PENDIDIKAN - Peraturan wajib jilbab yang "sewenang-wenang dan diskriminatif" di sejumlah sekolah negeri di Indonesia telah menyebabkan tekanan psikologis bagi siswi dan guru perempuan yang menolaknya, demikian laporan organisasi Human Rights Watch (HRW).
Bahkan ada beberapa korban — di antaranya ada yang beragama Islam — dilaporkan mengalami depresi dan berusaha bunuh diri setelah mendapat tekanan keluarga dan lingkungan.
Dalam laporan setebal 150 halaman, berjudul 'Aku ingin lari jauh': Ketidakadilan aturan berpakaian bagi perempuan di Indonesia, yang diliris Kamis (18/03), HRW mendokumentasikan para siswi dan guru perempuan di beberapa kota di Indonesia yang menolak berjilbab telah mengalami perundungan yang meluas.
"Anak yang tidak patuh dengan jilbab dipaksa keluar sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan," kata Elaine Pearson dari HRW, Kamis.
"Sementara pegawai negeri perempuan kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri untuk menghindari tuntutan terus-menerus memakai jilbab."
Laporan ini diterbitkan hampir sebulan setelah pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang melarang aturan busana sekolah, menyusul protes siswi Kristen yang dipaksa berjilbab di sebuah sekolah negeri di kota Padang.
"Pemerintahan Jokowi harus memegang teguh dan menegakkan SKB Tiga Menteri ini yang melarang pemaksaan jilbab, dan kemudian melangkah lebih jauh dengan mengakhiri semua peraturan yang diskriminasi gender di sekolah atau tempat kerja," kata Elaine Pearson.
Sejak 2014 hingga tahun ini, HRW melakukan wawancara antara lain 140 siswi, guru perempuan di beberapa sekolah negeri di kota di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang sebagian besar mengalami tekanan psikologi, bahkan dilaporkan ada yang berusaha bunuh diri.
Laporan ini juga merekam kasus remaja dan perempuan yang mengalami body dysmorphic disorder — gangguan psikologis dengan perasaan merasa kurang pada penampilan diri akibat perundungan dan intimidasi terus-menerus.
"Peraturan-peraturan ini merupakan serangan atas hak dasar kebebasan beragama, berekspresi, dan privasi," kata Andreas Harsono dari HRW Indonesia.
Aturan busana yang dianggap diskriminatif itu juga disebutnya sebagai serangan atas kemampuan perempuan memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial.
Menurut Andreas, tidak semua korban diskriminasi aturan busana ini menyatakan siap apabila jati dirinya diungkap dalam laporan HRW.
"Sebagian korban takut, trauma," katanya.
Puluhan kasus dengan narasi mencekam
Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog dan dosen yang juga responden HRW mengatakan ia banyak menangani kasus perempuan yang mengalami kecemasan karena dipaksa pakai jilbab oleh lingkungannya.
"Banyak kasus yang saya tangani beragam, terkait pemaksaan jilbab, ada 37 kasus dengan usia beragam. Umummya, mereka memiliki gejala yang mirip terutama pada perempuan Muslim yaitu kecemasan yang tinggi, karena penilaian sosial negatif," kata Ifa.
Penilaian negatif itu, tambahnya adalah, bahwa "mereka tak punya moral yang baik, solehah, hanya karena mereka memilih untuk tidak memakai jilbab."
"Narasinya mencekam yang diselimuti oleh tafsir agama yang membuat perasaan menakutkan bagi banyak anak perempuan Muslim adalah perempuan Muslim yang tidak menggunakan jilbab itu berdosa sehingga akan masuk neraka," tambahnya.
Ia juga mengatakan mereka yang mengalami kondisi seperti ini "perlu saling berbagi pengalaman" sehingga tidak merasa sendiri, dan bisa saling mendukung.
Ifa juga mengatakan yang ia sering katakan kepada pasien-pasiennya dan kepada perempuan yang mengalami keadaan ini adalah "Beranilah jadi diri sendiri."
"Kalian tak perlu menjadi apa yang orang lain katakan kepada kita. Tak ada yang bisa merendahkan. Jadilah diri sendiri," kata Ifa.
Berikut kesaksian dua orang korban dan satu orang yang merekam kasus-kasus perundungan dialami beberapa korban seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (17/03):
'Saya lepas jilbab, karena ini tubuh saya sendiri' — Kisah Nadya Karima Melati
"Hei, jilbabnya mana!" Ucapan sang guru saat dirinya menjadi siswa SMA Negeri II di Cibinong, Kabupaten Bogor, terus membekas — hingga kini, 10 tahun kemudian.
Saat itu, Nadya Karima Melati, kelahiran 1994, mengaku dirinya sudah mempertanyakan mengapa perempuan harus menutup rambutnya dengan sehelai kain. Itulah sebabnya, dia kemudian beberapa kali melepas jilbabnya saat di lingkungan sekolah.
Lalu, "Hei, jilbabnya mana! Itu [guru] sambil nunjuk-nunjuk [ke muka saya],"Nadya — panggilan akrabnya — menghela napas panjang.
"Itu selalu diulang-ulang dan dijadikan alat untuk mendisplinkan murid perempuan di sekolah," ungkapnya, Rabu (17/03) malam, melalui zoom.
Nadya, yang beragama Islam, mengaku dirinya "dijebak" dengan aturan yang tidak tertulis di sekolahnya yang mengharuskan siswa perempuan harus berjilbab.
"Kata-kata 'jilbabnya mana', itu benar-benar jadi alat untuk mendisiplinkan tubuh dan mengunci perempuan dalam ruangnya yang akhirnya membuat dia tidak bisa kemana-mana," kata Nadya.
Karena tidak suka dan tidak pernah menerima 'kewajiban' berjilbab di sekolah, Nadya acap mencopotnya di lingkungan sekolah. Ketika didamprat gurunya, barulah dia memakainya lagi.
"Dan ketika aku ke luar pintu gerbang [saat pulang sekolah], aku buka lagi," kali ini dia seraya tertawa.
Dia memang menolak mengenakan jilbab, tapi saat itu dia tidak mampu menghadapi tekanan pihak sekolah, keluarga dan teman-temannya yang berjilbab.
Nadya kemudian teringat ucapan teman-temannya saat dia melepas jilbabnya karena kegerahan, "Eh, jangan dibuka, auratnya nanti dilihat cowok..."
Belum lagi, apa yang disebutnya sebagai "sistem penilaian" terkait perilaku siswa yang melepas jilbab.
"Aku merasa kalau lepas jilbab, berarti aku melanggar peraturan sekolah, karena ada poin [nilai], berarti aku dianggap anak bandel."
Dan, "kalau aku jadi bandel, nanti kalau nilaiku berapa pun, tidak akan ngefek, karena di rapor akan ditulis bahwa moralku buruk."
Dia menyebut keterpaksaannya mengenakan jilbab di masa SMA itu sebagai "konformitas".
Itu dilakukannya karena itu satu-satunya "cara untuk diterima masyarakat" yang mewajibkan jilbab.
Namun, tekanan masyarakat tentang 'kewajiban jilbab' terus menghantuinya, hingga dia memasuki bangku kuliah di jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
"Puncak depresinya ketika akhir semester, ketika aku memutuskan melepas jilbab," ujarnya. "Dan itu guncangan besar, karena aku betul-betul dikucilkan lingkungan."
Kepada tim peneliti HRW, Nadya mengaku dirinya pada masa itu "harus bolak-balik ke psikolog-psikiater" karena "percobaan bunuh diri" karena ditekan dan diintimidasi akibat membuka jilbab
Toh Nadya terus melawan. Di akhir masa kuliahnya, dia "sengaja" mengambil kajian tentang Islamologi untuk skripsinya. Pilihan intelektual ini ditempuhnya "demi melawan argumentasi jilbab adalah suatu yang wajib."
"Kita harus memberi pemahaman, bahwa kalau lepas jilbab dan perempuan memiliki tubuhnya sendiri, itu tidak apa-apa.
"Kalau kamu kelihatan rambutmu, kamu tetap jadi perempuan, dan tidak ada kategori antara perempuan baik dan tidak baik-baik. Semua perempuan adalah manusia," tandas Nadya.
'Anak saya diminta pakai jilbab, karena rambut bisa timbulkan hasrat seksual'
Di sebuah kota di pulau Jawa, seorang ibu yang putrinya mengalami perundungan akibat didiskriminasi lantaran menolak berjilbab seperti dituntut sekolahnya, meminta agar jati dirinya dan anaknya disembunyikan.
Di awal wawancara, Rina — bukan nama sebenarnya — menyebut dirinya Muslim, tapi memilih tidak berjilbab, meski dulu sempat mengenakannya.
Kemudian dia menggarisbawahi bahwa dia dan suaminya tidak pernah memaksa "anaknya mengenakan jilbab atau melarang mengenakan jilbab".
Mengenakan jilbab adalah pilihan, sebagaimana dia memahami agamanya, ujarnya.
"Ini sekaligus agar anak kami bisa belajar untuk punya pilihan, dan bisa ambil keputusan menyangkut dirinya," katanya.
Dia kemudian menyebut apa yang disebutnya prinsip bahwa jilbab tidak boleh dilarang dan sebaliknya jilbab tidak boleh dipaksakan.
Dari cara pandang seperti ini, Rina bisa memahami ketika anaknya mau melepas jilbab ketika mau melanjutkan ke sebuah SMP negeri — setelah sebelumnya mengenakannya.
Namun di sinilah awal masalah timbul. Guru agama di SMP negeri itu mendorong putrinya agar mengenakan jilbab.
"Teman-temannya juga mulai bertanya 'kenapa kamu tidak pakai jilbab'"? Ungkapnya. Situasi ini kemudian membuat anaknya "tidak nyaman".
Rina dan suaminya kemudian menemui kepala sekolahnya dan memperoleh kepastian bahwa mengenakan jilbab bukanlah kewajiban. "Tetapi disarankan memakai jilbab."
Akhirnya dicapai kompromi: Putrinya hanya mengenakan jilbab pada saat pelajaran agama. Rina dan anaknya sepakat.
Tetapi sang guru agama tetap gencar menyatakan 'dosa kalau perempuan tidak menutup aurat'. Rina menyebut hal ini berlangsung terus-menerus hingga anaknya naik kelas dua.
Suatu saat anaknya mencurahkan isi hatinya kepada sang ibu, setelah gurunya menyebut "rambut bisa menimbulkan hasrat seksual" sehingga mengenakan jilbab itu merupakan kewajiban.
Dalam perkembangannya, guru agama — yang juga wali kelas — terus mengecek agar sang anak mengenakan jilbab, tidak semata saat mengikuti pelajaran agama. "Ini terus menerus," katanya.
Akibatnya, "anak saya merasa tidak konfiden, dan selalu mempertanyakan 'kenapa saya tak mengenakan jilbab, kok jadi masalah', 'kenapa perempuan yang pakai jilbab dapat mencegah birahi yang memandangnya.'"
"Dia bahkan bertanya 'kenapa Islam menjadi diskriminatif terhadap perempuan'," ungkap Rina.
Di sini dia memberikan pemahaman bahwa ada interpretasi yang dominan dan represif terhadap agama.
"Anak saja menjadi marjinal dari komunitas sekolahnya itu, dia merasa lain sendiri," katanya. Dia kemudian hati-hati membangun pertemanan. "Ini berat buat anak seusia dia."
Hal inilah yang membuat Rina dan suaminya menemui kepala sekolah. Mereka kemudian diminta menemui langsung wali kelasnya.
"Oh ibunya yang melarang anaknya mengenakan jilbab," ujar sang wali kelas, saat melihat Rina tak berjilbab. Di sinilah, suaminya menjelaskan bahwa jilbab tidak wajib bagi muslim.
Menurutnya, wali kelas berkilah bahwa penggunaan jilbab adalah aturan sekolah.
Rina tidak pernah menemukan aturan itu. Pada titik inilah, Rina kemudian menemui Ombudsman untuk menanyakan apakah jilbab wajib di sekolah negeri.
Ombudsman kemudian mengeluarkan rekomendasi agar kepala sekolah mengawasi sang guru agama tersebut. Kantor dinas pendidikan setempat juga diminta mengawasi sekolah-sekolah di lingkungannya.
Sekolah yang bersangkutan juga diminta merevisi aturan yang menyebutkan jilbab adalah kewajiban.
"Setelah itu, anak saya tidak pernah ditekan guru agamanya dan anak saya merasa lebih aman."
Di penghujung wawancara, Rina mengharapkan agar dunia pendidikan memungkinkan anak-anak untuk belajar menerima perbedaan.
"Yaitu menciptakan anak-anak dari berbagai latar belakang bisa belajar bersama dengan nyaman. Mau kemana lagi, kalau sekolah negeri tidak menyediakan hal seperti itu," tandas Rina.
'Identitas sebagai non-Muslim tidak dihargai'
Nur Laeliyatul Masruroh, yang terlibat mewawancarai korban peraturan wajib jilbab di Kota Solok, Padang, Bogor hingga Banyuwangi dalam penelitian HRW, menyebut sebagian besar mereka "yang dipaksa berjilbab" mengalami trauma.
Dia mengungkap seorang siswi Katolik yang dipaksa mengenakan jilbab di sebuah sekolah negeri di Banyuwangi, sehingga dia sempat menolak bersekolah.
"Gurunya mengatakan 'nanti yang ikut olah raga harus pakai jilbab ya', padahal itu tidak ada kegiatan keagamaan," ungkap Nur kepada BBC News Indonesia, Rabu (17/03) malam.
Kepada Nur pada 2018 lalu, siswi itu mengalami trauma karena merasa tidak diterima di lingkungannya. "Dia akhirnya tidak mau sekolah, dan dia menangis saat saya wawancarai," katanya.
Di Kota Padang, Nur juga mewawancarai seorang siswi Kristen yang orang tuanya harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli kain dan menjahitnya menjadi jilbab yang lebarnya harus bisa menutupi pantat dan rangkap dua.
"Dan ketika tidak memenuhi [syarat] itu, ada guru mencatat poin. Kalau melakukan pelanggaran terus-menerus, itu dapat dikeluarkan dari sekolah," ujarnya.
Nur juga sempat mewawancarai siswi Kristen di sekolah negeri yang keluarganya masuk kategori miskin. Menurutnya, mereka tidak punya pilihan, karena sekolah swasta biayanya lebih mahal.
"Itu membuat mereka mau-tidak-mau tunduk pada aturan sekolah, dan ini membuat identitas mereka sebagai non-Muslim tidak dihargai," ungkap Nur.
Dia dipaksa berjilbab sejak SD, SMP hingga SMA. "Tapi mereka takut sekali kasus ini terekspose media. Mereka tidak mau namanya disebutkan, karena minoritas."
Di Bogor, Nur mengakui ada siswi Muslim yang berani melawan kebijakan pimpinan sekolah negeri yang mewajibkan siswinya mengenakan model jilbab yang lebih ketat.
"Dia tidak menolak jilbab, tapi mempertanyakan kenapa model jilbabnya besar dan menutup dada serta tebal, 'kan panas," kata Nur Laeliyatul menirukan sang siswi.
Dia melawan dengan menggelar lomba semacam 'jilbab cantik'. "Tapi ini ditegur, karena dianggap jilbab itu tidak sesuai syariat," ungkap Nur, yang kini aktif di organisasi CSAVE (Civil Society Against Violent Extremism).
Bagaimana evaluasi pelaksanaan SKB tiga menteri?
Aktivis HRW Andreas Harsono mengatakan, sejak SKB tiga menteri tentang larangan mewajibkan jilbab di sekolah negeri diberlakukan, "baru sedikit ada perubahan" di lapangan.
Dia memberikan contoh, baru 23 siswi di sebuah sekolah menengah atas di kota Padang, yang disebutnya "menggunakan hak mereka untuk memilih [berjilbab atau tidak]".
"Ratusan siswi lainnya tidak memilih. Kenapa ini terjadi? Karena, peraturan sekolah [terkait kewajiban jilbab di sekolah negeri] belum diubah," kata Andreas, Rabu (17/03).
Faktor lainnya, demikian Andreas, sanksi bagi sekolah yang menolak menjalankan SKB tiga menteri, belum dijalankan sanksinya.
"Jadi kita belum melihat ada perubahan yang substansial, tetapi ini sebuah langkah positif, karena dari semua peraturan [diskriminatif], yang paling besar dampaknya, yang paling melanggar bagi siswi dan guru perempuan, adalah peraturan Kemendikud tahun 2014 tentang aturan seragam sekolah," jelasnya.
Pada 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan seragam sekolah di mana digambarkan "busana Muslimah" dengan rok panjang, kemeja lengan panjang, dan jilbab.
Menurut Andreas, peraturan itu memberi kesan bahwa itulah satu-satunya pilihan bagi para gadis Muslim.
Akibatnya, aturan itu kemudian mendorong dinas pendidikan di daerah untuk memperkenalkan peraturan-peraturan baru.
Dia melanjutkan, hal ini lantas mendorong ribuan sekolah negeri, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, untuk menulis ulang tata terbit seragam sekolah, yang mewajibkan jilbab bagi Muslimah.
Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menandatangani peraturan tahun 2014, mengatakan kepada Human Rights Watch, peraturan itu memberi dua pilihan: kemeja lengan panjang, rok panjang dan jilbab, atau seragam tanpa jilbab.
Dikutip oleh Andreas Harsono, Nuh mengatakan, "Saya membuat peraturan itu. Tapi jilbab tidak wajib. Tidak ada kata wajib di sana."
Dia menekankan bahwa setiap siswi Muslim seharusnya bisa memilih apakah akan memakai jilbab atau tidak.
Dihubungi terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hendarman mengatakan, ada waktu sekitar satu bulan untuk mengevaluasi pelaksanaan SKB tiga menteri itu.
"Tenggang waktu selama satu bulan itu sesuai kesepakatan. Tidak mungkin untuk mengevaluasinya dalam hitungan hari. Karena mereka antara lain harus lihat aturannya," kata Hendarman.
Sesuai kebijakan otonomi daerah, tugas mengawasi pelaksanaan SKB tiga menteri itu berada di masing-masing Kantor Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
"Mereka yang berwenang," katanya. "Nanti mereka yang harus mengecek dan memberi laporannya," kata Hendarman kepada BBC News Indonesia, Rabu (17/03) malam.
Sampai sejauh ini, Kemendikbud belum menerima laporan yang isinya membenarkan adanya dugaan pelanggaran SKB tiga menteri oleh pihak sekolah. "Dan nanti tanggal 28 Maret, itu masuk satu bulan," katanya.
Menurutnya, sanksi yang akan diberikan Kemendikbus terhadap pengelola yang menolak menjalankan isi SKB tiga menteri adalah "pengurangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
"Jadi sekarang kami menunggu, menunggu laporan evaluasi dari kantor dinas di kota atau provinsi," ujar Hendarman.
Berdasarkan SKB yang baru, pemerintah daerah dan kepala sekolah diperintahkan mencabut semua aturan wajib jilbab sebelum 5 Maret 2021 dan sanksi akan mulai diberlakukan kepada kepala sekolah dan kepala daerah, yang tidak mematuhi keputusan itu, pada 25 Maret 2021.
Menteri Pendidikan dan Kebudayan diberi wewenang untuk menahan dana Bantuan Operasional Sekolah untuk sekolah yang mengabaikan keputusan tersebut.
Surat Keputusan Bersama tersebut hanya mencakup sekolah negeri yang berada di bawah pengelolaan pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan ini tidak meliputi sekolah negeri dan perguruan tinggi Islam di bawah Kementerian Agama. (*)
Tags : Islam, Pendidikan, Agama, Siswa di Sekolah Negeri, Sanksi Lepas Jilbab, Tak Berjibab di Cap Bermoral Buruk, Dikucilkan Lingkungan, Pendidikan,