"Kebijakan pemerintah Indonesia mengucurkan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi aparatur sipil negara (ASN) seiring dengan mewajibkan perusahaan membayar penuh THR, disambut baik oleh kalangan pekerja"
etapi THR 2022 masih dianggap tak setimpal ditengah naiknya harga, namun kenaikan harga pangan, bahan bakar minyak (BBM), serta kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) membuat THR tahun ini dianggap "tidak terasa".
Seorang pesuruh kantor yang berstatus sebagai pekerja alih daya di Jakarta, Ardi Mardiansyah, 28, mengatakan uang THR yang dia dapat senilai Rp2,75 juta pada tahun ini akan dialokasikan untuk menambal kebutuhan pokok keluarganya yang meningkat akibat lonjakan harga-harga.
Oleh sebab itu, dia sangat berharap pemerintah dapat kembali menstabilkan harga dan tidak ada kenaikan komoditas lainnya, di tengah munculnya sinyal pemerintah menaikkan harga LPG 3 kilogram, bahan bakar pertalite, hingga tarif dasar listrik seperti yang telah diisukan.
"Bahkan saya bisa nombok, karena percuma juga, apa-apa naik, bahan pangan naik, sembako naik, tidak menutupi kebutuhan saya. Pada dasarnya saya bersyukur ada THR walaupun kurang mencukupi bagi saya, tapi usul saya pemerintah ringankanlah beban masyarakat pada saat ini karena pendapatan kami kurang mencukupi untuk sehari-harinya," kata Ardi seperti dirilis BBC News Indonesia, Senin (18/04).
Selain itu, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu kementerian di Jakarta, Ilham -bukan nama sebenarnya—mengatakan besaran THR yang akan dia terima "tidak setimpal" dengan kebutuhan yang meningkat jelang Lebaran.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan bahwa kebijakan THR dan gaji ke-13 bagi ASN bertujuan mendorong percepatan ekonomi nasional dan menambah daya beli masyarakat.
Kementerian Ketenagakerjaan juga telah mewajibkan perusahaan membayar penuh THR bagi para pekerja pada tahun ini.
Tetapi, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman mengatakan kucuran dana itu "tidak sebanding" untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga di tengah tekanan yang dialami masyarakat akibat kenaikan harga barang.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat bahwa kucuran THR bersifat semu karena dampaknya hanya terasa pada momen Lebaran. Setelah itu, masyarakat akan kembali dihadapkan dengan penghasilan yang tak bertambah di tengah lonjakan harga-harga.
BBC News Indonesia telah menghubungi Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, untuk meminta tanggapan terkait hal ini, namun belum ada respons sampai berita ini dipublikasikan.
Sedangkan anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu mengatakan bahwa "kebijakan ini adalah upaya pemerintah membantu masyarakat kecil, sambil pemerintah menata dan mencegah kelangkaan serta kenaikan harga bahan pokok".
THR untuk menombok kebutuhan pokok
Dengan penghasilan sebesar Rp2,75 juta per bulan, Ardi Mardiansyah mengaku "sangat terbebani" dengan kenaikan harga-harga yang terjadi secara berentetan beberapa waktu belakangan.
Ardi -yang juga menanggung kebutuhan kedua orang tuanya—biasanya menghabiskan Rp600.000 -Rp700.000 per bulan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Tetapi saat ini, pengeluarannya untuk kebutuhan pokok bisa mencapai lebih dari Rp1 juta per bulan.
Hal itu dipicu oleh kenaikan bahan pangan seperti minyak goreng, daging ayam, hingga daging sapi yang biasanya dia konsumsi. Untuk mengatasinya, Ardi terpaksa mengurangi konsumsinya.
"Dari situ kita irit-irit juga, mengurangi bahan pokok yang dibeli. Contohnya daging ayam biasanya beli satu ekor, sekarang setengah ekor. Penggantinya saya perbanyak stok telur ayam dan indomie," papar Ardi.
Biasanya, Ardi menggunakan uang THR yang dia dapat untuk keperluan tambahan keluarga serta dibagi-bagi ke sanak saudara, tetapi untuk tahun ini uang THR akan dia gunakan untuk menambal kebutuhan sehari-hari yang meningkat.
Tekanan serupa juga dialami oleh seorang buruh pabrik di kawasan Cakung, Jakarta Utara, Sri Rahmawati, 43, yang penghasilannya setara upah minimum provinsi (UMP) di Jakarta. Sedangkan suaminya yang bekerja sebagai satpam dengan status pekerja alih daya, berpenghasilan di bawah UMP.
Rahma memiliki dua anak sebagai tanggungannya, juga masih membiayai orang tuanya yang berada di kampung halamannya di Nusa Tenggara Barat.
Kenaikan harga-harga yang belakangan terjadi membuat situasi keuangan Rahma terasa makin sesak, bahkan sampai harus berutang demi menutupi keperluan.
Dana THR yang akan cair pada tanggal 25 April mendatang, rencananya akan dia gunakan untuk menombok kebutuhan tersebut.
"Kalau sebelum-sebelumnya kan masih bisa kita berbagi kepada keluarga, beli kebutuhan Lebaran, kalau untuk tahun ini karena saya sebelumnya sudah menombok untuk kebutuhan sehari-hari, jadi ya enggak bisa full (THR) untuk persiapan Lebaran," kata dia.
Bahkan, Rahma juga harus menahan diri untuk tidak mudik karena tak ada cukup dana, meski telah dua tahun ia tidak pulang kampung saat Lebaran.
Baik Ardi dan Rahma sama-sama berharap pemerintah bisa kembali menstabilkan harga-harga, sehingga meringankan beban mereka.
Dengan demikian, anggaran THR yang hanya datang sekali setahun bisa kembali mereka manfaatkan untuk membeli baju anak, mengirimkan uang pada orang tua, dan keperluan Lebaran lainnya.
Sedangkan Ilham, pegawai negeri sipil di sebuah kementerian yang meminta namanya disamarkan, berpendapat kebijakan pemerintah mengucurkan dana THR bagi ASN belum setimpal dengan beban ekonomi yang ditanggung.
Meski nilai THR yang diterima ASN pada tahun ini meningkat dibanding tahun lalu, dia menyatakan bahwa jumlahnya masih 50% lebih kecil apabila dibandingkan dengan sebelum pandemi. Menjelang Lebaran ini, dia pun memilih untuk menahan pengeluaran untuk kebutuhan tersier.
THR 2022 tak realistis?
Ekonom INDEF, Rizal Taufikurahman memprediksi bahwa kucuran dana THR bagi ASN, pekerja swasta, serta dana bantuan sosial hanya akan menumbuhkan angka konsumsi rumah tangga sebesar 0,4%.
Menurut dia, kucuran THR sebetulnya sebetulnya dapat meningkatkan konsumsi sebesar 1,2% pada kebutuhan Lebaran seperti pangan, pakaian, dan transportasi untuk mudik. Apalagi, lebih dari 80 juta orang diprediksi akan pulang kampung setelah pemerintah untuk pertama kalinya membebaskan mudik Lebaran sejak pandemi melanda.
Tetapi di saat yang sama, kenaikan harga BBM, pangan, dan PPn menyebabkan konsumsi rumah tangga juga menurun sebesar 0,8%.
Oleh sebab itu, Rizal menilai target pemerintah untuk "meningkatkan daya beli masyarakat" melalui kucuran dana THR dan bantuan sosial ini tidak realistis.
"Ini berat, kalau mau mendorong konsumsi seharusnya pemerintah jangan menaikkan harga, tahan dulu. Setelah Lebaran baru dinaikkan secara perlahan. Ini kan ujug-ujug ditekan semua, jadi konsumsi pasti turun," jelas dia.
Selain itu, peningkatan daya beli bisa tak tercapai apabila ternyata pihak swasta belum sepenuhnya mampu mengikuti jejak pemerintah dengan mengucurkan dana THR secara penuh.
Myra Hanartani dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengatakan belum seluruh sektor usaha mampu memenuhi kewajiban pemerintah untuk membayarkan THR secara utuh.
"Secara organisasi tentu kami juga tidak bisa mengabaikan anjuran pemerintah, tapi kalau ada individu perusahaan yang merasa tidak mampu dengan kewajiban itu, kami mendorong agar mereka bernegosiasi secara bipartid dengan para pekerja," kata Myra.
Pemerintah diminta tahan kenaikan harga
Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan upaya pemulihan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat tidak bisa hanya bergantung pada kucuran THR dan dana bansos.
Menurut dia, peningkatannya bersifat semu dan hanya akan bertahan pada momentum Lebaran.
"Dampaknya pada masa Lebaran saja, setelah itu tentu saja begitu THR-nya habis dan dihadapkan lagi pada pendapatan yang sama sedangkan biaya hidup mengalami peningkatan. Jadi kalau cuma THR sebulan tidak setimpal lah," jelas Faisal.
Menurut Faisal, cara yang lebih realistis untuk meningkatkan daya beli masyarakat adalah dengan menjaga harga bahan kebutuhan pokok tetap stabil.
"Kalau kemarin sudah ada kenaikan beberapa komponen bahan pokok, jangan kemudian menambah lagi bebannya dengan adanya kenaikan di kebutuhan pokok lain, termasuk rencana mengurangi subsidi LPG 3 kilogram, pertalite, dan tarif listrik yang 900 watt itu yang kena kalangan bawah."
"Saya rasa pemerintah harus menjaga itu jangan sampai naik dan pemerintah punya kemampuan untuk mengontrol itu dari sisi budget,. Pemerintah punya tambalan untuk subsidi karena harga komoditas meningkat, sehingga pendapatan pemerintah dari pajak dan non-pajak meningkat," ujar Faisal. (*)
Tags : Pangan, Keuangan pribadi, Ekonomi, Energi, Indonesia,