Riau   2023/05/14 18:20 WIB

Riau Buka Keran untuk Garap Tambang Batubara, 'Tapi Juga Dibayangi dengan Dampak pada Perubahan Iklim'

Riau Buka Keran untuk Garap Tambang Batubara, 'Tapi Juga Dibayangi dengan Dampak pada Perubahan Iklim'

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau tengah membuka keran bagi para investor untuk menggarap proyek substitusi batubara berkalori rendah (low calori) menjadi Dimethyl Ether (DME) yang dapat dimanfaatkan menjadi pengganti LPG.

"Riau membuka keran bagi investor untuk menggarap tambang Batubara yang juga dibayangi dengan perubahan iklim."

"Kita di Riau batu bara lebih bagus untuk disubstitusi jadi DME, karena low calori. Kalau seandainya ada investor yang minat untuk membuat itu, kenapa enggak. Jadi dia buat pabrik sendiri, kita akan bantu fasilitasi," kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Riau, Indra Agus Lukman, Jumat (15/1).

Menurutnya, karena Riau memiliki potensi batu bara berkalori rendah cukup besar bila ingin digarap dengan serius untuk dijadikan sebagai bahan baku substitusi LPG.

Ia mengaku di Riau ada dua daerah yang memiliki potensi batu bara berkalori rendah untuk digarap, yakni di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dari hasil kajian di Indragiri Hulu misalnya, cadangan batubara berkalori rendah diperkirakan mencapai 5 miliar metrik ton.

Bahkan jika yang terukur, bisa untuk 64 tahun. Sementara di Kabupaten Kuantan Singingi, cadangan batubara berkalori rendah terdapat di daerah Cerenti.

"Jadi kita bisa saja gandeng swasta dengan IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang di sana. Cuma mau gak PGN menerima untuk pembelian energinya. Karena monopoli penjualannya itu kan ada di PGN," tuturnya.

"Asal kita mampu mendobrak, ada investornya, kita bisa fasilitasi untuk nilai jualnya ke PGN. Kalau itu jadi, kita tidak lagi impor LPG," tambahnya.

Indra juga mengatakan, sebelumnya memang sudah ada sejumlah perusahaan yang berkolaborasi untuk menggarap proyek tersebut. Yakni, Pertamina, PT Tambang Bukit Asam dan Air Consultan, perusahaan asal Amerika. Namun atas pertimbangan lain, perusahaan tersebut lebih dulu menggarap untuk wilayah kerja Sumatera Selatan (Sumsel).

Tetapi menyoal UU minerba (tambang Batubara) ini, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyinggung adanya soal kerugian masyarakat luas.

Sidang pertama uji materi Undang-Undang Minerba ke Mahkamah Konstitusi, yang dilaksanakan pekan lalu pada hari Senin, 9 Agustus 2021 dan sidang ke dua Senin 23 Agustus 2021 dengan agenda Perbaikan Permohonan Uji Materi UU Minerba.

Jauh sebelum WALHI mengajukan uji materi, pembahasan perihal UU Minerba sebenarnya sudah mendapat aksi penolakan dari beragam khalayak, mulai dari masyarakat daerah sekitar tambang, petani, nelayan, serta berbagai LSM.

Meskipun mendapat protes dan kecaman dari masyarakat luas, DPR tetap ngotot untuk mengesahkan revisi UU Minerba No. 3 Tahun 2020, yang kemudian ditandatangani oleh Presiden pada 10 Juni 2020. Padahal isi pasal-pasal dalam UU Minerba sangat kontroversial bahkan mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup serta jauh dari tujuan mensejahterakan masyarakat luas.

Apa saja resiko yang bakal dialami oleh masyarakat akibat adanya UU Minerba ini?

1. Masyarakat Tidak Lagi Bisa Protes ke Pemerintah Daerah

Sebelum UU No. 4 Tahun 2009 dihapus dan digantikan dengan UU Minerba, sebuah perusahaan atau perorangan apabila ingin melakukan aktifitas pertambangan di suatu daerah harus ijin dulu ke Pemda Kabupaten atau Kota setempat. Dimana nantinya Pemda di tiap lokasi pertambangan memiliki tugas dalam melakukan pembinaan, penyelesaian konflik bahkan pengawasan usaha pertambangan.

Nah, dengan adanya peran pemerintah daerah ini, kalau terjadi konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat wilayah tambang, Pemda dapat berperan layaknya mediator. Jadi setiap ada laporan masyarakat terkait pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang, apabila terbukti bersalah, maka Pemda memiliki kewenangan untuk menghentikan sementara bahkan mencabut Ijin Usaha Pertambangan (IUP).

Sayangnya, dengan disahkan UU Minerba No. 3 Tahun 2020, mulai sekarang kalau ada masyarakat yang dirugikan akibat ulah perusahaan tambang, baik itu berupa perusakan lingkungan hidup ataupun terjadi konflik sengketa lahan, Pemda tidak lagi bisa melakukan tindakan apapun. Karena seluruh kewenangan pertambangan diatur oleh pemerintah pusat, bukan lagi Pemda Kabupaten atau Kota setempat.

Jadi saat ini masyarakat yang ingin melakukan protes terkait aktifitas tambang di daerahnya, maka harus melapor ke pemerintah pusat atau minimal provinsi. Padahal sejauh ini lokasi tambang kebanyakan ada di daerah terpencil bahkan luar Jawa. Aturan ini sangat jauh dari logika tata kelola pemerintahan yang baik, pasalnya masyarakat yang tinggal di wilayah pertambangan tidak bisa berbuat banyak ketika lingkungannya rusak akibat ulah perusahaan tambang.

2. Resiko Dipolisikan Apabila Menolak Perusahaan Tambang

Bak jatuh tertimpa tangga, masyarakat daerah yang dirugikan akibat aktifitas perusahaan tambang yang merusak ruang hidupnya bukan hanya tidak bisa lagi melapor ke Pemda. Lebih parah lagi, terlihat dari bunyi Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020, bahwa masyarakat yang mencoba mengganggu aktifitas pertambangan dalam bentuk apapun bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana, bahkan denda hingga sebesar 100 juta rupiah.

Aturan yang sangat tidak masuk akal ini justru melenggang kangkung dan diapresiasi oleh Presiden, di tengah maraknya ketidakadilan dan kriminalisasi yang banyak dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat daerah tambang. Melalui UU Minerba yang baru ini masyarakat daerah selain bakal dihabisi kekayaan alamnya oleh segelintir konglomerat tambang, mereka yang mencoba menolak daerahnya untuk diesploitasi bakal kena pidana.

3. Perusahaan Tambang Masih Bisa Beroperasi Meskipun Terbukti Merusak Lingkungan

Ada lagi peraturan yang terkesan memanjakan pengusaha dari segi tanggung jawab perbaikan lahan bekas tambang. Aturan perbaikan lahan bekas tambang ini terdiri dari dua kegiatan yang terpisah, yakni reklamasi dan kegiatan pascatambang. Sebelum membahas permasalahan aturan yang menguntungkan pengusaha tambang ini, maka perlu kiranya memahami perbedaan antara Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang.

Reklamasi yaitu aktifitas untuk memulihkan ekosistem supaya bisa berfungsi kembali seperti sedia kala. Sedangkan Kegiatan Pascatambang yakni aktifitas perbaikan lahan bekas tambang untuk memulihkan kembali fungsi lingkungan, dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

Kalau mengikuti aturan UU No. 4 Tahun 2009, perusahaan tambang wajib melakukan semua kegiatan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang sekaligus menyetor dana jaminan Reklamasi dan Pascatambang. Meskipun ada aturan seperti ini, nyatanya di lapangan masih saja banyak terjadi pelanggaran berupa lubang-lubang bekas tambang batubara dibiarkan terbuka dan menjadi danau raksasa yang menelan korban jiwa.

Bukannya mempertegas aturan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang, alih-alih mempidanakan perusahaan yang tidak memperbaiki lahan bekas tambang, ajaibnya pemerintah justru membuat aturan baru yang membebaskan kewajiban pengusaha tambang perusak lingkungan dengan jalan merubah isi Undang-Undang. Seperti tertulis dalam UU Minerba Pasal 96 huruf b, kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan tambang bisa bebas memilih antara Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang.

Tidak hanya itu, perusahaan yang terbukti abai dan tidak melaksanakan reklamasi ataupun kegiatan pascatambang, ternyata tetap bisa memperpanjang ijin kontraknya. Bahkan sesuai dengan UU Minerba Pasal 169A, dengan dalih meningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah memberi jaminan perpanjangan kontrak berupa KK dan PKP2B sebanyak 2 kali 10 tahun.

4. Perusahaan Tambang Bisa Mengeruk Keuntungan Sebanyak Mungkin, Bahkan Mendapat Jaminan Royalti 0%

Bisa dibilang UU Minerba No. 3 Tahun 2020 ini merupakan kado terbaik dari pemerintah untuk pengusaha dan kabar buruk bagi masyarakat daerah tambang di Indonesia . Bagaimana tidak, seakan belum cukup dengan pemberian tiket eksploitasi sumber daya alam yang masif dan destruktif kepada segelintir konglomerat pengusaha tambang, pemerintah secara gamblang memberi lampu hijau bagi pelaku kegiatan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan di bumi Indonesia dengan bebas biaya.

Di dalam Pasal 128A Naskah UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 pengganti UU Minerba, dijelaskan bahwa pelaku usaha yang bisa meningkatkan nilai tambah batu bara akan mendapat perlakuan istimewa berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Padahal selama ini royalti yang ditentukan oleh pemerintah pada pengusaha tambang merupakan bagian pendapatan negara dan masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil.

Jelas sekali melalui UU Minerba No. 3 Tahun 2020 serta beberapa perubahan Pasal dalam UU Cipta Kerja, Pemerintah Pusat bersama dengan segelintir konglomerat pengusaha tambang sangat bernafsu untuk menghabisi sumber daya alam yang masih tersisa di Indonesia. Bukannya menjaga lingkungan hidup dari bencana kerusakan ekologis, Pemerintah justru semakin bersemangat untuk melakukan eksploitasi sebesar-besarnya tanpa lagi mempedulikan nasib masa depan masyarakat daerah tambang.

Dampak terhadap perubahan iklim

Pada 2 Februari 2021, pemerintah melalui PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP PPLH), mengeluarkan kebijakan yang kontras dengan kebutuhan hukum masyarakat dalam industri batubara.

Melalui PP ini, limbah batu bara hasil pembakaran PLTU dikeluarkan dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).  Jenis limbah yang keluar dari kategori B3 tersebut adalah fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau FABA.

Dua jenis limbah tersebut bersumber dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkitan listrik tenaga uap PLTU atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi, selain stoker boiler dan/atau tungku industri.

Kebijakan pemerintah ini tentu mengundang reaksi pro dan kontra. Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini diambil atas dasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah terlebih dahulu mengeluarkan limbah hasil pembakaran batubara dari kategori B3.

Kelompok pemerhati lingkungan menilai kebijakan itu tidak berpihak terhadap perlindungan lingkungan. Pemerhati lingkungan hidup menilai dikeluarkannya limbah fly ash dan bottom ash dari kategori B3, dapat mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir. Terhadap perubahan iklim pun penggunaan batubara akan mempercepat laju perubahan iklim.

Di sisi lain, pelaku usaha mengapresiasi penerbitan PP 22 Tahun 2021 meskip hanya berlaku bagi FABA yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sehingga bagi industri penghasilnya dari non-PLTU yang umumnya menggunakan tungku industri, masih dikategorikan sebagai limbah B3.

Persyaratan yang diberlakukan bagi penghasil FABA adalah kewajiban pengelolaan berupa kegiatan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan dan kegiatan penimbunan limbah B3. Tahapan kewajiban tersebut sangat birokratis dan memerlukan waktu lama. 

Dewan kunjungi tambang batubara

Komisi III DPRD Riau membidangi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mengunjungi tambang batubara yang dikelola PT Pengembangan Investasi Riau (PIR) di Kecamatan Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Kedatangan Komisi III dipimpin langsung oleh Ketua Komisi, Husaimi Hamidi, Wakil Ketua Komisi III, Karmila Sari dan anggota, Syahroni Tua, Syamsurizal Sofyan Siroj. Komisi III mendatangi langsung lokasi tambang yang dimiliki oleh PT PIR.

Komisi III DPRD Riau yang didampingi langsung oleh Wakil Ketua Komisi II DPRD Inhu, Bayu Nofyandri Surbakti disambut oleh Direktur Operasional, Syafrudin Atan Wahid, General Manager (GM) PT PIR, Suharyanto, Junior Manager, Deded Hari Sagita, Koordinator Batubara, Himbron Pilihan serta Kepala Teknik Tambang, Rudi Pratama Putra.

Lokasi tambang ini terdiri dari 2 Blok, yaitu Blok A dan Blok B. Luas tambang ini sekitar 1.750 hektar dengan menjalin kerjasama bersama pihak ketiga, baik pihak yang menambang maupun pihak yang menjual. Sementara, PT PIR memiliki izin usaha dan mengawasi pekerjaan dari pihak ketiga.

GM, PT PIR, Suharyanto mengucapkan terimakasih kepada Komisi III yang sudah melihat langsung bagaimana operasional pertambangan batubara ini. Pihaknya juga sudah mempersiapkan sejumlah dokumen terkait proses pertambangan, mulai dari proses pertambangan, penjualan hingga pelaporan.

Dokumen ini sudah dikantongi oleh semua Anggota Komisi III dan nanti akan menjadi bahan dalam hearing bersama PT PIR. Komisi III akan mempelajari dokumen ini dengan mempertimbangkan hasil tinjauan langsung ke lapangan.

"Kami mengharapkan ada masukan dan petunjuk dari DPRD Riau," katanya, Jumat (9/7).

Ketua Komisi, Husaimi Hamidi meminta maaf jika dalam kunjungannya ini agak keras dan ada yang merasa tersinggung, namun itu merupakan bentuk semangat Komisi III dalam membangun Riau, sebab dia ingin meninggalkan 'legacy' selama mengabdi di lembaga DPRD Riau.

"Kami sedang gencar menelusuri masalah BUMD, terakhir kami berhasil mengkomunikasikan bagaimana semua BUMD memutar uangnya di Bank Riau Kepri. Kemudian, kami juga fokus bagaimana perusahaan ini bisa mengoperasikan 100 persen kendaraan plat BM. Kami masih melihat ada yang Non-BM, ini akan kita sampaikan ke Gubernur, karena beliau mengimbau perusahaan swasta memakai BM, tapi BUMD sendiri masih memakai Non-BM," jelasnya.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Riau, Karmila Sari menambahkan, dari 1.750 hektar lahan tambang yang dimiliki PT PIR, diketahui bahwa eksplorasi tidak maksimal dan belum memenuhi permintaan order.

"Apa yang menjadi alasan PIR menyerahkan ini ke pihak ketiga, berapa besar kontribusi ini untuk PIR yang ada di pusat?," tanya Karmila.

Anggota Komisi III, Syamsurizal mengapresiasi perkembangan bisnis PT PIR yang menggarap sektor pertambangan batubara, meskipun saat ini masih menggantungkan hidup pada kontraktor.

"Izin pertambangan ini sulit, tapi sekarang sudah ada dan tinggal bagaimana menjalankannya, Pemprov Riau jangan melepas begitu saja, harus ada bimbingan," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Operasional PT PIR, Syafrudin Atan Wahid mengucapkan terimakasih atas kesediaan waktu dari Komisi III DPRD Riau untuk melihat langsung pertambangan di Peranap, Inhu.

'Dengan kunjungan Komisi III ke Inhu, semoga dapat jadi evaluasi yang berarti buat PT PIR, dan bisa meningkatkan penghasilan menjadi lebih signifikan," tutupnya. (*)

Tags : tambang batubara, riau, garap tambang batubara, riau buka keran pengelolaan tambang batubara, tambang batubara dibayangi dampak perubahan iklim,