Agama   2020/12/13 21:33 WIB

Undang-undang India Ancam Jihad Cinta, 'Hindu dan Muslim'

Undang-undang India Ancam Jihad Cinta, 'Hindu dan Muslim'
Para kritikus mengatakan undang-undang tersebut regresif dan menyinggung

AGAMA - Setiap tahun, sekitar seribu pasangan lintas agama berkontak dengan kelompok sipil penyokong keberagaman yang berbasis di Delhi untuk mencari bantuan. Pasangan beragama Hindu dan Muslim biasanya mengadu ke kelompok bernama Dhanak itu ketika keluarga mereka tak mengizinkan mereka menikah.

Berusia antara 20-30 tahun, pasangan itu ingin kelompok tersebut berbicara dengan keluarga mereka atau membantu mereka mencari bantuan hukum. Di antara pasangan yang datang ke Dhanak, 52% adalah perempuan Hindu yang berencana menikah dengan pria Muslim; dan 42% adalah perempuan Muslim yang berencana menikah dengan pria Hindu. "Keluarga Hindu dan Muslim di India dengan keras menentang pernikahan beda agama," Asif Iqbal, pendiri Dhanak, mengatakan kepada saya, "mereka akan melakukan segala cara untuk menghentikan mereka. Orang tua bahkan mencoreng reputasi putri mereka untuk menghalangi keluarga kekasihnya. Yang disebut 'jihad cinta' adalah senjata lain untuk mematahkan hubungan semacam itu."

Momok "jihad cinta", istilah yang diciptakan kelompok Hindu radikal untuk menuduh pria Muslim hendak menjadikan perempuan Hindu seorang mualaf melalui pernikahan, telah kembali menghantui hubungan antaragama di India. Pekan lalu, polisi di negara bagian Uttar Pradesh di India utara menahan seorang pria Muslim karena diduga ingin menjadikan seorang perempuan Hindu sebagai mualaf. Pria itu adalah orang pertama yang ditangkap berdasarkan undang-undang baru yang menentang perpindahan agama yang menargetkan jihad cinta.

Setidaknya, empat negara bagian lain yang dikuasai oleh partai nasionalis Hindu, Partai Bharatiya Janata, merencanakan undang-undang serupa. Juru bicara partai mengatakan undang-undang semacam itu diperlukan untuk menghentikan "penipuan dan intepretasi yang keliru". "Ketika seorang umat Hindu menikahi perempuan Muslim, itu selalu digambarkan sebagai romansa dan cinta oleh organisasi Hindu, sedangkan ketika yang terjadi sebaliknya digambarkan sebagai pemaksaan," kata Charu Gupta, seorang sejarawan di Universitas Delhi, yang meneliti "mitos jihad cinta" dirilis BBC News.

Cinta lintas agama sulit - dan berbahaya - di sebagian besar wilayah India di mana patriarki, kekerabatan, agama, kasta, dan kehormatan keluarga memegang kendali. Namun pria dan perempuan muda di seluruh pelosok menantang perlawanan sosial selama berabad-abad di desa dan kota kecil. Dengan ponsel, data internet murah dan situs jejaring sosial, mereka bertemu dan jatuh cinta dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya. Mereka melanggar apa yang penulis Arundhati Roy, dalam novelnya The God of Small Things, gambarkan sebagai "hukum cinta" yang "menetapkan siapa yang harus dicintai ... dan bagaimana ... dan seberapa".

Pernikahan monogami dari pasangan heteroseksual dan dari komunitas yang sama menjadi pernikahan yang ideal - lebih dari 90% dari semua pernikahan di India merupakan hasil perjodohan. Sementara, pernikahan beda agama jarang terjadi, dengan jumlah sekitar 2% dari seluruh pernikahan di India, menurut sebuah studi. Banyak yang percaya bahwa momok jihad cinta dibangkitkan dari waktu ke waktu oleh kelompok-kelompok Hindu untuk keuntungan politik.

Kampanye melawan pernikahan lintas agama yang memiliki sejarah panjang dan berpetak-petak di India didokumentasikan dengan baik. Dengan latar belakang meningkatnya ketegangan agama pada tahun 1920-an dan 1930-an, kelompok nasionalis Hindu di beberapa bagian India utara melancarkan kampanye melawan "penculikan" perempuan Hindu oleh pria Muslim.

Sebuah kelompok Hindu didirikan di United Provinces (sekarang Uttar Pradesh, negara bagian terpadat di India) untuk mencegah Muslim dari tuduhan penculikan perempuan Hindu. Pada tahun 1924, seorang birokrat Muslim di kota Kanpur dituduh "menculik dan merayu" seorang gadis Hindu dan memaksa menjadikannya mualaf. Sebuah kelompok Hindu menuntut "pemulihan" perempuan itu.

Penculikan perempuan Hindu bahkan diperdebatkan di parlemen di India kolonial. Kongres Nasional India, sekarang partai oposisi utama, mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa "perempuan yang telah diculik dan menikah paksa harus dikembalikan ke rumah mereka; perpindahan agama massal tidak memiliki signifikansi atau validitas dan orang harus diberikan setiap kesempatan untuk kembali ke kehidupan pilihan mereka".

Ketika India dibagi menjadi dua negara bagian yang terpisah pada bulan Agustus 1947, satu juta orang meninggal dan 15 juta mengungsi karena Muslim melarikan diri ke Pakistan, dan Hindu dan Sikh menuju ke arah yang berlawanan. Perempuan sering kali menanggung beban kekerasan, menciptakan garis trauma yang dalam. Belakangan ini, kelompok-kelompok nasionalis Hindu telah mengangkat momok "jihad cinta" menjelang pemilihan umum untuk mempolarisasi pemilih. Salah satu contohnya adalah saat pemilihan lokal di Uttar Pradesh pada tahun 2014.

Profesor Gupta mengatakan kelompok-kelompok Hindu meluncurkan "kampanye propaganda yang diatur", menggunakan poster, rumor dan gosip, melawan "dugaan penculikan dan perpindahan agama perempuan Hindu oleh pria Muslim, mulai dari tuduhan pemerkosaan dan pernikahan paksa, hingga kawin lari, cinta, pemikat dan konversi".

Corong-corong dari tokoh nasionalis Hindu sayap kanan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), sumber ideologis BJP, memuat cerita-cerita tentang "jihad cinta" dan mendesak orang-orang untuk mengangkat slogan "cinta untuk selamanya, jihad cinta tidak pernah!". Bukan hanya stereotip laki-laki Muslim yang ada dalam narasi itu. Tapi juga rumor tentang "konspirasi Islamis global" untuk memikat perempuan Hindu.

Pria Muslim diduga menerima dana dari luar negeri untuk membeli pakaian mahal, mobil, hadiah, dan bahkan menyamar sebagai orang Hindu untuk merayu perempuan Hindu. Seorang juru bicara BJP di Uttar Pradesh mengatakan ini adalah "bagian dari jihad cinta global yang menargetkan gadis-gadis Hindu yang rentan". Semua ini adalah "upaya mobilisasi politik dan agama atas nama perempuan", menurut Prof Gupta.

Ada kesamaan mencolok antara kampanye 'jihad' cinta' di masa lalu dan sekarang, kata para pakar. Namun seiring waktu, kampanye tersebut menjadi lebih kuat karena dipimpin oleh BJP yang berkuasa. Sebelum kemerdekaan, kampanye semacam itu terkubur di halaman-halaman dalam surat kabar. Tidak ada partai atau pemimpin arus utama yang memicu ketegangan seperti itu. "Sekarang ini menjadi subjek halaman depan dan negara secara kritis terlibat dalam penegakan hukum ini. Media sosial dan layanan pesan adalah digunakan untuk menyebarkan pesan bahwa pria Muslim secara paksa mengubah perempuan Hindu [sebagai mualaf] untuk menikah," kata Prof Gupta.

Banyak yang mengatakan perpindahan agama terjadi ketika pasangan memilih pernikahan agama untuk "melarikan diri" dari Undang-Undang Pernikahan Khusus India, yang mengizinkan pernikahan beda agama hanya setelah pemberitahuan sebulan kepada pihak berwenang yang berisi detail pribadi pasangan tersebut.

Jadi pasangan takut keluarga mereka akan turun tangan untuk mencegah pernikahan. Banyak yang percaya bahwa memperkenalkan undang-undang untuk membatasi pilihan orang dewasa lintas agama tentang pasangan mereka sekarang memperkenalkan "budaya ketakutan" yang dapat digunakan oleh orang tua dan pihak berwenang untuk memperingatkan kaum muda.

Di sisi lain, semakin banyak pria dan perempuan yang juga menantang kasta dan agama dan memisahkan diri dari keluarga. Banyak yang menemukan tempat berlindung di rumah persembunyian yang dikelola negara pada saat negara sendiri mencoba untuk menekan serikat seperti itu. "Cinta itu rumit dan keras di India," kata Iqbal, pendiri Dhanak.

Mahkamah Agung turun tangan

Seorang perempuan India yang sedang jadi pusat sengketa akibat pindah agama untuk menikah, dapat membebaskan diri dari hak asuh ayahnya dan melanjutkan studinya, demikian keputusan Mahkamah Agung. Hadiya Jahan, yang berusia 20-an, lahir di sebuah keluarga Hindu, namun kemudian masuk Islam dan menikahi seorang pria Muslim. Keluarganya menuduh bahwa Hadiya dicuci otaknya sebagai bagian dari konspirasi komplotan anti-Hindu.

Hadiya mengaku masuk Islam berdasarkan kesadaran sendiri, untuk menikahi Shafin, yang dikenalnya melalui sebuah situs pernikahan.

Pada bulan Mei lalu, pernikahannya dibatalkan. Namun kini, Mahkamah Agung menolak dalil yang diungkapkan sebelumnya, bahwa Hadiya dia tidak sadar pada pikirannya sendiri. Betapa pun MA masih belum menjatuhkan putusan tentang apakah pernikahan itu legal. Perkawinan antara orang-orang Hindu dan Muslim sejak lama ditentang di kalangan keluarga India konservatif. Namun belakangan hal itu dipertajam pula pandangan-pandangan keagamaan yang makin mengeras.

Hadiya Jahan, yang sebelumnya dikenal dengan nama Hindu Akhila Asokan, berulang kali menegaskan bahwa semua tindakannya, untuk masuk Islam dan menikah dengan pria Muslim, adalah merupakan kehendak bebasnya sendiri. Dia meminta Mahkamah Agung untuk menetapkan suaminya, Shafin Jahan, sebagai wali. Tapi pengadilan menunjuk dekan di univerdsitasnya sebagai wali, sementara kasus terus berlanjut.

Kelompok-kelompok radikal Hindu menjuluki kasus ini sebagai contoh khas 'jihad cinta' - sebuah istilah yang mereka gunakan untuk menuduh pria Muslim melakukan suatu "persekongkolan untuk memurtadkan perempuan Hindu agar meninggalkan agama mereka, dengan cara melancarkan rayuan asmara". Jahan dan suaminya mengajukan banding atas pengadilan tinggi di negara bagian Kerala beberpa waktu lalu, yang membatalkan pernikahan mereka. Mahkamah Agung memerintahkan dilakukannya suatu penyelidikan independen.

Hadiya dipanggil untuk memberi kesaksian oleh pengadilan tinggi mengenai apakah dia telah dipaksa untuk pindah agama. Jahan mengatakan kepada majelis yang beranggotakan tiga yang dipimpin oleh Ketua Dipak Misra, bahwa dia menginginkan kebebasan dan ingin hidup bersama suaminya, yang akan memberinya nafkah. "Saya ingin menyelesaikan studi saya dan ingin menjalani hidup sesuai dengan iman saya dan sebagai warga negara yang baik," katanya, seperti dilaporkan Hindustan Times.

Dia juga mengatakan bahwa dia telah ditahan selama 11 bulan oleh orang tuanya dalam "hak asuh yang tidak sah". Pengadilan menggugurkan hak asuh ayahnya terhadapnya dan mengatakan bahwa Hadiya bisa tinggal di asrama universitas untuk menyelesaikan pendidikannya. Para hakim juga memerintahkan perlindungan polisi untuknya. Sidang berikutnya dijadwalkan berlangsung pada akhir Januari tahun depan.

Bagaimana kasus ini bermula?

Pada Januari 2016, Hadiya Jahan, 23 tahun, sebelumnya dikenal dengan nama Hindu-nya, Akhila Asokan, pindah agama ke Islam. Pada saat itu dia tinggal bersama dua perempuan Muslim yang merupakan teman sekelasnya. Dia belajar di Negara Bagian Tamil Nadu pada saat itu. Orang tuanya tinggal di negara bagian tetangga Kerala. Ayahnya, KM Asokan, mendatangi pengadilan dalam upaya menemukannya karena menurutnya, dia berhenti berkomunikasi dengan orang tuanya saat kuliah. 

Saat orang tuanya mengetahui bahwa dia telah masuk Islam, Asokan mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Kerala, menuduh bahwa anak mereka telah dipaksa berpindah agama dan ditahan melawan kehendaknya. Namun Hadiya mengatakan ke pengadilan bahwa dia memutuskan untuk pindah agama karena dia terkesan dengan dua teman Muslimnya berdoa dan mempraktikkan Islam. Jadi pengadilan memutuskan bahwa dia bebas melakukan apa yang dipilihnya, karena tidak ada bukti "penahanan ilegal" seperti yang dituduhkan Asokan.

Namun Asokan mengatakan bahwa anaknya telah "dicuci otaknya" oleh teman-teman serumahnya dan orang-orang yang mereka kenal. "Mereka ingin mengirimnya ke Suriah," katanya. "Saya mengetahui hal itu saat dia mengatakan ke saya lewat telepon. Saya merekam pembicaraan itu dan melaporkan kasus itu."

Asokan kembali banding ke pengadilan tinggi pada Agustus 2016 mengklaim bahwa dia yakin Hadiya akan pergi ke luar India. Selama persidangan kasus kedua, Hadiya telah menikah dengan seorang pria Muslim, Shafin, yang dia temui dalam sebuah situs pernikahan. Kali ini, majelis hakim yang berbeda memutuskan untuk mendukung Asokan, dengan membatalkan pernikahan Hadiya dan mempertanyakan apakah perpindahan agama Hadiya dilakukan secara sukarela. "Ini bukan kasus jihad cinta. Ini adalah kasus paksaan,'' kata pengacara Asokan, C Ravindran. Dia dipaksa pindah agama pada Januari, kata Ravindran, namun dia menikah pada Desember. (*)

 

Tags : Jihad Cinta, India, Cinta Lintas Agama, Mahkamah Agung Turun Tangan,