Headline Agama   2020/08/28 05:49:00 PM WIB

Saudi Kini Kian Ramah Terhadap Wanita

Saudi Kini Kian Ramah Terhadap Wanita

AGAMA - Keputusan Raja Arab Saudi jarang membuat aktivis hak-hak perempuan meneteskan air mata. Namun, beberapa tahun belakangan berubah.  Salah satu aktivis yang merasakan keharuan adalah Manal al-Sharif.  

Wanita berusia 38 tahun ini mengeluarkan air mata bahagia setelah mendengar Raja Arab Saudi mengeluarkan dekrit, mengizinkan perempuan di negara Islam paling konservatif di dunia, mengemudi di masa depan. Dalam sebuah kolom untuk Washington Post, dia menulis, "Kunci mobil adalah kunci untuk berubah. Untuk pertama kalinya, saya berani memimpikan Arab Saudi yang berbeda". 

Jurnalis Mey Dudin, dalam artikelnya di Qantara menyebut, dalam beberapa bulan terakhir banyak muncul kabar baik di negara-negara Arab lainnya, terutama untuk wanita.  Belum lama ini, Tunisia mengizinkan wanita Muslim menikah dengan pria dari agama lain. Ke depan, perempuan juga akan diberikan hak yang sama dalam urusan warisan.   Musim panas lalu, di Tunisia, Yordania, dan Lebanon, paragraf dalam KUHP yang membebaskan pemerkosa dari hukuman penjara jika pelaku menikahi korbannya, dihapuskan. Aktivis hak-hak perempuan berjuang selama bertahun-tahun untuk pembatalan pasal-pasal ini. 

Tak disangkal, ada resistensi budaya. Namun di sisi lain, proses perubahan tersebut lebih banyak terhambat oleh sikap umum yang menganggap hak-hak perempuan kurang penting dalam daftar keputusan politik yang diperlukan.  Aktivis Arab Saudi, Manal al-Sharif, pernah melancarkan protesnya terhadap larangan mengemudi pada 2011. Dalam tindakan pembangkangan yang spontan ini, dia duduk di belakang kemudi mobil, sementara seorang teman merekam dia mengemudi dan videonya menjadi viral.  

Usai usahanya itu, dia ditahan. Tetapi, banyak wanita melakukan hal yang sama sebagai tanda solidaritas dan mengunggah video saat mereka sedang mengemudi, dan mengakibatkan lahirnya sebuah gerakan.  Celah yang diakibatkan UU "menikahi pemerkosa" juga telah menjadi subyek kontroversi di dunia Arab selama bertahun-tahun. Pemicunya muncul pada kasus tahun 2012, dimana seorang gadis Maroko berusia 16 tahun melakukan bunuh diri dengan meminum racun tikus, karena harus menikah dengan seorang pemerkosa. Dua tahun kemudian, artikel itu dicabut di Maroko.  

Sementara di Yordania, Anggota Parlemen Wafa Bani Mustafa, membutuhkan empat tahun untuk mendorong inisiatifnya melalui parlemen. Akhirnya, pada musim panas ini, paragraf tersebut akhirnya dihapus juga.  Di Lebanon, organisasi Abaad selama berbulan-bulan menjalankan kampanye yang berujung berhasil menghapus pasal yang menyebut "menikahi pemerkosa". Tak hanya itu, mereka juga perlahan-lahan menyaksikan kemajuan masyarakat. Menurut juru bicara organisasi, Soulayma Mardam Bey, belakangan ini orang-orang sangat kritis terhadap celah hukum ini. "Sebanyak 85 persen dari mereka yang ditanyai berpendapat bahwa pasal tersebut melanggar kehormatan dan martabat perempuan," ujarnya.  

Meskipun Undang-Undang ini sering dikaitkan dengan tradisi Arab atau Islam, peraturan tersebut sebenarnya berasal dari hukum pidana Napoleon tahun 1810. Selanjutnya, aturan tersebut dibawa ke Arab melalui penguasa kolonial Prancis melalui Ottoman, dalam bentuk yang dimodifikasi. Reformasi yang muncul saat ini benar-benar akan mengubah negara-negara Arab secara nyata dalam beberapa tahun mendatang. Bagaimanapun, hukum hanya bisa berpengaruh jika diterapkan hakim. Sementara, agar seseorang hakim menjadi aktif, tuntutan harus diajukan.  

Ilmuwan politik Jerman-Mesir, Hoda Salah, menempatkan perkembangan ini dalam konteks Arab Spring 2011 dan sangat optimis. Sejalan dengan pergolakan yang telah menjadi bencana besar di wilayah tersebut, kejadian itu juga mengantarkan pada pemikiran ulang dan kesadaran bahwa perubahan itu mungkin. Dia menyebut kebanyakan orang Arab masih berusia muda. Internet adalah pintu gerbang mereka ke dunia dan menuntut perubahan. "Tuntutan ini meningkatkan tekanan pada penguasa dan mereka menyatakan diri bersedia untuk melaksanakan reformasi," kata Salah. 

Media sosial juga disebut memainkan peran kunci. Diskusi kerap dimulai di Twitter dan Facebook yang diikuti puluhan ribu orang, dalam bahasa sederhana dibandingkan bahasa Arab Klasik yang sangat rumit. Contoh terbaru dari hal ini adalah Forum Pemuda Dunia di Mesir pada awal November. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Presiden otoriter Abdul Fattah al-Sisi dengan motto "Kita perlu bicara". Dalam waktu singkat, semboyan ini diadopsi oleh anak muda Mesir dan digunakan sebagai tagar untuk kritik atas keluhan sosial dan politik.  

Gerakan perempuan Arab juga mengalami kemajuan.  Para penguasa berurusan dengan generasi wanita baru yang memiliki kepercayaan diri tinggi. Sebelum Arab Spring, organisasi wanita sering ditugaskan kepada mereka yang berkuasa dan dianggap sebagai bagian dari negara otoriter. Sementara saat ini ada lebih banyak gerakan akar rumput. Wanita lebih fokus pada pekerjaan dasar yang penting dan mencoba mempengaruhi perubahan dalam keluarga dan lingkungan dekat mereka.  

Indikator apakah impian akan wilayah Arab yang berbeda bagi perempuan, bahkan melawan oposisi agama, dapat dicapai. Tunisia, masih menjadi salah satu negara Arab paling progresif dalam masalah hak-hak perempuan. Jika kesetaraan gender dalam urusan waris benar-benar menjadi hukum dan praktik sehari-hari, ini akan menjadi pelanggaran tabu di dunia Islam. Ini karena hukum waris di Tunisia berakar pada hukum syariah Islam. 

Dalam urusan ini, banyak wanita sudah putus asa. Berdasarkan sebuah studi baru-baru ini, Forum Tunisia untuk Hak Ekonomi dan Sosial (FTDES) menemukan 40 persen wanita Tunisia ingin meninggalkan tanah airnya dan pergi ke Eropa, bahkan secara ilegal jika diperlukan yang mempertaruhkan nyawa mereka di jalur perdagangan Mediterania. (*)

Tags : wanita negara arab, perlakuan negara arab, diskriminasi wanita arab, wanita di negara arab, hak wanita negara arab, emansipasi wanita arab, perempuan arab, wanita, perempuan,