BISNIS - Bagaimana dunia kecantikan dan perawatan diri membawa perubahan positif? Bel Jacobs berbicara kepada para produsen yang mengaku "dimotivasi oleh tujuan" dan membuat perubahan - untuk kesehatan mental, komunitas, dan Bumi.
Ritual mempercantik dan merawat diri telah ada sejak awal sejarah manusia, yang membentuk gagasan tentang identitas dan ekspresi, transformasi dan restorasi, pembersihan dan penyembuhan, juga nilai-nilai budaya.
Dari krim wajah hingga meditasi online, dunia kecantikan dan perawatan diri menyediakan mekanisme bertahan hidup. Sebuah kesempatan untuk menyeimbangkan kesehatan fisik dan mental di dunia yang penuh dengan kekhawatiran.
Apalagi, pandemi Covid-19 telah menyebabkan lonjakan angka masalah kesehatan mental - sekitar 76 juta lebih kasus kecemasan, dan 53 juta lebih banyak kasus gangguan depresi, menurut Unicef dan Gallup.
Di masa-masa sulit ini, sejumlah profesional di dunia kecantikan merespons dengan cara yang imajinatif.
Seorang penata rias dengan daftar klien A-list di Inggris, Lee Pycroft, memperhatikan adanya peningkatan stres pada pelanggannya.
Maka, dia mengambil kursus sebagai psikoterapis. Sekarang, dia menawarkan gabungan makeover (tata rias wajah) dengan terapi.
"Makeupfulness" adalah tempat di mana makeup dan mindfulness menjadi satu.
"Teknik bahasa tertentu, mendengarkan dengan aktif, membingkai ulang dan memberikan pertanyaan pada cerita mereka, membantu seseorang merasa lebih tenang sembari saya merias mereka. Ini membantu mereka untuk berpikir dengan lebih jernih," kata Pycroft kepada Glamour dirilis BBC.
"Saya telah menyaksikan beberapa perempuan yang tengah mengalami kesulitan hidup yang sangat rumit menunjukkan perilaku yang berbeda setelah sesi makeover sambil berbincang-bincang," lanjutnya.
"Mungkin mereka melakukan sesuatu yang baik untuk diri mereka sendiri, atau dapat melihat tantangan dari perspektif berbeda, saat mereka mampu mencapai kelenturan emosional dalam menghadapi masalah mereka."
Pada 2014, ketika Tom Chapman kehilangan seorang teman yang bunuh diri, dia meluncurkan Lions Barber Collective, sebuah proyek buku tentang tukang cukur.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran dan menggalang dana pencegahan bunuh diri.
"Profesi tukang cukur adalah psikiater murah - ini sudah menjadi semacam lelucon sejak lama. Namun kenyataannya, kami telah mendengarkan orang berbicara selama rata-rata 2.000 jam per tahun," kata dia.
"Bayangkan apa yang bisa kita raih bila melatih para penata rambut profesional untuk memahami soal pencegahan bunuh diri dan kesadaran tentang kesehatan mental," sebut Chapman.
Bekerja sama dengan psikiater, Chapman membuka pelatihan Barber Talk, yang membantu para penata rambut profesional untuk mengidentifikasi tanda-tanda peringatan, menanyakan pertanyaan yang benar, mendengarkan dengan empati, dan akhirnya, memberikan panduan kepada kelompok terapi atau pihak lain yang bisa membantu mereka.
Ini sejalan dengan visi sebuah merek perawatan kulit khusus pria di Inggris, Happy Paul dengan pendirinya Paul Gerrard.
"Perjalanan Happy Paul bagi saya sama halnya seperti terapi," kata Gerrard.
"Saya telah mengalami depresi sejak usia belasan tahun dan saya merasakan sendiri kekuatan transformatif yang bisa diberikan oleh formulasi, produk, dan perawatan spa. Namun selama ini, produk yang mengedepankan kesehatan fisik dan mental - wellness - adalah komoditi mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang," ujarnya.
Maka ia menciptakan Happy Paul, supaya wellness dapat dinikmati oleh semua orang.
"Bagi saya, wellness adalah tentang memperhatikan diri Anda sendiri, yang pertama dan utama, dan itu tidak seharusnya eksklusif untuk sedikit orang saja."
Produk-produk Happy Paul dibuat dari bahan-bahan berkelanjutan dan vegan - termasuk di antaranya campuran aromaterapi bergamot, lemon dan kayu putih yang dapat membangkitkan mood - yang mendorong pemakainya melakukan perawatan diri dan menghadiahi diri sendiri secara sederhana.
Sebagian keuntungan dari penjualan produk Happy Paul disumbangkan ke gerakan amal yang fokus pada kesehatan mental, Young Minds.
Pandemi juga telah mendorong semakin banyak perusahaan yang mengkampanyekan kesadaran dan dukungan kepada komunitas.
Didirikan pada 2018 oleh penulis kecantikan Sali Hughes dan Jo Jones, Beauty Banks bertujuan mengatasi kesenjangan soal higienitas di Inggris, dan menekankan bahwa kebersihan adalah hak asasi.
Anak-anak muda di Inggris banyak yang terdampak langsung dari krisis kebersihan ini, kata mereka. Beberapa remaja memilih tak masuk sekolah karena tidak bisa mandi atau mencuci rambut.
Jones dan Hughes tahu benar banyaknya surplus produk di industri kebersihan. Maka mereka meminta para produsen untuk mendonasikan produk-produk kebersihan dan menyalurkannya kepada komunitas yang membutuhkannya melalui berbagai badan amal.
"Kami sangat marah dan frustasi saat tahu tentang adanya kesenjangan higienitas, maka kami memutuskan untuk bertindak," tulis Jones dalam situs amal mereka.
"Sali dan saya sama-sama bekerja di industri kecantikan, dan kami tahu ada banyak produk yang dibuang menjadi sampah, namun yang terpenting, kami juga tahu banyak orang baik di sini.
"Maka kami menggunakan koneksi, pengaruh, dan keahlian kami untuk membuat Beauty Banks," lanjut dia.
Pengiriman untuk sekitar 150 orang, sebut dia, membutuhkan dana £500 (Rp9,3 juta), dan di dalamnya banyak produk yang kerap kita anggap remeh seperti sabun dan alat kebersihan lain.
Dan, ketika ketertarikan pada self-care dan komunitas semakin tinggi maka begitu pun kekhawatiran terhadap planet.
Berbagai laporan tentang krisis iklim dan ekologi telah membuat populasi global waspada, dan para pembeli membuat pertanyaan kritis tentang barang-barang yang mereka beli setiap hari.
Industri kecantikan adalah perusak lingkungan yang mengerikan. Selalu ada masalah dengan rantai pasok dari asal bahan baku mereka, hingga bertambahnya tingkat polusi di laut, baik melalui kemasan plastik maupun bahan kimia yang terkandung di dalam produk kecantikan.
Sebagian busa dari sampo dan sabun yang kita pakai berakhir di lautan. Polusi itu berdampak buruk untuk burung camar dan batu karang, serta kemungkinan besar buruk juga buat manusia.
Pencarian akan formula, bahan-bahan pelindung dan pemelihara tubuh maupun untuk tempat bahan-bahan itu ditanam dan dipanen, telah dimulai.
Bagi Weleda, yang didirikan pada tahun 1920-an oleh filsuf Austria Rudolph Steiner, dan memiliki rangkaian produk kecantikan dan obat-obatan natural, jawabannya selalu jelas: kembali ke alam.
"Bahan-bahan alami bekerja selaras dengan tubuh, dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh bahan sintetis yang dibuat dari petrokimia," kata Jayn Sterland, direktur pelaksana Weleda Inggris dan Ketua Koalisi Kecantikan Berkelanjutan British Beauty Council.
"Keluhan pada kulit yang kerap kali ada adalah tanda-tanda ketidakseimbangan yang dapat terlihat. Penggunaan krim, mungkin hanya akan menutup masalah itu," sebutnya.
"Menggunakan bahan-bahan berasal dari tanaman yang lebih sesuai dengan kulit akan bekerja selaras dengan tubuh, sehingga ini akan memicu kemampuan tubuh untuk melakukan healing."
Tahun lalu, sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan pasokan bahan-bahan natural bagi industri kecantikan, produk berkelanjutan Davines bersama Institut Rodale meluncurkan pertanian organik regeneratif dan pusat penelitian seluas 10 hektare di Parma, Italia.
"Orang jarang memikirkan tentang dari mana bahan-bahan produk kecantikan ini berasal, dan apa dampak dari proses produksi ini untuk kesehatan pribadi kita, juga kesehatan planet atau para petani," kata kepala eksekutif Rodale, Jeff Moyer kepada Vogue Business.
Dunia yang lebih baik
Seperti yang dikatakan Sterland, "Keuntungan holistik dari [kecantikan regeneratif] telah didokumentasikan dengan baik, untuk pengguna dan planet kita."
Dan di sinilah titik temu antara kesehatan, kesejahteraan, dan kecantikan mulai terbentuk, di mana potensi terbesar di dunia kecantikan dapat memberikan dampak positif bagi dunia.
Merek kecantikan ternama Lush, dengan rangkaian produk mereka yang warna-warni dan menarik, menekankan betapa seriusnya langkah yang terjadi di balik layar produksi.
"Keanekaragaman hayati selalu menjadi hal terpenting bagi kami," kata Cadi Pink, manajer proyek untuk rantai pasok Lush.
"Salah satu strategi kunci kami dalam rantai pasok, misalnya, adalah meningkatkan keragaman bahan baku yang kami gunakan, sehingga mengurangi tekanan terhadap ekosistem [melalui pertanian industrial]."
Lush juga telah memetakan titik keanekaragaman hayati di seluruh dunia, di mana merek tersebut secara aktif terlibat dalam regenerasi, agroforestri dan konservasi.
"Inisiatif untuk keberlanjutan seringkali berfokus pada meminimalkan kerusakan," imbuh James Atherton dari Lush Regeneratif Fund.
"Regenerasi melangkah lebih jauh dan bertanya, 'bagaimana kami bisa menambah nilai untuk kesehatan ekologi dan sosial dari tempat-tempak kami bekerja?' Kesempatan bagi industri kecantikan kini sangat besar untuk turut melakukan apa yang kami sebut sebagai regenerasi," lanjut dia.
"Sering kali, kami melihatnya dalam program reboisasi, namun ada petikan dari ketua serikat buruh di Brasil Chico Mendes, 'pemberdayaan lingkungan tanpa perjuangan kelas bawah sama saja seperti berkebun'. Dan saya sangat suka petikan itu.
"Kami selalu meyakini, bila Anda bekerja bersama komunitas akar rumput, mereka adalah ahlinya. Kita ada di sana untuk memberikan dukungan."
Salah satu komunitas tersebut adalah Laikipia Permaculture Centre, sebuah gerakan kolektif yang terdiri dari lima kelompok perempuan Maasai, yang didukung oleh konsultan pertanian regeneratif reNature, yang memproduksi Aloe Secundiflora untuk Lush.
Aloe Sebundiflora, yang secara tradisi digunakan oleh kelompok adat Maasai untuk pengobatan dan membersihkan diri, dapat diproses menjadi apapun, mulai dari sampo dan krim kulit, hingga gel sabun.
Para perempuan ini kini memproduksi kosmetik mereka sendiri untuk pasar lokal, yang memberikan tambahan penghasilan bagi mereka.
Dan seiring dengan meningkatnya permintaan untuk produk-produk kecantikan berkelanjutan, memanen bahan-bahan alami dengan baik - yang melibatkan keberlanjutan alam dan komunitas - menjadi vital.
Kabar baiknya, produk-produk kecantikan yang berkelanjutan dan etis - yakni produk yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik - diproyeksi akan terus melonjak, dari USD$34,5 miliar (Rp495 triliun) pada 2018 menjadi USD$54,5 miliar (Rp782 triliun) pada 2027.
Selain nama-nama besar seperti Weleda atau Lush, sejumlah merek lain berkembang dengan dinamis dan mempercepat masa depan baru dalam industri kecantikan.
Mereka berlomba-lomba melakukan inovasi dengan bahan lokal, formula tanpa air, bahkan bertujuan untuk netral karbon.
Apa yang membuat merek-merek ini begitu tepat untuk saat ini adalah pendekatan holistik mereka terhadap kecantikan, dan pemahaman mereka bahwa masalah yang tampaknya terpisah - seperti formulasi produk, keadilan sosial bagi komunitas, dan perlindungan terhadap lingkungan pada dasarnya saling terkait dan terhubung.
Merek makeup Denmark, Kjaer Weis yang bersertifikat organik, bekerja sama dengan pemasoknya untuk mengemas produknya ke dalam wadah logam yang dapat diisi ulang.
BYBI mengajak para pelanggannya untuk mengirimkan botol skin booster mereka untuk disteril dan digunakan kembali.
Merek kesehatan Haeckels, yang didirikan oleh penjaga pantai Dom Bridges, memanen rumput laut antibakteri dari Pantai Margate di Inggris untuk produk perawatan kulit buatan tangan; botolnya terbuat dari ganggang biodegradable, dan kemasan luarnya terbuat dari jamur.
Brand-brand lain termasuk Pachamamai, Ethique dan Lush menggunakan formulasi kental untuk memproduksi sabun batangan, memperkuat efisiensi produk sekaligus mengurangi kebutuhan akan air sebagai campuran (dan kebutuhan akan kemasan plastik untuk wadahnya).
"Perusahaan-perusahaan produk kecantikan dengan tujuan berkelanjutan ini menjaga seluruh prosesnya, mulai dari pasokan bahan, formulasi melalui sertifikasi produk independen, dan membayar semua sumberdaya dengan imbalan yang adil," kata Sterland.
Bagi Lush, potensi bahwa industri kecantikan dapat membantu mengubah dunia adalah bagian dari merek mereka.
"Kami melihat diri kami sebagai juru kampanye," kata Jonnie Hatfield, juru bicara Lush. "Tidak cukup hanya dengan melawan sesuatu, Anda harus benar-benar membuat perbedaan". (*)
Tags : Gaya hidup berkelanjutan, Kesehatan mental, Gaya hidup, Perubahan iklim, Kesehatan perempuan, Kesehatan, Perempuan, Bisnis,