Headline Seni Budaya   2021/11/03 14:58 WIB

Tergerusnya Permainan Gasing 'Kampungan', Diperkirakan 'Berumur Ratusan Tahun Mulai Terlupakan'

Tergerusnya Permainan Gasing 'Kampungan', Diperkirakan 'Berumur Ratusan Tahun Mulai Terlupakan'

SENI BUDAYA - Gasing merupakan permainan tradisional masyarakat melayu Riau yang sampai saat ini masih eksis meski pengaruh modernisasi terus menerpa sesuai dengan perkembangan zaman.  

Permainan gasing terbuat dari kayu keras dengan bentuk badan bulat, lonjong, piring terbang (pipih), kerucut, silinder dan bentuk-bentuk lainnya yang merupakan ciri khas kedaerahan dengan ukuran bervariasi, terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki.

Gasing dimainkan dengan tali yang cukup panjang dan digulungkan pada kayu bulat, runcing pada bagian bawah dan terdapat katup pada bagain atas. Dilempar dengan keras ke tanah sehingga gasing tersebut berputar dengan kencang.

Aturan permainan gasing tergantung pada para pemainnya, untuk kalangan anak-anak biasanya menggunakan sistem bertahan lama putaran gasing. Namun yang biasa dilakukan oleh orang dewasa gasing akan diadu.

Permainan gasing tradisi yang hampir terlupakan. Anak-anak masa kini bisa merasa asing, bahkan tidak lagi tahu tentang permainan tradisional yang diperkirakan sudah ratusan tahun itu.

Permainan gasing di Riau penting dilestarikan, baik dengan cara menggelar lomba atau sekadar pertunjukan biasa. Bahkan Dinas Kebudayaan Riau menggelar berbagai perlombaan tradisi tersebut pada even sempena hari jadi Provinsi Riau.

Untuk di Riau permainan tradisional ada tiga yakni gasing, layang-layang dan congkak. Ketiganya merupakan permaianan rakyat Indonesia (bukan hanya Riau).

Di Jakarta dan Jawa Barat gasing dikenal dengan nama panggal, di Lampung masyarakat menyebutnya pukang. Di Jambi, Bengkulu, Tanjungpinang, dan wilayah Kepulauan Riau, Sumatera Barat dikenal dengan gansing atau gasing. Di Kalimantan Timur begasing, Bali megangsing, di Nusa Tenggara Barat magasing, dan di Maluku, apiong.

Permainan gasing yang sudah dikenal di nusantara.

Gasing biasanya permainan untuk kaum laki-laki. Gasing adalah mainan yang bisa berputar pada poros karena faktor keseimbangan pada suatu titik. Harus seimbang. Bagian-bagian kayu yang membentuk gasing juga harus rapi.

Filosofi yang tersimpang di sebalik gasing yang membuat permainan ini bukan permainan biasa. Diperkirakan gasing merupakan mainan tertua di dunia. Artefak ini  banyak ditemukan pada berbagai situs arkeologi di banyak negara. Sejauh ini dapat dikatakan gasing merupakan permainan yang bersifat universal, dalam arti ada di berbagai kebudayaan dunia.

Gasing tradisional dibuat dari kayu,  dimainkan menggunakan tali, yang umumnya berasal dari kulit pohon. Sementara gasing modern terbuat dari plastik atau bahan-bahan sintetis, dimainkan menggunakan tali nilon atau benang bol.  

Gasing dimainkan dengan cara dilempar atau ditarik. Lalu berputar untuk beberapa saat. Lama waktu berputar sangat tergantung kepada keterampilan si pemain. Interaksi bagian kaki (paksi) dengan permukaan tanah membuat gasing bisa tegak.

Gasing masih tetap populer. Permainan ini banyak ditemukan di sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan warga di beberapa provinsi rutin menyelenggarakan kompetisi atau festival gasing dalam rangka promosi pariwisata.

Di Riau juga demikian. Lomba gasing yang dilaksanakan sempena hari jadi Provinsi Riau beberapa waktu lalu, memang dimaksudkan untuk pelestarian budaya. Tapi bisa juga menjadi daya tarik wisatawan sebagai wisata budaya.

Mengutip seperti pernah disebutkan Kepala Dinas Kebudayaan Riau, Yoserizal Zein, permainan tradisi seperti gasing, layang-layang dan congkak, harus dilestarikan.

"Selain permainannya memang asyik, penuh tantangan, strategi dan cara khusus untuk memainkannya, permainan ini juga mengandung filosofi kehidupan yang luar biasa," katanya.

"Alhamdulillah lomba ini tiap dilaksanakan sempena hari jadi Provinsi Riau, banyak peminatnya,’’ ungkapnya.

Terancam punah

Tetapi permainan tradisional gasing mengajarkan kita tentang ketuhanan, keseimbangan dan harmoni dalam hidup, sambil mempererat toleransi serta meningkatkan kekuatan fisik. 

Gasing menemani perjalanan masyarakat Indonesia selama puluhan hingga ratusan tahun. Disebut berasal dari China lalu ke wilayah Austronesia, termasuk Indonesia, gasing menyebar dan menjadi bagian dalam tradisi nusantara. 

Di Aceh, gasing disebut menjadi cara memilih calon penerus Sultan Iskandar Muda. Bagi suku Melayu, gasing menjadi bagian dalam perayaan musim tanam dan panen, bahkan disebut menjadi media peramalan akan masa depan. Lalu di Sumatera Barat, gasing konon dikatakan menjadi senjata magis untuk menyakiti orang lain.

Dari Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Maluku, gasing memiliki beragam cerita, nama, bentuk, kegunaan hingga cara main.

Gasing, adalah satu dari sekitar total 2600 permainan tradisional di Indonesia yang disebut terancam punah oleh zaman dan kemajuan teknologi walaupun telah masuk dalam Warisan Budaya Takbenda (WBTB) di Unicef.

Saat ini, generasi muda sudah jarang sekali bermain gasing tradisional, kata penggiat. Bahkan, ada yang tidak mengetahui apa itu gasing dan cara mainnya.  Padahal gasing yang mungkin dianggap permainan 'kampungan' memiliki beragam filosofi dalam membentuk karakter rakyat Indonesia, kata H Darmawi Zalik Werdana, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] dalam pembicaraanya.

Di tengah meredupnya putaran gasing, terdapat beberapa orang yang terus mengabdikan diri mereka untuk melestarikan hingga memperkenalkan gasing di dalam negeri hingga ke dunia luar, kata putra daerah kelahiran Bengkalis ini.

Penggiat gasing Pekanbaru yang 'berjuang sendirian'. Adri sedang membuat gasing - dari memotong, memahat hingga mengikis kayu.

Sebagai sentuhan akhir, minyak dioleskan untuk membuat gasing mengilap. Hanya butuh sekitar 10 menit bagi Adri - panggilan akrabnya - untuk membuat satu gasing.

Lelaki tua itu mengaku telah puluhan tahun membuat gasing dan juga memainkannya. Ia akan bersedia membuatkan gasing yang bentuknya seperti guci jika ada yang memesan.

"Harganya tidak terlalu mahal, berkisar Rp 10 ribu hingga Rp 150 ribu, tergantung pesanan," kata Adri suatu hari pada Wartawan.

Adri juga dengan senang hati akan mengajarkan cara bermain gasing bagi yang ingin pandai bermain permainan tradisional Riau tersebut.

Gasing dimainkan dengan cara diputar atau dipusingkan dengan bantuan seutas tali yang dililitkan pada bagian atas.

Kemudian gasing dijatuhkan ke permukaan tanah sambil diikuti dengan tarikan tali ke belakang, maka gasing tersebut akan jatuh ke tanah dalam keadaan berputar.

Tali yang digunakan adalah tali belati yang panjangnya bisa mencapai 4 meter.

Memainkan gasing tradisional ini harus ditanah, jika tidak poros gasing akan rusak jika dimainkan di medan yang keras seperti semen. Begitulah cara gasing dimainkan.

Namun, saat ini ia kurang mendapatkan pesanan gasing. Menurutnya, saat ini permainan rakyat tersebut telah kalah saing dengan permainan modern, sebut saja permainan di smartphone

"Sekarang peminatnya sudah mulai berkurang sejak ada games yang di Ponsel dan permainan sekarang seperti mobil remote," tuturnya beberapa waktu lalu.

Gasing permainan anak Melayu

Sebelumnya ia masih sempat pergi ke kampung halamannya di Kota Taluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi untuk menjual permainan gasing .

Gasing yang ia jual tersebut dijajakan pada saat pagelaran pacu jalur. Namun, hasilnya kurang memuaskan.

Maka, ia memutuskan tidak menjual gasing di kota tersebut karena sepi pembeli.

Sekarang pun, tidak ada pesanan dari anak-anak sekeliling rumahnya yang memesan.

Walaupun harganya cukup murah, hanya Rp 10 ribu sudah bisa mendapatkan mainan yang bahannya terbuat dari kayu kempas ini.

Dan ia pun rela mengajarkan cara bermain gasing kepada anak-anak.

Memang ia sesekali bermain gasing jika ada waktu senggang. Ketika bermain, ia merasa mendapatkan kepuasan dari lamanya gasung tersebut berputar. Maksimal, ia bermain dua jam.

"Bermain dua jam itu sudah cukup mengeluarkan keringat. Biasanya mainnya diadu, tetapi sekarang tak ada lawannya. Jadi main sendiri. Kepuasan main ini pas gasing lama berputar. Karena Pas gasing dilempar itu, tak semua bisa berputar lama," ucapnya dengan logat melayu.

Dikatakan Adri pemainan ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, ia khawatir lama kelamaan permainan ini akan punah ditelan zaman.

"Harapan saya pemerintah bisa melestarikannya. Kalau tidak ini akan punah begitu saja. Padahal ini permainan tradisional Riau," sebutnya.

Seiring berjalannya waktu, permainan gasing meredup akibat minimnya kompetisi dan sulit mencari kayu karena penebangan hutan. "Orang luar tidak kenal gasing Riau," katanya.

Kenyataan itu membuat Adri menyerahkan hidupnya untuk gasing. Ia mengaku berjuang sendirian dalam melestarikan dan mengembangkan gasing di Riau di tengah minimnya perhatian pemerintah daerah.

"Banyak anak muda lupa ini mainan apa, cara main bagaimana, padahal ini identitas Budaya Melayu, dan setelah diberi tahu mereka sangat antusias," katanya.

Musim ladang tidak lagi memainkan gasing. Raja Gasing 'bersembunyi', tidak ada kompetisi dan juga produksi gasing. Ditambah, kemajuan teknologi menawarkan beragam jenis permainan modern.

Namun dalam perkembangannya, gasing di masyarakat berjalan lambat hingga perlahan hilang. Sebabnya, industri gasing sudah tidak lagi ada.

Gasing yang berasal dari dua suku kata, yaitu Gang dan Sing ini memiliki arti. Gang memiliki arti lorong atau lokasi lahan dan Sing memiliki arti Suara.

Dalam arti sederhananya, gasing ini memiliki arti sebuah permainan yang dimainkan di sebuah lokasi atau tempat yang kosong dan mengeluarkan bunyi. Permainan ini dapat dilakukan satu lawan satu atau berkelompok. Dalam permainan satu lawan satu, pemain yang gasingnya paling lama berputar adalah pemenangnya.

Permainan gasing yang ada hampir di seluruh wilayah di nusantara namanya beragam. Di beberapa daerah Indonesia, permainan ini disebut dengan istilah yang berbeda, seperti permainan Gangsing atau Panggal (Jakarta dan Jawa Barat), permainan Pukang (Lampung) permainan Gasing (Jambi, Bengkulu Tanjungpinang, dan wilayah kepulauan Riau, Sumatra Barat) permainan Begasing (Kalimantan Timur), permainan Megangsing (Bali), permainan Maggasing (Nusatenggara Barat), permainan Apiong (Maluku).

Masyarakat Bolaang Mongondow di daerah Sulawesi Utara misalnya, mereka mengenal gasing dengan sebutan Paki. Masyarakat Bugis di daerah Sulawesi Selatan menyebutnya dengan Maggasing atau Agasing (Makasar). Masyarakat Yogyakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutnya dengan istilah Gangsingan, dan lain lain.

Banyaknya daerah yang mengembangkan permainan gasing yang berciri lokal atau ke daerahan menyebabkan gasing nusantara menjadi beragam. Keragaman ini tak hanya pada istilah daerah yang digunakan untuk menyebut gasing tapi juga bentuk dan ukuran gasing, jenis, bahan baku gasing, ukuran dan kondisi arena bermain, teknik memukul, jumlah pemain dan aturan permainannya.

Bagi orang Melayu, ada dua pendapat yang sampai hari ini diyakini sebagai cikal bakal munculnya permainan tradisional Gasing ini. Pertama, banyak orang meyakini kalau Gasing ini berasal dari para penduduk di pesisir pantai Timur Sumatra.

Permainan ini pertama kali menggunakan buah berembang yang banyak tumbuh di pesisir pantai, bentuknya bulat dan ada bagian lancip di bagian tengahnya. Buah ini bisa diputar dengan menggunakan tangan.

Kedua, sebagian lagi menyakini kalau permainan gasing ini berawal dari anak-anak yang menggunakan telur untuk permainan mereka. Dimana telur ini diputar dan yang bertahan paling lama maka dialah pemenangnya.

Kemudian pada perkembangannya telur ini diganti dengan kayu berbentuk bulat dan diberi tali supaya bisa berputar lebih kencang.

Keberadaan gasing di Kesultanan Riau Lingga diyakini sudah ada sejak Zaman Belanda. Raja Ali Haji (1808-1873) yang menulis Kitab Pengetahuan Bahasa, Kamus Logat Melayu Johor Pahang Riau Lingga juga menulis tentang kosakata yang dikenal dalam permainan gasing dalam karyanya ini. Kitab Pengetahuan Bahasa dicetak di Percetakan Matha’ah Al Ahmadiyah, Singapura tahun 1928 M.

Kosata gasing ditulis dalam halaman 82 tentang alit. Alit diartikan tali pemusing gasing permainan dililitkan pada kepala gasing atau kepada tangkai gasing, kemudian ditarik maka berpusinglah gasing itu. Dan terkadang datang pula makna pesolek, yaitu berhias seperti kata seorang pendayang. Selain alit, dalam kitab itu juga ada kosakata bindu.

Pada halaman 199, Bindu dapat diartikan yaitu perkakas orang melarik kayu, membuat gasing atau lainnya, yaitu sesuatu rupa perkakas dibuat daripada kayu.

Dari tulisan Raja Ali Haji dapat digambarkan saat Raja Ali Haji hidup, gasing sudah dimainkan. Berbagai istilah dalam permainan gasing seperti larik dan bindu tentunya bisa didata Raja Ali dari kondisi yang ada zaman itu di abad 19.

Bukan mustahil tahun-tahun sebelumnya gasing sudah ada di zaman itu. Pada abad ke 19, pusat Kesultanan Lingga Riau ada di Daik Lingga.

Secara umum gasing yang tersebar di wilayah Indonesia, berdasarkan jenisnya dapat dikelompokkan kedalam gasing adu suara, gasing adu putar, dan gasing adu pukul/adu kekuatan (gasing uri/penahan dan gasing pangkah/pemukul).

Gasing tradisional pada umumnya terbuat dari kayu dan permainannya dengan menggunakan tali yang terbuat dari kulit pohon. Jenis kayu yang biasanya digunakan untuk membuat Gasing antara lain Menggeris, Pelawan, Kayu Besi, Leban, Mentigi, dan sejenisnya. Sedangkan di beberapa daerah lainnya Gasing terbuat dari bambu.

Koleksi gasing yang ada di Museum Sang Nila Utama Pekanbaru adalah jenis gasing jantung. Gasing jantung ada ditemukan disejumlah wilayah di Indonesia, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Natuna, Anambas, Riau, dan sejumlah daerah di Kabupaten Lingga.

Di Riau sendiri dikenal dua jenis gasing, yakni gasing jantung yang khusus diadu dalam pertandingan dan gasing beralik yang hanya dimainkan untuk hiburan atau hanya dipusingkan (diputar) saja.

Dari mana asal usul gasing di Indonesia?

Tidak ada yang tahu pasti. Namun di balik itu, beragam cerita mewarnai perjalanan gasing. Tetapi Direktur Pembinaan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Sjamsul Hadi mengatakan, ada pendapat yang menyebut gasing berasal dari China yang kemudian menyebar ke wilayah Austronesia, seperti Amerika, Afrika dan Asia Tenggara - termasuk Indonesia di dalamnya.

Itu sebabnya di wilayah itu dapat ditemukan beragam jenis permainan gasing. Teori lain bercerita, gasing tercipta dengan sendirinya di masyarakat yang berbasis pada ketersediaan alam. "Misalnya dari biji tertentu yang ditemukan di alam kemudian diberi tali dan berputar," kata antropolog dari Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto.

Gasing telah menjadi tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Buktinya, di Sumatera dan Kalimantan, kata antropolog Semiarto, gasing erat dengan upacara peramalan.

"Seperti ke arah mana harus berjalan untuk berhasil dalam pekerjaan, itu diramal dengan gasing, berapa lama putarannya dan ke arah mana berhentinya," katanya.

Di budaya Sumatera Barat, kata Semiarto, gasing bahkan menjadi senjata magis. Dikenal dengan nama gasing tengkorak atau gasiang tangkurak, yang juga diangkat dalam sebuah film.

"Konon gasingnya dibuat dari tengkorak manusia dan digunakan untuk membuat orang susah, gelisah dan tidak nyaman, tapi bukan mematikan," kata Semiarto.

Kemudian di Bangka Belitung, kata Agus, pemain gasing memiliki pegangan ilmu. "Walaupun sampai naik pohon, gasingnya tetap berputar. Katanya dioles kapur dan kunyit, tapi kalau lewat sela kaki perempuan akan kalah," kata Agus.

Itulah ragam cerita gasing di Indonesia. Tapi, apa sebenarnya gasing itu sendiri? Dilansir dari Kemendikbud Ristek, gasing berasal dari dua suku kata, Gang dan Sing.

Gang berarti lorong atau lokasi, dan Sing berarti suara, sehingga artinya adalah permainan yang dimainkan di tempat kosong dan mengeluarkan bunyi.

Gasing memiliki nama yang beragam, seperti gangsing atau panggal (Jakarta dan Jawa Barat), pukang (Lampung), gasing (Jambi, Bengkulu Tanjungpinang, dan wilayah kepulauan Riau, Sumatra Barat), dan begasing (Kalimantan Timur).

Lalu megangsing (Bali), maggasing (Nusa Tenggara Barat), apiong (Maluku), paki (di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara) dan maggasing atau agasing di Masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan.

Kenapa begitu beragam? Permainan tradisional seperti gasing memiliki sifat adaptif dengan alam dan manusia, sehingga antar tempat berbeda-beda, kata Semiarto.

Selain penamaan, bentuknya pun berbeda-beda, dan secara umum dapat dibagi dalam tiga kategori. Pertama adalah gasing jantung, yang bentuknya menyerupai jantung manusia atau jantung pisang, dan tersebar di mayoritas wilayah Indonesia.

Kedua gasing pipih, berbentuk seperti dua piring yang ditangkupkan atau piring terbang. Gasing jenis ini pun juga dapat ditemukan di banyak tempat. Ketiga, gasing yang terbuat dari bambu berbentuk tabung dan mengeluarkan bunyi yang tersebar di pulau Jawa. 

Kemudian, secara umum gasing memiliki dua jenis permainan, yaitu untuk adu pukul dan adu putar. Cara bermainnya hampir sama di semua tempat, kata Dani. Gasing dililit dengan tali lalu dihempaskan atau dilempar sehingga menciptakan putaran - kemudian diadu atau dihitung lama berputar.

Indonesia telah memiliki buku pedoman pertandingan gasing nasional, yang mengatur dari bahan gasing, ukuran, aturan pertandingan hingga wasit. 

Gasing menyimpan "sejuta" pesan moral yang membentuk karakter masyarakat Indonesia. Wakil Sekretaris Jenderal Komite Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional Indonesia (KPOTI) Chairul Umam mengatakan, gasing - satu dari total sekitar 2600 permainan tradisional Indonesia - mengajarkan tentang ketuhanan.

Poros gasing melambangkan Sang Pencipta dan manusia adalah putarannya. "Manusia harus terus bergerak yang berpegang pada Tuhan, jika tidak bergerak maka akan selesai di dunia," katanya.

Kemudian, menurut Semiarto, gasing mengajarkan keseimbangan dan harmoni dalam hidup. "Kita mengalami putaran - baik dan buruk - dalam hidup, tapi kita harus tetap berdiri tegak di satu sikap sehingga tercipta keseimbangan antara masalah, kebutuhan, dan keinginan," ujarnya.

Antropolog Semiarto Aji mengatakan, suatu budaya dan tradisi akan meredup, bersembunyi hingga punah, jika sudah tidak memiliki fungsi dan relevansi dalam kehidupan manusia.

"Puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu, gasing berjaya, tapi ketika ada segudang alternatif, gasing kehilangan fungsi dan tempat aktualisasinya. Sama seperti berbagai tradisi dan praktik tradisional lainnya," kata Semiarto.

Semiarto melakukan penelitian pada tahun 2004 tentang gasing bambu di Magelang, Jawa Tengah. Hasilnya, gasing sebagai permainan rakyat tidak berkembang, dan berubah menjadi sekedar souvenir di tempat wisata.

"Gasing tidak adaptif, lama-lama tidak dipraktikan, dilupakan tidak, hilang tidak, tapi hidup sebagai kenangan, souvenir, benda-benda di museum saja, sayang," kata Semiarto.

Agus MD memandang, meredupnya gasing tidak lepas dari lambatnya respon dan kepedulian pemerintah pada gasing. "Saat ada kepentingan politik baru direspon, kalau tidak ada, hanya didiamkan, kurang didukung pemerintah. Kalau didukung, sudah masuk PON gasing sekarang," katanya.

Kedua, adalah industri pembuatan gasing tradisional yang masih jarang sehingga sulit menemukan alat permainan ini.  Dari perspektif berbeda, Chairul Umam menyoroti komunitas gasing yang tidak diberdayakan.

"Dari tahun 2005 hingga sekarang, popularitas gasing menurun, bisa dibilang hampir punah. Sebabnya, komunitas bergerak sendiri dengan daya yang terbatas," katanya.

"Seperti di Kalimantan Timur, Babel, Riau, Betawi, komunitasnya itu-itu saja, tidak berkembang. Kalau meninggal, siapa yang meneruskan? Ada regenerasi tidak? Itu yang terjadi dengan Bapak Endi Aras [almarhum], kami sangat kehilangan," katanya.

Endi Aras adalah salah satu tokoh yang membawa gasing ke dunia. Pendiri Gudang Dolanan yang memiliki sekitar 600 gasing dari seluruh Indonesia itu pernah memamerkan gasing ke London, Inggris.

Mencari fungsi baru gasing dalam kehidupan masyarakat di tengah modernisasi zaman dan teknologi adalah kuncinya. "Masyarakat modern di Jepang, Taiwan, China mengkombinasikan penggunaan teknologi tinggi dengan tradisi yang sudah ada ribuan tahun," kata Semiarto.

"Kita dalam bertransformasi menuju modernisasi meninggalkan ragam keindahan budaya masa lalu, bahkan tradisi itu sering diberi stigma ketinggalan zaman. Stigmatisasi itu yang harus dihilangkan dan memberikan fungsi baru dari budaya masa lalu," ujar Semiarto.

Chairul Umam mengatakan, masyarakat Indonesia senang dengan tantangan dan ada target yang dicapai. Untuk itu, perlu adanya kompetisi berjenjang dari tingkat kelurahan hingga nasional seperti masuk dalam cabang olahraga di PON. Gasing akan menjadi pencak silat dan sepak takraw yang kini menjadi olahraga internasional.

'Gasing tidak terancam punah'

Sebaliknya, pemerintah melalui Kemendikbud Ristek menolak anggapan jika gasing disebut terancam punah. Menurut Direktur KTM Kemendikbud Ristek, Sjamsul Hadi, gasing masih memiliki tempat di masyarakat. "Cuma karena gerakan [komunitas] menyebar, jadi tidak terlalu tampak ke permukaan," katanya.

Sjamsul mengatakan, pemerintah telah melakukan beragam upaya untuk melestarikan dan mengembangkan gasing, seperti melaksanakan kegiatan Gasing Nusantara dengan tema "Permainan Gasing dalam Tantangan" tahun 2005 di Jakarta.

"Dari pertemuan ini muncul lima butir rekomendasi, di antaranya membuat standarisasi permainan gasing secara nasional," katanya.

Setahun kemudian, dilaksanakan lokakarya yang menghasilkan dua keputusan. Pertama, mempertahankan gasing sebagai permainan tradisional dan mengembangkannya sebagai cabang olahraga. Kedua, mempertahankan keanekaragaman variasi gasing nusantara.

Tahun 2007 dilakukan Uji Petik Pedoman Pertandingan Permainan Gasing Tingkat Nasional yang kemudian disosialisasikan di delapan daerah tahun berikutnya. 

Permainan gasing yang digemari anak laki-laki

Tidak berhenti, tahun 2009 diadakan pertandingan gasing, yaitu Festival Gasing Nusantara - untuk mengembangkan gasing sebagai cabang prestasi.

"Dan di tiap tahun nya kami selalu bekerja sama dengan komunitas pelestari budaya untuk memamerkan, mengedukasi dan mensosialisasikan permainan gasing," kata Sjamsul.

Kini, kata Sjamsul, Kemendikbud Ristek terus mendorong dan berupaya agar gasing masuk dalam cabang PON. Sjamsul pun berpesan, "memainkan permainan rakyat dan olahraga tradisional bukan berarti kampungan, tapi bagaimana anak muda melatih berpikir dan menciptakan inovasi dari produk kearifan lokal bangsa Indonesia". (*) 

Tags : Permainan Gasing, Tergerusnya Permainan Gasing, Permainan Gasing Berumur Ratusan Tahun, Putaran Gasing yang Mulai Terlupakan,