Mulai tahun 2026, penyelenggaraan haji RI tak lagi di bawah kendali Kemenag.
JAKARTA -- Kepala Badan Penyelenggara (BP) Haji Mochammad Irfan Yusuf mengungkapkan sejumlah poin pembicaraannya dengan otoritas penyelenggara haji dan umrah Kerajaan Arab Saudi. Salah satunya berkaitan dengan haji furoda.
Menurut dia, Saudi memberikan sinyal bahwa Kerajaan tidak akan lagi menerbitkan visa haji furoda untuk Indonesia.
Karena itu, dalam revisi atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah tidak ada pembahasan spesifik mengenai haji furoda.
Yang ada ialah haji dengan non-visa reguler dengan tujuan perlindungan atas jamaah haji RI selama di Tanah Suci.
"Kalau yang disampaikan ke kami oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, kemungkinan enggak ada lagi haji furoda, tapi kan masih dinamik sekali," kata sosok yang akrab disapa Gus Irfan itu kepada Republika di kampus Universitas YARSI, Jakarta, Rabu (30/7).
Apakah ketiadaan visa haji furoda berarti kemungkinan haji jalur undangan juga batal?
Menurut Gus Irfan, kemungkinan masih ada haji jalur undangan Kerajaan. Namun, hal itu pun bila ada jamaah haji RI yang berangkat ke Tanah Suci dengan jalur undangan tersebut.
Sebagai pelaksana penyelenggaraan haji mulai tahun 1447 H/2026 M, BP Haji berharap dapat memiliki basis data sehingga mengetahui siapa saja WNI yang berangkat dan melalui jalur apa keberangkatannya.
Lebih penting lagi, perlu adanya sinkronisasi data.
Sebagai contoh, data jamaah umrah RI. Jumlah yang dicatat di Indonesia mencapai sekitar 1,4 juta orang per tahun. Namun, dalam catatan Arab Saudi, ada 1,8 juta jamaah umrah Indonesia.
"Jadi ada 400 ribu (jamaah umroh) yang kita enggak tahu keberangkatan dari mana. Kalau terjadi sesuatu di sana (Arab Saudi), tentu yang dihubungi pertama itu pemerintah RI, maksudnya Kedutaan (Besar Indonesia) di sana. Sementara, kita enggak punya datanya," ujar Gus Irfan.
Sebelumnya, dalam musim haji 1446 H/2025 M, visa haji furoda menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Banyak warga negara Indonesia (WNI) yang ketika itu mengandalkan visa tersebut terpaksa tidak jadi berangkat ke Tanah Suci. Sebab, hingga batas akhir penerbitan visa haji oleh Pemerintah Arab Saudi, visa furoda tak kunjung terbit.
Pada dasarnya, ada dua jenis visa terkait haji, yakni visa kuota dan visa non-kuota.
Yang pertama itu sering kali disebut "kuota Kementerian Agama (Kemenag)" karena memang dikeluarkan oleh Kerajaan Arab Saudi untuk WNI yang mendaftar haji reguler, yang diselenggarakan pemerintah RI.
Dalam hal ini, Kemenag RI, baik pada 1446 H maupun musim-musim haji sebelumnya, memanfaatkan kuota haji resmi yang diberikan Arab Saudi untuk Indonesia.
Sebaliknya, visa non-kuota diterbitkan oleh Pemerintah Arab Saudi atas dasar undangan resmi dari pejabat setempat kepada WNI tertentu. Visa ini pun dikenal luas sebagai visa mujamalah.
Belakangan, menurut mantan menteri agama RI Lukman Hakim Saifuddin (LHS), muncul praktik-praktik penyalahgunaan visa mujamalah. Sebagiannya diterbitkan tanpa dukungan fasilitas.
Bahkan, visa mujamalah kemudian dijual bebas dan diberi nama visa furoda. Istilah ini, menurut LHS, sesungguhnya tidak dikenal secara resmi oleh Pemerintah Arab Saudi.
Pengurusan visa furoda ditangani pihak ketiga, yakni penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) di Tanah Air.
"Dari sinilah muncul 'perdagangan' visa furoda dengan tarif bervariasi, dari ratusan juta (rupiah) hingga mendekati miliaran rupiah. Ini dengan iming-iming awal dapat berhaji tanpa perlu menunggu antrean bertahun-tahun," kata LHS.
Berbeda dengan visa mujamalah yang dikeluarkan pejabat Kerajaan Arab Saudi sebagai undangan resmi kepada WNI; sumber visa furoda cenderung 'kabur' alias tidak jelas.
Bahkan, LHS mengatakan, pemerintah RI sama sekali tak mengetahui siapa pihak pengundang dan siapa saja WNI yang diundang, serta berapa jumlah visanya.
"Namun, giliran ada masalah terkait WNI yang berhaji dengan visa jenis ini, pemerintah (RI) kebagian repotnya. Ini karena pemerintah RI harus bertanggung jawab atas perlindungan setiap WNI yang berada di dalam negeri maupun luar negeri," jelas LHS.
Sebelumnya, BP Haji menyatakan siap mengambil alih sepenuhnya pelaksanaan ibadah haji mulai tahun 1447 H/2026 M.
"Insya Allah, kami sudah sangat siap. Karena pada tahun 2025, musim haji kemarin, kita berfungsi memberikan dukungan sekaligus pengawasan pelaksanaan haji. Di situlah kita belajar sekaligus menyiapkan diri untuk pelaksanaan haji 2026," ujar Kepala BP Haji Irfan Yusuf Hasyim yang akrab disapa Gus Irfan ini, Selasa (29/7).
Ia menegaskan, kesiapan itu sudah dibangun sejak musim haji tahun ini, ketika lembaganya berperan sebagai pengawas dan sekaligus pendukung teknis.
Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir, Gus Irfan mengaku selalu membahas berbagai prosedur standar operasional (standard operating procedure/SOP) yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji.
"Dan insya Allah, kami akan siap. Tinggal menunggu peralihan tongkat komando, itu saja," ucap cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari ini.
Walaupun secara operasional siap, menurut Gus Irfan, BP Haji masih menunggu revisi atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Beleid ini nantinya menjadi dasar bagi BP Haji untuk menjalankan fungsinya secara penuh dan legal.
"Sambil menunggu, kami menyiapkan. Artinya, semua sudah kami siapkan dan tiap hari kami selalu menyiapkan ini," ujarnya.
"Tentu saja, koordinasi dengan banyak pihak, termasuk dengan pihak Kemenag (Kementerian Agama RI) yang hari-hari ini sedang ada rapat evaluasi," tambah Gus Irfan.
Menurut dia, komunikasi dengan Kemenag RI penting terjalin agar peralihan kendali atas penyelenggaraan haji dapat berlangsung dengan baik. BP Haji juga nantinya dapat menggunakan infrastruktur yang ada hingga tingkat kabupaten/kota.
Gus Irfan mengatakan, asrama haji di daerah-daerah bisa digunakan sebagai kantor BP Haji level provinsi. Adapun gedung pelayanan haji dan umrah terpadu (PLHUT) di tingkat kabupaten/kota akan langsung bertransformasi menjadi bagian dari BP Haji daerah.
"Semua akan jadi bagian dari Badan Penyelenggara Haji. Artinya, infrastruktur sampai ke daerah sudah siap semuanya. Tinggal menunggu selesainya Revisi UU Haji ini," jelas Gus Irfan. (*)
Tags : bp haji, haji 2025, haji 2026, penyelenggaraan haji 2026, kementerian agama, kemenag, visa furoda haji furoda,