Pendidikan   2022/08/03 18:46 WIB

Seruan Sekolah Negeri Kembali ‘Seperti Dulu’ Mengemuka, ‘Kalau Gunakan Jilbab Bisa jadi Arena Intoleransi’

Seruan Sekolah Negeri Kembali ‘Seperti Dulu’ Mengemuka, ‘Kalau Gunakan Jilbab Bisa jadi Arena Intoleransi’

PENDIDIKAN - Seruan untuk mengembalikan seragam sekolah negeri menjadi “seperti dulu” mengemuka di media sosial, hanya berselang beberapa hari sejak mencuatnya kasus pemaksaan menggunakan jilbab terhadap seorang siswi di Bantul, Yogyakarta.

Melalui sebuah cuitan yang viral di media sosial, seorang pengguna Twitter membagikan sebuah gambar yang menyerukan agar seragam sekolah dikembalikan “seperti dulu”.

Di dalam gambar itu tertera tulisan yang menyatakan bahwa “sekolah negeri, bukan sekolah Islam” sehingga menggunakan kemeja dan rok panjang bagi siswi berjilbab adalah “pilihan”.

Lalu, bagaimana sebetulnya aturan seragam sekolah di masa lalu dibandingkan dengan saat ini?

Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan aturan berseragam di sekolah negeri yang tercantum melalui Peraturan Menteri Mendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 sebetulnya memberi opsi bagi siswa-siswi untuk memilih menggunakan seragam pendek, seragam panjang, maupun jilbab.

Tetapi kenyataannya, kasus pemaksaan dan pelarangan atribusi keagamaan pada seragam sekolah memang cenderung meningkat selama 10 tahun terakhir.

“Ini yang menjadi tanda tanya, mengapa dengan adanya aturan yang seharusnya mengakhiri justru masih terus terjadi, berarti kan selama ini tidak ada evaluasi,” kata Satriwan Salim,seperti dirilis BBC News Indonesia, Senin (01/08).

Tetapi dia menilai kondisi saat ini pun bisa dibilang tidak lebih baik dibanding masa lalu.

Sejarah menunjukkan bahwa negara bertindak represif terhadap penggunaan jilbab di sekolah pada masa Orde Baru.

Praktik kebebasan memilih seragam itu, menurut Satriwan, sempat terlaksana cukup baik pada era 2000-an awal yang masih merupakan masa transisi dari era Orde Baru menuju era demokrasi pasca-reformasi.

“Pada masa transisi itu bisa dibilang lebih bebas dan kebebasan itu yang kemudian diformalkan melalui Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 itu. Mau pakai seragam pendek boleh, panjang boleh, kerudung boleh. Di situ kami berharap (intoleransi) berakhir, tapi ternyata masih terus berulang,” kata dia.

Kasus terakhir yang mengemuka ke publik terjadi di Bantul, Yogyakarta, di mana seorang siswi depresi diduga karena dipaksa menggunakan jilbab.
Era 2000-an awal: Bebas memilih tanpa paksaan

Sejumlah eks siswi SMA pada era 2000-an awal bercerita bahwa pada masa itu, mereka dibebaskan memilih hendak menggunakan jilbab atau tidak.

Fanny Indriawati, 36, salah seorang di antaranya. Ia mengatakan bahwa pada saat itu tidak ada larangan maupun paksaan untuk menggunakan atribut keagamaan tertentu di sekolahnya.

“Dulu kalau yang berhijab pakai rok panjang, yang lain pakai rok span selutut dan baju lengan pendek,” kata Fanny yang bersekolah di salah satu SMA Negeri di Jakarta pada 2001-2004.

“Di sekolahku enggak ada (pemaksaan atau larangan), sekolah cuma kasih peraturan bahwa baju harus sopan, enggak boleh ketat. Enggak ada pelarangan untuk atribut keagamaan tertentu,” lanjut dia.

Hal serupa juga disampaikan oleh Fransiska Soraya, 37, yang dulunya bersekolah di salah satu SMA negeri di Bandung, Jawa Barat pada tahun 2000 hingga 2003.

“Tidak ada keharusan pakai atribut keagamaan, paling yang ada aturan standar seperti roknya jangan mini, baju jangan terlalu ketat,” ujar Soraya.

“Memang pada saat itu hijab belum se­-trend sekarang dan yang pakai masih segelintir orang, tapi ada teman-temanku yang pakai dan itu boleh, enggak diwajibkan juga enggak dilarang, enggak ada komentar semacam ‘oh sudah atau belum dapat hidayah ya’.”

Baik Soraya maupun Fanny mengatakan pada saat itu mereka juga tidak pernah mendengar ada kasus larangan atau pemaksaan menggunakan atribut keagamaan di lingkungan sekolah dan sekitar mereka.

Tetapi lain cerita bagi Yanurisa Ananta, 30, yang bersekolah di salah satu SMA Negeri di Bandung pada tahun 2006-2009.

Menurut Yanurisa, dari lima hari sekolah, dia dan teman-temannya diwajibkan untuk menggunakan baju panjang dan jilbab.

“Saya waktu itu enggak paham alasan disuruh seperti itu apa, tapi yang jelas buat saya itu bertentangan sama keinginan pribadi dan kebebasan berekspresi saya,” ujar Yanurisa.

Pernah dilarang berhijab di era Orde Baru

Sementara itu, aturan yang represif terkait penggunaan hijab juga pernah terjadi pada era Orde Baru.

Menurut Satriwan Salim, pemerintah Orde Baru “cenderung represif” terhadap penggunaan jilbab pada era-era 1970-an hingga 1980-an.

Dirjen Pendidikan dan Menengah Prof. Darji Darmodiharjo pernah mengeluarkan Surat Keputusan pada 17 Maret 1982 tentang Seragam Sekolah Nasional yang melarang jilbab di sekolah negeri.

Dikutip dari Detik.com, delapan siswi SMAN 3 Bandung pernah diancam akan dikeluarkan dari sekolah apabila tidak melepas jilbabnya.

Sedangkan di SMAN 68 Jakarta, seorang siswi bernama Siti Ratu Nasiratun Nisa dikeluarkan karena berjilbab.

“Jadi kalau memang ada imajinasi kembalikan seperti dulu, justru di era Orde Baru itu dilarang, sampai kemudian pada akhir 1990-an pemerintahan Soeharto lebih dekat dengan kelompok-kelompok agama.”

“Jadi polemik soal seragam seperti ini sebetulnya sudah menyejarah,” kata dia.

Bedanya, lanjut dia, pelarangan pada era Orde Baru dilakukan secara terstruktur atas nama negara, sedangkan saat ini dilakukan oleh aktor-aktor di pemerintah daerah hingga sekolah dan guru.

Mengapa pemaksaan masih terus terjadi?

Menurut Satriwan, Permendikbud 45/2014 yang masih berlaku sampai saat ini sebetulnya telah mengakomodasi kebebasan bagi siswa untuk memilih apakah hendak menggunakan seragam pendek, panjang, maupun berjilbab.

“Sebelumnya di era pasca-reformasi tapi sebelum tahun 2010 itu belum ada aturan detil terkait ini, makanya didetilkan melalui Permendikbud itu,” jelas Satriwan.

Namun pada praktiknya, banyak daerah-daerah yang kemudian membuat ketentuan sendiri dengan dalih kewenangan mereka berdasarkan otonomi daerah.

“Persoalannya sekarang ada pada pemda yang menggunakan pendekatan kekuasaan yang lain dengan dalih otonomi daerah tadi. Diatur lah soal itu, padahal sebetulnya sudah diatur berdasarkan Permendikbud, tapi daerah merasa dia memiliki kekuasaan,” jelas Satriwan.

Hal ini lah membuat aturan-aturan diskriminatif termasuk di bidang pendidikan muncul dan terus memicu kasus-kasus intoleran di sekolah.

“Ini mesti menjadi alarm bagi pemerintahan saat ini, karena seharusnya kasus intoleransi terkait seragam sudah berakhir, tapi toh ternyata tidak dan masih terus berulang,” kata dia.

‘Sekolah bukan arena intoleransi’

Satriwan mengatakan sekolah semestinya menjadi arena bagi para siswa untuk merayakan keberagaman. Tetapi aturan-aturan diskriminatif yang muncul di lapangan justru merepresentasikan sebaliknya.

“Kalau ini terus dibiarkan, sekolah bukan lagi jadi arena keberagamaan, tapi jadi arena intoleransi,” kata dia.

Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo yang mengatakan sekolah semestinya hanya sebatas mengedukasi para siswa akan kesadaran berpakaian sesuai ajaran agama.

“Bukan dengan peraturan yang memaksa seperti contohnya menggunakan seragam berkerudung, sampai-sampai yang bukan Muslim pun dipaksa, tetapi seharusnya lebih mengedukasi agar kesadaran mereka tumbuh sendiri,” ujar Heru. (*)

Tags : Pendidikan, Anak-anak, Agama, Seruan Sekolah Negeri Kembali Seperti Dulu,