TANJUNG BALAI KARIMUN - Pertambangan timah dari masa lampau di Kabupaten Tanjung Balai Karimun [TBK] sempat berjaya hingga menyisakan bekas-bekas galian tambang dibeberapa lokasi.
Persebaran deposit timah masih banyak terdapat berada di wilayah kepulauan Tanjung Balai Karimun dan Kundur. Dari dua wilayah pulau ini telah lama menghasilkan timah dan terbanyak dilihat dari sudut produksi. sekilas perjalanan pertambangan timah di TBK di Wilayah penambangan timah yang sudah dimonopoli oleh VOC, dikelola oleh tauke-tauke Cina dengan mengadakan kontrak perjanjian dengan Sultan atau raja-raja setempat.
"Sampai tahun 1914, timah yang dieksploitasi dan ditambang oleh para penambang Cina nampaknya tak tersaingi oleh perusahaan besar Inggris," kata Al Amin, Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM] Panglima Bungsu, Organisasi Melayu Kepulauan Tanjung Balai Karimun [TBK] dalam bincang-bincangnya dengan riaupagi.com.
Perusahaan timah besar Inggris kalah bersaing dengan para tauke Cina dalam soal perekrutan tenaga kerja Cina dari negeri asalnya dan dalam soal produksi. Hal yang sama juga berlaku di Bangka, Karimun dan Kundur. Timah yang dimonopoli perdagangannya oleh VOC, ditambang sebagian besar dengan mendatangkan para penambang Cina.
Pada mulanya dari Batavia dan Semenanjung Malaya dan Siam, kemudian langsung dari Cina ataupun lewat Singapura dan Penang. Singapura sebagai pusat tenaga kerja Cina, sebutnya mengenang sedikit sejarah perjalanan penambangan di kepulauan itu.
Al Amin, Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM] Panglima Bungsu
Mengingat catatan sejarah kecil yang terjadi di TBK, sebutnya, keberadaan orang Tianghoa dalam pertambangan timah di Karimun tercatat dalam arsip kolonial Belanda. Dalam arsip Riouw nomor 229/3, adanya permohonan membuka penambangan timah di Karimun. Surat tanggal 30 April 1901 berisi, Radja Mohammad Tahir [Raja Muhammad Tahir] Ibni Raja Haji Abdullah [Yang Dipertuan Muda Riau IX] yang mendapat kuasa dari kerajaan menerima permohonan [permintaan] tiga orang Tianghoa bernama Tjia Sien, Liong Tjipa dan Jong Soen untuk mencari tempat yang berisi galian timah di Poeloe Karimon (Karimun) dari Soengei Pangka hingga Soengoei Barau dan di poeloe Koendoer [Kundur]. Kedua belah pihak sepakat melakukan perjanjian atau kontrak kerjasama. Ada sembilan isi kontrak itu.
Isinya, antara lain, setiap hasil bijih timah yang didapat maka orang Tianghoa itu wajib membayar 15 persen kepada Raja Muhammad Tahir. Pembayaran dilakukan sebelum bijih timah dibawa dari lokasi penambangan untuk dieskpor ke Singapura. Orang Tianghoa itu juga wajib membayar seperempat dari hasil keuntungan tambang dan dibayar sekali setahun. Kerugian dalam penambangan tak dibebankan kepada kerajaan dan menjadi tanggungjawab penambang saja.
Dalam perjanjian poin ketiga juga dibunyikan, orang Tianghoa itu kalau melakukan penjualan timahnya, wajib memberitahukan kepada Raja Muhammad Tahir atau wakilnya. Bijih timah itu hanya boleh dijual kepada tempat Raja Muhammad Tahir biasa menjual timahnya. Karung atau jungkung timah wajib memakai cap Raja Muhammad Tahir.
Pada poin kelima, apabila Raja Muhammad Tahir menyerahkan hak menggali bijih timah kepada orang lain, perusahaan orang putih [maatschappij Orang Poetih], itu bisa dilakukan. Pekerjaan penggalian timah tak boleh merugikan kerajaan dan kekurangan keuntungan bagi Raja Muhammad Tahir. Lama perjanjian atau kontrak delapan tahun, mulai 30 April 1901 hingga 30 April 1909. Surat perjanjian diberikan kepada Tjia Sien dan satu lagi tinggal di Raja Muhammad Tahir.
Surat kontrak kerjasama itu dibacakan didepan ketiga orang Tianghoa, baru ditandatangani. Perjanjian juga ditandatangi kedua belah pihak dan disetujui Controleur Karimon, LM.F.Plate dan Secretaris V.d.Velde. Sosok Raja Muhammad Tahir yang membuat kontrak kerjasama dengan orang Tianghoa itu adalah anak Raja Haji Abdullah [YDM Riau IX]. Ia dikenal sebagai hakim dalam kerajaan dan juga dikenali sebagai tokoh Thariqat Naqsyabandiyah.
Dalam arsip Riouw No 225/8 juga ada informasi terkait penggalian timah di Karimun. Ada kabar Nies, petugas dari Karimon mengabarkan telah memulai pemggalian timah di Karimun. Controlur Karimun diminta mencegah dan menahan aktivititas penggalian timah sebelum ada kontrak atau perjanjian dengan kerajaan. YDM Raja Muhammad Yusuf diminta memberi juga kepada Controleur Karimun untuk tidak menerima hasil tambang Nies itu. Surat itu tahun 1890 di Penyengat, 24 hari bulan syawal hari chamis sanah 1307.
Keberadaan orang Tianghoa dalam penambangan timah di Karimun juga tercatat dalam arsip lain. Dalam buku Pulau-Pulau Terdepan Wilayah Indonesia [Kontrak Perjanjian Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Jilid IV], terbitan Arsip Nasional, 2009 ditulis ada kasus perompakan tongkang orang Cina di Perairan Tembelas, Karimun tahun 1901. Ada laporan dari controleur Karimon ke Residen Belanda di Tanjungpinang bernama VL de Lannoij telah terjadi perompakan tongkang bernama Kim Swee Bee tanggal 23 Mei 1901 di Perairan Temblas [Karimon].
Berikut laporannya: “Sa-boeah tongkang bernama Kim Swee Bee taikongnya bernama Oh Sing telah berlajar dari Singapore pada 22 hari bulan Mei ini, maka pada 23 Mei tongkang itoe dirampas oleh ampat Orang Malajoe, ia itoe di dekat Poeole Temblas [Karimon]”. Aksi perompakan berlangsung cukup tragis. Anak buah kapal [ABK] kapal tongkang bernama Tan Lan terjun ke laut dan berenang ke Pulau Karimun. Tekong atau nahkoda tongkang, cincu dan lima ABK terjun ke laut. Kondisi tekong, cincu dan seorang ABK luka-luka. Hanya Tan Lan yang selamat sampai di Karimun dan melapor ke Controleur Karimon adanya kasus perompakan.
Dalam surat ke resident ini, ada permintaan untuk menyelidiki kasus ini dan menangkap pelakunya. Surat ke Resident Belanda di Tanjungpinang tertanggal 28 Mei 1901. Setelah beberapa bulan, Resident Belanda VL de Lannoij mengiimkan surat balasan terkait penyelidikan perompakan ini.Hasil penyelidikan, orang yang diduga kuat melakukan perompakan adalah Radja Said Besar yang tinggal di Kuala Lapian, dekat Kwala Sabak [Muara Sabak], Jambi. Dalam merompak, Radja Saiod Besar dibantu dua Orang Laut bernama Mahidin dan Cidiq. Mereka tinggal di Soengai Terap, Retih yang kini jadi wilayah Indragiri Hilir.
Aktifitas penambangan timah menuai konflik
Aktifitas pertambangan timah yang terjadi di Karimun bukanlah mulus begitu saja. Seperti terjadi di wilayah DU 747, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, DPRD setempat memediasi perusahaan plat merah PT. Timah Tbk dengan nelayan lantaran terus menolak aktivitas tiga unit Kapal Induk Produksi [KIP] pada Selasa 10 Desember 2019 lalu. Kawasan yang menjadi objek tambang timah yang merupakan zona tangkap hampir semua nelayan yang ada di Karimun ekonominya terganggu.
"Semua nelayan menangkap ikan di sini di zona tangkap ikan sudah tidak ada, kemana kami mau mencari makan, ini menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Ketua Nelayan Kecamatan Tebing Rohim disampaikannya saat dilakukan rapat di kantor DPRD Karimun.
Tapi Divisi Hukum PT. Timah Tbk wilayah Riau dan Kepulauan Riau, Muhammad Zulkarnaen Dharmawi berdalih kalau pihaknya tidak melakukan penambangan di semua konsesi yang didapat. "Kami eksplorasi dulu untuk menemukan titik yang kandungan timahnya banyak. Titik itulah yang akan dieksploitasi. Jadi enggak semua. Katakanlah perusahaan dapat izin penambangan 20 hektar, tidak semua luasan itu ditambang," katanya menambahkan sesuai amanah undang-undang, pihaknya wajib melakukan eksplorasi di lahan negara.
"Hasil yang diperoleh juga akan masuk ke kas negara dan untuk masyarakat," tambahnya. Perusahaan diakui telah membuka ruang bagi masyarakat yang merasa keberatan atas aktivitas tambang itu. Dalam rapat kala itu dihadiri Bupati Karimun Aunur Rafiq, Ketua DPRD Karimun Yusuf Sirat, anggota DPRD Kepri Zainuddin dan anggota Komisi III DPRD Karimun meminta supaya PT. Timah mau mengganti alat tangkap ikan yang lebih besar supaya nelayan bisa mencari ikan di tempat lain. Namun pertemuan itu sama sekali belum menemukan kesepahaman lantaran rapat yang dimotori komisi III DPRD Karimun tak tuntas dan tidak membuahkan hasil.
Perlu pembenahan tambang dan ekspor timah
Seperti diakui Ekonom Senior Faisal Basri, praktik penambangan dan ekspor timah ilegal masih marak dan dilakukan secara terang-terangan disejumlah tempat. Faisal menilai, banyak pemegang Izin Usaha Pertambangan [IUP] yang tidak memenuhi syarat, sehingga hanya menjadi penadah hasil tambang ilegal. Dia menekankan, maraknya penambangan dan ekspor ilegal tersebut membuat pelaku usaha timah legal kalah saing.
"Banyak pemegang IUP tidak memenuhi syarat. karena tujuannya hanya mau jadi penadah hasil tambang ilegal yang harganya lebih murah dibandingkan tambang legal," katanya dalam diskusi daring "Tata Niaga Timah Indonesia" yang diselenggarakan Forum Diskusi Ekonomi dan Politik [FDEP], Senin [11/1] kemarin.
Lain lagi penilaian disebutkan Direktur Indonesian Coruption Investion [ICI] H Darmawi Aris SE, menyebutkan pengabaian atas kekacauan tata kelola timah di TBK sejak dulu menimbulkan kerugian negara. Sebab, negara kehilangan sumber daya tanpa mendapat penghasilan yang memadai. "Hingga 90% lokasi penambangan ilegal ada di IUP PT Timah. Sebagian besar hasil penambangan ilegal dijual ke pihak lain dengan harga murah. Tidak adil bagi PT Timah dan negara," terang Darmawi yang juga Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] ini.
Dari sisi ekspor, menurutnya, sejumlah negara tetangga tercatat masih mengimpor pasir timah dari Indonesia. Padahal, ekspor pasir timah sudah dilarang. Bahkan, Singapura yang tidak punya tambang timah bisa mengekspor balok timah. Kondisi itu terjadi karena lemahnya penegakan aturan meski aturannya sudah lengkap. Selain itu, pemerintah juga tampak tidak begitu serius memperhatikan komoditas timah. "Saya hampir tidak pernah melihat Menteri ESDM, Pak Luhut [Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi] membahas timah. Kalau nikel, bauksit sering," sebut dia.
Satu sisi Darmawi mengakui, timah sangat dibutuhkan oleh industri, terutama otomotif. Sedangkan dari sisi regulasi, Ia mengakui bahwa aturan tata niaga timah sebenarnya sudah lengkap. Dalam peraturan Kementerian ESDM misalnya, perusahaan wajib mendapatkan pengesahan dari Competent Person Indonesia [CPI] untuk jumlah cadangan timah di lokasi IUP. Tanpa pengesahan itu, maka Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tidak dapat disahkan oleh pemerintah. "Tanpa RKAB yang disahkan pemerintah, maka pemegang IUP tidak bisa beraktivitas untuk menambang apalagi mengekspor," ungkapnya.
Menurutnya, praktik di lapangan menunjukkan masih banyak pelanggaran. Meski tidak ada verifikasi CPI, RKAB tetap disahkan oleh pemerintah daerah. Dicontohkannya, ada perusahaan timah yang sedang memproses persiapan menambang di wilayah konsesinya. Namun, perusahaan tersebut sudah punya cadangan ratusan ton balok timah siap ekspor. Selain itu, ada juga perusahaan yang kapasitas produksinya jauh di bawah jumlah balok timah yang diekspornya. "Dihitung dengan cara apa pun, tidak sesuai. Anehnya, tetap diizinkan untuk ekspor. Kondisi seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun," ungkapnya.
Holding industri pertambangan Indonesia, MIND ID prihatin dengan perkembangan situasi industri timah dan peran Competent Person Indonesia [CPI] yang membuat laporan hasil eksplorasi sumber daya mineral. "MIND ID prihatin dengan kondisi tata kelola niaga dan peran serta pengawasan atas laporan Competent Person terkait validasi neraca cadangan. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Competent Person, seharusnya ada sanksi yang dikenakan terhadap oknum tersebut," kata CEO Grup Mind ID Orias Petrus Moedak seperti dirilis Antara, Rabu [3/3].
Dalam peraturan Kementerian ESDM, perusahaan wajib mendapatkan pengesahan dari CPI untuk jumlah cadangan timah di lokasi Izin Usaha Pertambangan [IUP]. Tanpa pengesahan CPI, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tidak dapat disahkan oleh pemerintah. Dari ratusan pemegang IUP, hanya ada 22 CPI timah. Kehadiran CPI penting untuk meminimalisir tambang ilegal, namun kini belum optimal karena ada transisi kewenangan dari pemerintah daerah ke pusat sehingga membuat praktik penambangan dan ekspor timah ilegal masih marak.
Merujuk Keputusan Menteri ESDM Nomor 1806 K/30/MEM/2008 dalam tata kelola niaga komoditas timah, salah satu persyaratan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) adalah validasi neraca cadangan pada suatu Wilayah Izin Usaha Pertambangan [WIUP] oleh Competent Person. Neraca cadangan hanya dapat dibuat jika perusahaan pemegang IUP melakukan kegiatan eksplorasi. Competent Person memiliki peran yang strategis dalam validasi neraca cadangan, sehingga diperlukan pengawasan yang ketat terhadap akuntabilitas dan profesionalisme atas jasa yang diberikan. “Perusahaan meyakini dengan pembenahan tata kelola niaga timah akan dapat meningkatkan kontribusi dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat dan negara," kata Orias mencontohkan seperti di Provinsi Bangka Belitung itu.
Sepanjang 2019, PT Timah TBK telah memberikan kontribusi kepada negara melalui PNBP sebesar Rp1,1 triliun yang terdiri atas royalti Rp556 miliar, pajak Rp393 miliar, PBB Rp103 miliar, bea masuk Rp18 miliar, dan dividen Rp120 miliar. Selain itu, PT Timah Tbk juga menyerap cukup banyak tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung yang mayoritas merupakan masyarakat lokal. Saat ini diperkirakan sekitar 35.520 orang menggantungkan hidupnya dari PT Timah Tbk.
"Mind ID dan PT Timah TBK berkomitmen menjalankan mandat yang diberikan pemerintah dalam mengelola sumber daya mineral strategis. Perusahaan mendukung upaya penanganan penambang ilegal bersama pemangku kepentingan dan mendorong tata kelola industri komoditas yang baik," kata Orias yang berjanji segera berkoordinasi dengan pihak Kementerian ESDM baik pusat maupun provinsi, dan aparat penegak hukum agar permasalahan ini selesai. (*)
Tags : Mind Id, timah, timah ilegal, tambang timah, tambang timah ilegal, harga timah, ekspor timah, timah,