Sejarah   2024/04/01 14:19 WIB

Mengenang dan Melihat Senapelan Tempo Dulu Juga Disebut dengan Julukan Chinapalla, 'yang Dikenal Hingga Malaka-Johor Sejak Abad ke-17'

Mengenang dan Melihat Senapelan Tempo Dulu Juga Disebut dengan Julukan Chinapalla, 'yang Dikenal Hingga Malaka-Johor Sejak Abad ke-17'
Pekanbaru tempo dulu

LEMBAGA MELAYU RIAU [LMR] mengemukakan Senapelan [nama sebuah daerah di Pekanbaru] dikenal sampai ke Melaka dan Johor sejak abad ke-17 dengan sebutan Chinapalla.

"Sebelum diangkat sebagai Residen Riau [Karesidenan Riau], Eliza Netcher diangkat sebanyak tiga kali sebagai residen Riau yakni pada 1849, 1856, dan 1857."

"Tepatnya pada tahun 1861 Eliza Netscher (1825-1880), seorang Sekretaris Jenderal Belanda di Batavia (1848) diangkat sebagai residen Riau dan untuk pekerjaannya tersebut ia dianugerahi virtus nobilitat," kata H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Ak, Ketua Umum [Ketum] LMR Pusat Jakarta menceritakan.

Eliza Netscher (1825-1880), seorang Sekretaris Jenderal Belanda di Batavia (1848) dan pernah menjabat sebagai Residen Wilayah Riau (1861-1870), dalam bukunya De Nederlander in Djohor En Siak (1602-1865) menyebutkan, di abad ke-17 nama Senapelan sudah dikenal sampai ke Melaka dan Johor dengan sebutan Chinapalla.

Dalqm catatan sejarah, Elisa Netscher lahir di Rotterdam, 7 Desember 1825, dia meninggal di Batavia (sekarang Jakarta), 2 April 1880 pada umur 54 tahun. Elisa Natser adalah pegawai negeri, kemudian menjadi residen dan gubernur.

Karena pengetahuannya dalam bahasa Melayu, Netscher berkali-kali ditunjuk sebagai pejabat senior oleh pemerintah, sebut Darmawi Wardhana kembali.

"Pada tahun 1861 Netscher diangkat sebagai residen Riau dan untuk pekerjaannya tersebut ia dianugerahi virtus nobilitat."

"Tetapi setelah masa jabatannya habis, Netscher menerbitkan sejumlah makalah, terutama karya-karya yang diatasnamakan Perhimpunan Batavia," terang Darmawi Wardahana lagi.

Rumah Tinggi

Catatan Netscher tentang keberadaan awal Kota Pekanbaru menarik dicermati, ini menunjukkan bahwa Pekanbaru sudah terkenal, walau saat itu baru dikenal Senepalan, karena keberadaan penduduk tak jauh dari Sungai Senapelan.

Ini menunjukkan bahwa Sungai Senapelan merupakan sungai yang bersejarah, sebutnya.

Jika dilihat Sungai Senapelan yang lokasinya tak jauh dari jembatan leighton, ternyata sungai itu nyaris hilang.

Pemerintah membangun pintu air untuk mengatur air jika Sungai Siak banjir, agar warga di sekitar Jembatan Leigton tidak kebanjiran.

Pada arah hulu Sungai Senapelan yang lebih pantas disebut parit ini, ternyata sungai nyaris habis ditutupi bangunan, bahkan ditutupi bangunan beton seperti terlihat dari Jalan Riau.

Muhamad Yusuf (62), salah seorang warga di Kelurahan Kampungbaru, Kecamatan Senapelan menceritakan, dulu sungai Senapelan bisa ditelusuri sampai ke Panam, waktu itu masih hutan, ujarnya.

Ia menceritakan, jika Sungai Melaka dipertahankan oleh Pemerintah Malaysia, maka nasib Sungai Senapelan jauh berbeda, walau keduanya memiliki latar belakang sejarah yang mirip.

Padahal jika saja pemerintah mau sedikit peduli, sungai bersejarah ini layak menjadi lokasi wisata sejarah.

Bangunan sejarah Pekanbaru tempo dulu

Setelah menelusuri Sungai Senapelan yang ditulis Netsher sudah ramai penduduknya pada awal abad 1700-an, juga ditemukan Makam Sultan Marhum Bukit (Sultan Siak V) yang memerintah 1766-1980.

Darmawi Wardhana menceritakan kisahnya, bahwa Sultan yang mendirikan istana di Kampung Bukit ini menarik dicermati, tapi sayang bahkan bentuk asli makam sudah tertutup oleh bentuk makam yang baru dibangun dengan menggunakan keramik dan bentuknya tinggi.

Padahal, kalau saja bentuk nisan lamanya masih diperlihatkan, maka akan tergambar bagaimana batu nisan yang digunakan saat itu.

Namun kembali diceritakan H. Darmawi Wardhana mengkisahkan, kabarnya saat itu Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah atau Sultan Siak IV, mendirikan masjid, yang dikenal Masjid Nur Alam pada tahun 1762.

Bentuk Masjid Raya Pekanbaru itu pun sudah tidak lagi ditemukan yang aslinya.

”Bentuk aslinya kecil. Pokoknya makam itu masih terjaga di dalam. Jadi makam yang baru itu melindungi makam yang lama,” dibenarkan penjaga makam sultan, Dadang.

Sekitar lokasi makam juga ditemukan awal Mesjid Raya Pekanbaru dibangun yang ditemukan batu pondasi dan bekas batu bata lama.

”Batu pondasi dan bekas batu bata lama itu masih dalam penelitian arkeologi, makanya tidak boleh dirusak dan dipindah-pindahkan,” ujar Dadang.

Ia menyebutkan adanya makam Marhum Pekan, yakni Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (Sultan Siak ke-5) memerintah pada tahun 1780-1782 yang mendirikan Pekanbaru.

Bentuk makamnya pun sudah tidak asli lagi. Jika saja makam itu masih terlihat yang aslinya, maka akan terbayang dipikiran orang yang melihatnya bahwa bentuk nisan pada tahun 1782 ini seperti itu.

Tiga lokasi inilah (Sungai Senapelan, Makam Marhum Bukit, Makam Marhum Pekan) titik awal sejarah Pekanbaru.

Bagaimana kondisi Pekanbaru saat itu?

Untuk sementara tidak bisa dibayangkan. Pada catatan, Netsher hanya menjelaskan bahwa Senapelan sudah dikenal di Melaka. Artinya penduduk Senapelan sudah ramai.

Pekanbaru 1886

Jika tahun 1700-an tidak ditemukan benda yang masih asli. Tetapi pada tahun 1886, ada ditemukan rumah tua di Jalan Perdagangan, kata Darmawi Wardhana lagi.

Rumah tua itu dulunya milik H Yahya, kemudian diwariskan ke anak perempuannya yakni Hj Ramnah Yahya Cs (saudaranya lain), kemudian diwariskan lagi ke M Yusuf Cs.

Dari rumah tua ini, bisa mendapatkan sedikit gambaran Pekanbaru masa lalu.

Penyebrangan jembatan sungai siak tahun 1960 terlihat beberapa mobil menyebrang. [Sistem Informasi Kearsipan Nasional]

Rumah H Yahya itu tak jauh dari Sungai Siak, hanya 12 meter. Tinggi lantai dasar sekira 160 meter.

Penjaga makam yang banyak paham sejarah Senapelan ini.

”Ketinggian lantai rumah ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa ini posisi aman banjir yang diperkirakan warga Pekanbaru saat itu,” kata M Yusuf, pegawai Tirta Siak.

M Yusuf yang kelahiran 1956 ini  mengaku sering mendengarkan cerita rumah ini dari ibunya, yakni Hj Ramnah, bahwa pembangunan rumah ini menghadap ke Sungai Siak, karena saat itu transportasi hanya menggunakan kapal atau sampan.

Jadi di belakang rumah ini belum ada jalan. 

Di rumah itu Yusuf menunjukkan penyambungan tiang yang tidak menggunakan paku.

”Orang dulu membangunnya dengan menggunakan pasak. Ini dia contohnya, pasaknya di tengah,” ujarnya.

Menurut Yusuf, kayu yang digunakan pohon tembusu, sekarang sulit ditemukan.

Beberapa bantuk asli dari bangunan tua ini selain tiang-tiang besar yang membentuk rumah ini, juga struktur bangunannya.

Rumah terlihat seperti tingkat, padahal jika dimasuki, yang bagian atas itu hanya untuk menyimpan barang-barang, seperti alat-alat masak dan lainnya.

Di bagian kolong (bawah bangunan) tersedia ruangan untuk menyimpan benda-benda seperti dipan atau ranjang bekas dan lainnya.

”Saya tidak mengubah struktur bangunan ini. Ini sangat penting, agar orang sekarang ini bisa melihat masa lalu Pekanbaru itu bagaimana,” ujarnya.

Berdasarkan catatan sejarah, Istana Siak Istana Siak Sri Inderapura sendiri merupakan kediaman resmi Sultan Siak, mulai dibangun pada tahun 1889, kata Darmawi Wardhana menceritakan.

Menurutnya, pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim, Istana ini merupakan peninggalan Kesultanan Siak Sri Inderapura yang selesai dibangun pada tahun 1893 oleh arsitek Jerman.

Balai Kerapatan Tinggi Siak dibangun pada 1889. Bangunan ini menghadap ke arah sungai.

Gambaran lainnya, yakni Istana Maimon di Kerajaan Deli, Medan, dibangun 18 Mei 1891 oleh arsitek Itali. Istana ini dibangun masa kepemimpinan sultan Deli, Sultan Makmun Al-Rasyid.

Gedung Terminal Kereta Api di Medan dibangun 1885 dan banyak bangunan lainnya yang dibangun Belanda.

Pembangunan wilayah pesisir Sumatera atas kesepakatan Traktat Siak 1865 dimana sat itu, Pemerintah Belanda membuat perjanjian dengan Kerajaan Siak, dengan kesepakatan itu, makanya seluruh pesisir Sumatera kuasai Belanda, sebab dianggap seluruh pesisir Timur di bawah kekuasaan Siak.

Selain itu, gambaran tentang bangunan di pesisir Sumatera pada tahun 1980-an akan memberikan gambaran perbandingan kepada warga Pekanbaru, bangunan rumah H Yahya adalah bagian rumah yang megah saat itu.

Tetapi menurut Darmawi, Siak sendiri sudah mulai berdiri Istana Siak yang megah dan di Medan juga dibangun Istana Maimun dan infastruktur pembangunan lainnya.

Tapi sayang pada tahun 1880-an atau akhir abad dua puluh itu yang jelas banyak rumah yang semegah rumah H Yahya, cuma kerena tidak terawat, tinggal rumah tua itu saja yang masih tersisa.

Pekanbaru 1928

Pekanbaru pada tahun 1928 sudah banyak bangunan yang kokoh dan megah. Hal ini dibuktikan adanya Mesjid Raya Pekanbaru yang berdiri megah, tapi sayang bangunan itu sekarang sudah hilang.

Bangunan yang seumur dengan masjid raya ini, yakni rumah tuan Qodhi H Zakaria, lokasinya tak jauh dari Mesjid Raya Pekanbaru.

Rumah H Zakaria di Jalan Senapelan Gang Pinggir, terlihat bangunan itu sangat kokoh. Tapi tren bangunan seperti ini, neo-eropa klasik, tidak hanya milik tuan Qodhi H Zakaria, di Medan pada tahun 1928.

Banyak bangunan yang berbentuk seperti ini, bahkan lebih megah, seperti Kantor Pos Medan dibangun 1920, terminal kereta api 1920, rumah Kapten Tjong Ah Fie 1900, Mesjid Raya Al-Maksum Medan 1906 dan bangunan di pusat perdagangan di Kesawan Medan yang megah.

Penyebrangan jembatan ponton sungai siak tahun 1960 terlihat beberapa mobil menyebrang. [Sistem Informasi Kearsipan Nasional]

Demikian juga di Singapura dan daerah lainnya, bangunan neo-eropa klasik seperti ini sudah menjadi tren.

Pekanbaru sudah mengalami perubahan sama dengan kota lainnya di pesisir Timur Pantai Sumatera, yakni terkena imbas pengaruh tren banguan neoklasik, kata Darmawi Wardhana lagi.

Dua pilar besar di depan rumah H Zaharia ini mirip dengan pilar enam tiang di Masjid Raya Pekanbaru yang saat ini masih dipertahankan.

Kabarnya, para pekerja yang membangun rumah H Zakaria itu adalah mereka yang juga yang membangun Mesjid Raya, cuma mereka membangun mesjid dulu, setelah selesai baru membangun rumah H Zakaria.

Kabarnya di rumah ini Sultan Siak sering singgah jika berkunjung ke Pekanbaru.

Model bangunan ini bisa dilihat dari ciri jenis desain arsitekturnya yang banyak menggunakan lis profil sebagai permainan dekorasi pada dinding.

Bentuk jendela pun dibuat besar-besar dan seragam serta karakter bangunannya yang terasa ”dingin” karena plafon dan atapnya didesain cukup tinggi.

Begitu pun pada bagian interiornya, bangunan ini sangat konsisten.

Bila dilihat dari cirinya, tipe bangunan ini adalah tipe yang penggunaan dindingnya lebih tebal.

Begitu pun struktur bangunannya yang sangat kokoh karena ditopang dinding- dinding yang tebal dan masif.

Sementara, untuk pintu dan jendelanya, rumah model ini menggunakan material berkualitas baik dengan ukuran yang giant atau tinggi dengan penanganan detail yang teliti.

Bentuk jendela dibuat seragam pada semua bagian rumah.

”Rumah H Zakaria itu sama tuanya dengan Mesjid Raya Pekanbaru, sebab yang membangun rumah H Zakaria adalah tim yang membangun Mesjid Raya,” ujar Dadang, penjaga Kompleks Makam Marhum Pekan.

Bangunan lainnya yang dibangun pada tahun 1928, yakni rumah tuan Qadhi H Zakaria di Jalan Perdagangan.

Rumah ini menghadap ke Jalan Perdagangan.

Posisi rumah ini sekarang nyaris dibawah Jembatan Siak III. Rumah ini berbentuk rumah Melayu.

Di tangga rumah tertulis 23-7-1928. Jika melihat tanggal yang tertera di rumah ini, maka rumah ini dibangun 23 Juli 1928. Artinya rumah ini juga tak jauh beda masanya dengan pembangunan Masjid Raya Pekanbaru 1928.

Rumah ini juga memberikan gambaran bagaimana kondisi Pekanbaru saat itu, mulai dari penyebaran bangunan (rumah penduduk), bentuk bangunan dan penyebaran penduduk, yang sudah mulai merata di sepanjang tepi Sungai Siak.

Melihat Ruko Pertama

Bangunan ruko (rumah toko) pertama di Pekanbaru yakni rumah Penghulu Zain di Jalan Hasyim.

Bangunan tertua, karena surat tanahnya yang bertuliskan Bahasa Belanda. Di surat tanah tersebut disebutkan bangunan rumah Penghulu Zain berlokasi di Hasyim Straat (Jalan Hasyim).

Rumah ini tak jauh dari Mesjid Raya Pekanbaru, sekira 10 meter. Letaknya antara Pasar Bawah dengan Mesjid Raya Pekanbaru.

Jalan Hasyim, menurut penjelasan tokoh masyarakat di sini, Tanwir Ayang, bahwa jalan ini merupakan jalan paling tua. Yakni menghubungkan Mesjid Raya Pekanbaru dengan pasar (pekan).

Makanya rumah Penghulu M Zain ini tepat di Jalan Hasyim.

Dari bangunan rumah Penghulu Zain ini memberi gambaran bagaimana awal bentuk ruko di Pekanbaru.

Bangunan rumah Penghulu Zain, sebagian besar masih menggunakan papan, hanya bagian bawah yang terbuat dari semen dan batu. Artinya saat itu lebih banyak bangunan menggunakan papan.

Bentuk asli rumah ini masih dipertahankan, walau digunakan untuk lembaga pendidikan kursus.

Melewati tahun 1930 sampai pasca kemerdekaan, Kota Pekanbaru mengalami banyak perubahan.

Jika sebelumnya bangunan umunya hanya mengandalkan kayu, tetapi masa ini sudah mulai bermunculan toko setengah permanen, yakni setengah batu dan bagian atas masih papan.

Ini terlihat dari foto-foto Pekanbaru pada masa tahun 1930-an.

Misalnya Pasar Bawah bangunannya masih sangat sederhana, semi permanen. Hanya ada beberapa mobil yang parkir di dekat Pasar Bawah.

Sejalan dengan perkembangan industri bahan bangunan, maka belakangan bentuk toko pun berubah menjadi lebih permanen, seperti bangunan ruko Kedai Kopi Kim Teng lama di Jalan Saleh Abbas, Kelurahan Kampung Dalam tahun 1938.

Kebakaran Pasar Bawah di masa transisi kemerdekaan, menyebabkan bangunan permanen pun mulai bermunculan.

Kebakaran Pasar Bawah pernah terjadi ditemukan dari perpustakaan Belanda, yakni saat masa awal kemerdekaan, nampak dalam foto tersebut pasukan Belanda dan Orang Cina yang sedang menunjuk pasar yang hangus terbakar, mungkin perlanan dari para gerilyawan yang menolak kedatangan Belanda ke Pekanbaru.

Heterogenitas penduduk Pekanbaru (Melayu, Cina, Minang dan Kampar), menyebabkan kota ini mengalami berkembang pesat, terutama ruko, makanya makanya bermunculan pecinan (ruko di Jalan Karet), bahkan Kim Teng tahun 1938 sudah memulai usaha kedai kopinya, walau akhirnya dia ikut berjuang ketika masa-masa awal kemerdekaan.

Bangunan permanen lainnya Gedung RRI Pekanbaru di Jalan Juanda, Kelurahan Sago, kabarnya dibangun sekira tahun 1940 dan merupakan basis penyiaran Prolkamasi 17 Agustus 1945.

Belakangan pasca kemerdekaan, bangunan di Kota Pekanbaru mengalami perubahan bentuk dan bahan bangunannya.

Sejumlah bangunan permanen bermunculan, seperti bangunan Kodim di dekat Pasar Kodim, jembatan phonton, stasion Boom Baru dan bangunan lainnya.

Pesawat dan Kereta Api

Melihat Pekanbaru masa lalu ternyata tidak lagi bisa hanya menghandalkan peninggalan bangunan yang ada.

Dahulu Kota Pekanbaru juga terdapat tugu pesawat tempur yang sebanarnya bukan tugu, tetapi pesawat tempur sebenarnya.

Pesawat ini kabarnya dibeli secara patungan (urunan) sejumlah pengusaha di Pekanbaru, termasuk salah seorang penyumbangnya adalah Saleh Abbas, pengusaha yang bermukim di Pasar Bawah, makanya jalan di Pasar Bawah itu Jalan Saleh Abbas.

Menurut penjelasan Ekmal Rusdy, menantu almarhum H Saleh Abbas, pesawat pesawat terbang Sabre 86 jenis J388.

Pesawat tempur ini digunakan untuk melawan Belanda saat masa kemerdekaan.

Yang paling menarik melihat Pekanbaru masa lalu yakni melalui kerja paksa membangun rel dari Muara Sinjunjung (Sumbar) ke Pekanbaru.

Sejumlah foto yang dimiliki pasukan tempur dari perpustakaan State Library of Victoria di Australia, terlihat dari atas bentuk Pekanbaru pada September 1945.

Pesawat tempur milik Australia ini membantu menyelamatkan tawanan perang yang dipaksa Jepang untuk membangun rel kereta api jalur Muara Sinjungjung sampai ke Pekanbaru.

Sejumlah foto dari udara memperlihatkan bentuk bandara udara Sultan Syarif Kasim di Simpang Tiga yang masih sederhana dikelilingi hutan saat itu.

Tim penyelamatkan pun memoto sejumlah titik-titik kamp penampungan tawanan perang yang dipaksa bekerja membangun rel.

Misalnya foto pelabuhan di dekat Pasar Bawah, dari foto ini terlihat arah jalan di Pekanbaru yang masih sederhana.

Memahami Pekanbaru masa lalu lebih lengkap melalui foto-foto peninggalan Belanda, khususnya sekitar 1943-1945, dimana 4.000 tawanan perang (Belanda, Australia, Amerika, Belgia, Selandia Baru dan lawan Jepang lainnya) dipaksa bekerja membangun rel kereta api.

Sebuah buku berjudul Eindstation Pekan Baru 1944-1945-Dodenspoorweg door het Oerwoud yang ditulis oleh Henk Hovinga memberi gambaran bagaimana Pekanbaru saat itu.

Untuk menulis buku ini Henk Hovinga mewawancari lebih dari 700 tawanan perang yang masih hidup dan tersebar di Eropa, Australia dan Kanada.

Luar biasa, bagaimana Henk menggambarkan kondisi tawanan perang saat itu.

Bahkan seorang warga New Zaeland menelusuri sendiri sisa-sisa rel kereta api yang masih ada, sebab orang tuanya dulu juga pernah dipaksa bekerja di jalur rel kereta api ini.

Foto-foto bagaimana warga Pekanbaru pun ada pada saat itu, termasuk pasukan KNIL menyebarangi Sungai Siak yang masih sederhana.

Ada Foto dan bangunannya masih utuh

Menelusuri peninggalan Kota Pekanbaru masa dulu akhirnya melalui sejumlah situs internet ditemkan sejumlah foto bangunan masa lalu, tapi sering kali bangunan di foto itu sudah tidak ada lagi saat dilakukan penelusuran ke lapangan.

Misalnya Balai Kerapatan Adat yang sudah berubah menjadi kantor polisi dan bentuk bangunan aslinya pun sudah hilang.

Balai Kota berubah menjadi Plaza Senapelan, tugu jepang sudah dihancurkan karena di lokasi rumah dinas wali kota Pekanbaru saat ini, dan masih banyak rumah dan bangunan lain yang dibiarkan hilang.

Tapi ada satu foto bangunan yang masih sesuai antara foto yang tertulis 1951 tetapi setelah dilakukan penelusuran lapangan ternyata bangunan itu masih utuh, yakni foto bangunan di depan Pasar Kodim (sekarang bangunan itu tidak dimanfaatkan lagi tetapi masih milik Kodim).

Dalam foto tersebut tertulis Gedung BNI pada tahun 1951 Jalan Bangkinang (sekarang Jalan Ahmad Yani), dan ternyata bangunannya masih ada, sekarang digunakan untuk jualan makanan.

Seharusnya bangunan ini tetap dipertahankan.

Selain itu, semua aset sejarah lainnya hilang seperti Pasar Bawah yang diubah menjadi pasar modern, Mesjid Rahman, termasuk Mesjid Raya Pekanbaru (Nur Alam) yang saat ini dalam proses perombakan, foto Balai Kota menjadi Plaza Senapelan.

Bahkan Dang Merdu pun berubah menjadi gedung menjulang tinggi milik Bank Riau-Kepri dan masih banyak bangunan lainnya yang hilang. Jangan katakan salah siapa, mari selamatkan yang tersisa. (*)

Tags : nama kota pekanbaru, senapelan, pekanbaru dikenal sampai ke melaka dan johor, sejarah pekanbaru, pekanbaru dikenal sejak abad ke-17, pekanbaru disebut dengan chinapalla, sejarah, lingkungan alam, daerah pekanbaru,