"Provinsi Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pantai timur pulau Sumatera bagian tengah"
iau wilayah pesisirnya berbatasan dengan Selat Malaka. Hingga tahun 2004, provinsi ini juga meliputi Kepulauan Riau, sekelompok besar pulau-pulau kecil (pulau-pulau utamanya antara lain Pulau Batam dan Pulau Bintan) yang terletak di sebelah Timur Sumatra dan sebelah Selatan Singapura. Kepulauan ini dimekarkan menjadi provinsi tersendiri pada Juli 2004.
Riau salah satu provinsi terkaya di Indonesia yang memiliki sumber alam melimpah terutama minyak bumi, gas alam, karet dan kelapa sawit. Ibu kota dan kota terbesar di provinsi Riau adalah Pekanbaru, dan kota besar lainnya setelah Pekanbaru adalah kota Dumai.
Berdasarkan hasil Badan Pusat Statistik Riau tahun 2022, penduduk provinsi Riau berjumlah 6.493.603 jiwa, dengan kepadatan penduduk 75 jiwa/km², dan pada akhir 2023 berjumlah 6.861.237 jiwa peduduk.
Riau saat ini merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, dan sumber dayanya didominasi oleh sumber alam, terutama minyak bumi, gas alam, karet, kelapa sawit dan perkebunan serat.
Tetapi, penebangan hutan yang merajalela telah mengurangi luas hutan secara signifikan, dari 78% pada 1982 menjadi hanya 33% pada 2005.
Rata-rata 160.000 hektare hutan habis ditebang setiap tahun, meninggalkan 22%, atau 2,45 juta hektare pada tahun 2009.
Deforestasi dengan tujuan pembukaan kebun-kebun kelapa sawit dan produksi kertas telah menyebabkan kabut asap yang sangat mengganggu di provinsi ini selama bertahun-tahun, dan menjalar ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Provinsi kaya tapi rakyatnya miskin
Provinsi Riau masuk dalam daftar daerah terkaya di Indonesia. Potensi sektor migas dan industri kelapa sawit di Riau berkontribusi besar membuat Riau jadi daerah yang kaya.
Masa Gubernur Riau di jabat Syamsuar mengungkap bahwa, kekayaan Provinsi Riau ini tidak tercermin dalam kondisi ekonomi masyarakatnya.
Ada kesenjangan yang cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Syamsuar menyadari bahwa Riau harus mencari sumber ekonomi lain disamping migas dan kelapa sawit.
Badan Pusat Statistik Provinsi Riau menyatakan persentase penduduk miskin di wilayah itu pada September 2022 sebesar 6,84 persen, atau meningkat sebesar 0,06 persen poin terhadap Maret 2022, tetapi menurun 0,16 persen poin apabipa dibandingkan dengan September 2021.
Sementara garis kemiskinan di Riau rata-rata senilai Rp3,17 juta per rumah tangga perbulan dengan anggota keluarga rerata 4,8 orang.
Kepala BPS Riau Misfaruddin menjelaskan jumlah penduduk miskin Riau pada September 2022 sebanyak 493.130 orang, atau meningkat 8.100 orang terhadap Maret 2022 dan menurun 3.530 orang terhadap September 2021.
"Persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2022 sebesar 6,34 persen, naik menjadi 6,49 persen pada September 2022. Sementara persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2022 sebesar 7,08 persen, turun menjadi 7,07 persen pada September 2022," ungkapnya, Senin (16/1/2023).
Sementara itu bila dibandingkan Maret 2022, jumlah penduduk miskin September 2022 perkotaan naik sebanyak 6.130 orang, yaitu dari 181.820 orang pada Maret 2022 menjadi 187.950 orang pada September 2022.
Kemudian pada periode yang sama jumlah penduduk miskin perdesaan naik sebanyak 1.960 orang, yaitu dari 303.210 orang pada Maret 2022 menjadi 305.170 orang pada September 2022.
"Untuk garis kemiskinan pada September 2022 tercatat sebesar Rp648.833 per kapita perbulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp475.492 atau sebesar 73,28 persen, dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp173.340 atau sebesar 26,72 persen," ujarnya.
Adapun pada September 2022, secara rata-rata rumah tangga miskin di Provinsi Riau memiliki 4,89 orang anggota rumah tangga.
Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp3.172.793 per rumah tangga miskin perbulan.
Tetapi setelah Syamsuar digantikan Brigjen TNI (Purn) Edy Afrizal Natar Nasution sabagai Gubernur Riau menyatakan keinginannya untuk menuntaskan seluruh visi-misi kepala daerah setempat, usai dilantik sebagai Gubernur Riau untuk sisa masa jabatan selama satu bulan ke depan.
"Saya yang tadinya wakil gubernur naik menjadi gubernur, tentu di sisa waktu ini akan melanjutkan apa yang sudah kami lakukan selama ini," kata Edy Afrizal Natar Nasution di Istana Kepresidenan Jakarta, usai dilantik menjadi Gubernur Riau sisa masa jabatan tahun 2019-2024 oleh Presiden Joko Widodo, Senin.
Ia mengatakan program kerja yang selama ini dijalankan merupakan visi dan misi yang dicanangkan mantan Gubernur Riau Syamsuar yang diselaraskan dengan program pemerintah pusat.
"Karena program yang kita lakukan tentunya itu merupakan visi dan misi Gubernur, Wakil Gubernur, dan Presiden," katanya.
Laman Pemerintah Provinsi Riau menginformasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019--2024 adalah "Terwujudnya Riau yang Berdaya Saing, Sejahtera, Bermartabat dan Unggul di Indonesia (Riau Bersatu)".
Misi Pembangunan Provinsi Riau ditempuh dengan mewujudkan SDM yang berdaya saing, pembangunan infrastruktur daerah yang merata dan berwawasan lingkungan, pembangunan ekonomi inklusif.
Misi pembangunan juga ditempuh melalui perwujudan budaya melayu sebagai payung negeri dan mengembangkan pariwisata yang berdaya saing, serta mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan pelayanan publik yang prima berbasis teknologi informasi.
"Mudah-mudahan itu bisa kami akhiri dengan baik dan saya juga tentu mohon doanya," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Edy juga menyampaikan pesan dari Presiden Jokowi untuk menjaga kondusivitas keamanan di Provinsi Riau di tengah situasi tahun politik 2024.
"Tadi beliau juga tanyakan bagaimana kondisi Riau dan saya katakan sampai saat ini masih cukup kondusif," katanya menceritakan percakapan dengan Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi melantik Edy Afrizal Natar Nasution menjadi Gubernur Riau menggantikan Syamsuar yang mundur dari jabatan Gubernur Riau karena maju sebagai calon legislatif (caleg) DPR RI di Pemilu 2024.
Atasi kemiskinan di Riau
Gubernur Riau, Brigjen TNI (Purn) Edy Afrizal Natar Nasution
Sebelumnya, masa Edy Natar Nasution sebagai Wakil Gubernur Riau (Wagubri) menyampaikan bahwa target penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen membutuhkan upaya extraordinary dan koordinasi lintas kementerian/lembaga, Pemda dan peran serta masyarakat.
Oleh sebab itu jelasnya, dalam upaya penghapusan kemiskinan ekstrem, pemerintah daerah diharapkan dapat memperkuat koordinasi di daerah dan koordinasi dengan pemerintah pusat.
Selanjutnya, menggunakan data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) untuk mempertajam sasaran program ataupun memastikan penduduk miskin ekstrem dan kantong kemiskinan ekstrem terintervensi program kemiskinan dengan penandatanganan komitmen prioritas intervensi.
"Mohon penanganan kemiskinan ekstrem ini menjadi komitmen bersama," ucapnya, dalam rapat penajaman penanggulangan kemiskinan ekstrem di Provinsi Riau, berlangsung di Kediaman Wagubri, Senin (17/10/22).
Dalam kesempatan itu, Wagubri meminta agar kepala OPD membuat roadmap upaya penghapusan kemiskinan ekstrem, lalu menyusun upaya terobosan dalam upaya percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dan melakukan langkah-langkah konvergensi instrumen kebijakan pusat dan daerah.
Disamping itu, ia juga meminta dalam penyelesaian permasalahan penanganan kemiskinan ekstrem ini agar mengutamakan penyelesaian exclusion error atau salah sasaran.
Dia menjelaskan, sesuai rekomendasi LHP BPK bahwa Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS) juga harus mampu menyajikan data untuk dianalisis sebagai upaya untuk penguatan program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Riau.
Karena itu sebutnya, basis data P3KE digunakan sebagai dasar pelayanan berikut dengan pengembangannya. Sehingga tim teknis berperan sebagai perumus rancangan kebijakan terkait pengembangan PUSKESOS di Provinsi Riau.
"Perlu memberikan dukungan fiskal dalam penghapusan kemiskinan ekstrem dan mengkolaborasikan dengan sumber dana Non APBN (CSR dan philanthropy)," jelasnya.
Kemiskinan yang struktural
Tetapi kemiskinan terjadi bukan hanya karena keterbatasan sumber daya alam atau karena tradisi, norma, dan kebiasaan yang berlawanan dengan kemajuan.
Ketua Umum [Ketum] Lembaga Melayu Riau [LMR] H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Ak menilai angka kemiskinan di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memang berhasil diturunkan hingga angka satu digit atau di bawah 10 persen, namun ada sejumlah catatan yang perlu menjadi perhatian.
"Meskipun pencapaian angka kemiskinan single digit, ada beberapa catatan. Pertama adalah masih ada sekitar 69 juta orang yang rentan miskin," ujarnya.
Menurutnya, penduduk rentan miskin adalah penduduk yang berada di atas garis kemiskinan sebesar 1,5 kali garis kemiskinan. Jadi apabila garis kemiskinan Rp400.000, maka penduduk rentan miskin berada pada pengeluaran Rp600.000. Penduduk rentan miskin ini bisa jatuh miskin apabila terdapat gejolak ekonomi.
"Guncangan terhadap perekonomian akan menyeret mereka ke jurang kemiskinan. Guncangan tersebut bisa seperti kenaikan harga," katanya.
Lanjut Darmawi Wardhana, ketika kemiskinan memasuki angka satu digit, maka kebijakan penurunan angka kemiskinan memasuki fase tantangan the last mile problem yang memerlukan kebijakan penanggulangan yang ekstra, dibandingkan ketika mengurangi angka kemiskian di angka dua digit.
"Pada angka single digit, terdapat kelompok penduduk yang masuk kategori kemiskinan kronis. Kemiskinan kronis di antaranya terdapat penduduk dengan latar belakang pendidikan rendah atau SD, difabel, dan sakit-sakitan," ujarnya.
Catatan ketiga yaitu angka kemiskinan di desa yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemiskinan kota. Indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan desa 2.32, juga lebih tinggi dibandingkan di kota 1.08. Artinya, jarak ke garis kemiskinan penduduk desa lebih lebar dibandingkan dengan penduduk kota.
"Bisa dikatakan, pengurangan kemiskinan di kota relatif lebih mudah dibandingkan dengan di desa, karena jarak pengeluaran penduduk miskin kota ke garis kemiskinan relatif lebih dekat dibandingkan dengan penduduk miskin di kota," kata Darmawi.
Ia menilai pemerintah harus menjaga harga-harga, terutama beras yang menyumbang 19 persen terhadap garis kemiskinan di kota dan 25 persen garis kemiskinan di desa.
Kemudian kebijakan transfer tunai perlu dibarengi dengan peningkatan keterampilan (skill upscale) penduduk miskin, terutama untuk penduduk miskin kronis.
Pemerintah juga dinilai perlu melakukan ekstensifikasi kebijakan dana desa agar lebih bisa mendorong pengentasan kemiskinan di desa. Salah satunya adalah dengan menghubungkan dengan program-program kemiskinan nasional, provinsi, dan kabupaten.
"Kebijakan dana desa sebaiknya dijalankan sendiri tanpa melihat kebijakan dari kementerian atau lembaga lain. Hal ini mengingat indeks kedalaman kemiskinan di desa lebih tinggi dibandingkan di kota," ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada September 2018 terus turun menjadi 9,66 persen dibandingkan Maret 2018 yang mencapai 9,82 persen. Ada penurunan kemiskinan sebesar 0,16 persen dibandingkan Maret 2018 dan 0,46 persen dibandingkan September 2017.
Secara jumlah, penduduk miskin pada September 2018 mencapai 25,67 juta orang, menurun 0,28 juta orang terhadap Maret 2018 dan menurun 0,91 juta orang terhadap September 2017.
Ada sesuatu yang paradoks soal kekayaan alam dan kemiskinan misalnya yang terjadi di Riau. Nyatanya, provinsi ini miskin meskipun ia berada di tengah-tengah kelimpahan sumber daya.
Riau adalah penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia. Produksi minyak bumi di provinsi Riau tersebar ke dalam enam blok minyak, antara lain Siak Block Rokan, Selat Panjang Malacca Strait, Mountain Front, dan Coastal Plains Pekanbaru.
Selain itu, Riau juga dikenal sebagai produsen kelapa sawit terbesar di Indonesia. Produksi kelapa sawit Riau mencapai 8,63 juta ton atau 18,67 persen dari total produksi kelapa sawit di negeri ini.
Provinsi kaya, apakah orangnya juga kaya?
Mendapat predikat sebagai penghasil minyak bumi dan produsen kelapa sawit di Indonesia, maka tidak heran Riau dijuluki sebagai provinsi kaya, karena di atas tanahnya ada minyak (kelapa sawit), begitu pun di bawah tanahnya ada minyak (minyak bumi).
Jika kita tanyakan pertanyaan itu kepada orang-orang di luar Riau, maka jawabannya: ya. Orang Riau adalah orang kaya. Tapi jika kita tanyakan pertanyaan itu kepada Badan Pusat Statistik, maka jawabannya: tidak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau pada bulan Maret tahun 2022 lebih kurang sebesar 458.000 jiwa. Tapi jumlah itu bisa bertambah secara signifikan ketika harga kelapa sawit mengalami penurunan.
Menurut Ando Fahda Aulia, Doktor Kelapa Sawit lulusan Universitas Flinders, Australia, salah satu kontribusi kelapa sawit di Riau adalah dari sisi penyerapan tenaga kerja. 46,09 persen tenaga kerja di Riau terkonsentrasi pada sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Jumlah petani sawit di Riau pada tahun 2018 berjumlah 580.902 petani. Jika kita asumsikan satu keluarga petani berjumlah 4 orang, maka jumlah masyarakat Riau yang tergantung kepada kelapa sawit lebih kurang 2.300.000 orang.
Apa artinya? Jika harga kelapa sawit mengalami penurunan (kontraksi) maka lebih kurang 33 % penduduk Riau berpotensi menjadi penduduk miskin.
Di dalam bukunya berjudul “Kebijakan Ekonomi: Regulasi, Institusi dan Konstitusi,” Ahmad Erani Yustika dan Rukavina Baksh berpendapat, para ilmuwan (sosial) percaya kemiskinan disebabkan oleh tiga perkara: struktural, kultural, dan natural.
Penyebab natural kemiskinan adalah kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya ekonomi. Penyebab kultural kemiskinan adalah kemiskinan yang disebabkan oleh tradisi, norma, dan kebiasaan yang berlawanan dengan kehendak pada kemajuan.
Sedangkan penyebab kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang berporos dari kebijakan (pemerintah) yang bengkok sehingga hanya segelintir pelaku ekonomi yang ikut gerbong kesejahteraan.
Jika kita analisis kemiskinan di Riau berdasarkan tiga penyebab kemiskinan tersebut maka kemiskinan di Riau salah satunya bisa kita katakan sebagai “kemiskinan struktural”.
Jika harga kelapa sawit mengalami penurunan maka kemiskinan di Riau diprediksi akan meningkat signifikan.
Kemiskinan di Riau [terutama yang bergantung pada kelapa sawit] disebut kemiskinan struktural karena tidak disebabkan oleh mekanisme pasar, melainkan karena kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan sebagian kalangan.
Padahal dalam rantai bisnis kelapa sawit, petani kelapa sawit yang hanya memiliki beberapa hektar atau para pekerja adalah penikmat terkecil dari total keuntungan.
Tapi merekalah yang paling menderita ketika terjadi penurunan harga tersebut. Penurunan harga kelapa sawit secara signifikan membuat mereka rentan menjadi masyarakat miskin.
Mengatasi masalah dengan masalah
Kembali seperti disebutkan Darmawi Wardhana yang juga sebagai Direktur Indonesian Corruption Investigation [ICI] ini menilai, program-program penanganan kemiskinan yang dijalankan pemerintah selama beberapa tahun terakhir sudah berjalan dengan baik.
"Program-program ini sudah 'on the right track' dan sudah ada penyempurnaan dari sisi database," kata dia.
Dia menjelaskan, konsep yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan adalah mengurangi beban masyarakat miskin, penguatan ekonomi produktif dan investasi sumberdaya manusia.
Namun menurut dia, anggaran yang sangat besar justru untuk bantuan sosial tapi efektivitasnya masih belum optimal.
"Pengentasan kemiskinan tidak sepenuhnya terkait dengan anggaran tetapi desain program, target dan kondisi lokal tempat orang miskin berada," katanya.
Program-program yang digulirkan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan antara lain melalui bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Salah satu program yang berdampak pada pengurangan angka kemiskinan adalah PKH dan BPNT. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan pada September 2018 adalah 9,66 persen atau turun dari Maret 2018 yaitu 9,82 persen.
Penurunan angka kemiskinan menurut BPS akibat dari penerimaan bansos yang meningkat sampai 87,6 persen dan diterima tepat waktu.
Pada 2015, Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH baru mencapai 3,5 juta KPM, kemudian ditingkatkan menjadi 6 juta KPM pada 2016 dan 2017 dan naik lagi menjadi 10 juta KPM di 2018. Pada 2019 jumlah KPM masih 10 juta namun nilai anggaran terus ditingkatkan.
Untuk PKH anggaran yang dialokasikan meningkat dari Rp19,2 triliun pada 2018 menjadi Rp34 triliun pada 2019.
Sementara pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor CPO, apakah masalah kenaikan harga minyak goreng selesai? Ternyata tidak.
Pasca pelarangan ekspor, Menteri Perdagangan diganti. Apa artinya? Kebijakan pelarangan ekspor ternyata tidak menyelesaikan masalah.
Harga minyak goreng tidak dapat kembali ke harga semula.
Kebijakan yang diambil oleh Menteri Perdagangan yang barupun tidak ada yang baru. Justru harga minyak goreng berpotensi meningkat kembali karena terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kenaikan harga BBM bisa meningkatkan biaya produksi dan distribusi, yang ujung-ujungnya bisa meningkatkan harga barang dan jasa.
Sekalipun harga minyak goreng berhasil diturunkan, kenyataannya pada saat ini ada banyak bahan kebutuhan pokok di luar sana yang mengalami kenaikan yang signifikan.
Hal ini terasa makin berat bagi petani kelapa sawit di Riau. Harga tbs yang anjlok membuat mereka kehilangan atau kekurangan pendapatan.
Dengan pendapatan yang hilang atau berkurang, bagaimana para petani itu akan menghadapi harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tajam?
Fenomena ini juga berpotensi menjadi kontra kebijakan penurunan stunting yang sedang digalakkan pemerintah. Sebab gizi menjadi salah satu penyebab tingginya angka stunting. Jika masyarakat memiliki uang yang terbatas, bagaimana caranya mereka mencukupi kebutuhan gizi?
Risiko kebijakan
Kenaikan tingkat kemiskinan tidak semata-mata salah pandemi covid-19. Pandemi hanya pemicu alias trigger.
"Ada kesalahan kebijakan. Kenapa? Karena pandemi justru membongkar ketimpangan. Misalkan, ketimpangan sanitasi, layanan kesehatan antara penduduk paling kaya dan yang paling miskin atau rentan miskin yang sudah ada sebelum pandemi," kata Darmawi Wardhana lagi mengingat kisah becana pandemi selama tiga tahun itu.
"Ketika pandemi terjadi, angka kemiskinan itu meningkat salah satunya karena terbatasnya fasilitas kesehatan, sanitasi, juga karena akses terhadap gizi misalnya. Jadi banyak faktor berpengaruh selain dari pandemi," lanjutnya.
Andil lain juga diberikan oleh tren perekonomian yang memang sudah melambat sekitar 4-5 tahun sebelum pandemi. Tren perlambatan terjadi karena pemerintah mencabut subsidi listrik kepada rumah tangga dengan kapasitas 900 VA di 2017.
"Jadi, konsumsi rumah tangga sudah tertekan, ini masih dirasakan kepada daya beli masyarakat. Pandemi jadi trigger, tapi tidak satu-satunya faktor," imbuhnya.
Faktor lain karena tidak kuatnya struktur industri dan perdagangan Indonesia akibat bergantung pada komoditas mentah dan harga komoditas itu sendiri.
Hal ini membuat gejolak harga komoditas mempengaruhi laju pertumbuhan industri dan perdagangan.
"Masih banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari komoditas, sehingga (ketika pandemi terjadi) mendadak banyak yang jatuh miskin, ini tidak bisa satu-satunya menyalahkan pandemi covid-19 terkait dengan kenaikan angka kemiskinan," tuturnya.
Selain masalah struktural yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang tidak siap menerima pandemi, ada pula faktor salah kebijakan alias salah urus. Darmawi mengatakan pemerintah memang sudah mengeluarkan banyak program bansos.
Sayangnya, program itu masih banyak celah. Pertama, sudah tahu bansos sembako rawan dikorupsi, justru masih dilakukan. Akibatnya, ternyata benar-benar dikorupsi dan membuat bansos tersebut tidak efektif untuk membantu konsumsi masyarakat dan menahan tingkat kemiskinan.
"Korupsi menjadi salah satu faktor yang membuat jaring pengaman kurang efektif. Kenapa tidak dari awal pemerintah mengalokasikan lebih banyak untuk bantuan yang sifatnya tunai?," tekannya.
Kedua, bansos dalam bentuk tunai ke masyarakat prosesnya terlalu lama, salah satunya terjadi di Kartu Prakerja. Baginya, masyarakat hanya perlu diberi dana tunai dalam waktu cepat, tapi program ini justru menyuruh masyarakat untuk mengikuti pelatihan dulu, baru mendapat dana tunai.
"Akhirnya banyak peserta yang tidak tepat sasaran karena permasalahan klasik soal data yang tumpang tindih. Ini salah satu masalah kenapa jaring pengaman sosial akhirnya tidak mampu menekan angka kemiskinan selama pandemi," jelasnya.
Ketiga, salah kebijakan juga terjadi dari sisi waktu. Misalnya, pada pemberian bantuan subsidi upah dan bantuan modal produktif kepada usaha kecil dan mikro yang baru diberikan pada semester II 2020. Padahal, dampak pandemi sudah terasa sejak Maret-April 2020.
Keempat, masalah yang dinilainya paling fatal adalah kebijakan pengendalian pandemi yang tidak tepat, membingungkan, dan tidak ada hasilnya. Mulanya, pemerintah 'ngotot' tidak mau mengunci wilayah (lockdown) dan lebih memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Baru sebentar PSBB dilakukan, pemerintah sudah percaya diri menggaungkan new normal atau adaptasi kebiasaan baru. Hal ini sempat memberi kepercayaan bagi masyarakat, tetapi tiba-tiba dikeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), ada pula PPK Mikro.
"Jadi masyarakat bingung, sudah mulai optimis lagi, ada vaksinasi, mulai belanja, tapi tiba-tiba yang terjadi adalah justru pemerintah melakukan pembatasan sosial yang sebenarnya efektivitasnya kecil pada pengendalian pandemi, tapi memukul daya beli masyarakat," terangnya.
Kelima, pemerintah memang memberikan bansos, tapi tidak sembari mengendalikan inflasi yang muncul dari kenaikan harga pangan, seperti harga kedelai, tahu, tempe, cabai rawit, hingga daging sapi.
"Ada bansos tapi harga pangan tinggi, ini yang menyebabkan daya beli masyarakat meski sudah diberikan bantuan, itu tidak optimal," katanya.
Ia menilai pemicu utama kenaikan tingkat kemiskinan memang pandemi. Toh, pemerintah sebelumnya sudah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari dua digit menjadi satu digit saja.
"Namun, karena pandemi banyak kemudian masyarakat yang kehilangan pekerjaan baik itu karena di-PHK atau pun usaha tempat bekerja tutup," ujarnya.
Tak hanya pandemi, bagi Darmawi, ada pula unsur kesalahan kebijakan mulai dari PSBB hingga PPKM Mikro yang diberlakukan pemerintah. Sebab, kebijakan pembatasan menekan aktivitas ekonomi sehingga membuat sumber pendapatan masyarakat hilang.
"Hal ini lah yang kemudian bermuara terhadap meningkatnya jumlah penduduk miskin," jelasnya.
Selain itu, menurutnya, bansos dari pemerintah juga kurang 'nendang'. Pasalnya, nilai kebutuhan masyarakat lebih tinggi dari jumlah bansos yang disalurkan.
"Jumlah ini tidak proporsional dengan bantuan yang disalurkan pemerintah. Belum lagi berbicara masalah ketepatan penerima data, sebelum pandemi, masalah ini telah ada dan dengan terjadinya pandemi membuat bantuan perlindungan sosial tidak bekerja secara optimal," terang dia.
Menurutnya, pemerintah perlu melakukan banyak hal. Pertama, merealisasikan penggunaan dana PEN dengan optimal.
Anggaran PEN tidak hanya perlu diperbesar, tapi juga tepat sasaran dan bisa digunakan semua. Hal ini tidak seperti PEN 2020 di mana hanya terealisasi 83 persen, tidak maksimal, ada kasus korupsinya, dan kekurangan-kekurangan lainnya.
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan besaran bansos ke masyarakat, bukan malah dikurangi.
"Pemerintah perlu mengandalkan bantuan yang sifatnya transfer tunai langsung kepada pekerja dan itu minimum Rp5 juta-Rp7 juta per pekerja, bukan seperti kemarin yang relatif rendah," jelasnya.
Ketiga, memperluas bantuan bagi sektor informal. Keempat, mengendalikan inflasi dari sisi gejolak harga pangan.
Kelima, cepat tanggap mengatasi bencana karena masyarakatnya lebih berpotensi jatuh miskin di tengah pandemi. Apalagi, berbagai bencana tengah merundung Indonesia.
"Jadi ini salah satu tantangan, pemerintah harus serius untuk melakukan pengendalian pandemi karena ini salah satu yang menghambat aktivitas masyarakat," tuturnya.
Keenam, menggeliatkan sektor pertanian yang sudah teruji tahan banting dari pandemi. Pemerintah, bisa memobilisasi masyarakat untuk menggarap lahan. Namun, tak lupa memberi subsidi pupuk, pelatihan, bibit, dan lainnya.
"Banyak orang yang PHK kehilangan pendapatan menjadi migrasi ke desa. Ini harusnya di-support dengan bantuan pemerintah, sehingga memberi harga yang layak bagi petani. Ini salah satu upaya untuk memerangi kemiskinan di pedesaan," paparnya.
Darmawi menambahkan pemerintah juga mulai harus memperhatikan risiko kemiskinan di desa. Caranya, dengan lebih aktif menggalang kerja sama petani dengan BUMDes.
"Salah satunya dengan program padat karya dan revitalisasi BUMDes," pungkasnya.
Seperti petani kelapa sawit Riau yang merana pasca kebijakan pelarangan ekspor CPO adalah risiko kebijakan yang dipilih oleh pemerintah.
Kenaikan harga minyak goreng yang signifikan, menyebabkan pemerintah berupaya untuk menurunkannya, walau dengan resiko para petani sawit [terutama di Riau] berpotensi menjadi masyarakat miskin.
Tapi apakah pemerintah salah? Benar dan salah dalam merumuskan kebijakan tidak bisa dipastikan sampai kebijakan itu telah dilaksanakan dan dievaluasi.
Jikapun akhirnya dianggap salah, maka itu adalah risiko kebijakan. Setiap kebijakan pasti memiliki risiko.
Di dalam ilmu ekonomi ada istilah “trade-off”. Sebuah istilah yang menunjukkan tentang situasi di mana seseorang harus membuat keputusan terhadap dua hal atau lebih, mengorbankan atau kehilangan suatu aspek dengan alasan tertentu untuk memperoleh aspek lain.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan adalah pihak yang selalu dihadapkan dengan situasi trade-off.
Menurut Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suanzil Nazara, setidaknya ada lima trade off yang dihadapi dalam merumuskan kebijakan.
Trade-off yang pertama adalah keselamatan dan kesejahteraan. Trade-off yang kedua adalah antara kecepatan dan akurasi. Trade-off ketiga adalah antara data proyeksi dan data historis. Trade-off keempat adalah antara kepastian dan ketidakpastian.
Walaupun pemerintah selalu dihadapkan pada situasi trade-off, tapi itu tidak bisa jadi pemakluman untuk merugikan dan menguntungkan sebagian kalangan dalam jangka panjang.
Apalagi, sebagian kalangan ini adalah kelompok masyarakat yang rentan miskin sebagai akibat mekanisme pasar ataupun kebijakan pemerintah.
Jika pemerintah tidak mengatasi persoalan dengan cepat dan tepat, maka bagi sebagian kalangan (keluarga petani, pekerja, pengusaha sawit), akan berlaku.
Riau terdiri dari 12 kabupaten dan kota
Provinsi Riau adalah salah satu provinsi di Indonesia, yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi ini terletak di bagian tengah pantai timur pulau Sumatera. Provinsi Riau berbatasan dengan Selat Malaka.
Posisi Geografis Provinsi Riau adalah antara 01°31 – 02°25 Lintang Selatan atau antara 100° – 105° Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayah Provinsi Riau antara lain, sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi. Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau.
Riau saat ini merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, dan sumber dayanya didominasi oleh sumber alam, terutama minyak bumi, gas alam, karet, kelapa sawit dan perkebunan serat.
Ibu kota dan kota terbesar di provinsi Riau adalah Pekanbaru, dan kota besar lainnya setelah Pekanbaru adalah kota Dumai.
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka.
Riau memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari.
Berdasarkan hasil Badan Pusat Statistik Riau tahun 2022, penduduk provinsi Riau berjumlah 6.493.603 jiwa, dengan kepadatan penduduk 75 jiwa/km².
Kabupaten atau Kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 994. jiwa.
Sedangkan Kabupaten atau Kota dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 210.407 jiwa.
Juga perlu diketahui bahwa bahasa Melayu Riau dikukuhkan sebagai bahasa Melayu standar dan menjadi bahasa resmi Balai Pustaka.
Bahasa Melayu Riau inilah yang kemudian dikembangkan menjadi bahasa Indonesia.
Setelah mengetahui beberapa hal itu, berikut adalah daftar Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau
Ada tiga kemungkinan asal kata riau yang menjadi nama provinsi ini. Pertama, dari kata Portugis, rio berarti sungai.
Pada tahun 1514, terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis yang menelusuri Sungai Siak.
Dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut, dan sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang melarikan diri setelah kejatuhan Kesultanan Malaka.
Versi kedua menyebutkan bahwa riau berasal dari kata riahi yang berarti air laut. Kata ini diduga berasal dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Seribu Satu Malam.
Dan versi ketiga menyebutkan bahwa kata ini berasal dari penuturan masyarakat setempat, diangkat dari kata rioh atau riuh, yang berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja.
Lukisan pesisir Riau oleh seorang pelukis Belanda, sekitar tahun 1850. Riau diduga telah dihuni sejak masa antara 10.000-40.000 SM.
Kesimpulan ini diambil setelah penemuan alat-alat dari zaman Pleistosin di daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten Kuantan Singingi pada bulan Agustus 2009.
Alat batu yang ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas, serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar pembuatan alat serut dan serpih.
Tim peneliti juga menemukan beberapa fosil kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu itu.
Diduga manusia pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau adalah pithecanthropus erectus seperti yang pernah ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah.
Penemuan bukti ini membuktikan ada kehidupan lebih tua di Riau yang selama ini selalu mengacu pada penemuan Candi Muara Takus di Kampar sebagai titik awalnya.
Pada awal abad ke-16, Tome Pires, seorang penjelajah Portugal, mencatat dalam bukunya, Suma Oriental bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatra antara suatu daerah.
Yang disebutnya Arcat (sekitar Aru dan Rokan) hingga Jambi adalah pelabuhan dagang yang dikuasai oleh raja-raja dari Minangkabau.
Di wilayah tersebut, para pedagang Minangkabau mendirikan kampung-kampung perdagangan di sepanjang Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Indragiri.
Satu dari sekian banyak kampung yang terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi Pekanbaru, yang kini menjadi ibu kota provinsi.
Sejarah Riau pada masa pra-kolonial didominasi beberapa kerajaan otonom yang menguasai berbagai wilayah di Riau.
Kerajaan yang terawal, Kerajaan Keritang, diduga telah muncul pada abad keenam, dengan wilayah kekuasaan diperkirakan terletak di Keritang, Indragiri Hilir.
Kerajaan ini pernah menjadi wilayah taklukan Majapahit, namun seiring masukkan ajaran Islam, kerajaan tersebut dikuasai pula oleh Kesultanan Melaka.
Selain kerajaan ini, terdapat pula Kerajaan Kemuning, Kerajaan Batin Enam Suku, dan Kerajaan Indragiri, semuanya diduga berpusat di Indragiri Hilir.
Hingga kedatangan kolonial, terdapat beberapa kerajaan dan kesultanan di Riau. Kerajaan Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Rokan IV Koto dan Kunto Darussalam menguasai kawasan hulu sungai Rokan dan anak sungainya yang sekarang menjadi kabupaten Rokan Hulu.
Kerajaan Kampar Kiri dan Singingi menguasai kawasan sehilir sungai Kampar Kiri dan Singingi yang sekarang menjadi sebagian wilayah kabupaten Kampar dan sebagian wilayah kabupaten Kuantan Singingi.
Kerajaan Kuantan menguasai kawasan sehilir sungai Kuantan yang sekarang menjadi sebagian wilayah kabupaten Kuantan Singingi.
Kesultanan Siak Sri Inderapura menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis, kota Dumai, Siak, Kepulauan Meranti, sebagian kota Pekanbaru, kawasan sehilir sungai Tapung Kiri dan kanan serta Taratak Buluh dan sekitarnya yang sekarang masuk kabupaten Kampar.
Kesultanan Pelalawan menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Pelalawan.
Dan kesultanan Indragiri menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir, sedangkan sebagian kawasan pesisir Indragiri
Dulunya menjadi wilayah kesultanan Lingga–Riau yang berpusat di Daik Lingga. Kawasan sehilir sungai Kampar Kanan dipimpin oleh Datuk-datuk adat mereka sendiri.
Riau, provinsi baru yang terbentuk dari pemekaran wilayah, telah menjadi pusat perhatian dalam beberapa tahun terakhir.
Pemekaran ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan di wilayah tersebut.
Riau terletak di Pulau Sumatera, Indonesia, dan memiliki sejarah yang kaya serta budaya yang beragam. Sebagai provinsi luas, Riau memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.
Salah satu keunggulan Riau adalah sumber daya alamnya yang melimpah, terutama minyak bumi dan gas alam. Kekayaan alam ini memberikan peluang besar untuk pengembangan industri energi dan sektor lainnya.
Selain itu, Riau juga memiliki potensi pariwisata yang menakjubkan, seperti Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Pulau Rupat yang indah.
Dalam aspek pembangunan, Riau telah mengalami kemajuan yang signifikan sejak menjadi provinsi baru.
Pemerintah daerah telah berkomitmen untuk meningkatkan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat.
Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk Riau dan menciptakan lapangan kerja baru.
Namun, pemekaran menjadi provinsi baru juga menghadapi tantangan. Salah satu tantangan utama adalah mengelola sumber daya alam dengan bijaksana untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Selain itu, pemerintah daerah juga perlu memastikan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Riau, agar tidak terjadi kesenjangan antara kota dan pedesaan.
Dalam upaya membangun Riau menjadi provinsi yang maju dan berkelanjutan, partisipasi aktif dari masyarakat sangatlah penting.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dapat menciptakan inovasi dan pembaruan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan yang ada.
Dengan potensi yang dimilikinya, Riau sebagai provinsi baru hasil pemekaran memiliki kesempatan besar untuk berkembang dan memberikan manfaat bagi masyarakatnya.
Diharapkan dengan upaya yang dilakukan, Riau dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain dalam mengoptimalkan potensi lokal dan memajukan pembangunan wilayah.
Adapun hasil pemekaran dari provinsi Riau ini merupakan bentuk provinsi baru seluas 8.270 Km² yang diberikan nama Provinsi Kepulauan Riau.
Seperti dilansir dari kepriprov.go.id, Provinsi Kepulauan Riau ini, sudah disahkan sejak 24 September 2002 berdasarkan peraturan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002. (*)
Tags : provinsi kaya, riau provinsi kaya, riau memiliki sumber alam melimpah, minyak bumi, gas alam, karet dan kelapa sawit, provinsi di pulau sumatera, pekanbaru, riau, kota, indonesia, provinsi, kabupaten, Artikel,