INTERNASIONAL - Arti kemenangan Joe Biden bagi penyelesaian kasus HAM di Indonesia, antara harapan dan pragmatisme ekonomi-keamanan di kawasan. Terpilihnya Joe Biden sebagai presiden Amerika Serikat (AS) memberikan harapan atas perlindungan dan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di dunia, khususnya di Indonesia, kata aktivis HAM di Indonesia.
Beberapa masalah yang menjadi fokus di Indonesia, kata aktivis, adalah pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, pelanggaran HAM di Papua, dan isu lainnya. Senada, keluarga korban hilang berharap AS di bawah kepemimpinan Joe Biden dapat kembali menggaungkan isu penegakan HAM di dunia yang meredup empat tahun di bawah Donald Trump.
Kementerian Luar Negeri RI belum mau berkomentar
Sementara anggota DPR dari Komisi l mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak ada kaitan dengan AS, karena merupakan masalah dalam negeri Indonesia yang kuncinya ada di keinginan politik. Joe Biden yang diusung oleh Partai Demokrat - partai yang memiliki perhatian serius terhadap isu HAM- menyebut terdapat empat prioritas kerjanya mulai dari penanganan Covid-19, pemulihan ekonomi, penegakan masalah HAM seperti kesetaraan rasial dan perubahan iklim.
"Harapan antara HAM dan Prabowo"
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)—kumpulan para korban dan keluarga korban yang diculik dan hilang pada 1997 hingga 1998—menyambut baik terpilihnya Joe Biden sebagai presiden AS karena diharapkan dapat mengembalikan perjuangan dalam menegakkan HAM di dunia, termasuk di Indonesia. "Demokrat sangat concern dengan isu HAM, sehingga bisa mengingatkan negara-negara seperti Indonesia untuk meratifikasi instrumen HAM dan menyelesaikan masalah HAM masa lalu, seperti penghilangan paksa," kata Sekjen IKOHI, Zaenal Muttaqin, dirilis BBC News Indonesia, Senin (09/11).
Joe Biden, lanjut Zaenal, diharapkan juga bisa mencabut kembali visa yang diberikan AS dalam pemerintahan Donald Trump kepada Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, karena diduga terlibat pelanggaran HAM masa lalu. Prabowo ditolak masuk AS sejak tahun 2000 dan salah satu di antara jenderal lain yang pernah ditolak masuk AS, seperti Letnan Jenderal TNI (Purn) Sjafrie Syamsudin, Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo, Letnan Jenderal TNI (Purn) Zacky Anwar Makarim, dan Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo.
Pegiat HAM dari hakasasi.id, Yati Andriyani, berharap dengan terpilihnya Biden maka visa Prabowo dicabut kembali. "Sebagai bentuk penghormatan HAM, keberpihakan dan perlindungan bagi para korban dan keluarga korban dan penegakan terhadap prinsip prinsip anti impunitas. Memastikan para terduga pelaku kejahatan kemanusiaan di Indonesia dan Timor Leste tidak lagi diberikan visa kunjungan ke AS," kata Yati.
Hukum Leahy
Akhir Oktober lalu, Prabowo diundang Menteri Pertahanan AS, Mark Esper, ke Dephan AS di Pentagon untuk menjalin kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan. "Saya tidak yakin mereka (Demokrat dan Biden) akan mengundang Menhan Prabowo lagi ke AS karena bertentangan dengan Leahy Law," kata Andreas Harsono dari Human Rights Watch di Indonesia.
Hukum Leahy mengatur larangan bantuan militer AS kepada pasukan keamanan negara asing yang melakukan pelanggaran HAM berat dengan impunitas. Andreas menambahkan, Biden berjanji di awal pemerintahannya akan fokus pada empat isu utama, yaitu perubahan iklim, kesetaraan rasial, pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19.
Fokus tersebut tidak hanya akan berdampak bagi domestik AS, namun juga dunia, tambah Andreas. "Untuk di Indonesia, saya prediksi akan berpengaruh pada RUU KUHP di Indonesia yang banyak pasal-pasal baru rasial dan sektarian. Pasal penodaan agama yang naik dari 1 menjadi 6 pasal, kriminalisasi hubungan di luar nikah laki- perempuan, maupun homoseksual. Itu akan ada dalam radar pemerintahan Biden," kata Andreas.
"Lalu pada perlindungan dan penanganan pelanggaran HAM di Papua juga. Tapi dengan syarat, isu-isu tersebut dinaikan dan menjadi perhatian internasional sehingga semua sadar dan peduli," katanya.
Pengabaian semakin jelas
Senada dengan itu, peneliti Kontras, Rivanlee Anandar, menyebut dalam beberapa waktu terakhir, pengabaian HAM di Indonesia semakin jelas. "Kebebasan sipil dipertentangkan dengan obsesi pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dan melanggengkan kepentingan kekuasaan semata. Politik kompromis kerap dilakukan untuk menjaga "stabilitas" politik dan kekuasaan pemerintah. HAM kerap menjadi komoditas dalam tiap pidato presiden, namun pada praktiknya jauh panggang dari api. Legitimasi atas pembungkaman kebebasan sipil makin marak terjadi, " katanya.
Pragmatisme ekonomi dan keamanan
Namun pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Sukawarsini Djelantik, menilai berbeda. Penyelesaian pelanggaran HAM tidak akan menunjukkan perubahan. Alasannya karena, AS melihat Indonesia sebagai salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara bahkan Asia Pasifik dari kaca mata pragmatis. "Kebangkitan China, dari ekonomi dan militer, ketegangan di laut China Selatan, membuat kepentingan AS terbelah dan menjadi pragmatis ke Indonesia, sehingga akan mengesampingkan isu pelanggaran HAM demi kerja sama ekonomi dan keamanan di kawasan," kata Sukawarsini.
"Ini sudah dibuka [visa dan kerja sama dengan Prabowo] saya rasa mustahil AS tiba-tiba berbalik, pasti tidak akan segampang itu. Jadi saya melihat AS tidak akan menerapkan sanksi tegas lagi ke Indonesia melihat perkembangan dan kepentingan AS di kawasan," katanya.
Senada dengan itu, pegiat HAM dari hakasasi.id, Yati Andriyani, memandang, meskipun Partai Demokrati dikenal progresif memperjuangkan isu HAM namun tidak akan berdampak langsung secara positif dan progresif pada ke Indonesia. "Karena isu HAM terganjal dengan alasan politik dan ekonomi. Sehingga kebijakan Biden atas situasi penegakan HAM di Indonesia mungkin tidak akan terlalu progresif," kata Yati.
Kemauan politik
Kementerian Luar Negeri Indonesia belum mau berkomentar terkait hal ini. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP, Effendi Simbolon, menyebut kemenangan Joe Biden tidak berdampak pada perlindungan dan penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia. "AS juga dua-tiga kaki, multi standar. Kalau ada kepentingan dia berpihak, kalau tidak ya tidak berpihak. Jadi kenapa harus bergantung pada luar negeri? Dan AS, urusannya apa dengan masalah HAM di Indonesia?" kata Effendi.
Effendi menegaskan, penuntasan masalah HAM di Indonesia seperti penghilangan orang paksa, tragedi Semanggi 1 dan 2, serta pelanggaran lainnya berada di tangan presiden Indonesia - mau dijalankan atau tidak. "Saya ketua Pansus Orang Hilang dan Penghilangan Paksa, sudah keluar rekomendasi, sampai final, paripurna, tinggal diketok presiden. Yang ada? Sampai sekarang tidak jalan. Jadi kenapa AS jadi alasan? Mau Demokrat dan Republik menang, memang mereka peduli sama Indonesia? Tidaklah, jangan terlalu ge-er," katanya.
Menurutnya, berlarutnya penanganan pelanggaran HAM masa lalu akibat dari tidak adanya kemauan politik pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo. Coba suruh [Jokowi] jawab, betul sudah selesai? Mana yang diselesaikan? Tidak ada. Jadi masalah ini kuncinya di political will. Mau atau tidak Presiden Jokowi ambil itu sesuai janji kampanyenya?. "Itu [menuntaskan kasus HAM] lebih bagus, lebih mulai yang diwariskan, dari pada mewariskan Omnibus Law. Wariskanlah bahwa di 10 tahun pemerintahan memang bersih dan tidak ada penyelesaian yang tertunda," kata Effendi. (*)
Tags : Joe Biden Jadi Presiden AS, Perlindungan HAM, Hak Azasi Manusia,