"Diperkirakan sudah ribuan hektare perkebunan sawit melakukan aktivitas di sekitar kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) tanpa tindakan keras dari pemerintah"
alam laporan yang dipaparkan organisasi masyarakat (Ormas) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Riau yang dikirimkan lewat Whats App (WA) nya, Sabtu (29/4/2023) tadi ini menyebutkan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja disebut semakin melonggarkan sanksi.
Laporan yang disusun KNPI menemukan bahwa hingga pada menjelang akhir bulan April 2023 terdapat sudah ribuan hektare kelapa sawit ditanam di kawasan hutan — sekitar 19% dari total luasan perkebunan sawit di TNTN ini.
"Ini termasuk beberapa luasan yang sebelumnya merupakan habitat orang utan, gajah dan harimau sumatera."
"Tetapi sawit yang ada di kawasan hutan itu ditanam di setiap kategori kawasan didalammnya, mulai dari taman nasional dan tersebar di lokasi yang strategis dan sulit dijangkau," kata Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) KNPI Tingkat I Riau melaporkan hasil pantauannya dilapangan.
Beban berat Taman Nasional Teso Nilo, perambahan hingga kebun sawit ilegal sudah menjengkelkan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah dihubungi melalui Whats App nya untuk menanggapi temuan-temuan dalam laporan ini, namun tidak mendapatkan respons.
Pada Maret 2021, KLHK mengakui kepada DPR bahwa ada 2,6 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan yang tak mempunyai proses permohonan pelepasan kawasan hutan.
Untuk laporan yang diberi judul 'Perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan: Karpet merah oligarki' ini, KNPI pun membuat penilaian analisis spasial penanaman kelapa sawit di Indonesia sudah dilakukan sejak awal 2001 hingga 2019, kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI ini.
Tetapi selama ini bukan tidak ada aktor intelektual penebangan pohon dalam kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau ini.
Kejaksaan Negeri Pelalawan belum lama ini sudah menetapkan vonis kepada aktor intelektual penebangan pohon dalam kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, inisial S berusia 41 tahun diganjar hukuman pidana penjara empat tahun dan enam bulan, serta denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
"Penetapan hukuman ini menjadi sinyal baik terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo," kata Kepala Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah Pulau Sumatra Subhan dalam penyataannya, Kamis.
"Selain kasus ini, beberapa hari yang lalu berkas perkara J (47), tersangka penebang hutan Taman Nasional Tesso Nilo dinyatakan lengkap atau P21. Hal ini menunjukkan komitmen bersama Balai Penegakan Hukum KLHK, pihak taman nasional dan aparat penegak hukum lainnya," imbuhnya.
Berdasarkan penetapan tersebut, barang bukti dikembalikan kepada penuntut umum untuk digunakan dalam perkara atas nama Tamrin dan kawan-kawan.
Subhan menjelaskan penetapan vonis itu bermula dari pengembangan perkara perambah hutan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 60 hektare di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, dengan tersangka Tamrin dan kawan-kawan yang saat ini telah menjadi narapidana.
Tamrin dan teman-temannya merupakan para pelaku perambah dan penebang pohon di dalam Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang ditangkap Tim Operasi Gabungan Pengamanan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang dilaksanakan oleh Balai Penegakan Hukum KLHK, Balai Taman Nasional Tesso Nilo, dan Korwas PPNS Polda Riau pada 31 Maret 2022 lalu.
Berdasarkan fakta persidangan, pelaku S (41) diketahui bertindak sebagai pihak yang memerintahkan para terpidana untuk menebang pohon di kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo. Pada 14 November 2022, tim gabungan Seksi Wilayah II Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah Sumatra dan Korwas PPNS Polda Riau mengamankan S di Pekanbaru.
Beberapa hari sebelumnya S melakukan perlawanan kepada petugas berupa pemukulan dan perampasan kembali alat berat saat petugas Taman Nasional Tesso Nilo mencoba menghentikan dan mengamankan S beserta komplotan yang sedang merambah lokasi lain dalam kawasan menggunakan alat berat.
'Kawasan hutan ditanami sawit dalam jumlah mengkhawatirkan'
Menanami kawasan hutan dengan sawit, kata Larshen Yunus, sudah barang tentu melabrak peraturan hukum Indonesia yang menurut Undang-undang Kehutanan No.5 Tahun 1967 dan UU Kehutanan No.41 Tahun 1999.
Namun sejak 2012 hingga 2020, KNPI Riau menilai pemerintah di Riau tak memberikan cukup sanksi pada perusahaan yang melanggar aturan ini. Alih-alih, sebut mereka, tiga amnesti diberikan "yang berturut-turut semakin ringan".
"Yang pertama, pada 2012 dan 2015, dipenuhi dengan berbagai ketentuan dan diskresi kementerian. Ketentuan amnesti pertama menyediakan peluang enam bulan di mana perusahaan sawit dapat mengajukan kepada menteri, dan menteri memiliki diskresi untuk menerbitkan pelepasan kawasan hutan."
"Pada amnesti kedua, masa tenggang ini diperpanjang menjadi satu tahun. Cakupan hutan yang bisa dilepaskan juga diperlebar, termasuk wilayah hutan lindung dan hutan konservasi."
"Sementara amnesti ketiga, yang diterbitkan bersamaan dengan Undang-Undang Cipta Kerja — atau Omnibus Law — pada 2020 dikatakan semakin "membuka lebar pintu bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit menduduki kawasan hutan yang sebelumnya tidak memenuhi syarat pada amnesti-amnesti sebelumnya".
Tesso Nilo dan Gajah yang tak tampak di pelupuk mata.
Larshen menyikapi, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan di banyak peraturan yang sudah ada, termasuk UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. "Masa tenggang diberikan dengan durasi lebih lama, yakni tiga tahun setelah diundangkan, dan mengganti sanksi pidana yang sebelumnya diberlakukan dengan sanksi denda administratif atau pembatalan izin," sebutnya.
Organisasi mssa itu juga mengatakan, berbagai perusahaan yang telah memiliki sertifikasi RSPO dan ISPO turut terlibat, "dalam jumlah yang mengkhawatirkan".
"RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) adalah badan sertifikasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari semua sektor industri kelapa sawit dan bertujuan mewujudkan produk sawit berkelanjutan. Sementara ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) adalah sertifikasi sawit berkelanjutan yang merupakan inisiatif Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian."
"Sejumlah pihak, terutama kelompok peduli lingkungan, juga sudah mengkritik adanya perusahaan yang terlibat dan belum cukup kredibel dalam permasalahan ini," terangnya.
Tetapi Ia mengaku akibat dan konsekuensi Ormasnya berupaya kritis dalam menyikapi 'ketimpangan' terjadi dilapangan selama ini jadi berujung tak sedap (teror).
"Ada yang menyikapi serta menunjukkan ketidaksenangannya dengan berbagai cara dan metode untuk menjegal langkah kami," kata mantan aktivis mahasiswa Universitas Riau (UNRI) ini.
Elang di TNTN pun terus gelisah
KNPI sebelumnya telah melaporkan nama-nama para mafia lahan yang memiliki kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan TNTN di Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan hingga di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu).
"Kasus pembukaan dan penguasaan lahan di kawasan TNTN sudah berlangsung lama, kendati kalau dilihat dari sisi pinggir ataupun tepian hutan masih kelihatan seperti hutan, namun didalamnya, ditengah kawasan itu sudah di sulap menjadi kebun kelapa sawit yang kita khawatirkan ini," sebutnya.
Kenapa permasalahan kawasan TNTN belum teratasi?
Menurut Larshen, gajah, orang utan, dan harimau kian terdesak di kawasan hutan TNTN itu. Laporannya ini merinci, ada setidaknya didalam kawasan hutan yang di dalamnya ada juga memiliki lebih dari 100 hektar perkebunan kelapa sawit.
Pada hal lokasi kebun sawit itu telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh Kementerian Kehutanan.
"Imbas dari alih fungsi lahan di kawasan hutan ini, habitat para satwa dan keanekaragaman hayati di area-area tersebut bisa rusak dan hilang," katanya
Melalui analisis spasial, ormas ini menghitung angka kehilangan habitat di dalam kawasan hutan untuk spesies orang utan, harimau, dan gajah.
Jadi ratusan hektare di kawasan hutan itu yang menjadikan habitat orang utan (Pongo spp.) yang terpetakan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Untuk gajah, hingga kurun waktu yang sama, beberapa kawasan hutan yang merupakan habitat gajah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Populasi gajah sumatera (Elephus maximus spp. sumatranus) di alam liar di hutan itu diperkirakan juga terjadi penurun hingga 20% sejak 1985 karena deforestasi."
"Perubahan habitat ini juga kerap memicu konflik antara gajah dengan manusia, termasuk saat gajah masuk ke area perkebunan sawit atau permukiman warga," kata Larshen.
Bagi harimau, yang ada di kawasan hutan yang merupakan habitat mereka juga terjadi dikonversi menjadi perkebunan sawit. Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) kini hanya berkisar 200 ekor saja.
Selain hewan-hewan liar, dibabatnya hutan primer — atau hutan hujan yang masih tidak terganggu — mengandung karbon dalam jumlah tinggi. Sawit, menurutnya mengandung jauh sedikit karbon.
Dia mengaku secara menyeluruh terhadap konversi hutan TNTN sudah terjadi menghasilkan kerugian karbon per hektarnya. Secara keseluruhan, ketika hutan primer dibuka demi kelapa sawit, banyak kandungan karbon yang hilang.
'Jika tidak ditindak, mau jadi apa?'
Laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang berisi 'kode merah bagi umat manusia' menyatakan bahwa setelah penggunaan bahan bakar fosil, perubahan fungsi lahan menjadi penyumbang terbesar perubahan iklim.
Alih fungsi hutan primer menjadi kelapa sawit, kata Larshen, tak diragukan lagi menjadi salah satu kontributor terbesar bagi emisi gas rumah kaca Indonesia.
Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia mencanangkan untuk mengurangi gas rumah kaca sebanyak 29% pada 2030 berdasarkan skenario business-as-usual.
"Ini akan sulit dicapai apabila kelemahan pada penegakan hukum saat ini tetap berlangsung hingga 2030 dan seterusnya," katanya menyikapi.
Sekarang kondisi hutan primer Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang berada di Kabupaten Pelalawan memang cukup memprihatinkan.
"Hutan primer di kawasan ini hanya tersisa 13 ribu hektare dari luas total 81 ribu hektare."
"Apakah hutan lindung, HTI, konservasi semuanya imbas dari pengkhianatan masa lalu," kata Anggota DPRD Riau yang juga mantan Ketua Pansus Konflik Lahan Marwan Yohanis, Kamis (22/9).
Marwan mengatakan, sudah membaca juga secara nasional tentang persoalan hutan ini. Selama ini memang terjadi persoalan terhadap pengelolaan hutan di Riau.
Ia pertanyakan, selama ini pihak berwenang ke mana saja, dewan, Polhut, dan lain-lain. Kenapa bisa hutan berkurang terus tiap tahunnya. "Termasuk Tesso Nilo itu. Kenapa setelah hilang baru teriak semua, hilangnya pun tidak sedikit," kata dia.
Ia berharap semua yang ditugaskan mengurus itu betul-betul menjalankan tugasnya, supaya tak ada lagi pengkhianatan dalam pengelolaan hutan ini. Ia meminta ada tindakan tegas dari aparat untuk menangani persoalan itu.
"Kami harap diusut tuntas orang-orang yang membuat itu bisa terjadi, mulai dari aparat desa sampai jajaran tingginya. Apalagi ada maling teriak maling," tegas dia.
Kalau memang ingin menegakkan, Ia mengajak sama-sama. Masalahnya, kata dia, negara ini tak bertindak kepada orang-orang yang melakukan kesalahan.
"Mari tegakkan hukum dengan cara tidak melanggar hukum. Kita sekarang tidak mencari kebenaran melainkan mencari pembenaran. Dan ini mengorbankan kesejahteraan rakyat," tegas dia.
Sebelumnya, Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Heru Sutmantoro SHut MM mengungkapkan secara blak-blakan terkait kondisi terkini yang dialami oleh kawasan TNTN yang berada di Kabupaten Pelalawan.
Ia menjelaskan bahwa saat ini hutan primer di kawasan ini hanya menyisakan 13 ribu hektare dari luas total 81 ribu hektare. Heru Sutmantoro mengakui kawasan TNTN yang disebut-sebut sebagai penopang paru-paru dunia.
Menurut dia, berdasarkan data satelit yang dilakukan pada akhir tahun 2021 lalu, hutan alam atau hutan primer di kawasan TNTN terpantau hanya menyisakan 13 ribu hektar.
"Yang pasti luas total kawasan TNTN itu 81 ribu hektar dan berdasarkan identifikasi kita, kros cek ke lapangan dan berdasarkan peta satelit terbaru yakni pada akhir tahun 2021, itu memang menunjukkan ada perubahan, dimana 41 ribu sudah ditanami sawit atau lebih separuh dan 28 ribu kondisi terbuka ditumbuhi semak belukar, 13 ribu hutan alam primer, terang Heru.
"Jadi memang benar hutan alam 13 ribu hektar. Kondisinya, memang seperti itu saya masuk satu tahun dan lakukan identifikasi," sambungnya.
Kembali disebutkan laporan KNPI mengaku telah menghubungi perusahaan-perusahaan sawit yang perkebunannya ditemukan oleh mereka tumpang tindih dengan kawasan hutan, ada beberapa nama-nama pemiliki yang saat ini sudah dikantonginya.
"Ada juga perusahaan yang terlibat di kawasan TNTN itu, selain itu juga pemilik pribadi," kata Larshen yang tak sudi menyebutkannya.
Tetapi Larshen menambahkan, diantara mereka mengklaim telah "patuh kepada peraturan dan perundang-undangan Indonesia yang berlaku terkait penggunaan izin lahan untuk perkebunan kelapa sawit".
Menurutnya, jawaban ini tampaknya dirancang dengan seksama agar menghindar dari tuduhan tidak patuh hukum, terutama Undang-Undang Kehutanan.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada Maret 2021 kemarin, Plt. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Ruandha Agung Sugardiman, mengakui ada 3,3 juta hektare perkebunan sawit yang ada di dalam kawasan hutan.
Seluas 2.611.000 hektare di antaranya tanpa proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Menanggapi keterangan Ruandha tersebut, Ketua Komisi IV DPR RI Sudin meminta KLHK menindak perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum tersebut.
"Kalau 2,6 juta hektare itu sudah melanggar dan merugikan negara, dan tidak ditindak, mau jadi apa?" ujar Sudin.
"Sedang kami intensifkan untuk identifikasinya. Ini rencana kita akan selesaikan pengenaan denda administratif," jawab Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, kala itu.
Kondisi memprihatinkan di TNTN tergerus ladang sawit.
Larshen kembali mengkhawatirkan keselamatan Taman Nasional Cagar Alam yang dilindungi sesuai aturan ini.
Bahkan Ia menilik kembali, Negara melalui Kejaksaan Agung berhasil menangkap dan menertibkan perusahaan skala besar (PT Duta Palma Group) hingga meyelesaikan kasus sampai tuntas. Jadi terhadap pelaku-pelaku yang memiliki areal lahan kebun sawit di hutan TNTN itu, kata Larshen juga dibutuhkan keseriusan APH untuk menyelesaikannya. (*)
Tags : hutan, deforestasi, riau, perubahan iklim, sawit, lingkungan, kebun sawit di tntn pemilik lahan dan kebun sawit dalam kawasan hutan tntn,