LINGKUNGAN - Sejumlah organisasi lingkungan menentang revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hutan di Kalimantan Timur. Mereka menuding rencana tersebut menguntungkan korporasi, tapi mengabaikan kepentingan masyarakat.
Koalisi Indonesia Memantau yang terdiri dari WALHI, Auriga Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Forest Watch Indonesia, dan AMAN Kalimantan Timur mengatakan dari sekitar 700.000 hektare hutan yang akan diubah fungsi dan peruntukannya, hanya 13% yang dialokasikan untuk masyarakat setempat. Sisanya untuk korporasi.
“Yang akan menanggung keuntungan dari proses itu adalah korporasi. Rakyat sama sekali tidak diakomodasi perlindungan dan pengakuan wilayah kelolanya,” kata Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif WALHI Kaltim dalam keterangan pers nya.
WALHI juga menilai bahwa revisi tata ruang kerap dijadikan cara untuk mengampuni aktivitas ilegal perusahaan.
Ketua DPRD Kaltim, yang mengesahkan revisi ini, mengatakan kebijakan tersebut sudah disusun berdasarkan peraturan yang berlaku serta mengakomodasi pandangan dari semua pelaku kepentingan.
Revisi RTRW Kaltim 2022-2042 disetujui menjadi Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemprov dan DPRD pada akhir Maret lalu, dan saat ini tengah menunggu harmonisasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Komisi IV DPR-RI, yang membidangi lingkungan hidup.
Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi, mengatakan peninjauan kembali RTRW dilaksanakan pada tahun 2020 dengan berbagai pertimbangan, termasuk rencana pemindahan ibu kota negara ke Provinsi Kaltim.
Menurut Koalisi Indonesia Memantau, total ada 736.055 hektare hutan dalam revisi RTRW Kaltim yang akan diubah fungsi dan peruntukannya.
Rinciannya, 83,19% akan mengalami pelepasan kawasan hutan, 13,83% akan mengalami penurunan status kawasan hutan, 2,7% mengalami peningkatan status kawasan hutan, dan 0,28% tidak mengalami perubahan status.
Di 83,19% wilayah hutan yang akan mengalami pelepasan itu, setara 612.355 hektare, telah terdapat 156 izin konsesi perusahaan yang terdiri dari perusahaan sektor pertambangan, monokultur sawit skala besar, dan kebun kayu. Lebih dari setengah wilayah tersebut, menurut Koalisi, merupakan hutan alam yang merupakan habitat orang utan dan badak Sumatera.
Sementara itu, wilayah hutan yang diakomodasikan untuk masyarakat dalam skema Tanah Reforma Objek Agraria (TORA) maupun Perhutanan Sosial (PIAPS) hanya 13% atau 94.404 hektare. Itu pun, menurut Koalisi, berpotensi konflik.
Hilman Afif dari AURIGA Nusantara mencontohkan ada sekitar 77.000 hektare lahan yang diperuntukkan untuk masyarakat, padahal di atasnya sudah ada izin perusahaan.
“Nah itu yang kita sebut sebagai konflik; soal peruntukannya nggak pasti ini, apakah benar untuk masyarakat atau justru diklaim oleh perusahaan karena ada izin di atasnya,” kata Hilman.
Menurut Koalisi, revisi RTRW ini mengabaikan kepentingan rakyat untuk mendapatkan akses dan kontrol atas sumber-sumber agraria. Pengabaian ini dikhawatirkan akan memperpanjang krisis agraria di Kaltim.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama lima tahun terakhir terdapat 40 letusan konflik agraria di Kaltim. Pengabaian akses masyarakat disebut sebagai lima besar penyumbang letusan konflik agraria pada 2021 dan luasan konflik agraria pada 2019.
“Konflik agraria telah menyebabkan masyarakat sekitar kehilangan tanah dan kekayaan alam sebagai sandaran untuk kelangsungan hidup, yang berujung pada pemiskinan serta semakin berlapisnya kerentanan yang dialami perempuan,” kata Junarcia Molisna Naibaho, staf Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA.
Koalisi mengatakan ruang partisipasi publik dalam penyusunan revisi RTRW ini sangat rendah. Panitia khusus (Pansus) dituding minim melibatkan mereka yang terdampak langsung dari revisi itu.
“Jadi tidak hanya menganggap bahwa ketika ada organisasi masyarakat sipil atau NGO yang di Samarinda atau di kota dia sudah menggugurkan bahwa masyarakat sudah terwakilkan padahal sesungguhnya enggak gitu. Mereka enggak pernah bottom-up prosesnya dari desa atau kampung,” kata Fathur dari WALHI Kaltim.
Koalisi juga mencurigai bahwa revisi RTRW ini merupakan cara untuk “memutihkan” aktivitas ilegal yang dilakukan oleh korporasi.
Bukti citra satelit yang dilihat oleh BBC News Indonesia menunjukkan adanya perambahan di area hutan lindung yang diusulkan dalam revisi RTRW antara bulan Februari dan Mei 2023 – saat pembahasan revisi masih berlangsung. Perambahan itu terjadi di dekat wilayah konsesi perusahaan tambang batu bara.
“Nah makanya kami melihat bahwa revisi RTRW ini celah untuk mereka menggarap hutan atau menghapus dosa-dosa mereka yang telah mereka lakukan yang mendeforestasi hutan,” kata Hilman Afif dari AURIGA Nusantara.
Manajer kampanye hutan dan kebun WALHI nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan revisi tata ruang kerap dijadikan cara untuk mengampuni kejahatan-kejahatan lingkungan yang selama ini terjadi.
“Kenapa disebut sebagai kejahatan karena dia melegalisasi satu tindakan yang sebenarnya salah menjadi tidak salah. Dan itu pakai kebijakan gitu. Revisi tata ruang salah satu kebijakannya,” ujarnya.
Uli menjelaskan ruang “pengampunan” ini tidak hanya revisi tata ruang, yang juga bisa diusulkan secara mandiri oleh perusahaan kepada pemerintah, tapi juga melalui mekanisme pasal 110A dan 110B dalam UU Cipta Kerja.
Aturan tersebut memungkinkan perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan setelah membayar denda administratif.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga menjabat ketua Tim Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, telah mengonfirmasi bahwa 3,3 juta hektare kebun sawit yang berada di area hutan akan diselesaikan dengan kebijakan tersebut.
“Kita mau apain lagi, masak kita copotin. Ya kan enggak,” kata Luhut kepada media, Juni lalu.
Para aktivis lingkungan mengatakan seharusnya pemerintah melakukan penegakan hukum pada perusahaan yang membuka kebun sawit secara ilegal melalui undang-undang kehutanan.
Uli menyoroti bahwa salah satu mandat dari UU Cipta Kerja adalah menyederhanakan revisi tata ruang di semua wilayah, mengintegrasikan tata ruang darat dan laut. Proses ini, menurutnya, dimanfaatkan oleh perusahaan untuk “memutihkan” kejahatan.
“Nah dua ruang itu, jadi bisa saja satu perusahaan dia usul 110A 110B tapi enggak dapat, dia usul melalui revisi tata ruang; atau misalnya dia mengusulkan pemutihan lewat revisi tata ruang tapi tidak diberikan rekomendasi terus dia mengusulkan melalui 110A dan 110B,” kata Uli.
“Ini dua ruang yang terpisah tapi bisa saling dimanfaatkan untuk memuluskan kepentingannya, melegalkan hal yang ilegal.”
Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas'ud dari Fraksi Golkar, mengatakan bahwa revisi RTRW Kalimantan Timur telah disusun berdasarkan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Ia mengklaim sudah melakukan konsultasi dengan kementerian dan lembaga negara terkait, internal OPD Pemprov, Pemkab, Pemkot serta diskusi dengan perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, kelompok pemerhati lingkungan, serta berbagai elemen pemangku kepentingan lainnya, termasuk Walhi.
“Hasil kerja Pansus ini kami anggap telah mengakomodir semua critical point dari pandangan seluruh pemangku kepentingan yang ada, dari hulu ke hilir, secara horisontal maupun vertikal,” ujar Hasan kepada media, pada Jumat (7/7).
Meski begitu, ia mengakui masih ada catatan dari pansus terkait adanya 612 hektare yang sampai RTRW di tanda tangani mereka belum mengetahui status kepemilikannya ataupun menghadirkan korporasinya serta adanya penurunan status kawasan hutan.
Dengan waktu yang terbatas, sambungnya, banyak data yang belum dicocokkan antara pusat dan daerah, serta pansus belum meneliti dengan benar dokumen-dokumen perubahan yang menjdi kesepakatan kabupaten dan kota.
“Pansus tidak pernah merekomendasi pelepasan kawasan, khususnya kepada korporasi melalui RTRW, tetapi diminta melalui sistem parsial masing-masing,” jelas Hasan.
Sementara, Wakil Ketua I DPRD Kaltim, Muhammad Samsun dari Fraksi PDI-P, menekankan bahwa RTRW sudah disahkan, karena sudah ada kesepakatan antara DPRD dan Pemprov.
“DPRD tahu [pelepasan kawasan hutan] karena memang itu tadi peralihan ke wilayah IKN, hutan negara dan perlindungan ke lain. Belum ada peruntukannya,” ujar Samsun kepada wartawan Lamanele yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Kalau memang ada temuan-temuan, atau ada laporan masyarakat, Walhi dan kawan-kawan yang lain silahkan disampaikan dan itu akan jadi perhatian kita semua,” ia menambahkan.
Adapun anggota Komisi IV DPR-RI, Daniel Johan, meminta masyarakat yang dirugikan oleh pelepasan hutan dalam revisi RTRW untuk melapor ke wakil rakyat mereka di DPRD.
“Kalau memang pelepasan itu merugikan masyarakat dan menambah kerusakan lingkungan, masyarakat lakukan saja penolakan yang disampaikan ke wakil rakyat mereka di DPRD. Bisa juga disampaikan ke komisi IV agar mendapat perhatian dan memanggil pihak terkait,” kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu. (*)
Tags : hutan di kalimantan timur, ratusan ribu hektare hutan dilepas, hutan jadi kebun sawit, koalisi aktivis, hutan, deforestasi, sawit, lingkungan, alam,