PENDIDIKAN - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) khawatir putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di sekolah dan kampus tanpa atribut dan dengan izin pihak sekolah berpotensi mengubah sekolah menjadi ‘ajang kampanye‘ yang menargetkan para pemilih perdana.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, mengatakan putusan itu dapat mengancam netralitas lembaga pendidikan yang selama ini cukup netral di tengah kontestasi politik.
“Kekhawatiran kami ketika inkumben yang berkampanye menggunakan fasilitas pendidikan atau pemerintahan, anggaplah fasilitas pendidikan di sekolah. Selanjutnya inkumben itu memerintahkan kepada kepala dinasnya untuk memperoleh salah satu fasilitas sekolah untuk tempat kampanye.
“Ini bisa berpotensi menimbulkan ketidakadilan antara satu calon inkumben dan calon non-inkumben,“ kata Heru Purnomo, Senin (21/8).
Selain itu, ia menyebut para politisi jelas-jelas menargetkan para pemilih baru, yakni siswa SMA dan SMK yang genap berusia 17 tahun, untuk menggaet suara mereka.
“Pemilih muda yang ada di sekolah SMA atau SMK itu menjadi target mereka. Tentu saja sekolah ini nanti lama-kelamaan akan menjadi ajang. Ajang untuk kegiatan kampanye elektoral itu yang bisa membahayakan,“ katanya.
Berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilih pada pemilu 2024 didominasi oleh kelompok Generasi Z dan milenial, yakni sebanyak 56% dari total keseluruhan pemilih. Para pemilih muda pun menjadi incaran suara para peserta pemilu.
Politikus dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, pun senada dengan Heru. Ia merasa bahwa lembaga pendidikan harus tetap ‘steril’ dari segala tindakan politik praktis seperti kampanye dan ajakan memilih tokoh tertentu.
“Kalau sebatas memberikan edukasi politik, pentingnya tentang memberikan pemahaman politik, menurut saya itu masih oke. Kalau [sekolah] itu jadi ajang kampanye, menurut saya harus tegas tidak diperbolehkan dalam kegiatan politik praktis,” ungkap Masinton.
Sementara, politikus dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, mengatakan bahwa keputusan MK untuk mengizinkan kampanye di lembaga pendidikan dengan izin dan tanpa atribut merupakan peluang yang positif.
Namun, perlu disertakan dengan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang jelas dari KPU agar tidak disalahgunakan.
“Jangan sampai peluang ini jadi ancaman, kalau tidak diatur dengan baik. Kami meminta KPU segera mengeluarkan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan untuk pelaksanaan kampanye di lingkungan Pendidikan sebagai mana yang diputuskan oleh MK,” kata Mardani.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai MK ingin gagasan atau ide dari peserta pemilu itu didiskusikan di banyak tempat, termasuk di kampus.
Oleh karena itu, ia rasa keputusan untuk memperbolehkan kampanye di lembaga pendidikan sudah menjadi langkah tepat. Namun, menurutnya, kampanye itu seharusnya hanya dibatasi pada tingkat SMA/SMK dan perguruan tinggi saja.
“Kalau memang [partai] diundang oleh kampus, tidak boleh menggunakan atribut kampanye dan untuk kemudian kesetaraan agar semua peserta pemilu itu bisa didiskusikan idenya dan diundang semua, itu bisa saja,” ungkapnya.
Pada Selasa (15/8), Mahkamah Konstitusi (MK) melarang sepenuhnya penggunaan tempat ibadah untuk kegiatan kampanye peserta pemilu karena “berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai agama” ujar hakim konstitusi, Saldi Isra.
Namun, MK tetap memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut saat berkampanye.
Sekjen FSGI, Heru Purnomo, menilai putusan MK berpotensi menimbulkan berbagai masalah bagi sekolah.
Di antaranya adalah penggunaan fasilitas sekolah seperti aula, ruangan ber-AC dan lain sebagainya tanpa mengeluarkan biaya dari sisi penyelenggara kampanye.
“Jadi banyak sekali potensi-potensi ini yang muncul. tidak hanya potensi fasilitas yang berpotensi merugikan atau tidak adil, tetapi juga potensi yang terkait mengenai hubungan relasi antara penguasa dengan fasilitas yang mau dipergunakan,” kata Heru.
Ada pula risiko yang dapat timbul dari pemberian izin sekolah yang dapat diartikan sebagai keberpihakan terhadap calon tertentu dan tidak kepada calon lain.
Sebab dalam satu kabupaten saja ada ratusan sekolah, terutama di DKI Jakarta. Heru mengatakan sekian banyak sekolah bisa saja dijadikan ‘panggung’ untuk kampanye.
“Karena kepala dinasnya itu hubungannya akrab dengan calon tertentu. Akhirnya memudahkan. Sementara ada calon yang relasinya tidak kuat dengan kepala dinasnya misalnya. Kemudian meminta izin, diberikan kendala, dan lain sebagainya, akhirnya tidak terlayani dengan baik.
“Ini kan berpotensi untuk menimbulkan konflik antar kelompok ini, kalau sudah seperti itu,” ungkap Heru.
Selain itu, berkaca dari pengalaman pribadinya, ketika melihat rekan guru berkampanye politik lewat percakapan daring sekalipun, hal tersebut menciptakan perpecahan antara peserta didik, baik dari segi emosional maupun fisik.
“Ada yang tersinggung sedikit dalam hal seperti itu, bisa tergerak mereka, apalagi yang sudah terbiasa berkonflik. Hal-hal seperti itu menyulutnya mudah banget. Jadi secara psikologis, kejiwaan yang belum siap, bisa menyulut adanya konflik secara fisik,” kata Heru.
Oleh karena itu, FSGI menyarankan agar aparat penegak hukum seperti pihak Polsek, Polres dan Koramil dikerahkan ketika peserta Pemilu melakukan kampanye di wilayah sekolah agar keamanan para siswa terjamin.
“Ketika psikologisnya itu belum matang, kejiwaannya belum mantap benar, kemudian tidak ada pihak keamanan yang memberikan penjaminan untuk menciptakan kampanye yang aman, kemudian menjadi chaos. Siapa yang bertanggung jawab?” ungkapnya.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhani, mengatakan izin untuk berkampanye di lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan yang ditetapkan oleh MK harus disertai peraturan KPU yang memadai.
Meskipun saat ini sudah ada ketentuan dari MK untuk peserta Pemilu yang hendak berkampanye di lembaga pendidikan dan lembaga pemerintah, yakni tanpa atribut partai dan dengan mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat, menurut Fadli hal tersebut masih harus diperketat.
“Kalau soal netral atau nggak netral, makanya harus ada keteraturan dalam proses penyelenggarannya. Kuncinya kan izin. Izin itu kan secara prinsip nggak boleh. Tapi kalau diizinkan menjadi boleh. Kalau sekolahnya nggak mau, ya nggak bisa dilakukan,“ tegas Fadli seperti dirilis BBC News Indonesia.
Namun, menurut Fadli, dalam konteks lembaga pendidikan seharusnya kampanye politik dibatasi pada Perguruan Tinggi dan SMA/SMK. Sebab, siswa PAUD hingga SMP belum memiliki hak untuk memilih dalam Pemilu.
"Sasaran kampanye itu harus sudah SMA, harus ada titik yang kemudian pemilih bisa didapatkan informasi di dalam proses kampanye itu. Sehingg yang masuk akal adalah jika [hanya boleh di] institusi pendidikan sekolah menengah atas dan lembaga perguruan tinggi,“ kata Fadli.
Oleh karena itu, ia berharap KPU dapat mengakomodir semua pihak dan memitigasi risiko dengan membuat panduan utuh dan menyeluruh dalam merevisi peraturan tersebut.
“KPU sekarang mau merevisi PKPU soal kampanye.Agar itu lebih utuh, agar itu lebih tidak parsial dan menimbulkan persoalan, meminimalisir risiko-risiko yang terjadi. Itu yang harus melibatkan semua pihak, melibatkan pihak kampus, sekolah, dan lain-lain,“ katanya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dilaporkan akan segera memperbaiki Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu agar sesuai dengan putusan MK terbaru.
"KPU akan menyesuaikan peraturan teknis KPU. Sebagaimana kita ketahui, putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Jadi nanti KPU akan melakukan perbaikan peraturan," kata Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik kepada Kompas.com, Jumat (18/8).
BBC News Indonesia sudah berusaha menghubungi Idham Holik lewat pesan Whatsapp. Namun hingga berita ini dinaikkan, yang bersangkutan masih belum memberi tanggapan terkait peraturan hasil revisi KPU.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera ,memandang putusan MK yang memperbolehkan peserta pemilu untuk berkampanye di fasilitas pendidikan sebagai peluang untuk memberikan edukasi politik kepada pelajar.
“Tentu harus diikuti dengan teknis dan regulasi dari KPU. Sehingga yang terjadi bukannya kuat-kuat kampanye negatif, tapi jadi pendidikan politik yang baik.
Hanya saja, menurut Mardani, pihak yang hendak melakukan kampanye perlu melakukan koordinasi degan pihak sekolah agar dapat berjalan dengan tertib dan tidak mengganggu kegiatan belajar-mengajar.
“Sekolah memang menyediakan, tapi diatur, nggak bisa mereka sembarangan datang ke sekolah.
“Diatur maksimal satu minggu sekali, dan bentuknya harus dalam bentuk dia terbuka dan tidak boleh satu partai datang sendiri, harus dua partai atau tiga partai, tiga perwakilan, jadi akan ada kontestasi yang sehat gitu.,“ kata Mardani.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, mengaku tak sepenuhnya setuju jika sekolah dijadikan tempat untuk melaksanakan politik praktis, seperti mengkampanyekan partai atau calon tertentu.
“Kalau melakukan edukasi politik ke seluruh masyrakat menurut saya sih perlu. Tapi menggunakan fasilitas sekolah untuk berkampanye dalam kegiatan politik praktis dengan ajakan memilih, kita rasanya tidak pas,“ ujar Masinton.
Ia menegaskan bahwa mengedukasi para pemilih muda memang penting dan perlu dilakukan, terutama bagi mereka yang memilih untuk pertama kali, namun hal tersebut tidak harus dilakukan di lingkungan sekolah.
“Kita tetap berpandangan bahwa fasilitas pemerintahan, fasilitas ibadah, dan fasilitas sekolah itu harusnya steril dari kegiatan politik praktis. Politik praktis ya, dia steril dari kampanye-kampanye, partai politik maupun calon-calon tertentu.
“Harusnya tetap dijaga fasilitas pemerintah, tempat ibadah maupun sekolah dari kegiatan politik praktis,“ kata Masinton.
Kronologi terbitnya putusan MK yang mengizinkan kampanye pemilu di fasilitas pemerintah dan pendidikan.
MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye. Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8).
Dalam perkara itu, dua orang pemohon, karyawan swasta Handrey Mantiri dan anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan itu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebab, dalam Pasal 280 ayat 1 huruf h tercantum larangan kampanye untuk tempat ibadah, tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah tanpa syarat.
Namun, pada bagian penjelasan, terdapat kelonggaran yang berbunyi: “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Para pemohon menilai hak konstitusional mereka dirugikan terkait penjelasan pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Menurut mereka, akibat penjelasan pasal itu hak konstitusional mereka sebagai pemilih dan/atau sebagai calon anggota DPRD DKI Jakarta dirugikan.
Selain itu, para pemohon menilai penjelasan pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena kontradiktif dengan materi pokoknya yang melarang ketiga tempat itu digunakan untuk kampanye.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas.
Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa "tempat ibadah".
Lantas, pasal itu kini berbunyi: '[peserta pemilu dilarang] menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," bunyi putusan itu. (*)
Tags : Politik, Hukum, Indonesia, Pemilu 2024, Pendidikan, Anak-anak,