PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Tradisi kebakaran hutan lahan [Karhutla] di Provinsi Riau terus berlanjut tahun demi tahun. Pergantian kepemimpinan daerah tak mengubah keadaan, meski penetapan status darurat Karhutla tak pernah absen diumumkan.
"Tradisi Karhutla di Riau terus berlanjut."
"Tidak ada upaya konkret yang nyata dan serius dilakukan para pihak, khususnya pemerintah daerah dalam mencegah terjadinya Karhutla," kata Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau [Jikalahari] Okto Yugo Setiyo dalam keterangan persnya, Kamis (1/8).
Menurut Okto Yugo Setiyo, seiring silih berganti kepemimpinan tapi tak juga mengubah keadaan. Status siaga darurat gagal cegah Karhutla di Riau, malah yang ada mengendus motif dapatkan dana belanja tak terduga dari APBN.
"Penetapan status siaga darurat Karhutla merupakan kebiasaan gubernur-gubernur di Riau sebelumnya untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari pusat," kata Okto Yugo Setiyo menilai.
Penjabat (Pj) Gubernur Riau SF Hariyanto tidak berani melakukan tindakan konkret dan tegas untuk mencegah karhutla.
Menurutnya, Karhutla terus meluas karena tidak dilakukan pencegahan sejak awal, padahal Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan 2024 akan lebih panas dari 2023.
“Kami terus mengingatkan tugas Pj Gubernur Riau untuk melakukan tindakan pencegahan karhutla, namun tidak ada tindakan konkret dari Pj Gubernur,” kata Okto Yugo Setiyo.
Menurutnya, SF Hariyanto hanya fokus dalam kegiatan penanganan kebakaran berupa menetapkan status siaga darurat karhutla. Kemudian meminta bantuan helikopter dan pesawat TMC dari pusat.
"Pemprov Riau meminta bupati/ wali kota segera menetapkan status siaga darurat karhutla untuk mendapatkan dana belanja tak terduga (BTT) yang bersumber dari APBN," tegas Okto.
Mengutip pernyataaan Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Riau, M Edy Afrizal pada 23 Juli 2024 lalu, bahwa sejak Januari hingga saat ini, tercatat sudah 745,42 hektare luas lahan terbakar di Provinsi Riau.
Luas lahan terbakar tersebut tersebar di kabupaten/ kota di Riau, terluas di kota Dumai seluas 189,60 hektare.
Sedangkan menurut KLHK dalam laman sipongi.menlhk.go.id, karhutla mencapai 4.249,71 hektare.
Paling luas terbakar di Kabupaten Kepulauan Meranti seluas 1.617,98 ha atau 38% dari luas karhutla di Riau.
Analisis Jikalahari melalui satelit Terra Aqua Sensor Modis dengan confidance >70% sepanjang Januari-Juli 2024, ditemukan hotspot sebanyak 198 titik, dimana 37 titik berada di korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan kelapa sawit, sisanya berada di kawasan non korporasi.
Sekitar 81% atau 161 titik berada di kawasan gambut dengan kedalaman 1-4 meter.
Kini hotspot tersebar di seluruh kabupaten/ kota di Provinsi Riau, paling banyak berada di Kota Dumai.
Okto Yugo Setiyo menjelaskan, penetapan status siaga darurat Karhutla merupakan kebiasaan gubernur-gubernur di Riau sebelumnya untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari pusat.
"Harusnya Pj Gubernur Riau SF Hariyanto tidak mengikuti kebiasaan buruk gubernur sebelumnya, fokus terhadap pencegahan sesuai Perda No 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Tekhnis Penanggulangan Karhutla," terang Okto.
“Pj Gubernur SF Hariyanto mestinya menjalankan amanat Perda Nomor 1 Tahun 2019 dibanding mengharap bantuan pemerintah pusat. Ini kewajiban Pemprov Riau yang saat ini dipimpin Pj Gubenur. Mandat Perda 1 Tahun 2019 lebih clear untuk mencegah karhutla,” kata Okto Yugo Setiyo.
Dalam Perda 1 Tahun 2019, terdapat kewajiban Pemprov Riau mulai dari pencegahan, penanggulangan, dan penanganan pasca kebakaran hutan dan/atau lahan termasuk sarana prasarana, pengawasan, kelembagaan, peran masyarakat, pembiayaan, ketentuan penyidikan, dan ketentuan pidana.
Jikalahari meminta agar upaya pencegahan Karhutla dilakukan secara sistematis, diawali dengan penataan lahan gambut.
"Dalam perda tersebut mewajibkan pemerintah daerah melakukan penataan ulang pengelolaan dan pemanfaatan gambut sesuai peruntukan tata ruang wilayah dan provinsi, peninjauan ulang perizinan gambut dan menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan gambut," terang Okto.
Selain itu, pemerintah dan otoritas terkait harus melakukan audit kepatuhan terkait ketersediaan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan setiap dua tahun sekali dengan melibatkan pemerintah daerah.
"Hasil audit kepatuhan disampaikan kepada masyarakat sebagai informasi publik melalui media cetak dan elektronik," katanya.
Okto juga mempertanyakan soal pengawasan pemerintah daerah serta melakukan evaluasi dan monitoring terhadap kelengkapan dan kondisi sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan terhadap setiap pemegang izin secara berkala paling sedikit enam bulan sekali dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat dibidang lingkungan hidup.
“Pj Gubernur Riau harus berani melakukan penataan lahan gambut, audit kepatuhan korporasi, pengawasan dan evaluasi serta monitoring terhadap korporasi, sebab telah diamanatkan berdasarkan Perda yang sudah disahkan bersama DPRD Riau,” kata Okto Yugo Setiyo.
“Mendagri perlu mengevaluasi kinerja Pj Gubernur Riau dalam hal pencegahan karhutla, termasuk pendanaan pencegahan karhutla dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi yang dilaksanakan oleh Pj Gubernur,” pungkas Okto. (*)
Tags : Karhutla Riau, Karhutla, Jikalahari, SF Hariyanto, Tradisi Karhutla di Riau, Lingkungan, Alam, Riau,