DAIK LINGGA, RIAUPAGI.COM - Menjelang Lebaran, budaya asli Melayu di Kepulauan Riau (Kepri) terus dieksplorasi. Seperti budaya lampu tempolok yang dipajang seperti menyerupai kapal pesiar di halaman kantor Bupati Lingga.
"Sekitar ratusan lampu teplok terbuat dari minuman kaleng bekas dibentuk menyerupai sebuah kapal pesiar bahkan di pintu-pintu gerbang yang menyerupai Masjid di Kabupaten Lingga."
"Lampu-lampu itu menghiasi malam Lailatul Qadar membuat pengunjung serius melihat satu per satu sebuah karya masyarakat yang ada," papar Bahrummazi, warga setempat, Senin malam, (17/14).
Ratusan lampu digantung dengan seutas tali di tepian tangga di halaman kantor bupati. Dalam keindahan lampion khas masyarakat Melayu itu juga terdapat kisah cerita budaya masyarakat Daik.
Keindahan lampion menambah khas dan kehangatan saat malam Ramadan. Panorama malam hari dari ketinggian lampu-lampu hias membawa pengunjung bernostalgia dengan budaya aslinya.
Di Kabupaten Lingga yang dikenal sebagai Bunda Tanah Melayu pernah menjadi Pusat Kerajan Melayu yang tidak saja membina dan berkembang di bidang adat dan budaya Melayu pada saat itu juga pembinaan Agama Islam.
Seperti disebutkan H. Darmawi Wardana Zalik Aris, Ketua Umum (Ketum) Lembaga Melayu Riau (LMR), adat dan tradisi yang berkembang juga tidak terlepas dari pengaruh Agama Islam diantaranya seperti melaksanakan haul jama’ menjelang bulan Ramadhan dan memasang lampu pelita pada 10 hari Ramadhan terakhir yang puncaknya pada malam 27 Ramadhan.
Masyarkat memasang lampu pelite pada 27 Ramadhan di pintu-pintu gerbang jalan.
Tradisi Malam Tujuh Likur di Daik, malam ke 10 terakhir bulan puasa atau Ramadhan ditandai dengan tradisi likur.
"Ini sebuah kebiasaan masyarakat yang telah berlangsung sangat lama dan terus dilestarikan sampai kini," kata Bahrummazi lagi.
Di mesjid atau mushala dilaksanakan malam hari selepas shalat taraweh, diadakan zikir dan beratib. Masyarakat berkumpul di mesjid, mushala untuk melakukan zikir bersama-sama, sebutnya.
Sementara kaum perempuan membawa juadah dari rumah untuk dimakan bersama-sama setelah pelaksanaan zikir dan beratib atau puji-pujian dan rasa syukur kepada Allah SWT.
Sedangkan di rumah setelah selesai magrib sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk tidak menutup pintu rumah dan jendela rumah, semua dibuka lebar-lebar seraya menghidupkan lampu seterang-terangnya.
Mengutip seperti disebutkan Pemerhati Sejarah dan Budaya Lingga Lazuardy, menyatakan, pada masa dahulu setiap rumah menghidupkan colok di beberapa sudut rumah sebagai penerang.
Disetiap perkarangan rumah dimulai pada malam ke 21 masyarakat di Daik menandai dengan satu buah lampu pelita. Warga menyebutnya malam selikur atau satu likur.
Hal ini terus berlanjut hingga malam penghujung bulan Ramadhan. Menambah lampu pelita sesuai bilangannya hingga menjadi 7 lampu pelita yang disusun sedemikian rupa.
Menurutnya, tradisi Tujuh Likur adalah tradisi memasang lampu pelita (lampu dengan bahan bakar minyak) di perkarangan rumah dan menghias jalan-jalan. Ada juga masyarakat yang menggunakan lampu listrik sebagai pengganti pelita.
"Yang paling istimewa ketika masuk malam ke 27, Malam ganjil satu dari malam-malam ganjil yang paling istimewa di bulan suci Ramadhan," kata Lazuardy lagi.
Tidak hanya dipekarangan rumah, ribuan lampu-lampu pelita bakal menghiasi bahu jalan. Ditambah karya-karya pintu gerbang dengan motif dan corak islami seperti bentuk kubah masjid, bulan-bintang, gunung-gunung yang dihiasi dengan berbagai kaligrafi.
Namun Bahrummazi melaporkan, ada juga yang hanya menggunakan seni menyusun pelita saja sehingga membentuk berbagai ornamen maupun bacaan “ Selamat Hari Raya Idul Fitri” yang kelihatan indah di jalan-jalan pada malam hari, sebutnya.
"Pembuatan pintu gerbang biasanya dilakukan oleh para pemuda daerah atau kampung setempat mereka membuatnya secara bergotong royong secara suka rela, mulai dari pengambilan bahan-bahan material berupa kayu, papan, bahan buat pelita, dan lain-lain dalam jumlah yang banyak tergantung besar kecilnya pintu gerbang yang akan dibuat untuk perayaan malam 7 likur," kata dia..
Setelah pembuatan pintu gerbang selesai pada satu hari sebelum malam tujuh likur ada juga pada beberapa pintu gerbang yang mengadakan doa selamat dan berbuka bersama-sama oleh pemuda dan masyarakat di sekitar pintu gerbang.
"Setelah berbuka dan Shalat Magrib barulah semua pelita dinyalakan."
Lampu pelite di pintu-pintu gerbang jalan.
"Pelaksanaan perayan malam terakhir Ramadhan bukan hanya sebatas simbol budaya bagi masyarakat Melayu, tetapi lebih luas yaitu dalam rangka menyambut datangnya malam seribu bulan yaitu malam Lailatul Qadar," kata Lazuardy lagi.
Jadi pada masa ini, kata diai, setiap individu akan lebih meningkatkan amal ibadahnya melalui berbagai makna tersimpan dalam pelaksanaan acara likuran atau akhir Ramadhan tidak hanya sebatas penyalaan lampu tetapi tersirat berbagai makna dan kearifan lokal masyarakat Melayu dalam memaknai datangnya malam Lailatul Qadar dengan membuat penerangan tradisional yang merupakan salah satu ujud rasa kegembiraan atas datangnya bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. (rp.sdp/*)
Tags : tujuh likur, lampu hias, lampu hias di pintu gerbang lingga, malam lailatul qadar di daik lingga, kepri,