MENJADI pekerja di tambang minyak dan gas (Migas) memang bukan pekerjaan biasa, dan tentu tidaklah mudah.
Siap dan waspada setiap hari harus selalu dilakukan oleh Marlan Tambunan (66), salah satu mantan pekerja di PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) hingga dirubah menjadi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
Perusahaan ini beroperasi sejak 1924, yakni 97 tahun untuk di Riau dan mengoperasikan lapangan minyak dan gas bumi (migas) di daratan Riau. Area operasinya di Wilayah Kerja Rokan. Oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) kini resmi mengelola Wilayah Kerja Rokan ini sejak pada hari Senin 9 Agustus 2021 lalu.
"Saya sudah 20 tahun bekerja di sini, masuk dari zaman masih dipegang oleh CPI dan kemudian sekarang diambil alih Pertamina," kata Marlan Tambunan yang lahir di Medan, Sumatera Utara (Sumut) ini dalam bincang-bincangnya, Rabu 13 April 2022 kemarin.
Ia mengungkapkan, dirinya menikmati bekerja di wilayah Rokan yang termasuk (Duri, Minas dan Dumai) itu, apalagi bekerja di Riau daratan, tempatnya bertugas, diakuinya, terasa berat ketika rindu melanda.
Hadapi hidup dengan sabar
Ia bekerja dibagian teknis pengeboran, terkadang hanya diberi waktu sehari pulang kerumah dalam sebulan, hal serupa pun dialami oleh rekan-rekan sejawatnya. Hanya saja, memang kisah pekerja pengebor migas ini tidak seseram seperti film horor.
"Terkadang kami diberi waktu 1 hari di rumah, selebihnya bekerja dilapangan hingga ditemukan minyak di perut bumi. Ini normal sih, dan lumayan banget buat pulang ketemu keluarga, atau urus-urus segala macam, ke bank, ke kelurahan, dan sebagainya. Enaknya orang lain kerja, kita libur," cerita Marlan.
Berterimakasihlah pada teknologi dan akses internet yang menjadi penolong. Teknologi membuat mereka yang jauh terasa dekat. Marlan bercerita, salah satu hiburan yang bisa dia dapatkan ketika berada dilapangan ya akses internet tadi.
"Untung perusahaan (asal AS) itu baik, jadi kami dikasih akses internet buat komunikasi dengan keluarga, teman, ya bersosialisasi dengan yang daerah lain lah," tuturnya dengan masih kental logat Batak.
Lokasi tempatnya bekerja juga menjadi salah satu faktor, masih terjangkaunya sinyal 4G dan internet. Namun, untuk teman-temannya yang tidak terjangkau sinyal, biasanya perusahaan akan menyediakan akses internet.
"Kalau mau makan, kami itu komplit sebenarnya, seperti di hotel lah, kami sebut itu tim catering dan housekeeping."
"Semua sudah disediakan juga. Jadi enaknya ya begitu, kerjanya gampang, bangun tidur enggak perlu macet-macetan di kota bisa langsung kerja, makan juga sudah ada. Begitu juga soal perumahan untuk tempat tinggal," ucapnya.
Deg-degan setiap hari
Berkutat dengan migas setiap hari bukanlah perkara mudah. Perlu kewaspadaan dan kehati-hatian agar tidak lalai dalam bekerja. Sebab, lanjut Marlan, risikonya tinggi bila lalai.
"Kalau ada kebocoran, itu sangat berbahaya karena implikasinya kan bisa kebakaran dan ledakan. Ya kebocoran sih ada, pernah terjadi, tapi syukurnya tidak fatal, masih bisa kami tutup bocornya," kenang Marlan.
Namun, bukan hanya risiko kebocoran, kebakaran, dan ledakan saja. Risiko lainnya juga datang dari luar wilayah kerja, misalnya kalau ada pesawat jatuh lalu menimpa wilayah kerja, atau kapal yang lepas kendali dan kemungkinan menabrak, tak terlepas juga potensi dan gempa.
"Ketika ada gempa yang sangat terasa getarannya."
"Kalau gempa sih terasa juga, pernah kerasa itu lagi tidur terus gempa, karena kami posisi platformnya itu kan dikasih kaki ya, jadi goyangnya kerasa banget," tuturnya.
"Jadi memang selalu deg-degan, selalu awas, tapi ya dinikmati saja," katanya.
Sudah tahu berisiko tinggi, tetapi kenapa Marlan masih mau kerja di Migas?
Jawabannya untuk keluarga. Kerja di migas, kata Marlan, pastilah memiliki penghasilan yang lebih tinggi, kira-kira tunjangannya bisa 50% dari gaji pokok.
"Tingkat penghasilannya lumayan tinggi, bisa buat keluarga," imbuhnya.
Tetapi selain itu, memang gaya kerjanya saya juga cocok, suka juga, walaupun bukan kerja kantoran. Di samping itu, sosialisasi juga masih bisa dilakukan, jadi silaturahmi tidak terputus.
Resiko yang mengancam
Walaupun Marlan Tambunan kini sudah pensiun dari pekerjaan Migas ini, Ia masih ingat berbagai kenangan yang dilalui selama 20 tahun di CPI. Pekerja minyak bagi kebanyakan orang, ada dua pekerjaan paling menjanjikan kebahagiaan.
Pertama adalah bekerja di pertambangan dan yang kedua adalah perminyakan. Bisa mendapatkan salah satu pekerjaan ini, maka jaminannya adalah surga, maksudnya bisa hidup foya-foya. Kenapa bisa seperti ini? Tentu saja karena gajinya yang nggak umum alias saking banyaknya.
"Masa CPI masih memberlakukan mata dolar, gaji bisa ratusan juta rupiah, lain dari gaji pokok ketika sumur bor berhasil ditemukan minyak ada memperoleh tunjangan dana," kenangnya.
Menurutnya, pertambangan mungkin ada yang biasa-biasa, tapi kalau perminyakan ini hampir semuanya selalu menjanjikan kebahagiaan.
"Apalagi kalau bisa bekerja di perusahaan asing, kita bakal digaji dengan nominal yang benar-benar tak karuan. Tetapi bekerja juga tidak mengenal waktu. Jadi pekerja minyak memang menyenangkan, di sisi lain ada banyak penderitaan yang dialami. Bukan derita-derita biasa melainkan yang sangat menyiksa serta berisiko tinggi," cerita Marlan.
Serius, tak banyak orang yang bakal sanggup menjalani penderitaan para pekerja minyak. Bahkan kalau mentalnya benar-benar lemah, sehari saja pasti sudah akan resign alias mengundurkan diri.
Lalu, seperti apa penderitaan berat yang dimaksud?
Marlan menceritakan kerjanya lebih berat dari kuli. Ketika memilih bekerja sebagai karyawan minyak, maka artinya kita harus siap untuk peras keringat banting tulang.
Alasannya tak lain karena mengangkut minyak dari perut Bumi tidak semudah seperti apa yang kita pikir. "Setiap hari kita akan bergelut dengan pekerjaan fisik yang melelahkan. Apalagi kalau eksplorasi baru, kerja harus benar-benar ekstra keras," sebutnya.
Tak ada posisi nyaman di migas. Bahkan ketika menjadi seorang atasan pun beban kerjanya malah besar. Harus memikirkan analisa, biaya, serta tanggung jawab. Belum lagi kalau ada yang salah, misalnya bocor dan lain sebagainya. "Waduh, urusannya tak lagi personal, melainkan polisi dan juga instansi," ujarnya.
Setiap pekerjaan memang punya risikonya sendiri, kata Marlan lagi.
Tapi, kalau bicara tentang mana yang lebih berat, tentu saja perminyakan masuk ke dalamnya. Pekerjaan menggali minyak di kedalaman Bumi bukanlah persoalan mudah. Ada bahaya besar di sana. Bahkan bisa saja taruhannya nyawa.
Misalnya saja kebakaran, hal ini bukan tidak mungkin tak terjadi. Dan kalau sudah kejadian, benar-benar susah dipadamkan. Belum lagi soal gas-gas beracun saat pengoperasian. "Setiap kali melakukan pengeboran pasti akan keluar gas Bumi bernama H2S. Ini sangat mematikan, bahkan ketika tak sengaja terhirup.
Begitupun saat melakukan pengeboran hinnga 2,5 kilometer hingga 5 kilometer dimana terganjal adanya batu-batu di perut bumi, cairan air yang panas hingga 1000 derejat celcius disemprotkan. "Ini cukup beresiko tinggi jika terkena cairan ataupun uap nya saja bisa mengakibatkan kematian," sebutnya menjelaskan.
Berpisah dari keluarga selama berbulan-bulan
Memilih pekerjaan sebagai karyawan minyak, itu artinya harus siap pergi dari rumah. "Ya, namanya saja pegawai perminyakan, tempat kerjanya pasti di kilang-kilang minyak yang notabene akan sangat jauh dari rumah," sambung Marlan.
Bahkan beberapa tempat posisinya sangat terpencil dan cukup jauh dari peradaban. Bekerja sebagai karyawan perusahaan minyak juga berarti kita takkan bisa pulang terlalu sering.
"Jangankan seminggu sekali, sebulan saja belum tentu. Bahkan kalau sedang dalam masa produksi atau pembukaan kilang baru, bisa sampai lebaran depan baru pulang. Kadang tempat kerja juga tidak mendukung sinyal, sehingga komunikasi pun hilang. Bayangkan rasanya. Seperti tak memiliki keluarga lagi," kata Marlan yang mengakui hingga kini Ia tak memiliki keturunan (anak)
Memang benar kalau bekerja di kilang minyak itu gajinya luar biasa. Tapi, hal tersebut tergantung dari posisi yang kita ambil. Di dunia kerja perminyakan itu ada namanya level atau grade. Nah, tiap level ini pendapatannya berbeda.
Level pertama adalah yang paling rendah dengan gaji setara UMR atau lebih rendah. Kalau yang setingkat sarjana, biasanya ada di level 7 dengan kisaran gaji 5-7 juta atau bisa lebih rendah tergantung dari kebijakan perusahaan. Tidak selalu kerja di perminyakan itu banyak duit. Tergantung ia bekerja di posisi yang mana.
Bekerja di perminyakan itu tidak semudah yang kita pikir. Sangat susah, bahkan mungkin lebih sulit dari PNS sekalipun. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mengenakan wearpack plus helm proyek dan berjibaku dengan minyak-minyak mentah.
Beberapa syarat ini misalnya adalah tingkat pendidikan, lalu sehat jasmani-rohani, dan lolos dari berbagai tesnya yang super rumit. Tak hanya itu, calon pekerja juga kadang diwajibkan mempunyai banyak sertifikat pendukung mulai dari Drilling Certificate, BST atau Basic Safety Training, sampai HUET alias Helicopter Underwater Escape Training.
"Benar-benar tidak main-main untuk bisa menjadi seorang pekerja minyak."
"Seperti inilah penderitaan para karyawan perusahaan perminyakan. Meskipun gajinya begitu besar, tapi benar-benar setara dengan pengorbanan yang dilakukan," ungkapnya.
"Tak hanya soal risiko yang bisa membunuh, tapi juga beratnya berpisah dengan keluarga. Bayangkan, berbulan-bulan harus berpisah dengan keluarga, tentu tidak nyaman. Apalagi kalau sudah menikah dan punya anak, waduh rasanya pasti bakal tak karuan," kenangnya.
Jadi menyimak beberapa manfaat sumber daya energi dari minyak dan gas bumi dalam kehidupan sehari-hari maka ada beberapa jenis yang dihasilkan setelah melalui proses produksi seperti minyak bensin, premium, pertalix, pertamax, aftur, minyak tanah dan minyak solar memberikan solusi terkait dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan masyarakat umum. (*)
Tags : 20 Tahun Bekerja di Minyak dan Gas, Marlan Tambunan Bekerja di Migas Riau, Dibalik Gaji Besar di Migas Memiliki Resiko Tinggi, Artikel,