KESEHATAN - Sejumlah pakar kesehatan khawatir putusan Mahkamah Agung soal kehalalan vaksin Covid-19 akan berdampak pada kampanye imunisasi di masa depan, karena keterbatasan vaksin yang memenuhi standar halal Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MA telah meminta pemerintah menjamin kehalalan vaksin Covid-19 bagi umat Islam. Lembaga peradilan tertinggi itu mengatakan pemerintah tidak dapat memaksa warga negara untuk divaksinasi dengan vaksin Covid-19 yang belum ditetapkan halal oleh MUI.
Namun putusan ini berpotensi dijadikan dasar oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk menolak vaksin di masa depan karena alasan kehalalan.
Pasalnya, bahan dari babi - yang membuat sebagian jenis vaksin Covid-19 dianggap tidak halal menurut standar ketat MUI - juga terlibat pada proses produksi sebagian vaksin dalam program imunisasi pemerintah.
"Untuk vaksin-vaksin yang lain, yang semuanya sudah total sasaran, kalau ada putusan MA seperti ini, sebagian jadi tidak bisa diberikan," kata pakar imunisasi dr. Elizabeth Jane Supardi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Ini bisa membuat capaian vaksinasi wajib nasional semakin sulit dipenuhi. Pada 2018, isu halal-haram seputar vaksin campak-rubella menjadi salah satu penyebab rendahnya capaian vaksinasi dasar di sejumlah daerah sehingga program tersebut dianggap gagal dan harus diulang pada 2022.
Menurut dr. Jane, yang pernah menjabat direktur surveilans dan karantina penyakit di Kementerian Kesehatan, mendapatkan vaksin yang tidak melibatkan bahan dari babi "tidak feasible (realistis tercapai)" dalam waktu dekat.
Putusan MA, yang mengabulkan permintaan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI), telah menguatkan penolakan beberapa warganet terhadap vaksin yang tidak halal atau belum jelas kehalalannya. Beberapa mengungkapkan keraguan untuk menerima dosis booster Astrazeneca, yang dinyatakan haram oleh MUI.
Kementerian Kesehatan menindaklanjuti putusan MA dengan menjadikan Sinovac yang sudah bersertifikat halal sebagai salah satu dosis booster. Adapun vaksin Pfizer dan Moderna belum mendapatkan sertifikat halal.
Saat ini ada regimen vaksin yang telah mendapatkan izin penggunaan darurat dari BPOM — Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, Moderna, Janssen, dan Sinopharm. Dari enam regimen tersebut, baru Sinovac dan Sinopharm yang berlabel halal.
Sulitkah mendapatkan vaksin halal?
Titik kritis kehalalan vaksin ada pada bahan-bahan yang terlibat dalam proses produksinya. Beberapa jenis vaksin, misalnya AstraZeneca, melibatkan enzim tripsin yang diekstrak dari pankreas babi. Enzim tersebut digunakan pada kultur sel dalam fase propagasi.
Vaksin melalui proses pemurnian sehingga tidak ada sisa tripsin dalam produk akhir. Meski demikian, MUI berprinsip bahwa setiap produk yang memanfaatkan bahan dari unsur babi tidak bisa diberi sertifikasi halal.
Atas prinsip tersebut, MUI menyatakan vaksin AstraZeneca tidak halal namun tetap boleh digunakan dalam keadaan darurat. MUI mengeluarkan fatwa yang sama terkait vaksin campak-rubella, juga melibatkan tripsin babi dalam proses produksinya, pada tahun 2018.
Tripsin babi adalah enzim yang umum digunakan dalam produksi vaksin dan obat. Tripsin semi-sintetik tersedia secara komersial, namun harganya lebih mahal. Hal ini dapat memengaruhi biaya serta ketersediaan vaksin.
Bahan lainnya dalam proses produksi vaksin yang dapat menimbulkan masalah kehalalan adalah gelatin babi terhidrolisis, biasanya diekstrak dari kulit, tulang, atau komponen lainnya dari babi. Bahan ini digunakan sebagai penstabil, untuk membantu menstabilkan dan menjaga bahan aktif dalam fase formulasi vaksin.
Penelitian di Malaysia telah berhasil memproduksi gelatin sapi yang halal. Namun, masih perlu riset bertahun-tahun sebelum ia bisa menggantikan gelatin babi sebagai penstabil untuk vaksin.
Indonesia juga mengembangkan vaksin halal, yang dalam prosesnya tidak melibatkan bahan-bahan dari hewan, misalnya vaksin Merah Putih untuk Covid-19 dan vaksin Rotavirus. Namun vaksin-vaksin tersebut tidak bisa digunakan dalam waktu dekat.
Vaksin Merah-Putih - besutan Universitas Airlangga dan PT. Biotis Pharmaceuticals Indonesia - baru masuk uji klinis tahap pertama. Sementara vaksin Rotavirus yang dibuat Bio Farma diperkirakan baru selesai pada 2023. Selama itu, Indonesia masih perlu impor vaksin dari luar negeri yang belum tentu halal menurut MUI.
Menurut dr. Jane Supardi di dunia belum banyak alternatif vaksin yang proses produksinya tidak melibatkan bahan-bahan dari babi. "Tidak hanya vaksin, obat juga", katanya.
Ia mengatakan bila vaksin harus bersertifikat halal sebelum diterima masyarakat Indonesia, program imunisasi di masa depan akan terhambat. Dan akibatnya bisa fatal.
"Angka kematian campak di seluruh dunia itu turun dengan cepat karena pemberian imunisasi campak-rubella. Begitu vaksinasi campak-rubella distop, angka kematiannya akan naik. Jadi angka kematian bayi dan anak di Indonesia akan cepat naik," imbuh dr. Jane.
Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, mengatakan pemerintah seyogianya menjalankan amanah putusan MA. Adapun perihal terbatasnya persediaan vaksin halal, politikus PDIP itu menyarankan pemerintah duduk bersama dengan MUI untuk mencari solusi.
"Kalau ternyata di lapangan sulit menemukan vaksin halal ya harus ada solusi. Yang penting adalah pemerintah memberikan penjelasan secara utuh terhadap jumlah vaksin dan halal-haramnya," kata Rahmad.
Standar halal 'paling ketat'
Tidak semua negara berpenduduk Muslim menggunakan standar kehalalan yang sama seperti Indonesia. Banyak ulama dan otoritas di negara-negara Timur Tengah menerima vaksin yang proses produksinya melibatkan bahan dari babi, seperti gelatin.
Mereka berpendapat bahwa vaksin boleh digunakan selama bahan yang dianggap najis (tidak murni) itu sudah sepenuhnya berubah menjadi substansi baru yang berbeda dari asalnya, yang dalam syariat Islam disebut istihalah.
Vaksin Covid-19 merek AstraZeneca, Moderna, dan Pfizer yang tidak atau belum mendapatkan sertifikat halal dari MUI pun digunakan di sejumlah negara berpenduduk muslim, seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Suriah, Pakistan, Malaysia, Bangladesh, Iran, Mesir, Palestina, Kuwait, Maroko, dan Bahrain
Epidemiolog Dicky Budiman, yang pernah menjabat Kasubbid Kerjasama Kesehatan Bilateral Kementerian Kesehatan, standar kehalalan Indonesia untuk obat atau vaksin adalah yang paling ketat di antara negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Menurut Dicky, putusan MA akan menjadi tantangan bagi pemerintah untuk membangun produksi obat dan vaksin mandiri yang mengikuti kaidah halalnya Indonesia. Namun, imbuhnya, riset vaksin tidak mudah karena ada beberapa hal yang menyangkut hak properti intelektual.
Dicky mengatakan hal paling penting saat ini adalah mengedukasi publik tentang vaksin, baik soal risikonya maupun kehalalannya.
"Jelaskan bahwa sebelumnya vaksin yang ada itu tidak ada masalah di negara Muslim tentang masalah kehalalan. Kalau ini tidak cepat ditindaklanjuti, ini bisa bergulir dan merugikan," kata Dicky.
Tags : Islam, Muslim, Virus Corona, Indonesia, Vaksin, Kesehatan,