"Rumah merupakan tempat tinggal manusia untuk berlindung dari panas, hujan, dan berbagai ancaman bahaya dan musuh, bentuknya pun beragam, sesuai dengan corak budaya dan zaman"
ibangun berabad-abad lalu, seperti rumah tua peninggalan masa kerajaan Riau Lingga yang dibangun pada tahun 1830 M dan masih berdiri kokoh hingga kini tepatnya di Jalan Kampung Cina Kelurahan Daik Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
"Rumah ini merupakan yang tertua di provinsi ini dan masih berdiri kokoh hingga kini, tetapi menyimpan kekayaan sejarah di dalam struktur bangunanya," kata Elmizan, cucu dari Tambi Abdul Rakhman, dalam bincang-bincangnya dengan riaupagi.com belum lama ini.
Para sejarawan arsitektur telah memperkirakan rumah itu sebelum tahun 1830. Karena itu, sangat mungkin rumah itu termasuk dalam situs juga digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Tambi Abdul Rakhman saat Sultan memerintah.
"Rumah ini sudah melewati banyak pemilik dari keluarga secara turun temurun. Seperti banyak rumah kuno, bangunan ini telah mengalami banyak perubahan dan penambahan selama sejarahnya," kata Elmizan.
"Rumah itu juga memiliki lukisan dan ukiran yang dianggap sebagai lukisan pertengahan tertua yang masih ada di Lingga."
Rumah terpencil menggunakan kayu seperti banyak bangunan tradisional memiliki atap seng pertama kali berfungsi sebagai tempat tinggal sang kakek Tambi Abdul Rakhman," kata Elmizan.
Di sinilah Tambi Abdul Rakhman membina rumah tangga.
Rumah yang ditempati Tambi Abdul Rakhman berada di Pegunungan Daik Lingga telah berusia lebih dari 184 tahun dan menjadikannya salah satu daerah perkotaan paling terhormat yang terus dihuni di bumi Lingga.
Mengenang suasana rumah Tambi Abdurrahman
Rumah tua peninggalan masa kerajaan Riau Lingga yang dibangun pada tahun 1830 M dan masih berdiri di Jalan Kampung Cina Kelurahan Daik Lingga itu meski terlihat sangat tua dan mulai rapuh, namun arsitektur sejarah yang membuktikan rumah tua tersebut masih tetap melekat. Mulai dari tangga masuk hingga ornamen-ornamen di dalamnya dengan ukiran perpaduan cina tiongkok dan India.
Ibu Maharani, perempuan yang berusia 62 tahun yang masih setia menunggu rumah tersebut adalah generasi kelima dari pemilik rumah Tambi Abdurrahman yang di masa kerajaan Riau Lingga diangkat menjadi Penghulu.
Menurut Maharani rumah tersebut di saat bulan Ramadan merupakan tempat berkumpulnya para pedagang keturunan Keling (India).
"Kalau dulu setiap bulan puasa, di sini masaknya berdandang-dandang karena selama satu bulan penuh Datuk kami Tambi menyedian makanan untuk warganya saat itu, yang berdagang di Kerajaan Riau Lingga," kata perempuan pensiunan guru ini.
Maharani menceritakan, Tambi Abdurrahman merupakan warga keturunan India, sehingga di zaman itu disebut sebagai orang Keling, Tambi berasal dari Srilanka dengan marga Marikan.
Awalnya Tambi datang ke Lingga untuk berdagang kain tenun, namun seiring berjalannya waktu karena keulatan dan ketekunan membuat Sultan Abdurrahman mengangkat Tambi menjadi penghulu untuk warga keling yang waktu itu masuk ke Lingga.
"Dari sinilah Tambi dijodohkan dengan anak Melayu sehingga membuatnya menetap di DaikLingga."
"Datuk kami orang keling, tapi karena menikah dengan orang sini sehingga dia menetap di Daik," terangnya.
Salah satu tradisi yang paling berkesan di saat bulan Ramadan adalah selain tempat berbuka puasa dan bersahur, para warga sekitar juga menjadikan rumah tua tersebut tempat masak setiap kegiatan-kegiatan keagamaan khusus warga keling.
Sementara tempat ibadah dibangun tak jauh dari rumah tersebut, yang dinamakan warga sekitar dengan sebutan Surau Keling.
"Tak jauh dari sini ada Surau Keling, yang kini dijadikan Mushola, karena bangunan tersebut sudah tertutup bangunan Hotel," kata Rani.
Rumah ini sangat komplit dulunya, mulai dari kamar untuk pengantin yang dulunya disebut dengan Bilik Salah (Kamar untuk pengantin dipingit) dan beberapa kamar tidur yang berjumlah tujuh buah.
Suasana religius sangat terlihat kental di rumah ini, beberapa ukiran kaligrafi terpampang di setiap pintu masuk, ukiran-ukiran tersebut menurut pemilik rumah merupakan kolaborasi antara Cina Tiongkok dan India.
"Kalau rumah ini arsitekturnya dibangun orang Cina Tiongkok, dan pengerjaanya juga mereka," jelasnya.
'Rumah tua yang bertahan'
Rumah panggung dengan nuansa tradisional melayu, yang berada di Kampung Cina, Daik Lingga, masih kokoh berdiri meski usianya sudah mencapai 186 tahun.
Rumah panggung yang merupakan milik kaum Keling di Daik Lingga ini, belum sedikit pun mengalami perubahan sejak awal dibangun pada tahun 1830 lalu.
Walau disekeliling rumah tersebut telah di bangun rumah-rumah yang bergaya modern, namun rumah ini sangat menonjol dengan keunikan ornamennnya, serta ukiran yang menempel didinding yang memiliki khasanah kharismatik tersendiri, dan tidak terpengaruh dengan perkembangan zaman.
Tetapi Maharani, yang bertempat tinggal di rumah tua bekas milik kakeknya menuturkan, rumah panggung itu dibangun pada zaman Sultan.
"Rumah tua jadi warisan dari datok moyangnya yang bernama Datok Tambi Abdul Rakhman, seorang pedagang kain dari bangsa Keling, India (Sri Lanka), pada zaman kesultanan Abdul Rahman Syah."
Walau rumah panggung yang pertama kali dibangun oleh orang Cina Tiongkok namun bangunannya bergaya melayu.
"Orang biasa menyebut rumah ini dengan sebutan rumah besar. Seperti terdapat pada rumah umumnya yang memiliki beberapa ruangan, begitu juga keunikan dari rumah panggung ini, ruangannya memiliki nama-nama tersendiri," kata Maharani.
Seperti terdapat pada rumah panggung Melayu lainnya, pada bagian tangga yang terbuat dari beton, disisi kiri kanannya memiliki ukiran siput.
Dari tangga kita masuk beranda, ruangan ini kalau dilihat seperti teras. Dan dari beranda, baru masuk keruang Serambi, ruang Serambi ini kalau dilihat ruang ini seperti ruang tamu. Uniknya, saat memasuki ruang yang disebut ruang Tengah, terdapat tiga buah pintu.
Ruang tengah ini, lebih kepada ruang keluarga.
“Dulunya, rumah ini memiliki tujuh buah bilik (kamar), saat ini hanya tinggal empat buah bilik, yang tiganya lagi telah dibongkar karena telah rapuh termakan usia. Empat buah bilik yang tersisa yakni, satu kamar kepala keluarga, kamar ibu, serta kamar anak-anak," katanya.
Dari empat bilik yang ada, uniknya, terdapat satu bilik dengan ukuran 2×3 M, yang diberi nama Bilik Salah. Dulunya, bilik ini berfungsi bagi anggota keluarga perempuan yang akan menikah. Bilik tersebut untuk memingit si perempuan. Biasa perempuan yang dipingit didalam bilik tersebut, empat hari sebelum hari H nya, paparnya.
Selain bilik salah, lanjut Maharani, ada juga bilik Tekat (menyulam), hanya saja bilik tekat tersebut telah di bongkar. Bagi perempuan yang akan menyulam, akan masuk bilik tersebut. Boleh dikatakan bilik itu khusus untuk perempuan, karena bagi bangsa Keling perempuan disebut sebagai penyelamat keluarga.
“Bilik itu namanya bilik Tekat, sekarang sudah di bongkar,” ungkapnya.
Pada pintu masuk rumah panggung ini, ucap Maharani lagi, terdapat ukiran yakni, ukiran kaligrafi Muhammad Betangkup pada pintu masuk utama, yaitu, pintu masuk dan pintu keluar. “Rumah ini, dulunya tempat berkumpul bagi pedagang Keling, yang berdagang sampai kesini,” ungkapnya.
Tambi Abdurrahman bin Muhammad (Apak) berasal dari negeri Sailon (Sri Lanka), datang ke Lingga berniaga permata dan kain–kain yang di bawa dari negeri asalnya. Anak Tambi sebanyak empat orang yaitu;
1. Naca (Perempuan)
2. Muhammad
3. MuhammadAli
4. Tambi
Anak dari Naca bernama Fatimah atau Tok Unggal dan Aisyah orang tua dari Maharani (‘ai). Anak dari Muhammad bernama Maimunah yaitu cucu dari Tambi Abdurrahman.
Tambi Abudarrahman merupakan Kepala dari orang–orang Keling yang berada di Lingga, di perkirakan semasa Sultan Abdurrahman Muazzamsyah ( 1884 – 1911 ), orang – orang Keling yang pada waktu itu sebagian sebagai pekerja.
Atas kepercayaan dari pihak Kerajaan dan Belanda beliau mendapat anugrah dengan Jabatan Letnan, dan ia juga menjabat sebagai anggota ahli Al Mahkamah kerajaan di Lingga, Peninggalan yang dapat di lihat pada masa sekarang ini, adalah Rumah tempat tinggalnya, yang sangat unik yang mempunyai ciri khas tersendiri, seperti ukiran dan kaligrafi.
Pengrajinnya orang Bugis yang di datangkan dari Singapura bernama Djumahat.
Penghuni rumah sekarang ini adalah keluarga Abdul Gani, suami dari Almarhumah Aisyah cucu dari pada Letnan Abdurrahman, dan anaknya bernama Topik, Maharani, Fauzi, Zulkifli, Anuar, Hidayat, Firdaus, Elmizan dan Safri.
Pada masa Kesultanan Riau-Lingga, di Daik sudah ada orang–orang India, Cina dan Arab. Mereka datang selain berdagang, bekerja dan menyebarkan agama.
Orang- orang India yang datang kemudian menetap di Daik, lalu membangun pemukiman orang–orang india, kampung itu di kenali dengan Kampung Keling yang bersebelahan dengan Kampung Bugis dan Kampung Cina, namun pada masa kini hanya menyisakan lokasi saja, karena telah banyak berdiri bangunan baru.
Di lokasi dulunya terdapat sebuah Surau dengan nama Surau Keling, di situlah orang–orang India yang ada menunjukkan mayoritas beragama Islam, sekarang surau sudah tidak ada lagi, di lokasi bekas tapak surau telah didirikan rumah masyarakat. Keturunan India yang ada di Daik sekarang telah menjadi orang–orang Melayu.
Penggunaan tiang-tiang untuk menopang bangunan rumah (rumah panggung) masih terlihat. Meskipun Abdurrahman berasal dari Sailon (Srilanka) sang pemilik rumah lebih mengadaptasi arsitektur lokal.
Selain tiang, penggunaan dinding-dinding vertical yang tinggi juga menjadi salah satu unsur dari rumah melayu. Berdasarkan posisi rumah terhadap jalan raya, rumah Abdurrahman memiliki perabung atap yang sejajar dengan jalan raya sehingga disebut rumah perabung panjang.
Hal ini juga dipengaruhi oleh arsitek rumah sendiri yang berasal dari Bugis. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya unsur pengaruh arsitektur Srilanka (Ornamen hias pada dinding).
Penggunaan arsitektur lokal juga dapat dipahami sebagai cara beradaptasi dengan lingkungan (supaya rumah tidak terendam air pasang)
BPCB gambar rumah Tambi Abdul Rakhman
Tim Penggambaran Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat telah melakukan kegiatan Penggambaran Cagar Budaya.
Kegiatan Penggambaran dilaksanakan di Daik, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (dengan objek penggambaran adalah Bangunan Cagar Budaya Rumah Apak (A. Gani) yang dikenal juga dengan Rumah Letnan Keling.
“Apak” merupakan panggilan terhadap Orang Keling (pendatang India, Arab, dsb) bagi masyarakat Daik.
Letnan Keling, yang bernama asli Tambi Abdul Rakhman, dahulunya mendiami rumah ini.
"Rumah tempat tinggalnya jika dilihat dengan saksama mempunyai keunikan tersendiri. Salah satunya pada ukiran flora (atau kaligrafi) yang terpajang di atas jendela dan pintu. Konon, pengrajinnya adalah orang Bugis yang di datangkan dari Singapura bernama Djumahat."
Sebagaimana sifat tinggalan Cagar Budaya yang khas dan tidak dapat diperbarui, maka kegiatan penggambaran menjadi salah satu upaya pendokumetasian terhadap tinggalan masa lalu tesebut.
Kegiatan penggambaran dilakukan dengan mengumpulkan informasi kondisi eksisting Bangunan Cagar Budaya dan menuangkannya ke dalam rupa gambar teknis/detail (dua dimensi), gambar arsitektur (tiga dimensi), gambar piktorial (foto) maupun gambar hidup (video).
Nantinya, data yang dihasilkan akan menjadi basis dokumen/arsip keaslian dari suatu Bangunan Cagar Budaya yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, arkeologis, maupun historis.
Bentuk bangunan yang berupa rumah panggung dengan dinding dan lantai bangunan masih asli, jendela dan pintu yang besar dan tinggi, selintas mengesankan citra jiwa bangunan yang betapa memafhumi keindahan rupa (dalam hal seni bangunan), kedekatan akan alam (konstruksi panggung dalam mengantisipasi banjir), kemampuan pengadaptasian budaya (bangunan bernuansa Melayu namun tak serta-merta menghilangkan kesan Timur tengah; lewat ukiran, dsb) serta keeleganan bangunan pada masanya.
Jadi hingga kini, rumah yang berada dalam lingkungan Pasar Daik tersebut masih difungsikan sebagai tempat tinggal keturunan Tambi Abdurrahman. (rp.sdp/*)
Tags : rumah rumah tertua, Daik Lingga, Rumah Tua Masih Berdiri Kokoh, Rumah Tua di Lingga Milik Tambi Abdurrahman, Sahabat Sultan Lingga,