JAKARTA - Syahrul Yasin Limpo menjadi menteri keenam pada era pemerintahan Joko Widodo yang terjerat kasus dugaan korupsi. Para pegiat anti-korupsi menilai tren perkara korupsi di kalangan menteri terjadi karena pengawasan presiden yang lemah terhadap para bawahannya. Lantas bisakah perubahan terjadi sebelum kepemimpinan Jokowi berakhir?
Munculnya kasus dugaan patgulipat di kalangan menteri, menurut peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Kurniawan, tidak saja menunjukkan pengawasan Jokowi yang lemah terhadap anak buahnya, tapi tidak adanya perubahaan pemantauan oleh presiden terhadap para menteri.
"Sebagian besar kasus yang menjerat menteri terungkap bukan karena pengawasan internal oleh presiden, tapi laporan eksternal dari penegak hukum," ujar Yuris via telepon, Jumat (06/10).
Hingga berita ini diturunkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mempublikasikan secara rinci detail kasus yang diduga melibatkan Syahrul Yasin Limpo. Dalam beberapa hari terakhir, KPK menggeledah rumah dinas Syahrul dan beberapa pejabat di kementeriannya.
KPK menyebut telah mendengarkan setidaknya keterangan 49 pejabat Kementerian Pertanian terkait perkara ini. Meski status Syahrul dalam kasus ini belum terang-benderang, dia telah mengundurkan diri dari kursi menteri.
Selain Syahrul, menteri lain yang terjerat kasus korupsi selama dua periode pemerintahan Jokowi adalah Idrus Marham, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, Juliari Batubara, dan Johnny G. Plate.
Seluruh nama itu telah divonis bersalah, kecuali Johnny yang masih menjalani proses pengadilan dalam perkara suap proyek infrastruktur telekomunikasi.
Selain mereka, ada dua menteri yang namanya juga disebut dalam penyidikan kasus korupsi yaitu Budi Karya Sumadi dan Dito Ariotedjo.
Juli lalu, Budi diperiksa KPK sebagai saksi terkait dugaan suap pada pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di sejumlah daerah.
Budi dimintai keterangan untuk penyidikan terhadap salah satu tersangka, yakni Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah (non-aktif) Putu Sumarjaya.
Total ada 10 tersangka yang ditetapkan KPK dalam kasus suap yang diperkirakan mencapai Rp14,5 miliar itu.
Sementara itu, Dito disebut terlibat dalam persidangan kasus korupsi yang menjerat Johnny G. Plate. Dito telah diperiksa Kejaksaan Agung pada Juli lalu.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meminta Dito memberikan keterangan sebagai saksi kasus proyek infrastruktur di Kementerian Komunikasi dan Informatika pada pada 11 Oktober mendatang.
Seluruh menteri era Jokowi yang telah resmi menjadi tersangka dan diadili dalam perkara korupsi memiliki afiliasi dengan partai politik.
Politisasi jabatan menteri, menurut Yuris, menjadi faktor kuat penyalahgunaan kewenangan yang berujung korupsi.
"Meskipun pada kasus Idrus Marham dan Edhy Prabowo putusan hakim tidak secara tegas menyebut keterlibatan partai politik, dalam dakwaan dan kesaksian persidangan terlihat bagaimana partai politik mempengaruhi kebijakan menteri," ujar Yuris.
Hubungan partai politik dan kasus korupsi di kalangan pejabat publik muncul dalam temuan serta rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Kemenko Polhukam.
Perihal yang dianggap memicu keterkaitan ini antara lain ongkos besar partai politik dan minimnya keterbukaan soal audit laporan keuangan partai politik terhadap masyarakat.
Di sisi lain, politisasi jabatan menteri membuat pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh DPR menjadi tumpul, menurut Yuris.
"Dari beberapa kasus yang menjerat menteri, andil DPR sangat sedikit bahkan tidak ada, padahal yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah adalah DPR," tuturnya.
Apa perubahan yang bisa dilakukan Jokowi?
Yuris menilai perubahan struktural untuk mencegah munculnya kasus korupsi baru di kalangan menteri sudah terlambat. Alasannya, era pemerintahan Jokowi akan berakhir dalam 12 bulan ke depan.
Namun, Yuris menilai Jokowi tetap bisa memberikan "warisan baik" bagi pemerintahan berikutnya dalam mencegah korupsi di lingkaran menteri.
"Tidak ada waktu untuk membangun sistem, yang bisa dilakukan adalah memberi ketegasan pada para menteri yang gagal bekerja optimal dan memberhentikan menteri begitu mereka disebut dalam kasus hukum," kata Yuris.
"Ketegasan itu bisa dibawa oleh pemerintahan berikutnya karena memberikan efek jera. Meski terlambat, upaya bersih-bersih Jokowi bisa menjadi kesan yang baik," ucapnya.
Terkait Syahrul Yasin Limpo, sejauh ini Jokowi baru berbicara tentang surat pengunduran diri politikus Partai NasDem tersebut dan keputusannya menunjuk Kepala Badan Pangan untuk menjadi Pelaksana Tugas Menteri Pertanian.
Dalam kasus korupsi menteri sebelumnya, Jokowi berulang kali menyebut "menghormati proses hukum yang sedang berjalan".
Pada perkara Edhy Prabowo tahun 2020, Jokowi berkata pemerintahannya akan konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Bagaimana perjalanan kasus Syahrul?
Pada 14 Juni 2023, KPK mengumumkan telah membuka penyelidikan soal dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Informasi tersebut diumumkan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu.
Kemudian pada 19 Juni 2023, KPK memanggil Syahrul untuk dimintai keterangan terkait kasus penyelidikan dugaan korupsi di Kementan. Saat itu, ia diperiksa selama kurang lebih tiga jam.
"Saya memenuhi panggilan dari KPK, yang selama ini dua kali sebelumnya dipanggil, saya dalam kegiatan yang terkait kegiatan negara," ujar Syahrul seperti dilaporkan Tempo.
Mantan gubernur Sulawesi Selatan itu menyatakan siap untuk bersikap kooperatif dan hadir kapan pun ketika diperlukan KPK.
"Saya kira apa yang dilakukan KPK sudah sesuai dengan SOP, sesuai dengan prosedur, dan saya sudah menyelesaikan semuanya itu dengan apa yang bisa saya jawab," lanjut Syahrul pada Juni lalu.
Sebelumnya pada 16 Juni, KPK meminta keterangan terhadap Syahrul. Namun, Syahrul tidak dapat hadir dengan alasan sedang melakukan perjalanan dinas menghadiri acara G20 di India.
Ia kemudian meminta agar tanggal pemanggilan ditunda hingga 27 Juni 2023. Sebab, setelah pergi ke India, Syahrul berencana melanjutkan lawatannya ke Cina dan Korea Selatan dalam rangka kerja sama modernisasi pertanian dan fasilitas pasar ekspor pertanian. Namun, KPK menolak permintaannya.
Kemudian, pada Kamis 28 September KPK menggeledah rumah dinas Syahrul di Kebayoran Baru, Jakarta Pusat.
Dalam kasus ini, KPK meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah sembilan orang berpergian ke luar negeri.
Selain Syahrul, terdapat lima pejabat dari kementeriannya, yaitu Kasdi Subagyono (Sekjen Kementan), Muhammad Hatta (Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan), Zulkifli (Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Kementan), Tommy Nugraha (Direktur Pupuk dan Pestisida Kementan), dan Sukim Supandi (Kepala Biro Umum dan Pengadaan Kesekjenan Kementan).
Tiga orang lainnya yang masuk daftar cegah itu adalah anak Syahrul sekaligus anggota DPR dari Partai NasDem Indira Chunda Thita, istri Syahrul, Ayun Sri Harahap, dan cucunya, Tenri Bilang Radisyah Melati. (*)
Tags : Joko Widodo, Politik, Hukum, Indonesia, Korupsi, Populisme,