar izin usaha tambang tersebut dicabut karena jelas berpotensi mengancam ekosistem laut.

“Pertambangan di pulau-pulau kecil ini sudah sangat meresahkan apalagi setelah ada revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara,” ungkapnya.

Pertambangan di pulau-pulau kecil, kata Robert, jelas dilarang karena dapat merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Kegiatan ini juga bertentangan dengan upaya konservasi dan perlindungan lingkungan.

Dikatakan, Pasal 23 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil jelas melarang penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral di pulau-pulau kecil.

Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penambangan di pulau-pulau kecil merupakan ‘Abnormally Dangerous Activity’.

Politisi asal Papua Barat Daya ini menuturkan, cukup banyak pulau-pulau kecil yang berubah jadi lokasi tambang. Contohnya, Pulau Pakal, Pulau Bunyu, Pulau Gee, Pulau Wawonii, Pulau Sangihe, Pulau Gag, dan sebagian pulau di Raja Ampat.

Dia mewanti Kementerian Kehutanan tidak menerbitkan penggunaan kawasan hutan (pinjam pakai kawasan hutan ) untuk kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil.

“Ini banyak tejadi dari Aceh sampai Papua dan itu merata. Seperti di Papua oleh PT Gag Nikel, itu karena keterlanjuran dan itu ratusan hectare. Kami minta itu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan aturan yang ada,” tambahnya.

Menurut Robert, izin opeasi tambang ini harus dihentikan agar kerusakan ekosistem laut tidak sampai meluas.

“Selain merusak ekosistem, juga mengganggu pariwisata. Seperti Raja Ampat yang merupakan ikon wisata dunia dan merupakan habitat laut terbaik dunia karena koral terbaik dunia itu, 75 persennya ada di Raja Ampat. Ini harus dipertahankan kelestariannya,” pungkasnya. 

Larshen Yunus melihat, data tentang luasan kebun sawit yang dalam kawasan hutan yang sedang diproses Kemenhut, tertuang dalam lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 36 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 6 Februari 2025.

Surat Keputusan Menhut berisi Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan yang Berproses atau Ditolak Permohonannya di Kementerian Kehutanan sesuai kriteria Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja.

Dari data tersebut bisa dilihat, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI sedang memproses permohonan ketelanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 1.107.727 juta hektare di seluruh wilayah Indonesia.

Kebun sawit tersebut dikelola oleh sebanyak 436 subjek hukum yang terdiri dari perusahaan (korporasi) maupun kelompok masyarakat.

Dari sebanyak 1,1 juta hektare lebih kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan, Kementerian Kehutanan telah memproses seluas 790.474 hektare. Sementara sisanya seluas 317.253 hektare dinyatakan ditolak.

Lokasi kebun sawit dalam kawasan hutan yang paling luas berasa di Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau.

Adapun data perusahaan yang permohonannya sedang diproses maupun ditolak oleh Kementerian Kehutanan tersebut, akan menjadi bahan masukan bagi Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan.

Satgas yang dimaksud dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Perusahaan yang permohonannya diproses, akan dikenai kewajiban membayar denda administratif. Sementara, bagi perusahaan yang ditolak permohonannya, berpotensi dijerat secara pidana.

Sebelumnya, ribuan subjek hukum (perusahaan, kelompok, koperasi dan individu) di wilayah Indonesia yang mengelola kebun sawit dalam kawasan hutan, telah terdata di Kementerian Kehutanan di era Menteri Siti Nurbaya.

Subjek hukum tersebut mengajukan permohonan sesuai kriteria Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Subjek hukum pemohon paling banyak berada di wilayah Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah.

Berdasarkan lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 36 Tahun 2025, penikmat program pengampunan keterlanjuran kebun sawit, didominasi oleh perusahaan yang terafiliasi ke raksasa sawit di Indonesia. Meski demikian, tak seluruh areal kebun sawit dapat diproses, sebagian juga ada yang ditolak karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja.

Tetapi dia melihat, banyak pihak-pihak di belakang korporasi sawit, banyak pihak yang pesimis dengan kinerja satgas bentukan Presiden Prabowo ini.

Tak mengejutkan, sebab di pemerintahan sebelumnya pun satgas seperti ini pun telah dibentuk. Tentu saja, dengan hasil yang tidak maksimal. 

Ada celah korupsi yang mesti diperhatikan oleh Presiden dalam proses pemutihan ini. Salah satunya akibat implementasi UU Ciptaker ini masih belum transparan.

Menurut Ketua DPD I KNPI Riau ini lagi, implementasi pengenaan denda maupun pencabutan izin sesuai dua pasal di UU Cipta Kerja itu begitu tertutup. Sehingga, memantik celah korupsi yang dimainkan antara pemangku kepentingan dan korporasi.

Jumlah denda yang seharusnya dibayarkan sesuai luasan hutan cakupan bisnis rentan dikondisikan. Begitu pula dengan penegakan aturan pencabutan yang memungkinkan korporasi tak berizin bisa meneruskan bisnis sawitnya dalam hutan melalui cara penyimpangan.

Tidak cuma proses penarikan denda dan pengenaan sanksi kepada perusahaan yang sangat tertutup, Larshen juga menekankan tidak diketahuinya basis data yang digunakan KLHK untuk menghitung luasan konsesi.

Juga data soal berapa luas hutan yang ditanami sawit dan berapa luas tutupan hutan sebelum dibuka menjadi perkebunan oleh korporasi.

“Patut dipertanyakan transparansi data yang dikeluarkan KLHK. Bisa saja itu bukan gambaran sebenarnya atau lebih banyak sekian juta realitasnya,” kata Larshen Yunus menyikapinya. (*)

Tags : penertiban kawasan hutan, riau, perusahaan berkonflik sawit, penertiban kawasan hutan bisa main mata, penertiban kawasan hutan jadi modus ladang korupsi gaya baru, lingkungan, alam, penertiban perusahaan sawit,