AGAMA - Dai Muhammadiyah Ustadz Muhammad Ziyad menjelaskan ihwal tradisi syawalan atau yang juga disebut grebeg syawal.
Dia mengatakan, tradisi tersebut perlu dilihat dari sisi filosofinya.
"Terkait grebeg syawalan, maka kita harus tahu filosofi apa ketika grebeg itu dilaksanakan. Grebeg syawalan ini kan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT setelah dapat menunaikan puasa Ramadhan satu bulan, dan ditambahkan puasa 6 hari di bulan Syawal," jelasnya, Senin (22/4/2024).
Karena itu, dia mengatakan, tradisi grebeg Syawal ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur dengan beragam macam tradisi yang dilakukan.
Ia juga menyampaikan, grebegan juga sebagai media untuk silaturahmi sesama warga dan membangun ukhuwah persaudaraan di antara mereka.
"Maka jangan sampai filosofi yang mulia ini kemudian ada nuansa kesyirikannya. Misalnya dengan upacara sesaji dan semacamnya. Ini yang mesti kita ingatkan dalam konteks tujuan tadi," kata dia.
Ustadz Ziyad menuturkan, tradisi grebeg syawalan di berbagai daerah ini berbeda-beda.
Ada yang kemudian mengumpulkan aneka makanan, lalu dinikmati bersama sebagai bagian penguatan persaudaraan.
Ini menurutnya adalah hal yang baik.
"Ada juga yang ziarah ke makam leluhur. Maka dalam konteks ini juga harus disampaikan bahwa ziarah ke makam leluhur adalah untuk mengingat kematian atau mau'izhoh bil mawti. Sehingga orang yang masih hidup itu melakukan kebaikan dan kemudian spiritnya adalah meneruskan perjuangan para tokoh-tokoh kita yang telah berjuang," terangnya.
Di daerah lain juga misalnya, terang Ustadz Ziyad, ada yang melakukan tradisi ini dengan mengumpulkan aneka makanan lalu memberikannya kepada sesama.
"Tentu ini konteksnya adalah memberikan makan, bukan dalam rangka supaya 'penjaga' di sini tidak mengamuk. Hal semacam ini harus dihindarkan," tuturnya.
Dengan demikian, menurut Ustadz Ziyad, tradisi grebegan syawalan harus dimaknai sesuai filosofi yang terkandung di dalamnya.
Karena dalam tradisi ini, banyak orang yang bisa saling silaturahmi dan saling memaafkan, sehingga memperkuat ukhuwah di antara mereka.
"Sesuai namanya yaitu syawal, yang artinya bulan peningkatan, setelah silaturahminya diperkuat maka terjadilah peningakatan kohesi sosial. Solidaritas sosialnya menguat. Setelah itu tumbuh benih-benih kasih sayang, persaudaraan, semangat kebangsaan," ujarnya.
"Saya kira hal ini bagian dari khazanah kekuatan tradisi keagamaan yang kaya raya di Indonesia. Ini harus disyukuri dengan tetap menjaga nilai-nilainya supaya tidak melanggar ketentuan agama," paparnya.
Sedangkan Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir menyampaikan penjelasan ihwal pandangan Islam terhadap tradisi syawalan di berbagai daerah.
Dia mengungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Tradisi syawalan adalah wujud rasa syukur kepada Allah atas limpahan rezeki dan karunia-Nya setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan serta sebagai syukuran di bulan Syawal.
Ada ragam tradisi syawalan di berbagai wilayah. Misalnya di Kota Batu Malang, yang disebut dengan tradisi Grebeg Kupat, berupa pawai yang meriah dengan menampilkan gunungan ketupat raksasa dan berbagai hasil bumi dari berbagai daerah di Kota Batu.
Di Solo Jawa Tengah, tradisi syawalan dilakukan berupa Grebeg Syawalan, di mana gunungan ketupat diarak untuk dibagikan kepada pengunjung.
Sementara di Karimunjawa, Jepara Jawa Tengah, warga menyantap bersama hidangan ketupat dan lepat dalam tradisi Kupatan Syawalan di tepi pantai Dusun Legon Cikmas.
Tradisi tersebut rutin digelar serentak di wilayah yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan sepekan setelah Idul Fitri itu sebagai wujud rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas limpahan rezeki serta keselamatan ketika melaut.
Adapun di Kabupaten Rembang, syawalan dilakukan oleh para nelayan, di mana mereka melarung kapal replika satu pekan setelah Hari Idul Fitri.
Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi tersebut?
Kiai Afifuddin menjelaskan bahwa syukuran atau tasyakuran atau ungkapan syukur kepada Allah SWT atas terhindarnya dari marabahaya memang dianjurkan dalam Islam.
Dia mengatakan ungkapan rasa syukur tentu dianjurkan karena memang memiliki nilai kebaikan.
Dia mengingatkan, jangan sampai tradisi tersebut menunjukkan tabzir atau mubazir terhadap sesuatu yang memiliki nilai harta.
"Syukurnya dianjurkan karena memang baik. Akan tetapi, harus diungkapkan dengan cara yang baik. Kalau ungkapan syukur itu dengan menggunakan satu hal yang tidak baik misalnya membuang-buang sesuatu yang punya nilai harta, jangan sampai terjadi hal seperti itu," tuturnya.
Kiai Afifuddin melanjutkan, bila ada makanan, maka makanan itu harus dimakan dan jangan dibuang ke laut. Ini meliputi makanan apa saja.
Dia menambahkan, membuang sesuatu yang memiliki nilai harta itu dilarang dalam Islam.
"Membuang-buang sesuatu yang punya nilai harta, dilarang dalam agama. Apalagi syirik, punya keyakinan bahwa sesuatu yang punya kuasa selain Allah. Ini syirik," jelasnya.
Karena itu, Kiai Afifuddin menyampaikan, tradisi syawalan tentu dibolehkan selama tidak ada unsur tabzir atau membuang-buang sesuatu yang punya nilai harta. Kedua, tidak ada dimensi syirik.
"Jangan sampai timbul keyakinan bahwa ada kekuasaan di luar kekuasaan Allah ta'ala. Itu syaratnya," kata dia seperti dirilis Republika.co.id. (*)
Tags : grebeg syawal, tradisi syawalan, hukum syawalan, dalam islam, ungkapan rasa syukur, syirik, mubadzir, tradisi syawalan di indonesia, grebag tradisi, grebeg syawal, syawal, bulan syawal islam,