Linkungan   2023/11/23 12:6 WIB

Setengah dari Populasi Dunia 'Terganggu Kesehatanya' Akibat Penyakit, 'Disebabkan Minimnya Toilet Layak yang Bisa Ancam Jutaan Nyawa'

 Setengah dari Populasi Dunia 'Terganggu Kesehatanya' Akibat Penyakit, 'Disebabkan Minimnya Toilet Layak yang Bisa Ancam Jutaan Nyawa'
Ilustrasi fasilitas toilet umum

LINGKUNGAN - Setengah dari populasi dunia berisiko meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh minimnya toilet yang layak, menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sanitasi yang buruk kemungkinan besar dapat mencemari air minum, sehingga menyebabkan berkembangnya kolera dan penyakit mematikan lainnya.

Meskipun beberapa negara seperti India dan Indonesia telah berhasil meningkatkan kualitas sanitasinya, muncul tanda-tanda bahwa perubahan iklim turut menambah tantangan lebih lanjut untuk menyediakan toilet yang layak.

19 November adalah Hari Toilet Sedunia, yang ditetapkan oleh PBB dan diperingati sejak 2013 untuk menyoroti krisis sanitasi global.

Pada 2023, Unicef memperkirakan bahwa sekitar 400.000 balita meninggal dunia setiap tahunnya akibat penyakit yang disebabkan oleh air minum yang tidak aman, sanitasi dan kebersihan. Terdapat sekitar 1.000 kasus per hari, dan kasus-kasus ini sebenarnya bisa dicegah.

Kurangnya fasilitas toilet dasar juga meningkatkan risiko kekerasan seksual dan menyebabkan perempuan merasa malu saat menstruasi.

Ini membuat sekitar separuh remaja perempuan di seluruh Afrika putus sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan mereka.

"Isu ini bukanlah isu yang sangat seksi, untuk bisa berprogres, stigma seputar sanitasi perlu dihapus, dan sanitasi perlu diakui sebagai layanan masyarkat yang sangat mendasar yang kita andalkan demi kesehatan kita setiap hari,” kata Pakar Sanitasi dan Limbah di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Kate Medlicott.

Menurut PBB, Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara dan Oseania adalah wilayah yang menghadapi tantangan sanitasi terbesar.

Buang air besar sembarangan

Jumlah orang yang buang air besar sembarangan di seluruh dunia telah menurun lebih dari dua pertiganya selama dua dekade terakhir.

Namun menurut laporan WHO/Unicef, buang air besar sembarangan masih merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia bagi sekitar 419 juta orang di dunia.

Di Nigeria, negara dengan populasi terbesar di Afrika, 23% dari populasinya atau sekitar 46 juta orang, masih buang air besar sembarangan. Ini adalah salah satu angka tertinggi di dunia.

“Karena jumlahnya yang sangat buruk, penghentian buang air besar sembarangan di Nigeria menjadi isu yang terkait martabat nasional,” kata Kolawole Banwo, Kepala Program di WaterAid Nigeria, sebuah LSM internasional.

Akibat sekitar 95 juta warga Nigertia tidak memiliki akses terhadap layanan sanitasi dasar, negara ini sedang berjuang melawan wabah kolera.

Di banyak negara lain, penyebaran kolera melalui air telah dieliminasi melalui sistem pengolahan air dan limbah.

Dalam wabah kolera terbaru di Nigeria pada Januari 2023, hampir 400 orang meninggal dunia di Negara Bagian Borno.

Nigeria telah menetapkan target untuk mengakhiri praktik buang air besar sembarangan pada tahun 2025. Menurut Unicef, perlu dibangun sekitar 3,9 juta toilet demi mencapai tujuan tersebut secara tepat waktu.

Pada Oktober 2022, Negara Bagian Jigawa menjadi yang pertama bebas dari praktik buang air besar sembarangan di Nigeria.

Meskipun lembaga-lembaga internasional menyuarakan krisis sanitasi, mereka juga melaporkan bahwa akses terhadap toilet di dunia sebenarnya semakin membaik.

Sejak tahun 2000, sebanyak 2,5 miliar orang telah mengakses sanitasi yang layak.

Saat ini, Nigeria menjadi negara dengan jumlah penduduk yang membuang air besar sembarangan terbanyak. Namun kurang dari satu dekade lalu, India lah yang menempati posisi tersebut.

Pemerintah India berhasil menurunkan tren tersebut.

Pada tahun 2014, India berkontribusi pada 90% dari total penduduk Asia Selatan serta setengah dari 1,2 miliar penduduk dunia yang buang air besar sembarangan.

Sekitar seperlima sekolah di India tidak memiliki toilet khusus anak perempuan pada saat itu.

Kampanye pembangunan toilet besar-besaran pun diluncurkan, yang diyakini sebagai kampanye terbesar di dunia. Hasilnya, sekitar 110 juta toilet dibangun untuk 600 juta orang selama 60 bulan.

Meskipun pemerintah India telah mendeklarasikan “berakhirnya praktik buang air besar sembarangan di daerah pedesaan” pada 2019. Unicef memperluas sasaran dari pemberantasan prakitik ini dan mengatakan masih ada pekerjaan rumah yang tersisa.

Krisis kesehatan

Mengakhiri kebiasaan membuang air besar sembarangan hanyalah salah satu dari sejumlah langkah awal yang dilakukan di Bangladesh.

Negara itu mendeklarasikan berakhirnya kebiasaan buang air besar sembarangan pada 2015, ketika hanya kurang dari setengah dari 169 juta penduduknya yang memiliki akses terhadap sanitasi yang dikelola dengan aman dan layak.

“[Angka] buang air besar sembarangan itu sudah minim, kurang dari satu persen, namun kami masih tertinggal soal sanitasi yang dikelola dengan layak,” kata Direktur WaterAid Bangladesh, Hasin Jahan.

Berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, Bangladesh berjanji untuk bisa mencapai akses terhadap sanitasi dan kebersihan yang memadai bagi semua orang pada 2030. Namun upaya tersebut harus dibarengi dengan pengentasan kemiskinan.

Di ibu kota Dhaka saja, sebanyak 4,4 juta jiwa atau sekitar seperlima penduduk kota tersebut, tinggal di kawasan kumuh.

“Masih ada keluarga yang berbagi jamban, yang dirasa tidak aman, dan tidak bisa membangun toilet mereka sendiri karena terbatasnya ruang yang ada,” jelas Jahan.

Solusi

Mengapa upaya untuk menemukan solusi-solusinya semakin kompleks?

Meskipun krisis sanitasi tampak berskala besar, solusinya terlihat sederhana: membangun lebih banyak toilet dan sistem pembuangan limbah di seluruh dunia, yang semestinya bisa mengurangi krisis tersebut.

“Nyatanya, itu hanya sebagian kecil dari solusinya,” kata Ann Thomas dari Unicef.

Ada faktor-faktor lainnya yang turut berperan, seperti urbanisasi dan dampak perubahan iklim. Angin kencang dan banjir kian mempersulit pencarian solusi.

“Pendekatan tanpa saluran pembuangan air limbah yang digunakan di seluruh dunia telah meningkat jumlahnya demi menghadapi tantangan seperti perubahan iklim,” kata Ann.

Toilet tanpa saluran pembuangan limbah

Sistem tanpa saluran pembuangan memungkinkan limbah dikelola dengan aman.

Solusi alternatifnya adalah toilet berteknologi tinggi yang mengolah limbah dan dapat berfungsi tanpa sambungan ke saluran pembuangan limbah, atau toilet yang ditenagai oleh energi surya.

Berbeda dengan sistem tradisional yang menggunakan pipa, pendekatan tanpa saluran memerlukan air lebih sedikit, bahkan tidak sama sekali.

Satu dari tiga anak, atau 739 juta orang di seluruh dunia, sudah tinggal di wilayah yang mengalami kelangkaan air tinggi bahkan sangat tinggi.

Menurut laporan terbaru Unicef, ancaman perubahan iklim dapat membuat situasi ini menjadi lebih buruk.

Untuk saat ini, toilet tanpa air mungkin masih menjadi solusi yang mahal bagi banyak tempat di dunia yang kekurangan pasokan air.

Namun para pakar mengatakan bahwa dengan kian ekstremnya perubahan iklim, pengembangan dari teknologi semacam ini akan diprioritaskan.

Apalagi, perubahan iklim dapat memengaruhi negara-negara miskin maupun negara-negara kaya. (*)

Tags : Toilet, Toilet yang Layak, Limbah Air Besar, Lingkungan, Penyakit Akibat Limbah Toilet, Limbah Toilet Ancam Jutaan Nyawa,