Nusantara   2022/05/21 13:40 WIB

Seorang Karyawan: 'Jidat Saya Ditoyor, Bahu Saya Didorong' dalam Kekerasan Dunia Kerja

Seorang Karyawan: 'Jidat Saya Ditoyor, Bahu Saya Didorong' dalam Kekerasan Dunia Kerja

NUSATANRA - Kondisi ekonomi keluarga yang tengah terganggu akibat pandemi membuat Intan terpaksa bertahan di pekerjaannya, meski harus menghadapi atasan yang melakukan kekerasan fisik hingga membuatnya "depresi".

Intan, bukan nama sebenarnya. Dia meminta identitasnya disamarkan.

Perempuan berusia 30 tahun itu awalnya merasakan semua baik-baik saja. Dia dikontrak oleh sebuah perusahaan swasta di Jakarta selama satu tahun. Namun, memasuki masa enam bulan, keadaan menjadi lebih buruk.

"Awal-awal marah, itu masih bisa diterima. Masih sekadar membuang dokumen ke arah saya, atau bercakap-cakap kasar, itu masih bisa diterima. Lambat laun emosinya semakin parah, habis itu dia toyor jidat saya, dia bilang, 'Gob**k lo ya', terus bahu saya didorong ke belakang sampai nyentuh dinding," kata Intan seperti dirilis BBC News Indonesia.

Dia mengaku syok, tapi dia berusaha menahan diri dan tidak memberikan reaksi emosi apapun, kemudian memilih kembali ke meja kerjanya untuk menenangkan diri. Kejadian itu, kata Intan, disaksikan oleh rekan-rekan kerjanya.

"Pada saat saya sampai di meja pun, dia menelepon saya, dia bilang, 'Awas lo ya, lo nggak boleh pulang. Pokoknya shift-nya sampai jam 10, sampai jam 10 lo di sini. Dasar baj****n'."

Kejadian itu diakui Intan mempengaruhi kondisi fisik dan mentalnya. Dia mengaku tidak nafsu makan, gelisah, dan kerap menangis setelah pulang kerja.

Ternyata tidak hanya Intan yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari atasannya. Karyawan yang lain pun kerap mendapat kekerasan verbal dan direndahkan, tapi tidak ada yang berani melawan.

Merasa sudah "muak", beberapa kali Intan sempat memprotes perlakuan bosnya dan melawan. Intan juga sempat melaporkan perlakuan atasannya ke HRD, tapi mereka pun tidak punya solusi.

Meski kondisi tidak menjadi lebih baik, dia bertekad menyelesaikan kontraknya, tidak berhenti di tengah jalan.

"Tadinya saya mau pikir, apa perpanjang lagi ya? Enam bulan atau gimana? Di satu sisi, saat itu suami saya sedang terdampak (pandemi), jadi saya pun antara harus tetap bertahan dan kuat sambil cari-cari yang baru.

"Saya pikir, aduh nggak lah. Itu bikin saya jadi gila. Depresi saya. Saya sampai datang ke psikolog, sampai nangis," kata Intan menceritakan masa kelamnya itu.

Pengalaman buruk itu membuat Intan trauma. Kini, setelah kontrak kerjanya itu habis, dia mengaku lebih selektif memilih perusahaan, agar tidak mengalami hal serupa.

Direndahkan saat proses wawancara

Rendy, bukan nama sebenarnya, juga punya pengalaman buruk di dunia kerja. Pada 2017, pria pekerja di bidang kreatif itu pernah mengalami pelecehan secara verbal saat sesi wawancara kerja sebagai art director.

Kala itu dia diundang wawancara oleh sebuah perusahaan start-up baru, setelah berhasil melalui tahap penyaringan pertama. Dia diwawancara oleh salah satu petinggi perusahaan karena pihak HRD dan user berhalangan hadir karena sakit.

Beberapa pertanyaan pewawancara membuat Rendy merasa direndahkan. Menurut pengakuannya, waktu itu pewawancaranya menyalahkan keputusan Rendy karena keluar dari pekerjaan sebelumnya, tanpa terlebih dahulu mendapat pekerjaan lain.

"Dia itu ngejatuhin, bilang, 'Mas nggak punya plan banget. Terus sekarang mas nggak bisa apa-apa apply ke sini'.

"Poin yang saya highlight di sana adalah kalau misalnya memang perusahaannya tidak melihat saya cocok dan memenuhi persyaratan di job opportunity-nya, ya sudah nggak usah dipanggil. Jangan memanggil orang untuk dijatuhkan. Toh portfolio sudah dikirim dari beberapa hari sebelumnya," kata Rendy.

Dia mengaku kesal, tapi berusaha menahan diri agar tetap berperilaku profesional. "Itu interview paling sampah, paling merendahkan, yang pernah saya lalui," ujar Rendy.

Akibat perlakuan itu, Rendy sempat meragukan kemampuannya di bidang desain yang sangat dia sukai dan kembali melamar pekerjaan di bidang teknik industri, jurusan yang dia tempuh selama empat tahun saat kuliah.

Perlakuan tidak menyenangkan saat wawancara juga sempat dialami salah satu calon pekerja tuli beberapa waktu lalu. Namanya Tonan. Dia mendatangi kantor pendaftaran mitra Grab karena mendapat undangan untuk wawancara kerja.

Namun, dia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa pekerja yang ada di kantor tersebut yang dianggap "tidak sopan dan merendahkan". Pengalaman Tonan sempat viral sampai akhirnya Grab Indonesia mengeluarkan permintaan maaf. 

Desakan ratifikasi konvensi ILO 190 demi kesejahteraan buruh

Selain kekerasan dan pelecehan verbal maupun non-verbal, para pekerja juga rentan menghadapi kekerasan ekonomi. Hal itu diungkap oleh beberapa serikat pekerja dalam diskusi pada akhir April lalu, jelang peringatan Hari Buruh 1 Mei.

"Faktor-faktor yang berdampak pada kekerasan ekonomi kayak jam kerja molor, kemudian lembur yang tidak dibayar sesuai, atau juga lembur yang dianggap loyalitas sehingga tidak dibayar, bahkan ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, banyak juga pesangon yang sampai detik ini belum jelas," kata Sumiyati dari Serikat Pekerja Nasional (SPN), Sabtu (30/04).

Dia menambahkan, belum lagi ada kebijakan-kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah di masa pandemi, yang tidak berpihak pada para pekerja.

Salah satunya Keputusan Menteri Nomor 104 tentang Pedoman Pelaksanaan Hak-hak Tenaga Kerja di Masa Pandemi.

Sumiyati mengatakan keputusan menteri itu mengizinkan pengusaha bisa menegosiasikan upah dengan pekerja, tanpa melibatkan serikat pekerja, dan dibayarkan sesuai kemampuan perusahaan, "yang artinya dia bicara waktunya juga sesuai yang mereka inginkan, bukan antar kesepakatan pekerja dan serikat pekerja dan bukan terkait norma yang sudah ada".

Tak hanya itu, Undang-undang Cipta Kerja juga dinilai mengurangi atau bahkan menghilangkan hak-hak pekerja.

Untuk menyelamatkan hak-hak buruh, beberapa organisasi serikat buruh mendesak pemerintah segera meratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) 190.

"Itu semakin memperburuk keadaan pekerja-pekerja di tingkatan pabrik. Itu yang kemudian membuat kita menganggap (ILO 190) ini bagian dari solusi yang seharusnya pemerintah merespons karena di situ terdapat jaminan perlindungan terhadap setiap orang di dunia kerja untuk terbebas dari setiap jenis kekerasan dan pelecehan," ujar Sumiyati.

Konvensi ILO 190, yang disepakati pada 2019 lalu, melindungi hak setiap orang di dunia kerja, mulai dari sektor formal hingga informal, untuk pekerja berstatus karyawan tetap, bahkan sampai pekerja magang dan juga pelamar kerja. Dalam konvensi tersebut, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dianggap sebagai pelanggaran atau penyalahgunaan hak asasi manusia.

Waktu itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang terlibat dalam pertemuan yang menyepakati konvensi tersebut. Di situs resmi ILO, status Indonesia masuk ke dalam daftar negara-negara yang sedang mengajukan konvensi tersebut kepada otoritas yang berwenang (Submissions to competent authorities by country).

Sejauh ini, baru 14 negara yang meratifikasi konvensi itu, dari total lebih dari 60 negara yang menyetujuinya.

Sementara itu, ratifikasi adalah salah satu bentuk pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.

Siti Istikharoh dari Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) mengaku sempat bertanya kepada pihak Kementerian Tenaga Kerja mengenai tindak lanjut pemerintah terhadap konvensi tersebut karena menurut para aktivis buruh di serikat pekerja, konvensi ini sangat penting, demi kesejahteraan buruh.

Menurut para aktivis, Indonesia sudah setuju untuk meratifikasi konvensi ILO 190, tapi dua tahun setelah konvensi itu ditetapkan, Indonesia tidak kunjung meratifikasi atau mengadopsinya ke dalam hukum soal tenaga kerja di tanah air.

"Jawabannya sangat mengejutkan. Itu dari biro hukumnya. Pemerintah tidak akan meratifikasi karena sudah ada delapan ratifikasi ILO yang sudah dilaksanakan pemerintah Indonesia," kata Siti dalam diskusi yang sama pada Sabtu (30/04).

"Saya tidak menyoal yang sudah diratifikasi, tapi kesepakatan kemarin Indonesia menyetujui, itu yang saya pertanyakan. Jawabannya gini, 'Tidak akan meratifikasi, kita akan memperbaiki aturan-aturan yang ada di Indonesia'. Terus apa gunanya mengatakan iya di sana, di sini beda?" tambah Siti.

Disesuaikan dengan UU TPKS

Subkoordinator Evaluasi Konvensi Internasional Kementerian Tenaga Kerja, Rizky Mandalika, mengatakan pada saat itu Indonesia hanya menyepakati dibuatnya konvensi tersebut, tapi belum menyatakan akan meratifikasinya.

"Kementerian Tenaga Kerja saat ini sedang melakukan penelaahan atau pengkajian terhadap C190, dikaitkan dengan adanya undang-undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Di dalam UU TPKS kan ada ketentuan lebih lanjut, setiap sektor bisa mengatur lebih lanjut sesuai kebutuhan masing-masing," kata Rizky, Selasa (17/05).

"Contoh, di sektor tenaga kerja. Nanti di situ diatur bahwa peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang pencegahan, penanganan, penanggulangan kekerasan seksual di tempat kerja, itu yang nanti kita anggap sudah meng-comply di dalam C190," kata dia menambahkan.

Namun, para buruh tidak puas dengan pernyataan itu. Mereka mengatakan konvensi 190 tidak hanya membahas kekerasan dan pelecehan seksual, tapi juga kekerasan dan pelecehan yang bukan mengarah pada seksualitas, seperti yang dialami Intan dan Rendy.

Bahkan konvensi ini sampai melindungi para pekerja dari kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam perjalanan menuju dan dari tempat kerja.

"Nanti di dalamnya itu saya juga ingin membuat suatu konsep, di dalam substansinya, termasuk yang secara verbal dan non-verbal, dibentak-bentak, dari segi ekonomi atau apapun, saya masukkan nanti di situ," kata Rizky menjawab.

Dia juga mengatakan saat ini pihaknya masih dalam proses membuat peraturan turunan dari UU TPKS, yang nantinya juga bakal disesuaikan dengan konvensi ILO 190.

Kata Rizky, tidak menutup kemungkinan nantinya pemerintah akan meratifikasi konvensi ILO 190, apalagi jika hasil kajian yang sedang dilakukan saat ini memungkinkan hal itu. (*)

Tags : Kesehatan mental, Hukum, Pekerjaan, Indonesia, Perempuan,