Linkungan   2023/06/02 12:33 WIB

Supriatna Daur Ulang Tumpukan Ban Bekas Ditempat Pembuangan Sampah, 'untuk Dijadikan Replika Hewan'

Supriatna Daur Ulang Tumpukan Ban Bekas Ditempat Pembuangan Sampah, 'untuk Dijadikan Replika Hewan'
Replika burung Rangkong raksasa oleh Supriatna siap akan dikirim ke pemesan di Yogyakarta.

TINGGINYA tumpukan ban bekas di tempat pembuangan sampah merupakan keniscayaan di tengah kebutuhan mobilitas dan kendaraan masyarakat. Kementerian Perindustrian pernah mencatat, setidaknya produksi ban sepeda motor setiap tahun mencapai 7,2 juta unit.

Selain menjadi sampah yang tak bisa diurai oleh alam, ban bekas juga berpotensi menjadi sarang nyamuk yang berdampak pada kesehatan masyarakat.

Seorang seniman asal Malang Jawa Timur, Supriatna menawarkan terobosan dengan menyulapnya menjadi replika hewan—sejauh ini ia mengaku belum punya saingan di Indonesia.

Tapi, pria 58 tahun ini tidak punya penerus, dan mengatakan kemungkinan "tiga tahun" lagi tak sanggup mengerjakan pesanan yang membludak seorang diri.

Mulai merintis karya seni dari ban bekas sejak tujuh tahun silam, Supriatna mengaku telah memanfaatkan sekitar 20 ton alas sepeda motor yang awalnya disebut "menumpuk" karena tidak bisa dijual. 

Ratusan karyanya kini sudah dipajang di lokasi-lokasi wisata di sejumlah kota Indonesia.

Pria dengan rambut keperakan tampak menonjol, melambaikan tangan di depan Gang Teratai, Kabupaten Malang, Jawa Timur—menyambut kedatangan kami.

Bayangan gapura yang jatuh di wajahnya, tak menghalangi senyum ramah pria kelahiran 1965.

"Nana," begitu pria ramping ini mengenalkan diri, sambil mengguncangkan jabatan tangan.

Nana memutar punggung, dan mulai memimpin berjalan ke arah rumahnya.

Pandangan pertama yang kami lihat adalah replika ban bekas berupa kepala manusia raksasa yang berada di pelataran rumah.

"Ini karya awal-awal saya, sebenarnya ini tempat sampah," kata Nana sambil menunjukkan kepala manusia itu secara utuh.

Di belakang replika kepala manusia terdapat ular kobra yang sedang memamerkan taringnya, siap menyerang.

"Ular ini juga karya awal saya, ini masih pakai kawat-kawat," tambah Nana sambil terus mengajak kami masuk ke dalam lorong rumah, dengan perkakas yang berhamburan di lantai.

Di ujung lorong, seekor burung sebesar kambing sedang digantung.

Dengan 'tanduk sapi' yang khas di atas paruhnya berwarna kuning, siapa pun akan mengenalinya sebagai unggas endemik Indonesia yang hampir punah: Rangkong.

"Burung ini sudah hampir selesai dikerjakan, ini mau dikirim ke Yogyakarta," lanjut Nana sambil membelai hasil karyanya itu.

Di bawahnya terdapat beberapa ekor ayam raksasa yang dihargai Rp400.000 - 500.000 per ekor.

Selain hewan-hewan yang disebutkan, beberapa replika hewan dari ban bekas yang ditunjukkan Nana adalah dua ekor lebah yang siap dikirim ke Balikpapan, Kalimantan Timur.

"Ini sudah tiga bulan, belum diambil. Uangnya sudah dibayar, tapi sepertinya terkendala ekspedisi. Ongkosnya lumayan mahal karena ini berat," kata Nana yang menyiratkan ini sebagai salah satu kendala usahanya.

Gelisah dengan tumpukan ban bekas

Nana meneguk kopi sebelum memulai cerita awal karirnya menjadi seorang perajin ban bekas.

Ide memanfaatkan ban bekas menjadi replika hewan dimulai 2016 saat Nana menjadi petugas pemilah sampah di lingkungannya.

Sampah kertas, karton, kardus, botol, dan plastik bisa cepat dijual kembali, kata Nana. Tapi ban sepeda motor "terus menggunung".

"Semakin hari semakin menumpuk, akhirnya, saya coba mengurangi. Awal saya buat burung kecil-kecil," kata Nana. Untuk satu burung kecil ini ia menggunakan 2-3 ban bekas.

Tapi, pembuatan burung-burung kecil ini tidak mengurangi ban bekas secara "signifikan".

"Akhirnya saya bikin yang besar, biar ban itu lebih banyak berkurang. Saya bikin dinosaurus, kadal raksasa, kalajengking raksasa, dalam satu karya itu 30 - 40 ban, akhirnya ban habis," tambah Nana.

Semakin banyak replika hewan yang dibuat, semakin banyak pula peminatnya setelah Nana mengunggah karya-karyanya melalui media sosial. Sekarang ia justru menjadi "pemburu ban bekas".

Supriatna sedang mengupas ban bekas sepeda motor, yang menurutnya kerjaan paling berat dalam perancangan replika hewan.

'Indonesia Raya' yang kesepian

Supriatna lahir di Kepulauan Riau, 1965.

Ayahnya dari Cirebon dan Ibu berasal dari Yogyakarta. Keduanya bertemu kasih saat bekerja di dapur umum Marinir. Keluarganya kemudian banyak menghabiskan waktu di Kota Batam sebagai transmigran.

Anak ke-4 dari tujuh bersaudara ini kemudian merantau ke Pulau Jawa, dan menemukan jodohnya di atas panggung pertunjukan, saat dirinya sedang bermain gitar untuk sebuah grup band di Malang, Jawa Timur. 

Ia sudah menghabiskan hampir setengah usianya di Jawa Timur bersama istri yang seorang penyanyi.

Uniknya, Nana lebih senang dipanggil "Bang Nana" ketimbang "Mas Nana". Biar lebih akrab, katanya. Padahal ini sapaan "Bang" adalah panggilan tak biasa untuk orang Jawa.

Dengan keragaman latar belakang dan lingkungannya, Nana menyebut dirinya sangat "Indonesia Raya".

Ia mengklaim sudah membuat sekitar 300 unit karya seni dari ban bekas yang tersebar di Bali, Gresik, Solo, Balikpapan, Yogyakarta, Tangerang Selatan, Surabaya dan lain sebagainya.

Rata-rata pemesannya adalah pemilik kawasan wisata, restoran, atau peternak yang membutuhkan replika hewan untuk ditampilkan kepada pengunjung.

"Uangnya buat kebutuhan rumah saja, sekolah [anak-anak], listrik," kata Nana.

Sejauh ini Mas Nana, maaf maksudnya Bang Nana, mengaku mengerjakan seluruh karyanya sendirian mulai dari las rangka, memotong ban, merancang sampai membangun replika hewan.

Dan hal itu membuatnya "ketar-ketir" ketika membuka pesanan lebih luas seluruh Indonesia.

"Orang saya kerja sendiri, mati saya," katanya. Kemungkinan ia masih bisa menggarap pesanan sampai "tiga tahun" mendatang karena sekarang usianya sudah tidak lagi muda.

Nana mengaku pernah memberikan pelatihan, akan tetapi tidak berkelanjutan, "karena tidak ada rasa senang dalam hati [pesertanya]".

Kalau pun dilirik pemerintah untuk membesarkan usahanya, ini bukan semata-mata soal duit. "Nggak akan jadi ini kalau awal-awalnya mikirin uang," katanya.

"Saya pengennya itu pelatihan, membangun komunitas dulu. Merangsang anak-anak muda. Kalau saya sendiri dikasih uang sebanyak apa pun, uangnya buat apa," lanjut Nana.

Dalam harapan di depan mata, Nana juga mengatakan masih membutuhkan kendaraan roda tiga untuk mengangkut ban bekas, termasuk sampah warga.

'Terlampau murah'

Nana mengaku sering bingung membandrol harga karya seninya. Tapi beberapa orang mengatakan kepadanya, hasil karya yang ia jual "terlalu murah".

Sebagai gambaran seekor lebah berukuran dua meter dibanderol Rp800 ribu, Burung Rangkong Raksasa seharga Rp750 ribu, dan ayam atau burung kecil Rp400 ribu.

Persoalan ini menjadi keprihatinan istri Nana, Lili Jamilah. Kata dia, Nana kerap tidak memperhitungkan "tenaga, uang kopi, listrik, dan pikiran" yang dikerahkan untuk hasil karya seninya.

Sudah begitu, beberapa pemesan masih ada yang meminta "harga spesial" dari harga yang disodorkan.

"Selama ini impas, kadang tenaganya nggak dipikirkan," kata Susan - sapaan Lili Jamilah yang kini berusia 53 tahun.

Tapi sekarang, kata Susan, suaminya sudah "mulai menyadari", dan melakukan manajerial yang lebih teratur.

Layak berstandar 'internasional'

Salah satu pihak yang memesan hasil karya Supriatna adalah Eco Green Park di Kota Batu, Jawa Timur.

Bila berkunjung ke area wisata tersebut akan menemukan karya-karya Supriatna, termasuk kalajengking raksasa yang disebut sebagai spot favorit pengunjung untuk berswa foto.

"Ini sangat diminati sekali untuk selfie para pengunjung," kata Deni Rinasari, Manajer Operasional Eco Green Park seperti dirilis BBC Indonesia.

Terdapat puluhan karya ban bekas hasil buah tangan Supriatna yang tersebar di kawasan wisata Eco Green Park yang memiliki konsep edukasi lingkungan bagi pengunjungnya.

Kata Deni, sebagian replika ban bekas yang ditampilkan berasal dari koleksi hewan yang ada di kawasan ini seperti Elang Bondol,

"Jadi yang kita buat bersinergi dengan Pak Nana adalah karya-karyanya itu, adalah tampilan semua satwa yang ada di sni, ada replikanya. Itu yang bisa bersinergi," kata Deni.

Selain itu, menurut Deni, karya ban bekas Supriatna sudah memenuhi harapan sebagai karya sesuai "standar kami". "Pengunjung kami tidak hanya lokal tapi juga dari luar negeri," katanya.

"Jadi, kita menilainya, kita inginnya bertaraf internasional, ternyata Pak Nana bisa membuat replika satwa kita yang di-display sebagus ini. Jadi itu yang kita pilih, sehingga Pak Nana jadi kolega kita."

Supriatna sedang merangkai kerangka kadal raksasa dari besi yang ia rancang sendirian.

Pihak luar negeri juga menaruh perhatian terhadap karya Supriatna, tapi ayah empat anak ini masih bingung cara mengirimnya. 

"Ada di Malaysia tanya-tanya, pasti biayanya mahal sekali," kata Nana.

Secara umum, Kementerian Perindustrian pernah melaporkan produksi kendaraan roda dua saja sepanjang tahun mencapai 7,2 juta unit, jumlahnya terus meningkat.

Sebagian ban kendaraan yang sudah tidak terpakai ini ada yang didaur ulang oleh perajin menjadi perabotan rumah tangga seperti kursi, sofa, meja, tempat sampah dan lain sebagainya. Lalu, pemerintah juga pernah mewacanakan pemanfaatannya sebagai campuran aspal 5-7%.

Tapi sebagian ban bekas lainnya, kemungkinan terbengkalai di gudang, pelataran rumah, atau menumpuk di tempat pembuangan sampah.

Nana telah membawa terobosan baru untuk mengurangi ban bekas dengan menyulapnya menjadi pelbagai replika satwa. Tapi ia tak mau replika hewan dari ban bekas ini hanya ada di sepanjang hidupnya.

Oleh karena itu, ia masih berjuang mencari penerus, termasuk memotivasi dan menginspirasi siapapun untuk menyaingi karya-karya seninya.

"Saya sebenarnya meng-upload itu sebagai motivasi. Sebagai inspirasi… Saya menunggu sekali [adanya pesaing]," kata Nana. (*)

Tags : pengrajin ban bekas, supriatna, daur ulang tumpukan ban bekas, ban bekas ditempat pembuangan sampah, ban bekas dijadikan replika hewan, pekerjaan,