Headline Seni Budaya   2021/09/11 13:47 WIB

Seperti Apa Hidup di Kota yang Memiliki Percampuran Unik Antara Budaya?

Seperti Apa Hidup di Kota yang Memiliki Percampuran Unik Antara Budaya?
Para pendatang dapat terus-menerus menemukan hal baru yang unik di Kuala Lumpur.

SENI BUDAYA - Dengan percampuran unik antara budaya, bahasa, dan agama, Kuala Lumpur kerap dideskripsikan warga setempat sebagai periuk besar akulturasi di mana perbedaan tradisi secara terbuka dirayakan dan dinikmati.

Periuk peleburan tadi lebih sering diartikan secara harafiah dibandingkan metafora di kota terbesar sekaligus ibu kota Malaysia tersebut. "Kuliner selalu menjadi jalan tercepat untuk berkenalan dengan sebuah budaya."

"Di Malaysia, panganan menunjukkan kepada kita bahwa peleburan etnis Tionghoa, India, dan Melayu dapat terjadi secara mulus," kata Jeff Ramsey, koki di restoran di Kuala Lumpur bernama Babe yang pernah meraih bintang Michelin dirilis BBC News Indonesia.

Namun kuliner di kota itu memiliki cita rasa berbeda yang sulit ditemukan di tempat lain. "Contohnya, ketika makan sajian a la Cina di kota ini, anda tak akan merasakan banyak--kalau tidak seluruhnya--cita rasa yang anda temukan di Cina," ujar Ramsey.

Selain keragaman pangan, warga lokal juga menikmati percampuran ikon modern berupa gedung pencakar langit setinggi 452 meter bernama Petronas Twin Tower dan bangunan yang lebih lawas, yakni arsitektur kolonial yang terinspirasi dari Bangsa Moor seperti stasiun kereta api Kuala Lumpur. "Saya senang kota ini menawarkan pencampuran menarik antara hal lawas dan baru yang membuatnya semakin menyenangkan saat dijelajahi," kata Emily Yeap, warga Kuala Lumpur yang kini menetap di Amerika Serikat.

"Kota itu sungguh hidup. Selalu ada hal baru dan yang dapat kita lakukan."

Mengapa orang menyukainya?

Budaya kuliner Kuala Lumpur merupakan daya tarik besar dan yang sepenuhnya dapat dinikmati setelah gelap, sekitar pukul tujuh malam, saat warga kota bertemu kawan-kawan mereka dan jalan-jalan cari makan. "Pedagang kaki lima menyiapkan lapak lapak mereka di pasar malam yang buka sekali dalam seminggu di setiap kawasan," tutur Zuzanna Chmielewska yang pindah dari Polandia ke Malaysia tahun 2012 dan rutin menulis tentang negara itu di blog Zu in Asia.

"Kuliner pinggir jalan bermacam-macam, termasuk sejumlah tipe kari, pangsit, dan nasi goreng, begitu juga panganan trendi dari luar negeri seperti roti panggang warna-warni dan pencuci mulut berbentuk kuda bertanduk," ujarnya.

Menurut Chmielewska, cara bersosialiasi seperti itu dapat berlangsung mulus pada malam hari dan kantin 24 jam yang kerap disebut dengan istilah mamak tetap ramai hingga dini hari. Perayaan kuliner ternyata tidak berhenti. "Untuk sarapan setelah jalan-jalan malam, penjaja bak kut teh yang lezat akan berjualan di lokai itu," ujar Ramsey.

Panganan berbahan daging babi itu direndam dalam kaldu yang dibumbui kayu manis, cengkeh, bunga lawang, dan adas, disajikan bersama saus celup yang terbuat dari potongan bawang putih, kecap soya, dan cabai hijau kecil yang dirajang. "Bir adalah pilihan minuman untuk skenario seperti itu, jadi pastikan anda tidak memiliki banyak kegiatan setelahnya," kata dia.

Dengan begitu banyaknya budaya yang bertemu di Kuala Lumpur, pendatang menikmati gairah penemuan yang ajek. "Saya senang berjalan kaki mengelilingi KL dan menemukan sejumlah rahasianya yang tersembunyi, dari tenda kecil yang menjual kari berisi daging kadal hingga pertunjukkan seni jalanan dalam festival hantu di komunitas Tionghoa yang berlangsung sebulan."

Perayaan itu sering digelar terbuka hampir untuk semua orang. "Ada tradisi sambang griya yang digelar dalam momen spesial, ketika sebuah keluarga menyiapkan banyak sekali makanan dan dekorasi, lalu mempersilakan semua orang datang," kata Chmielewska.

"Sebagian besar adalah kolega atau sanak keluarga, tapi pintu rumah secara harafiah terbuka jadi siapapun dapat masuk dan menikmati perayaan."

Pendatang merasa mudah untuk menjadi bagian dari komunitas lokal. Chmielewska menjelaskan, "masyarakat telah terbiasa berhubungan dengan ekspatriat dari seluruh penjuru dunia, jadi bukan masalah untuk menyatu dengan mereka."

Seperti apa hidup di kota itu?

Kuala Lumpur terik, kerap hujan dan rutin dilanda angin kencang yang menyebabkan kemacetan di banyak titik. "Jalanan di KL sangat rumit. Setiap orang berkendara dengan GPS yang menyala, bahkan termasuk mereka yang tinggal di kota ini sejak lahir," kata Chmielewska.

Karena situasi lalu lintas itu, banyak orang memilih menggunakan transportasi publik yang lebih efektif, terutama yang berbasis kereta api. Jika transportasi itu juga bukan opsi yang masuk akal, ekspatriat menyarankan anda beralih ke transportasi berbasis aplikasi yang menerapkan tarif datar, seperti Grab. Taksi tak disarankan karena terkadang mematok tarif berebda untuk orang asing.

Di KL, kebanyakan ekspatriat tinggal di Mont Klara, sekitar 11 kilometer barat laut dari pusat kota. Alasannya adalah akses lembaga pendidikan internasional dan pusat perbelanjaan. Namun ekspatriat mencari suasana nyata kehidupan di KL, mereka menetap di kawasan yang memiliki kultur beragam, antara lain Cheras (Tionghoa), Kampung Baru (Melayu), atau Brickfields (India).

Meski beberapa daerah di kota itu tersegregasi berdasarkan etnis dibandingkan kawasan lainnya, ekspatriat tetap bisa bebas memilih daerah yang mereka inginkan. Kejahatan jalanan adalah realitas yang terjadi di KL, dari penjambretan di mesin anjungan tunai dan pencopetan dekat penjaja kuliner kaki lima. Jadi, warga lokal menyarankan pendatang membawa uang tunai sesedikit mungkin dan menghindari berjalan sendiri di ruang publik pada malam hari.

Meski lebih terjangkau dibandingkan kota besar di negara barat atau Asia seperti Jepang dan Singapura, biaya hidup di KL kini terus melonjak. "Hal seperti akomodasi, transportasi, biaya makan menjadi lebih mahal. Pendatang seharusnya menyadari bahwa Ringgit tidak akan jatuh seperti di masa lalu," kata Yeap.

Karena keberagamannya, para pendatang juga tidak seharusnya berasumsi bahwa pengalaman yang dirasakan ekspatriat lainnya serupa dengan yang mereka alami. "Hanya karena teman anda telah bekerja di KL, bukan berarti anda akan mendapatkan pengalaman yang sama," kata Chmielewska.

"Anda mungkin akan bekerja dengan tim yang rata-rata berisi orang keturunan Melayu Tionghoa sementara teman anda bekerja dengan warga Melayu. Akan ada perbedaan bersar dalam situasi kerja itu: budaya hingga panjangnya waktu istirahat. Jalani saja dan terbukalah dengan pengalaman baru. Hargai budaya mereka dan mereka akan melakukan hal yang sama kepada anda," tuturnya. (*)

Tags : Malaysia, Seni budaya,