PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Sejak pandemi, transaksi tatap muka calon pembeli dan para pedagang kian menurun dan digantikan situs penjualan online.
Hal ini ditandai kian sepinya beberapa mal atau pusat perbelanjaan. Namun, kenyataannya, masih ada sejumlah pedagang yang mempertahankan toko di tengah mal-mal sepi.
Memasuki bangunan Senapelan Plaza misalnya, lewat pintu putar kaca, pengunjung akan langsung disambut pemandangan kios-kios yang masih buka setelah libur tahun baru.
Sebagian besar mengobral aksesoris elektronik dan perangkat kantor yang ditawarkan kepada pengunjung yang lalu-lalang.
Namun, naik ke lantai atas, jumlah kios-kios yang tutup lebih banyak dibandingkan dengan kios-kios yang buka di lantai bawah.
Kecuali satu-dua yang masih melayani pelanggan di tengah lorong-lorong penuh penutup besi.
Salah satunya adalah sebuah toko yang terletak di lantai atas ujung kiri. Toko itu merupakan satu-satunya toko ‘hidup’ di tengah dua gerai yang sudah tutup.
Toko yang biasa menjual pakaian anak-anak dan dewasa (Suzuya) tutup yang menjaganya seorang diri. Ia bersembunyi di balik tumpukan rak-rak tinggi berisi kardus.
Suzuya sudah berjualan busana di dalam gedung Senapelan Palza itu selama 15 tahun. Diketahui usaha tersebut merupakan turunan dari keluarganya yang giat berbisnis sejak tahun 1980-an.
Salah seorang pedagang stand penjaja elektronik (Ponsel) di gedung lantai 1 mengatakan 75% dari omzetnya berasal dari langganan, dan hanya sebagian kecil dari penjualan e-commerce.
“Pembeli online masih relatif [sedikit] ya, masih belum begitu ramai. Dalam seminggu mungkin bisa dua atau tiga pembeli,” kata Hendrik (48) yang duduk di belakang meja besi, dikelilingi kardus-kardus dan kotak berisi elektronik ponsel yang terlihat rusak.
Tetapi Hendrik tetap saja tak menampik standnya membawa rezeki lebih dibandingkan lainnya. Ia menerima sekitar 30 sampai 35 pesanan per hari untuk penjualanan ponsel secound dari orang yang telah berlangganan dengannya sejak tahun 1990-an sampai awal 2000-an.
Sederet kios-kios tutup di palaza setelah libur tahun baru.
Para langganannya pun, menurutnya, masih lebih memilih berbelanja langsung ke tokonya ketimbang membeli produknya lewat situs niaga online.
Ia tetap kukuh mempertahankan standnya yang tergolong kecil itu. Ia sendiri sudah berpindah lokasi tiga kali dan terakhir di dalam gedung Senapelan Plaza.
Meski sudah menetap di lokasi itu yang banyak toko terimbas sejak pandemi, Hendrik mengaku tokonya juga terimbas sepi peminat meskipun pengunjung sudah bermunculan sejak pandemi melandai.
“Orang yang lewat banyak, puluhan setiap hari. Tapi yang nanya barang, pengunjung gitu ya, paling 4-5 [orang],” katanya.
Di atas lantai 2 dan 3, lebih parah lagi, banyak toko sudah tutup, penjual aneka produk menghadapi krisis yang hebat.
"Penjualan online untuk pakaian maupun sepatu kini tidak sampai 50% dari omzet. Hasil penjualannya masih didominasi langganan. Meski begitu, pengunjung Senapelan Palza ini masih sama sepinya seperti pelanggan online," kata Acui, salah satu pedagang pakaian di lantai dua.
“Karena kami sudah ada dari dulu, langganan sudah ada. Kalau mengandalkan traffic di sini sudah parah. Tidak seperti zaman 2000an, dulu ramai banget kan,” kata Acui lagi.
Berdasarkan survei JakPat, pada paruh pertama 2022 sebanyak 47% masyarakat Indonesia lebih memilih untuk membeli gawai dan peralatan elektronik di situs e-commerce. Sementara, hanya 24% responden memilih untuk datang langsung ke toko untuk membeli barang elektronik.
Kebanyakan dari gerai-gerai toko yang masih tersisa di pusat perbelanjaan mengandalkan bisnis mereka di bidang perangkat elektronik seperti kamera, alat pengeras suara, dan lainnya.
‘Beli barang online itu bagaikan kucing dalam karung’
Weni memiliki toko perangkat heandpon di Senaplean Plaza lantai satu yang juga menjual beraneka jenis speaker, mic, dan peralatan lainnya yang sama sekali tidak tertarik untuk membuka akun e-commerce di platform manapun.
“Ribet sih ya, ribet. Jadi kita nggak jualan [online], kita maunya di offline aja,” kata Weni dengan nada yakin.
Wen yang kini berusia 40, mengaku sudah berjualan di Senapelan Plaza selama 10 tahun terakhir. Saudara ayahnya yang pertama memperkenalkannya ke usaha tersebut, yakni berjualan perangkat heandpon.
Alasan Weni tetap enggan menjual produknya di platform e-commerce karena ia percaya menjual barang di toko diperlukan agar dapat meyakinkan pelanggan akan kualitas barang yang hendak mereka beli.
“Kalau di online belinya itu, ya kucing dalam karung, kalau dapat [barang] bagus, bagus. Kalau dapet [barang] jelek, ya jelek,” tutur Weni.
“Karena memang dari dulu, belanja [di toko] lebih komplet, mereka bisa langsung lihat di tokonya juga.”
Sejauh ini, ungkap Weni, pesanan ‘online’ untuk tokonya hanya datang dari langganan yang memesan lewat nomor WhatsApp pribadinya.
Hal tersebut terjadi pada Weni yang juga menerima pesanan dari nomor WhatsApp yang tertera di atas papan nama tokonya. Menurut dia, pesanan lebih banyak datang dari pembeli langsung. Itu pun, mereka lebih sering pergi ke toko langsung untuk melihat barangnya.
“Masyarakat kita masih belum merasa secure kalau beli macam-macam [barang online] dan produk saya juga butuh dijelasin, teknikalnya bagaimana."
“Nggak kayak orang beli beras, atau minyak goreng. Kan standar ya. Kalau ini kan nggak, ini butuh ngomong, penjelasannya dulu,” jelas Weni pula.
Jefri, penjual perangkat heandpon lainnya dan aksesoris elektronik, memiliki pendapat berbeda.
Ia yang membuka toko lebih besar di Gedung Senaelan Plaza itu setelah direstorasi ulang. Pria 60 tahun itu berjualan di toko online karena menurutnya akan lebih ramai daripada tokonya yang sepi pengunjung.
“Memang kebanyakan toko [lain], ramainya dari online sih kalau dilihat-lihat. Karena kan orang Riau itu sendiri juga memiliki sifatnya agak sedikit malas gerak. Jadinya beli online. Kecuali dia mau dapat lebih ya, baru dia ke toko-toko,” kata Jefri.
Namun, tak semua pelanggan merasa seperti itu. Feri dan istrinya, yang saat itu tengah mengunjungi Senapelan Plaza, mengaku lebih suka pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli keperluan rumah tangga atau elektornik. Sebab, menurutnya, ia dapat membeli banyak barang sekaligus saat jalan-jalan ke mal.
“Untuk barang-barang tertentu, kayaknya harus lihat langsung,” kata Feri yang saat itu sedang memperbaiki heandpon nya yang mengalami kerusakan.
Ia mengaku sejak era 2000-an ia sudah gemar datang ke pusat perbelanjaan itu. Tetapi saat wabah corona menyebar luas, ia sempat berhenti pergi ke Senaplena pLaza.
Kini, ia kembali untuk pertama kalinya setelah hampir dua tahun. Ia pun kaget dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada gedung baru.
“Sekarang perubahannya lebih sepi dan karena pandemi memang jadi lebih sepi. Saya biasanya ke gedung ini. Saya baru lihat yang ini, posisinya banyak yang berubah alias tutup,” katanya sambil tersenyum.
PPKM dicabut, pusat perbelanjaan semakin optimis
Pada Jumat 30 Desember 2022 kemarin, Presiden Joko Widodo mengumumkan dicabutnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Begitupun Provinsi Riau juga memberlakukan pencabutan PPKM, tetapi ini disikapi sebagian orang akan membawa secercah harapan bagi para pengelola pusat perbelanjaan.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan para pengusaha menyambut baik keputusan pemerintah untuk mencabut PPKM.
Sebab, kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong serta mempercepat pemulihan kondisi usaha. Bahkan, APPBI menargetkan tingkat pengunjung mal dan pusat perbelanjaan dapat melebihi level pra-pandemi.
“Tingkat kunjungan ke Pusat Perbelanjaan pada tahun 2023 ini ditargetkan akan mencapai lebih dari sebelum pandemi ataupun paling tidak bisa mencapai 100% dibandingkan sebelum pandemi,” ungkap Alphonzus pada media.
Mall SKA, Sadira Plaza, Mall Pekanbaru, Mall SKA Living World, Mall Ciputra Seraya, Metropolitan City,Plaza Sukaramai, Senapelan Plaza rata-rata mengklaim bahwa jumlah tenant yang menyewa gerai di pusat perbelanjaan tersebut telah meningkat tiga kali lipat dibandingkan selama pandemi.
Meski begitu Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan pencabutan PPKM tidak akan terlalu berdampak pada angka pengunjung.
Sebab, kata Andry, Covid sudah landai sejak PPKM level 1 diterapkan. Di sisi lain, ia mengatakan bahwa berkurangnya jumlah cuti bersama di akhir tahun jauh lebih berpengaruh terhadap angka pengunjung pusat perbelanjaan.
“Kemarin kita bisa melihat bahwa kita cuti bersama itu kan ditiadakan itu punya pengaruh yang cukup besar terhadap belanja ritel,” kata Andry.
Pusat perbelanjaan beralih fungsi
Banyak pusat perbelajaan berlaih fungsi. Dahrul Rangkuti, Aktivis Eka Nusa mengaku telah memantau pergi ke Mall Sentral Komersial Arengka (SKA) salah satu pusat perbelanjaan dibilangan jalan Sukarno Hatta, Pekanbaru yang hendak mencari pengisi baterai handphone yang murah dan tahan lama setelah miliknya rusak.
Namun, ia tidak selalu belanja barang di mal. Ia mengaku lebih sering mencari produk di platform e-commerce karena sifatnya yang praktis dan ia juga tidak perlu meninggalkan rumah. Barangnya bisa langsung diantarkan hari esoknya juga.
“Saya kan sudah kebiasaan online jadi kalau saya rasakan, jadi lebih leluasa di rumah,” kata Dahrul.
Dengan PPKM dicabut, ia merasa keinginannya untuk pergi ke pusat perbelanjaan juga bangkit lagi. Sebab, ia melihat mal sebagai tempat rekreasi yang dapat dikunjungi bersama dengan orang-orang terdekatnya.
“Kalau ada waktu senggang aja [pergi ke mal] . Kalau misalnya ada teman, bisa belanja bareng,” kata dia sambil menoleh-noleh ke arah sejumlah toko aksesoris dan busana yang ia lewati.
Dahrul mengatakan bahwa pusat perbelanjaan sudah beralih berfungsi, tidak hanya sebagai tempat berbelanja saja. Khususnya bagi pusat perbelanjaan yang terletak di kota-kota besar.
Sebab, selama masa pandemi masyarakat tidak bisa dengan bebas berpergian bersama ataupun berinteraksi dengan sesamanya secara langsung. Oleh karena itu, pusat belanja harus dapat menjadi wadah koneksi sosial dan tempat berkumpul.
“Masyarakat Kota Pekanbaru memiliki budaya yang senang berkumpul baik bersama keluarga, sanak saudara, teman, kolega, komunitas dan lain sebagainya."
“Pusat perbelanjaan yang terus menerus hanya mengedepankan fungsi belanja maka akan langsung berhadapan dengan e-commerce,” kata dia.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga menyatakan meski angka kasus saat itu sudah menurun dan terdapat peningkatan pembelanjaan, bisnis ritel masih belum benar-benar pulih.
“Pemulihannya tidak signifikan walaupun ada peningkatan belanja 10% sampai 15% dari bulan sebelumnya,” kata Ketua Aprindo Roy Mandey pada konferensi pers yang digelar pada Mei 2021 lalu.
Bahkan, selama masa pandemi, Aprindo mencatat sebanyak 1.300 toko ritel di seluruh Indonesia gulung tikar. Hal tersebut membuat sejumlah pusat perbelanjaan kini dipenuhi gerai-gerai kosong.
“Otomatis daya beli akan tertahan, sehingga para ritel pasti mengeluarkan biaya yang besar dibandingkan pemasukan. Sehingga mereka memilih untuk tutup toko,” ujar Roy.
Outlook 2023 bagi pengusaha ritel
Tetapi kenaikan harga-harga, suku bunga yang naik, dan penyebaran Covid di China juga membebani ekonomi global. Pada Oktober, IMF memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global tahun 2023.
Untuk perekonomian Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan tahun ini akan menjadi “ujian yang sangat berat”.
“Seluruh pemangku kepentingan termasuk dalam KSSK [Komite Stabilitas Sistem Keuangan] akan terus bekerja di dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional khususnya sektor keuangan,” kata Sri Mulyani.
Meski begitu, Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan Indonesia masih berada di zona aman jika dibandingkan negara-negara maju yang sudah mengarah ke jurang resesi.
“Indonesia masih cukup baik, inflasi tentunya kemarin ada peningkatan cuma masih terkontrol, saya rasa tidak memiliki pengaruh pada ritel secara keseluruhan,” kata Andry menyikapi tahun 2023 ini.
Walau begitu, ia memperingatkan para pengusaha Indonesia masih perlu waspada terhadap ledakan Covid di China yang berpotensi menganggu rantai suplai. Kenaikan dolar juga akan membuat harga impor barang dari China ke Indonesia menjadi lebih mahal.
“Kita perlu berhati-hati dari sisi suplai, jika memang di wilayah seperti pusat manufakturing seperti China itu masih ada disrupsi yang mungkin akan berdampak kepada harga,” tegasnya.
Toko dalam mal banyak tutup.
Kenaikan harga impor dari China dirasakan Dahrul menambahkan, ada kenaikan harga 5% sampai 10% bahan baku yang impor dari China sejak Desember.
“Sejak pandemi, kita itu sudah kena imbasnya. totko-toko sepi jualan, sepi pengunjung. Ada pembatasan orang masuk itu sudah berasa. Itu hilang pendapatan sekitar 50% sampai 70% selama pandemi. Baru mau bangkit, kena resesi lagi,” kata Dahrul menilai.
Sementara Weni juga mengatakan ada kenaikan harga produknya yang mayoritas diimpor dari China. Meski begitu, ia tetap mengaku optimis terhadap kondisi ekonomi dan bisnisnya untuk 2023 mendatang.
“Harapannya di 2023 ini penjualan lebih bagus, ekonomi lebih bagus, jangan ada resesi,” ujarnya dengan mata penuh pengharapan.
Terkait kelangsungan tokonya, Weni mengaku baru-baru ini banyak pelanggan yang datang dan bertanya apakah mereka akan membuka toko online. Setiap kali ditanya, jawabannya tetap sama.
“Pelanggan yang nanya 'nggak mau buka toko di online'?, oh banyak. Cuman kan kita nggak mau. Kita lebih mengutamakan kualitas sih,” ungkap Weni. (*)
Tags : Strategi Pengusaha Entertainment, Pekanbar, Pengusaha Bertahan dari Mal yang Sepi, Gempuran Niaga Online, Pengusaha Baru Mau Bangkit Sudah Kena Resesi, News,