Artikel   2024/04/23 20:59 WIB

Asal Berdirinya Nama Sebuah Daerah Daik, 'Bermula dari Sungai Mengalir yang Bermuara di Pulau Lingga'

Asal Berdirinya Nama Sebuah Daerah Daik, 'Bermula dari Sungai Mengalir yang Bermuara di Pulau Lingga'
Batu Gajah di Gunung Daik Lingga

DAIK merupakan nama sungai yang mengalir dan bermuara di selatan pulau Lingga, Kabupaten Lingga.

Di samping itu juga, Daik nama suatu wilayah yang terdiri dari kampung-kampung yang berada di antara aliran sungai Daik dan sungai Tanda.

Wilayah Daik secara keseluruhan merupakan wilayah Kelurahan Daik. Batas-batas wilayah Kelurahan Daik sebelah utara dengan Desa Panggak Darat, sebelah selatan dengan Desa Kelombok, sebelah barat dengan Desa Merawang, dan sebelah timur dengan Desa Panggak Laut.

Daik merupakan bagian dari tempat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Melayu. Daik juga pernah menjadi bagian dari pusat tamadun Melayu dan pernah menjadi pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga hingga ke Lingga-Riau.

Sebelum dijadikan pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga tahun 1787 oleh Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812), wilayah Daik tempat kedudukan Orang Kaya Lingga yang memerintah wilayah Kepulauan Lingga.

Orang Kaya Lingga yang berada di Daik berada di bawah pemerintahan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.

Menurut cerita rakyat yang berkembang di Daik, Megat Mata Merah yang tinggal di suatu tempat bernama pangkalan lama kota Kandis di Jambi telah berpindah ke Lingga dan menetap di Daik.

Pada masa isterinya tengah hamil, Megat Mata Merah yang berada di Daik kabarnya telah pergi merantau dan menghilang.

Sebelum pergi merantau, dia telah berpesan, jika isterinya melahirkan anak laki-laki, diberi nama Megat Raden Kuning.

Isteri Megat Mata Merah melahirkan seorang anak laki-laki dan sesuai dengan pesan suaminya, anaknya diberi nama Megat Raden Kuning.

Selanjutnya Megat Raden Kuning menjadi penguasa di Kepulauan Lingga dan setelah wafat, dia dimakamkan di bukit nyiur di Daik.

Keturunan Megat Raden Kuning selanjutnya menjadi penguasa Lingga dengan jabatan Orang Kaya Lingga. Pada tahun 1787, Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga dari Riau ke Daik.

Perpindahan ini karena Sultan Mahmud Riayat Syah mengadakan perlawanan terhadap VOC. Pada masa itu kepulauan Lingga diperintah oleh Megat Inu yang menjadikan pulau Mepar di selatan pulau Lingga sebagai tempat kedudukannya.

Sultan Mahmud Riayat Syah menjadi Daik sebagai pusat perjuangan melawan VOC dan sekaligus pusat pemerintahan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.

Sultan membangun istana baru berdekatan dengan sungai Daik.

Sebagai pusat kerajaan, wilayah Daik muncul sebagai daerah berpengaruh dalam urusan pemerintahan dan kebudayaan Melayu di Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.

Pada tahun 1824, Inggeris dan Belanda mengadakan perjanjian di London yang merugikan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.

Perjanjian yang didalamnya mengatur pembagian wilayah yang dikuasai oleh pihak Inggeris dan Belanda, akibatnya Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga terpecah belah.

Akibat perjanjian yang telah dilakukan oleh Inggeris dan Belanda, pada tahun 1830, Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga runtuh terpecah belah.

Abdul Rahman Syah (1812-1832) sultan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga yang berada di Daik terpaksa melepaskan wilayah Johor dan Pahang.

Tahun 1830, berdirilah Kerajaan Lingga-Riau dengan pusat pemerintahan di Daik dengan Abdul Rahman Syah sebagai sultan yang pertama.

Dengan berdirinya Kerajaan Lingga-Riau, berakhirlah Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Pada tahun 1900, Abdul Rahman Mu azzam Syah (1884-1911) sultan Lingga-Riau terakhir memindahkan pusat kerajaan ke pulau Penyengat yang berada di Riau.

Sejak itulah Daik berakhir sebagai pusat Kerajaan Lingga-Riau. Sebagai daerah yang bersejarah terdapat cerita tentang awal mula dibukanya daerah Daik.

Jika dilihat dalam Undang-undang, Piagam dan Kisah Negeri Jambi yang ditulis oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Pariai Rajo Sari, orang kerajaan nan dua belas, keturunan orang Kayo Pingai bin Ahmad Salin Datuk Paduko Berhalo pada tahun 1358 H/ 1939 M dikisahkan wilayah Daik dibuka oleh Raden Kuning Megat di Alam anak Temenggung Merah Mato yang datang dari Jambi.

Orang Bangka yang menjadi pengikutnya tinggal di wilayah sungai Tanda di sebelah barat sungai Daik.

Kisah Raden Kuning Megat di Alam anak Temenggung Merah Mato yang membuka wilayah Daik dalam Undang-undang, Piagam dan Kisah Negeri Jambi dikisahkan sebagai berikut:

Telah selesai daripada berkata-kata itu maka berangkatlah mudik menurut sungai dari itu masing-masing.

Entah berapa lamanya mudik itu, maka bertemulah Orang Kayo dengan anak sungai Daik itu. Dilihatnya bagus tempat itu.

Maka Orang Kayo pun mukul tawak-tawak maka datanglah orang Bangka bertemu dengan Orang Kayo.

Sembah orang Bangka, Di sini baguslah Datuk membuat tempat sehingga inilah kita mudiknya kita. Jawab Orang Kayo, Baiklah! Sungai anak sungai Daik kita namai sungai Linggah ! Maka bemama ini kampung Datuk Kayo ini Linggah Daik, dan hamba orang Bangka membuat kampong di sebelah sungai yang hamba ikut, itulah sudah hamba tandai itu tempat masing-masing.

Maka titah Orang Kayo, Kita namai sungai yang engkau ikuti itu, Sungai Tanda maka bemama kampung kamu itu, Kampung Olak Sungai Dirajo Tando.

Lalulah berkampung tempat itu, orangpun banyak makin lama makin banyak datang nya mempertambahkan dirinya kepada Orang Kayo Singo Dirajo hingga bertinggallah Pulau Singkep dan Pulau Daile dengan manusia. [Budhisantoso dkk, 1991/1992:58-59].

Sebagai daerah yang bersejarah, terdapat juga cerita rakyat tentang asal-usul nama Daik.

Menurut cerita rakyat di zaman dahulu kabarnya Megat Mata Merah yang tinggal di pangkalan lama kota Kandis di Jambi datang ke Lingga untuk membuat negeri yang baru.

Sesampainya di Lingga, Megat Mata Merah dan pengikutnya bermukim disekitaran sungai Kasa Buntu di wilayah yang bernama Limbung di sebelah utara pulau Lingga.

Megat Mata Merah tidak bisa tinggal lebih lama di daerah ini, karena terdapat banyak hewan gamat yang naik ke darat sehingga mengakibatkan menimbulkan aroma busuk.

Megat Mata Merah dan pengikutnya berpindah ke wilayah antara Tembok dan Jelutung di bagian barat pulau Lingga.

Di tempat yang baru ini, sekali lagi Megat Mata Merah tidak bissa tinggal betah, karena banyak terdapat serangga pikat yang sangat mengganggu.

Megat Mata Merah akhirnya berpindah ke wilayah di sekitaran sungai Daik yang berada di sebelah selatan pulau Lingga.

Di Daik Megat Mata Merah dan pengikutnya dapat hidup nyaman, damai dan sentosa dibandingkan dua tempat sebelumnya.

Dalam cerita rakyat, nama Daik bermula dari kisah Megat Mata Merah yang membuka pemukiman baru disekitaran sungai Daik.

Menurut cerita rakyat sebelum masuk ke aliran sungai Daik, Megat Mata Merah bersama pengikutnya menemukan muara sungai dan terus mudik ke hulu untuk mencari tempat yang layak di buat pemukiman.

Namun, setelah di lihat tempat tersebut kurang tepat, mereka menghilir menuju muara.

Sebelum menghilir, di suatu tempat di tepian sungai di beri tanda, sehingga sungai tersebut mereka beri nama sungai tanda.

Setelah keluar dari muara sungai tanda, rombongan Megat Mata Merah menemukan lagi satu muara sungai yang lebih lebar dan mereka pun mudik ke arah hulu.

Setelah di lihat-lihat, wilayah sungai sangat baik dijadikan pemukiman, disebutlah sungai baik sehingga lama kelamaan sungai baik di sebut orang menjadi sungai Daik.

Wilayah sekitaran sungai Tanda juga dijadikan oleh pemukiman oleh penduduk. Selanjutnya Megat Mata Merah dan keturunannya menjadi penguasa di wilayah Lingga.

Sebagai tempat yang bersejarah dan bagian dari pusat kebudayaan Melayu, kisah asal mula nama Daik menyiratkan bahwa wilayah Daik bermakna wilayah baik yang memberikan ketenangan, dan kedamaian bagi penemunya yang sebelumnya telah mengalami berbagai cobaan.

Selanjutnya wilayah baik ini terus berkembang menjadi wilayah tempat yang benar-benar baik bagi perjalanan sejarah Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Wilayah yang baik ini dijadikan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai pusat kerajaan.

Sebagai pusat kerajaan wilayah baik ini menjadi juga bagian dari pusat tamadun Melayu yang gemilang.

Tengku Muhammad Saleh seorang ulama, sejarawan dan budayawan keturunan Sultan Lingga-Riau di Daik yang lahir pada tahun 1901 dan wafat pada tahun 1966 dalam salah satu catatannya menuliskan Daik Darussalam yang bermakna negeri yang damai.

Catatan Tengku Muhammad Saleh ini sejalan dengan asal kata Daik yang menurut cerita rakyat berasal dari kata baik. Negeri yang penuh kedamaian tentu negeri yang baik.

Batu Gajah

Di pulau Lingga terdapat deretan pegunungan yakni gunung Daik, gunung Tanda dan gunung Sepincan. Gunung Daik terletak di tengah-tengah antara gunung Tanda dan gunung Sepincan.

Gunung Daik gunung tertinggi di antara dua gunung lainnya dan puncaknya bercabang tiga.

Setiap puncak mempunyai nama tersendiri yakni jika kita melihat dari wilayah Daik, puncak sebelah kanan paling besar disebut dengan gunung Lingga, yang di tengah-tengah tegak runcing disebut dengan pejantan dan sebelah kiri paling kecil juga pendek disebut dengan cindai menangis.

Dalam cerita rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Daik dan sekitarnya, di gunung Daik dan gunung sekitarnya dihuni oleh makhluk ghaib yang menyerupai manusia yang disebut sebagai orang bunian atau orang halus.

Orang bunian dalam cerita rakyat dikisahkan berwujud manusia yang mempunyai kesaktian yang bisa menolong atau pun mengganggu manusia.

Orang bunian dikisahkan bisa menolong manusia seperti memberikan pengobatan terhadap orang sakit. Untuk memberikan pengobatan orang bunian merasuki tubuh seseorang untuk bisa berkomunikasi dengan seorang pawang.

Seperti tradisi di Desa Mentuda yang pernah dilakukan setiap setahun sekali dalam menyambut bulan Muharram, seorang bomoh dipercaya bisa memanggil orang bunian untuk merasuki dirinya agar dapat melakukan ritual bela kampung.

Pada masa kini sebagian masyarakat di Daik masih ada yang percaya keberadaan orang bunian di gunung-gunung di Lingga.

Terdapat berbagai cerita kisah orang bunian yang ada di Lingga, yang kadang menjadi perbincangan menarik di masyarakat.

Kisah orang bunian juga berhubungan dengan legenda batu gajah di gunung sepincan.

Di gunung Sepincan terdapat pemandangan indah batu besar berwarna putih yang disebut dengan batu gajah.

Dalam cerita rakyat di Lingga, konon batu gajah berasal dari seekor gajah.

Dalam dongeng dikisahkan, terdapat sepuluh dewi dari kalangan orang bunian yang turun ke dunia manusia di Daik untuk menyaksikan keramaian yang dilakukan tujuh hari tujuh malam.

Sepuluh orang Dewi yang ingin turun ke dunia manusia pada awalnya dilarang oleh kedua orang tuanya tetapi akhirnya keinginan itu dikabulkan dengan syarat untuk turun ke dunia manusia mereka harus menjelma menjadi gajah dan selanjutnya saat berada di tengah-tengah manusia mereka akan menjelma selayaknya seperti manusia.

Saat ingin kembali ke puncak gunung pada waktu subuh sebelum matahari terbit, mereka berubah wujud lagi menjadi gajah dan setibanya di atas gunung mereka akan kembali menjadi para dewi orang bunian.

Setiap malam para dewi orang bunian menyaksikan keramaian.

Pada malam terakhir perayaan, karena agak lambat kembali menuju gunung, mereka tergesa-gesa meninggalkan dunia manusia untuk kembali bersemayam di atas gunung. Setelah melewati kampung Panggak Darat (wilayah Desa Panggak Darat, Kecamatan Lingga) mereka berubah wujud menjadi gajah dan matahari pun hampir terbit.

Mereka segera berlari kencang menujuk puncak gunung untuk menghindari terlihat oleh manusia.

Namun malangnya dewi paling bungsu yang telah berwujud gajah terlambat dan terpincang-pincang mencapai puncak gunung sehingga terlihat oleh manusia.

Orang-orang yang melihat gajah menuju ke puncak gunung, berteriak menyebutkan ada gajah berlari menuju gunung sehingga dewi yang tidak boleh terlihat manusia menjadi batu.

Gajah yang menjadi batu raksasa bagian mukanya mengarah ke Daik dan bagian ekornya mengarah ke bagian Desa Resun.

Konon nama gunung Sepincan berasal dari Si Pincang, gajah jelmaan dewi paling bungsu yang terpincang-pincang berlari menuju puncak gunung.

Cerita rakyat legenda batu gajah memberikan pesan bahwa setiap orang perlu disiplin dan tepat waktu.

Orang yang menyia-nyiakan waktu untuk kepentingan yang tidak berguna bisa mengakibatkan merugikan diri sendiri.

Orang yang bijaksana akan menggunakan waktu dengan baik untuk hal-hal yang bermanfaat sehingga tidak merugikan diri sendiri, karena waktu sangat berharga bagi hidup manusia.

Nenek Kelembai

Kabupaten Lingga mempunyai berbagai warisan cerita rakyat yang telah disampaikan secara turun temurun sejak zaman dahulu hingga ke masa kini.

Cerita rakyat selain merupakan hiburan, juga sarana untuk mengetahui:

  • Asal-usul nenek moyang
  • Jasa atau teladan kehidupan para pendahulu kita
  • Hubungan kekerabatan [silsilah]
  • Asal mula suatu tempat
  • Adat-istiadat
  • Sejarah benda pusaka [Sitanggang dkk, 2011:126].

Di Kabupaten Lingga terdapat cerita rakyat berupa legenda yang berkisah tentang nenek Kelembai yang namanya menjadi asal-usul nama suatu tempat di Desa Selayar, Kecamatan Selayar, Kabupaten Lingga.

Dari kisah nenek Kelembai juga menjadi asal-usul nama tempat dan pulau disekitaran wilayah Lingga.

Lazimnya dalam kebudayaan masyarakat nusantara termasuk dalam kebudayaan Melayu Lingga, terdapat kisah adanya makhluk ghaib yang menyerupai manusia menghuni tempat tertentu seperti gunung, pantai, tanjung, dan lain-lain.

Bahkan makhluk ghaib dikisahkan bisa memberikan pertolongan mau pun mengganggu manusia.

Kisah-kisah tentang keberadaan makhluk ghaib menjadi bagian dari cerita rakyat yang hidup di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Lingga termasuk kisah nenek kelembai.

Dalam cerita rakyat di Desa Selayar konon di zaman dahulu di suatu tempat di Desa Selayar, Kecamatan Selayar, Kabupaten Lingga terdapat seorang nenek dari kalangan makhluk ghaib yang bernama nenek Kelembai.

Makhluk ghaib ini suka mendatangi dapur di rumah-rumah penduduk di waktu malam hari untuk mencuri buah pisang.

Buah pisang yang di peram di bawah dapur penduduk sebagian sering menghilang akibat ulah nenek Kelembai.

Nenek Kelembai juga suka menangkap ikan di tepi laut dengan berdiri di atas batu. Pada suatu hari di tengah asyik menangkap ikan sembilang, buntal dan kekek, dia melihat orang tengah berlayar menggunakan sampan.

Nenek Kelembai terkejut karena dia merasa betapa hebatnya manusia bisa memerintahkan angin untuk menggerakkan sampan. Karena terkejut, nenek Kelembai jatuh terduduk di atas batu.

Batu menjadi retak dan meninggalkan bekas seperti bentuk kemaluan perempuan. Ikan-ikan yang telah diperolehnya berhamburan terpelanting jauh jatuh ke berbagai tempat menjadi daratan.

Ikan sembilang menjadi Tanjung Sembilang di bagian pulau Singkep sebelah Utara, Kecamatan Singkep Barat, Ikan buntal menjadi pulau Buntal berhadapan dengan Desa Bakung bagian pulau Singkep Sebelah Utara, Kecamatan Singkep Barat dan Ikan kekek menjadi pulau Kekek di dekat Sembuang, Desa Penuba Timur, Kecamatan Selayar.

Nenek Kelembai yang terkejut ketakutan terus lari ke dalam hutan. Di dalam hutan dia berjumpa dengan tikar pandan yang terbakar menjadi abu tapi belum berserakan di tiup angin.

Dia bertambah terkejut dan ketakutan, dan merasa betapa hebatnya manusia karena abu saja bisa dianyam oleh manusia menjadi tikar.

Nenek Kelembai terus lari ke dalam hutan, dan berjumpa pula dengan sebatang pohon buluh yang bagian puncaknya telah di potong. Pohon buluh tersebut di potong orang dengan cara ujung batangnya di tunduk ke bawah.

Nenek Kelembai merasa ada makhluk besar dan tinggi dari dirinya yang memotong puncak pohon buluh, sehingga dia semakin bertambah ketakutan dan lari jauh ke dalam hutan.

Setelah kejadian itu nenek Kelembai tidak pernah muncul lagi menghilang dari daerah kediamannya. Daerah tempat tinggal nenek Kelembai akhirnya di sebut orang dengan nama Kelembai.

Cerita rakyat tentang nenek Kelembai memberikan pesan bahwa nenek kelembai makhluk ghaib yang bodoh dan kedudukannya lebih rendah dari manusia.

Cerita ini juga memberikan pesan dibandingkan makhluk lainnya, bahwa manusia makhluk yang lebih utama, mulia dan sempurna.

Dalam ajaran agama Islam, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt., yang paling utama, mulia dan sempurna dibandingkan makhluk lainnya.

Dalam Al-Quran Allah Swt,, berfirman: Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Al-Israa :70)

Sebagai makhluk yang lebih utama, mulia dan sempurna, dibandingkan makhluk lainnya manusia diberikan oleh Tuhan akal dan ilmu pengetahuan dalam menjalani kehidupan di muka bumi.

Dalam ajaran agama Islam, manusia juga diciptakan oleh Tuhan sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi.

Gunung lima beradik

Kabupaten Lingga mempunyai berbagai warisan cerita rakyat. Diantaranya cerita rakyat yang berhubungan dengan gunung yang ada di Pulau Lingga.

Terdapat empat gunung yang di Pulau Lingga yakni, gunung Sepincan, gunung Daik, gunung Tanda dan gunung Seretih. Gunung Sepincan, gunung Daik dan gunung Tanda kelihatan berjejer.

Jika kita melihat dari arah kelurahan Daik, letak ketiga gunung disebelah barat. Dari Kelurahan Daik akan terlihat Gunung Daik terletak ditengah-tengah, dengan sebelah kanan gunung Sepincan dan sebelah kiri gunung Tanda. Keempat gunung dalam cerita rakyat berasal dari tiga bersaudara yang sangat berbakti kepada orang tua.

Keempatnya rela menjadi gunung untuk berbakti kepada orang tua yang sangat mereka cintai. Di samping itu terdapat juga satu gunung yang bernama gunung Banang tetapi konon kabarnya tidak bisa dilihat dengan mata biasa.

Dalam cerita rakyat, gunung Daik disebut juga dengan gunung Lingga. Gunung Daik mempunyai tiga puncak bercabang tiga, dan salah satu puncak disebut dengan gunung Lingga.

Menurut cerita rakyat konon pada zaman dahulu kala adalah sebuah negeri, Kelang namanya. Negeri itu sangat besar; kalau seekor burung terbang mengelilinginya, tiga hari tiga malam barulah dapat balik semula ke tempatnya mula-mula terbang.

Raja negeri itu seorang raja yang adil dan murah hati, dikasihi oleh sekalian hamba rakyatnya. Beginda mempunyai lima orang putera yang senantiasa rukun seia sekata.

Yang sulung bernama Lingga, Adik-adiknya Reteh, Pincan, Tanda dan yang bungsu Banang. Dengan takdir Tuhan yang maha kuasa pada suatu hari ketika terbangun dari tidurnya raja negeri itu tidak dapat melihat apa-apa.

Lalu dipanggillah sekalian bomoh dan dukun untuk mengobati mata baginda yang tiba-tiba menjadi buta itu. Akan tetapi segala usaha untuk mengobati raja itu sia-sia belaka.

Dalam keadaan putus asa pada suatu malam permaisuri raja itu bermimpi didatangi oleh seorang tua yang sudah putih rambut dan janggutnya memberitahukan bahwa penyakit baginda hanya dapat diobati dengan air rendaman geliga yang terdapat di puncak pohon dan di pusat tasik pauh janggi.

Mimpi itu diceritakan sang permaisuri kepada baginda keesokan harinya. Ketika didengar oleh kelima orang anak-anak raja Kelang itu ibunya menceritakan mimpinya kepada baginda, mereka pun segera menyatakan keinginan untuk mendapatkan geliga itu.

Biar mati sekalipun kami rela asalkan ayahnda dapat sembuh kembali, kata kelima orang anak-anak raja itu.

Bukan main sedihnya hati kedua orang tua itu mendengar kesanggupan berkorban anak-anaknya demikian. Biar bagaimana pun mereka melarang anak-anaknya, kelima orang anak-anak itu tetap bersikeras hendak pergi juga.

Karena tak berhasil menegah keinginan anak-anaknya, akhirnya permaisuri itu berkata sambil bercucuran air mata, katanya, Baiklah jika sudah demikian kehendak anak-anakku.

Akan tetapi biarlah si bungsu tinggal untuk pengobat hati kami berdua.

Setelah berunding, Lingga, Reteh, Pincan dan Tanda setuju untuk tidak membawa serta adik bungsu mereka. Mendengar keputusan itu Banang pun merajuk dan pergi seorang diri ke hutan.

Dipanjatnya sebatang pohon dan duduklah ia pada sebuah cabang sambil menangis. Dari situ ia melihat keempat abangnya memilih sebatang pohon yang tidak bernama untuk dibuat jongkong.

Dari situ pula ia mendengar abang-abangnya berseru, Hai kapak, hai pohon yang tidak bernama, bersahabatlah kamu.

Kami hendak pergi ke pusat tasik pauh janggi. Kapak pun bersahabat dengan pohon yang tidak bernama itu. Begitu ditebang begitu tumbang.

Lalu abang-abangnya berseru, Hai beliung, hai kayu yang tidak bernama, bersahabatlah kamu. Kami hendak pergi ke pusat tasik pauh janggi.

Beliung pun bersahabat dengan kayu yang tidak bernama itu. Begitu ditebuk begitu berlubang, begitu dibuat begitu jadi.

Dari cabang pohon tempatnya duduk itu pula Banang mendengar abang-abangnya berseru lagi, Hai jongkong yang dibuat dari kayu pohon yang tidak bernama, hai tanah negeri Kelang, bersahabatlah kamu.

Kami hendak pergi kepusat tasik pauh janggi. Jongkong pun bersahabat dengan tanah negeri Kelang itu. Begitu disorong begitu melongsor, tak perlu bergalang lagi, melongsor sampai ke tepi pantai.

Di tepi pantai kedua orang tua mereka sudah menunggu untuk melepas keberangkatan keempat anaknya. Sang ibu memberikab kepada Lingga sebatang tongkat, kepada Reteh sebungkah belerang, kepada Pincan sehelai sapu tangan, dan kepada Tanda sebutir padi.

Anak-anak yang berbakti itu pun menaiki jongkong yang dibuat dari kayu pohon tidak bernama. Mereka lalu berseru, Hai jongkong yang dibuat dari kayu pohon yang tidak bernama, hai angin sorong buritan, bersahabatlah kamu.

Kami hendak pergi ke pusat tasik pauh janggi. Jongkong yang dibuat dari kayu pohon yang tidak bernama itu pun bersahabat dengan angina sorong buritan.

Begitu didayung begitu melaju, begitu dilayar begitu melancar, seperti tenggiri batang melintang gelombang, sekejap mata saja hilang dari pandangan.

Hanya suara sayup-sayup keempat anak raja itu masih terdengar berseru, Laju, lajulah jongkongku laju. Kami hendak pergi ke pusat tasik pauh janggi.

Bunyi seruan itu terdengar seperti sayatan sembilu di telinga raja Kelang, di telinga permaisuri, dan di telinga Banang yang masih duduk berjuntai pada cabang pohon di dalam hutan.

Si bungsu itu pun meneteskan air mata sambil menahan sedu sedan. Pedih hati sekalian pohon-pohon dan hewan yang ada dalam hutan itu melihat kesedihan Banang. Karena itulah sebuah seludang pinang tak tahan melihatnya lalu menjatuhkan diri ke tanah, dan seekor burung bayan itu berkata seorang diri, Salangkan seludang pinang yang mengandung anak raja Campa lagi bersedih hati, apalagi aku.

Mendengar kata-kata burung bayan itu Banang pun segera turun dari cabang pohon tempatnya berjuntai.

Dipungutnya seludang pinang itu lalu berseru, Kalau benar engkau seludang pinang yang pernah mengandung anak raja Campa, bawalah aku menyusul abang-abangku ke pusat tasik pauh janggi! Seludang pinang itu bergerak-gerak seperti ular dan Banang menaikinya bersama burung bayan yang bertengker di ujungnya.

Seludang pinang itu segera meluncur dengan lajunya melalui istana raja. Raja Kelang dan permaisurinya sedang berdiri di pintu sehingga sempat didengarnya anaknya berteriak, Ayah dan bunda, jangan kesal jangan marah.

Biarlah si bungsu menyusul abang-abangnya. Kalau-kalau mereka mendapat marabahaya dapatlah si bungsu menolong.

Ayah dan bunda, jangan kesal janganlah marah! dan Banang terus meluncur dengan seludang pinangnya, membelah ombak meniti alun, mengejar jongkong yang dinaiki abang-abangnya.

Tak tentu lagi bilangan hari, entah berapa lautan yang sudah dilalui, entah berapa macam rebut dan badai sudah menerpa, ingat mana rindu mana, ingatkan ayah rindukan bunda, kasih mana, tangis mana, kasihkan ayah tangiskan bunda, pedih mana sakit mana, pedihkan ayah sakitkan bunda, nasib mana untung mana, nasib badan untung diri semuanya datang dari yang maha kuasa.

Seludang pinang yang dinaiki Banang itu akhirnya mendekati arus yang berputar di sekeliling pulau di pusat tasik pauh janggi.

Akan tetapi tak dapat merapat ke pantai pulau yang berpasir hitam, berbatu-batu hitam, berbukit hitam, ada sebatang pohon pauh hitam besar tersergam.

Di puncaknya sekali kelihatan cahaya yang memancar menyilaukan mata. Itulah cahaya geliga yang dicari-cari untuk dijadikan obat raja negeri Kelang.

Dengan susah payah Banang berdayung agar perahu seludang pinangnya dapat merapat ke pantai. Akan tetapi segala usahanya sia-sia belaka.

Karena itulah ia lalu berseru, katanya, Kalau benar engkau seludang pinang yang pernah mengandung anak raja Campa, merapatlah kepantai pulau di pusat tasik pauh janggi! namun seludang pinang itu tetap terkatung-katung dibawa arus yang berputar mengelilingi pulau hitam itu.

Banang menjadi bingung dibuatnya. Lalu burung bayan yang bertengker di haluan berkata, Tiada kuasa seludang pinang yang pernah mengandung anak raja Campa merapat ke tepi pantai pulau di pusat tasik pauh janggi ini karena anak bungsu raja Kelang pergi berlayar dengan tiada izin ayah dan bundanya.

Jadi tetaplah seludang pinang yang dinaiki Banang dengan burung bayan yang bertengker di haluannya itu terkatung-katung dibawa arus yang berputar mengelilingi pulau hitam berpasir hitam, berbatu-batu hitam besar tersergam.

Dengan sedih Banang melihat jongkong kenaikan abang-abangnya baru saja sampai ke tempat arus yang berputar mengelilingi pulau itu.

Karena jongkong itu tak hendak merapat ke pantai, keempat abang-abangnya berseru, Hai jongkong yang dibuat dari kayu pohon tidak bernama, hai pantai pulau dipusat tasik pauh janggi, bersahabatlah kamu.

Kami hendaknya ke pusat tasik pauh janggi. Jongkong itu pun meluncurkan dengan lajunya, tersadai di pasir pantai pulau itu.

Baru saja jongkong kenaikan keempat beradik itu merapat kepantai terdengar suara dengus seperti kerbau liar berjumpa rumput berembun. Dari balik bukit muncullah anak gergasi berlari ke arah jongkong itu.

Matanya merah menyala-nyala marah kepada keempat orang anak manusia yang telah berani menjejakkan kaki di pulau tempat tinggalnya.

Tanda melemparkan padi sebutir yang dibekalkan ibunya sambil berseru, Makanlah padi sebutir yang telah dibekalkan perempuan yang telah mengandung aku sembilan bulan sepuluh hari dengan susah payah letih dan sakit! padi itu berubah menjadi sebesar buah labu sepemeluk.

Anak gergasi itu memandang buah yang aneh itu sampai meleleh air liurnya. Diambilnya buah itu dan memakannya dengan sekali telan.

Ia pun kekenyangan dan tertidur menelungkup di pasir. Dengkurnya menderu seperti rebut barat. Dari balik bukit terdengar pula suara menggelegar mak gergasi memanggil anaknya.

Lingga dan adik-adiknya segera bersembunyi di balik sebongkah batu besar. Ketika mak gergasi itu mendekati anaknya yang tertidur menelungkup, Pincan melemparkan sapu tangan yang dibekalkan ibunya sambil berseru, Ambillah sapu tangan yang telah dibekalkan perempuan yang telah mengandung aku sembilan bukan sepuluh hari dengan susah payah letih dan sakit! Mak gergasi itu mengambil sapu tangan itu, kegirangan seperti gila, menatri-nari bersorak-sorak, dan tersungkur pingsan disamping anaknya.

Dengan bergegas keempat adik beradik itu melanjutkan perjalanan menuju ke pohon pauh hitam tersergam di puncak bukit.

Akan tetapi baru beberapa langkah berjalan, bapak gergasi datang dengan marahnya. Suaranya menggeram seperti guruh di tengah hari. Reteh melemparkan belerang sebungkah yang dibekalkan ibunya sambil berseru, Makanlah belerang sebungkah yang telah dibekalkan perempuan yang telah mengandung aku sembilan bukan sepuluh hari dengan susah payah letih dan sakit! bapak gergasi itu menyambut belerang yang dilemparkan kepadanya, mencium-cium benda itu, menggigitnya sedikit lalu menelannya dengan lahap.

Ia lalu jatuh tersungkur karena mabuk belerang, pingsan seperti mati. Air liurnya menganak sungai dan baunya bacin sekali.

Lingga, Reteh, Pincan dan Tanda segera berlari ke arah pohon pauh hitam tersergam tempat sebuah geliga yang bercahaya terletak di puncaknya.

Namun ketika mereka sampai dekat pohon itu, seekor naga besar melilit pohon hitam besar itu menjelirkan lidahnya yang berapi-api dan mendengus dengan dahsyat.

Lingga memukul naga itu dengan tongkat yang dibekalkan ibunya sambil berseru, rasakanlah pukulan tongkat yang telah dibekalkan perempuan yang telah mengandung aku sembilan bukan sepuluh hari dengan susah payah letih dan sakit! dengan sekali pukul saja naga itu jatuh ke tanah, matanya yang merah menyala terpejam dan lidahnya yang berapi-api kelu dan dingin.

Keempat adik-beradik itu memanjat pohon yang dijaga naga tadi. Lingga yang paling atas, diikuti oleh Reteh, Pincan dan Tanda.

Geliga dipuncak pohon pauh itu diambil oleh Lingga, diberikan kepada Reteh, yang mengulurkan nya kepada Pincan, yang kemudian mengulurkan pula kepada Tanda.

Lalu keempatnya berlari sekuat-kuatnya menuju jongkong mereka yang tersadai di tepi pantai. Baru saja keempat adik beradik itu hendak menaiki jongkong, anak gergasi yang tertidur tadi terbangun.

Ia berteriak membangunkan ibunya, Mak, mak, bangun! Geliga kita diambil orang.

Mak gergasi terbangun dari pingsannya. Ia berteriak membangunkan lakinya, bapak gergasi, bapak gergasi, bangun! Geliga kita diambil orang.

Bapak gergasi terbangun dari mabuknya. Ia berteriak membangunkan naga penunggu geliga, Naga perkasa, naga perkasa, bangun! Geliga kita diambil orang .

Naga itu mengeliat, dan seluruh alam seperti berkisar. Lalu naga itu melenguh, dan seluruh alam bergoncang.

Akhirnya naga itu bangkit sambil mengibarkan ekor, lidah terjelir dari mulutnya mengeluarkan api. Bapak gergasi berkata kepada mak gergasi dan anaknya, Lekas naik ke badan naga ini.

Mari kita kejar orang-orang yang mengambil geliga kita. Keempat adik-beradik itu berseru, Hai jongkong yang dibuat dari kayu pohon tidak bernama, hai angin tegang kelat, bersahabatlah kamu.

Kami hendak balik ke negeri Kelang, membawa geliga untuk obat raja. Akan tetapi biar bagaimana pun keempat adik-beradik itu berseru-seru jongkong itu tetap tak hendak menghala kearah negeri Kelang.

Mereka sampai kelaut tempat Banang sedang terkatung-katung. Adik bungsu, adik bungsu! kata keempat abangnya kepada Banang.

Bawalah geliga ini kepada ayah bunda. Tapi dengan pesan abang : setelah air rendaman geliga ini menyembuhkan ayah kita, buanglah ketengah laut.

Kalau tidak naga itu akan terus mencari orang yang mengambilnya.

Geliga itu dilemparkan oleh abangnya kepada Banang. Burung bayan terbang keudara, menyambut geliga itu dengan paruhnya, lalu menelannya.

Kemudian burung itu kembali bertengker di haluan. Jongkong kenaikan abang-abang Banang melaju menuju arah yang bertentangan dengan negeri Kelang, sampai ke sebuah pulau.

Tak lama setelah jongkong itu hilang dari pandangan, melintas dekat kenaikan Banang seekor naga yang ditunggangi oleh gergasi tiga beranak.

Anak gergasi itu geli hatinya melihat Banang berperahukan seludang pinang, katanya, Mak, mak, tengok itu! Orang sampan menangkap ikan, perahunya seludang pinang, ada burung bayan bertengger di haluannya.

Gergasi tiga beranak itu tertawa terpingkal-pingkal. Sampai mereka hilang dari pandangan masih terdengar suara ketawa mereka dibawa angin.

Banang lalu berseru, Kalau benar engkau seludang pinang yang pernah mengandung anak raja Campa, bawalah aku balik ke negeri Kelang! seludang pinang itupun melancar laju, membelah ombak meniti alun, menuju negeri Kelang.

Sesampainya ke pantai Kelang burung bayan di haluan bertelurkan geliga yang ditelannya. Banang mengambilnya dan menyimpan dilengan bajunya.

Setelah meletakkan burung bayan ke atas bahu dan menyandang seludang pinang ia pun berlari menuju istana. Dari jauh ia sudah berteriak, Ayah bunda, ini si bungsu sudah balik.

Ambillah air semangkok untuk merendam geliga penawar. Air rendaman geliga penawar itu dilumurkan ke mata raja Kelang, dan sembuhlah dia. Banang mengambil geliga itu dan menyimpannya di lengan baju.

Ayah dan bunda, katanya, segeralah berkemas meninggalkan negeri ini karena naga pemilik geliga ini akan datang kesini setelah mengalahkan abang-abang empat beradik. Dengan bercucran air mata kedua ayah bunda itu pergi meninggalkan negerinya.

Banang, kata raja Kelang itu sebelum berangkat. kalau engkau dikalahkan oleh naga itu seperti abang-abangmu, jadilah gunung-gunung sebagai pasak bumi ini dan akan dikenang setiap orang memandangnya.

Belum jauh mereka berjalan, dari arah laut terdengar bunyi dengus naga itu datang mendekat. Dan negeri Kelang itu pun berubah menjadi padang jalak padang tekukur, habis hancur luluh diporak-perandakannya. Jadilah Banang sebuah gunung yang tinggi mengawan, sedangkan abang-abangnya empat beradik menjadi Gunung Lingga, gunung Sereteh, gunung Sepincan, dan gunung Tanda.

Sumber: warisanbudaya.kemdikbud.go.id

Tags : cerita rakyat, asal mula berdirinya nama sebuah daerah daik, daik lingga, kepri, pulau lingga, artikel,