AGAMA - Ketika Pakubuwono II naik tahta pada 1726, Nenek Suri berharap raja baru yang masih muda ini bisa meniru Sultan Agung. Siapa Sultan Sultan Agung?
Sultan Agung merupakan raja Mataram pertama yang mengirim pasukan ke Batavia untuk menyerbu Kompeni. Ia mendapat julukan Nata Binathara ing Tanah Jawa, Raja Agung di Tanah Jawa, yang dikisahkan bisa shalat Jumat di Makkah meski berangkat dari Mataram pukul 11.00.
Nama kecilnya Raden Mas Jatmiko dan ketika dewasa bernama Pangeran Rangsang. Naik tahta pada 1613, sebagai Sultan Agung Prabu Anyokrokusumo Senopati ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panata Dinan Nata Binathara ing Tanah Jawi.
Ia merupakan anak pertama dari Adi Prabu Anyakrawati Senopati ing Ngalogo Mataram, raja kedua Mataram. Anyakrawati memiliki nama kecil Raden Mas Jolang, anak dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram.
Sultan Agung dikishkan sering bepergian sendirian, bahkan sampai ke Aceh, Makassar, Siam, Ternate, dan Turki. Ia juga sering bertapa di gunung-gunung.
Cerita babad menyebut, ia berpindah dari gunung yang satu ke gunung lainnya dengan cara melompat. Yaitu, dari Gunung Lawu melompat ke Gunung Merapi, melompat lagi ke Lawu lalu melompat ke Gunung Semeru. Dari Semeru melompat ke Gunung Merbabu, lalu pulang ke keraton.
Suatu ketika, dalam aktivitas bertapa dari gunung ke gunung di hari Jumat, Sultan Agung bertemu dengan sosok Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pun menanyakan aktivitas Sultan Agung berkali-kali melompati dari gunung ke gunung.
“Tidak untuk maksud apa-apa. Daripada berdiam diri, sehabis sembahyang Subuh saya mencoba meniru kebiasaan Raden Arjuno. Ketika Raden Arjuno mencari kesenangan, selalu melompat dari gunung ke gunung,” jawab Sultan Agung.
Sunan Kalijaga menyatakan, zaman sudah berubah, agama di Jawa sudah berganti. Lalu ia menyarankan kepada Sultan Agung, daripada melompat dari gunung ke gunung, lebih baik melompat ke Makkah untuk shalat Jumat.
“Siapa tahu mendapat kemuliaan,” kata Sunan Kalijaga.
Sultan Agung pun menerima saran Sunan Kalijaga itu. Ketika Sunan Kalijaga sudah menghilang dari tempat duduknya, hari itu sudah pukul 11.00. Bergegaslah Sultan Agung melompat ke Makkah.
Ketika Sultan Agung masih di atas Panarukan, sebelum melompat ke Makkah, Sultan Agung mendengar suara teriakan dari bawah yang meminta untuk berhenti sejenak. Suara itu berpesan kepada Sultan Agung agar sesampainya di Makkah menemui Imam Syafii.
“Mintakan izin bahwa saya hari ini tidak shalat Jumat di Makkah, karena belum selesai menyiangi rumput di kebun. Rumputnya sudah lebat,” kata suara dari bawah itu.
Sultan Agung pun menanyakan nama orang itu. Tiba di Masjidil Haram, jamaah sudah penuh. Sultan Agung mencari sosok Imam Syafii.
Ia pun menyampaikan pesan dari penduduk Kramatwatu yang menitip pesan kepadanya. Sultan Agung berpikir, padahal orang yang menitip pesan itu bisa meninggalkan pekerjaannya untuk berangkat ke Makkah.
“Duh Nak Sultan, jangan sedih. Kanjeng Sultan ke sini hanya di hari Jumat, sementara orang Kramatwatu itu sehari lima kali sembayang di sini,” ujar Imam Syafii.
Syafii menyebut, penduduk Kramatwatu itu selalu shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya, di Masjidil Haram. “Karena dia memang sudah khatam dan fasih tentang agama, maka pantas jika dia menjadi penghulu agung di Kerajaan, sehingga bisa menambah kemuliaan Kerajaan,” jawab Imam Syafii.
Sultan Agung masygul, apa mungkin orang yang tadi menitip pesan bersedia diajak ke Keraton? Imam Syafiti meyakinkan Sultan Agung bahwa orang di Kramatwatu itu akan mematuhi keinginan Sultan Agung. (*)
Tags : makkah, masjidil haram, sultan agung, raja mataram, Shalat Jumat,