SEKELOMPOK peneliti film dan pelaku arsip berikhtiar menemukan sosok Ratna Asmara, perintis sineas di masa lalu, yang seperti hilang dari sejarah perfilman Indonesia.
Ratna Asmara, kelahiran 1913 di Sawahlunto, Sumatra Barat, disebut sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia, tetapi nama dan karya-karyanya seperti tidak terlihat dalam arsip dan catatan sejarah.
Pada 1950-an, Suratna — nama aslinya — menyutradarai setidaknya empat film, salah-satunya berjudul Sedap Malam.
Film ini menyoroti solidaritas kaum perempuan terhadap nestapa Jugun Ianfu di masa pendudukan Jepang.
Di usia muda, Ratna meninggalkan kampung halamannya dan terjun ke kelompok sandiwara amatir, sebelum tampil sebagai pemain film dan menjadi sutradara film.
Dalam perjalanannya, tenggelam di balik nama-nama besar yang didominasi laki-laki, nama Ratna seperti terpinggirkan dalam sejarah perfilman Indonesia.
Belakangan, sejumlah peneliti film — tergabung dalam Kelas Liarsip — berusaha menemukan sosoknya dan memulihkan namanya, tetapi dihadapkan arsip yang minim dan kondisi film karyanya yang rusak.
Mereka berhasil menemukan secuil arsipnya, melalui sebuah liputan media pada masa 1950-an, namun isinya lebih menyoroti kehidupan rumah tangganya ketimbang karyanya.
Kesulitan menemukan film-film karya Ratna, mereka berusaha mendigitisasi, atau mengalihmediakan, satu-satunya film karya yang masih dapat ditemukan dan dalam kondisi rusak parah, Dokter Samsi, dari seluloid ke dalam format digital.
Saat ini mereka masih melakukan penelusuran dan pencarian karya-karya film Ratna Asmara lainnya.
Sambil melakukan hal itu, para peneliti film dan pelaku arsip tersebut untuk pertama kalinya memutar film itu serta membahasnya di depan publik.
Upaya melacak peran, kerja-kerja, serta memutar film karya Ratna Asmara, kemudian mereka tindaklanjuti dengan menghadirkan sosoknya dalam sebuah buku.
Di balik reparasi film 'Dokter Samsi' - 'Bau gosong dari alat pemutar film'
Dalam kondisi rusak parah, cuplikan film 'Dokter Samsi' (dirilis pada 1952) karya Ratna Asmara, diputar di acara diskusi buku 'Ratna Asmara, perempuan di dua sisi kamera', 14 Oktober 2022 lalu.
Kualitas suaranya tidak jelas dan gambarnya sebagian rusak. Padahal inilah satu dari dua film karyanya yang berhasil ditemukan.
Tiga karya Ratna lainnya tidak ditemukan oleh peneliti Kelas Liarsip di pusat arsip film di Jakarta, Sinematek.
"Pengalaman saya saat pertama kali memutar film 'Dokter Samsi', membawa pengalaman yang traumatis," kata Umi Lestari, peneliti film seperti dirilis BBC News Indonesia.
Umi Lestari, kelahiran 1988 dan dikenal sebagai peneliti sejarah film dengan perspektif feminis, sejak awal memiliki kepedulian atas sosok Ratna, dan berniat untuk menelitinya.
"Saat saya memutar reel pertama film itu selama sekitar tiga menit, dari alat pemutar, tercium bau gosong," tambahnya.
Kemudian dia teringat muncul rasa takut untuk memutarnya lebih lanjut, karena khawatir akan merusak film tersebut. Ini terjadi di akhir 2020.
Selang empat bulan kemudian, Umi Lestari dan peneliti lainnya yang tergabung dalam Kelas Liarsip, mulai mereparasi film itu.
Kelas Liarsip adalah kelompok belajar virtual yang menaruh perhatian studinya pada arsip film, restorasi dan sejarah para puan dalam sinema Indonesia.
Kelas ini mulai berdiri sejak Maret 2021 dan dijalankan oleh enam perempuan dan non-biner dengan latar belakang beragam, namun diikat oleh keresahan dan perhatian yang sama.
Salah-seorang peneliti Kelas Liarsip, Efi Sri Handayani — kelahiran 1992 — menuturkan pengalaman getirnya ketika merestorasinya.
Sosok Efi dikenal sebagai salah-satu sedikit anak muda Indonesia yang secara teratur berhubungan dengan gulungan film dari berbagai film klasik Indonesia.
Dalam unggahan Instagram Kelas Liarsip, 3 September 2022, Efi mengungkap materi film 'Dokter Samsi' yang disebutnya "benar-benar rusak":
'Lebih banyak ditulis di kolom gosip' - kisah di balik penelitian arsip Ratna
Tidak semata mendigitisasi filmnya, Umi dan teman-temannya di komunitas Kelas Liarsip — Julita Pratiwi, Efi Sri Handayani, Imel Mandala, (almarhumah) Siti Anisah, Lisabona Rahman — kemudian berusaha 'merestorasi' sejarah Ratna.
Upaya ini diawali saat mereka mengimpikan untuk merawat arsip film dengan "cara yang baik".
Lalu diskusi Lisabona Rahman dkk mengerucut bagaimana menulis sejarah perempuan dalam film, tulis Umi Lestari dalam blognya.
Ini dilatari situasi ketidaktersediaan arsip pekerja perempuan dalam film.
"Alih-alih untuk menekankan yang tidak ada, kami merayakan yang ada untuk memperdalam identifikasi peran pekerja perempuan dalam film.
"Keberanian saya untuk melanjutkkan pencarian Ratna dalam sejarah film Indonesia sekali lagi muncul," ujar Umi.
Selama melakukan penelitian arsip selama dua tahun, Umi mengumpulkan bahan-bahannya dari "toko loak", seperti kliping media massa pada 1930-an hingga 1950-an.
Di sanalah, Umi menemukan bagaimana media massa "membingkainya, dan bagaimana namanya dikaburkan, tidak pernah disebut dan estetika filmnya hanya dilabeli 'mendompleng nama suami'".
Andjar Asmara (1902-1961) — suami Ratna Asmara — adalah penulis drama dan sutradara film. 'Kartinah' adalah film pertamanya, dan Ratna menjadi pemeran utamanya. Pada 1950-an, mereka dilaporkan bercerai.
Kembali lagi ke soal liputan media saat itu. Dalam artikel berjudul 'Regisseur Wanita' di Minggu Pagi pada 1952, ditulis oleh Umi Kaslum, misalnya, sosok Ratna lebih disorot kondisi rumah tangganya.
"[Artikel] itu tidak menerangkan strategi Ratna dalam produksi film. Film apa yang menginspirasi pembuatan filmnya? Bagaimana dia harus berhadapan dengan kru dan pemain?" tulis Umi.
'Solidaritas sesama kaum perempuan' - film 'Sedap Malam' karya Ratna Asmara
Padahal, di awal 1950-an, Ratna telah menyutradarai setidaknya empat film, salah-satunya berjudul 'Sedap Malam'.
Film ini menyoroti "solidaritas sesama kaum perempuan" terhadap nestapa seorang bekas Jugun Ianfu di masa pendudukan Jepang.
"Ratna malah menunjukkan solidaritas perempuan yang pernah terjebak menjadi pelacur semasa penjajahan Jepang," papar Umi.
Sebuah pilihan tema yang bertolak belakang dari kecenderungan orientasi film saat itu, kata Umi.
Umi menyampaikan hal itu dalam sebuah diskusi di Etalase Pemikiran Perempuan 2022, tentang Kerja Berjalan Penelusuran Para Puan pada Juli 2022, oleh Sekolah Pemikiran Perempuan.
"... Bila melihat film Indonesia itu harus yang nasionalis, harus yang maskulin, isinya tentang Revolusi Indonesia dari sudut pandang pria," kata Umi.
Jika memakai skema ini, tentu film-film Ratna tidak dapat masuk ke dalamnya, ungkapnya.
"Karena, Ratna Asmara sendiri, ketika dia menyutradarai film pertamanya 'Sedap Malam', ia justru mengangkat kisah tentang penyintas Jugun Ianfu di Indonesia."
Umi menyebut film ini merupakan "film paling awal yang membicarakan Jugun Ianfu".
Selain menyutradarai film 'Sedap Malam' (1950), Ratna memimpin pembuatan film 'Musim Bunga di Selabintana' (1951), serta 'Dokter Samsi' (1952).
Film 'Nelayan', yang diputar pada 1953, juga dia sutradarai. Di sini, Ratna juga menulis skenario dan produsernya.
Pada 1954, dia memimpin pembuatan film 'Dewi dan Pemilihan Umum'.
'Konsisten representasikan permasalahan perempuan' - Ratna bermain film, menyanyi, dan menari
Di usia 17 tahun, Suratna dan saudarinya, Suhara, mengelola kelompok sandiwara 'Suhara Opera'. Mereka pentas di sejumlah kota di pulau Jawa — keputusan yang semula ditentang keras oleh keluarga besarnya.
Di sebuah kota di Jawa Tengah, dia berkenalan dengan Andjar Asmara — nama samaran Abisin Abbas, penulis naskah kelompok sandiwara Dardanella. Mereka lantas menikah pada 1931.
Kelompok sandiwara yang dipimpinnya kemudian melebur dalam kelompok Dardanella. Di sini, Ratna tampil sebagai pemain, penari dan penyanyi.
Pada akhir 1930-an, pasangan ini mendirikan kelompok Bolero, yang membuat nama Ratna makin menjulang karena bakat-bakat seninya.
Bergabung dalam The New Java Industrial Film pada 1940an, Ratna mampu menampilkan bakatnya sebagai pemain film.
"... Ratna juga aktris yang konsisten untuk merepresentasikan permasalahan perempuan di dalam film," ungkap Umi.
"Dan itu dapat dilihat dalam film yang dia bintangi, seperti 'Kartinah' (1940), 'Noesa Penida' (1941), 'Sedap Malam' (1950), 'Musim Bunga di Selabintana', atau bahkan 'Dokter Samsi'," jelasnya.
Menurut Umi, dalam skenario film dan pertunjukan, baik Ratna dan Andjar merupakan "satu paket".
Ratna disebutnya membintangi dan menyutradarai naskah yang telah dibuat Andjar.
'Ratna bisa menjadi apapun dalam produksi film'
Dalam temuannya di arsip-arsip, Umi memahami bahwa Ratna berperan sebagai all rounder kru film. "Ia bisa menjadi apapun dalam produksi film."
"Di belakang layar, Ratna menjadi mentor akting, koreografer, kru wardrobe dan make up, hingga bertanggungjawab dalam penguncian lokasi," ungkapnya.
"Sehingga," demikian Umi Lestari, "saat ia menjadi sutradara pada tahun 1950an, ia telah memiliki bekal untuk memimpin sebuah produksi film."
Dari sumber-sumber yang didapatkan Umi, 'petualangan' Ratna dalam perjalanan sinema Indonesia itu disebut "kaya".
Bahkan, "jalan yang ditempuh Ratna hampir sama dengan proses yang dilalui oleh Bapak Film Nasional Indonesia, Usmar Ismail," ujar Umi.
Usmar dan Ratna pernah menjadi asisten Andjar Asmara dalam produksi film. Mereka juga pernah bersama memproduksi film pada 1950.
"Hanya saja nasib mereka berlainan," tulisnya. Usmar disebutnya fokus membuat film perjuangan, adapun Ratna membuat film melodrama yang kisahnya menekankan pada sosok perempuan.
'Penghapusan sistemik atas kerja perempuan dan karyanya'
Pada 18 Mei 2022, Umi Lestari dan Lisabona Rahman — mewakili Kelas Liarsip — membagikan perjalanan riset dan proyek digitalisasi film 'Dokter Samsi' di Kuliah Umum This is Film! Heritage in Practise di Amsterdam, Belanda.
Lisabona Rahman adalah pelaku arsip dan studi film. Dia telah menempuh pendidikan pelestarian film dan kuratorial di Belanda.
Ini adalah acara tahunan yang digelar Eye Film Museum, Amsterdam. Kuliah umum ini berkaitan dengan restorasi film dan film sebagai warisan budaya.
Dalam forum itu, Umi mengatakan tidak banyak karya pekerja perempuan yang ditemukan dari proyek digitalisasi film klasik yang berlangsung dalam 10 tahun terakhir.
"Saat saya pertama kali menelusuri Ratna Asmara pada pertengahan 2000, saya mendapati bahwa tak banyak artikel ilmiah yang menuliskan sosoknya secara rinci," tulis Umi di blognya.
Disebutnya, Ratna dipandang memiliki status istimewa karena dia adalah istri dari Andjar Asmara, sehingga membuat "karya Ratna terpinggirkan".
"Nama Ratna jarang muncul dalam tulisan Misbach Yusa Biran ataupun Tanete Pong Masak, dua sejarawan film yang fokus pada sinema Indonesia sebelum Orde Baru," jelasnya.
Di sinilah, demikian Umi dan Lisabona, penelitian tentang agensi perempuan dalam sinema Indonesia, merupakan cara mereka "mengisi kekosongan, menambal apa yang belum terkatakan dalam penulisan sejarah film di Indonesia."
"Kami dari Kelas Liarsip memastikan eksistensi Ratna dan pemutaran karya filmnya adalah cara kami memberitahu publik bahwa inilah imbas dari penghapusan sistemik atas kerja perempuan dan karyanya," tandas Umi.
Selain mendigitisasi film 'Dokter Samsi' karya Ratna Asmara, Kelompok Liarsip telah menerbitkan buku tentang sosoknya.
Di buku ini, Lisabona dkk mengungkap pengalaman mereka dalam mencari sosok Ratna, dengan cara kerja baru, serta berusaha mendudukkannya secara lebih adil dalam sejarah film Indonesia. (*)
Tags : Sejarah, Teater, Film, Seni budaya ,