"Program vaksinasi massal Covid-19 tanpa penelusuran kontak erat (contact tracing) dan tes yang memadai akan membiarkan virus Corona leluasa menyebar"
ara ahli epidemiologi menilai program vaksinasi massal Covid-19 di Indonesia tanpa penelusuran kontak erat (contact tracing) dan tes yang memadai akan "membiarkan" virus ini leluasa menyebar, menginfeksi manusia. Pakar epidemiologi memperkirakan tujuan vaksinasi massal yaitu herd immunity atau kekebalan masyarakat baru akan tercapai empat tahun sejak vaksinasi dimulai dengan dibarengi tes dan penelusuran kontak erat yang memadai.
Presiden Joko Widodo menjalani penyuntikan vaksin CoronaVac buatan perusahaan China, Sinovac, pada Rabu (13/01, seraya mengingatkan masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Namun, dalam kesempatan itu, presiden sama sekali tidak menyinggung tes dan pelacakan kontak yang disebut WHO sebagai tulang punggung respons penanganan pandemi Covid-19.
Dihadapkan pada hal itu, pemerintah akan mencanangkan target tes dan penelusuran kontak erat pada daerah-daerah dengan angka Covid-19 tinggi. Usman adalah warga Jakarta Timur. Dia tinggal bersama istri, anak, dan cucunya yang positif mengidap Covid-19 beberapa bulan lalu. Pria itu mengaku sama sekali tidak ada petugas yang melakukan penelusuran kontak erat. "Nggak ada," katanya dirilis BBC News Indonesia, Rabu (13/01).
Usman juga mengaku, keluarganya tidak dites usap lagi setelah menjalani karantina mandiri 14 hari di dalam rumah. Setelah merasa badannya bugar, dia dan keluarga kembali berbaur lagi dengan masyarakat. "Dalam dua minggu dapat surat sudah bebas karantina," kata Usman.
Hal yang dialami Usman dan keluarganya adalah bagian kecil dari digambarkan ahli biologi molekuler, Ahmad Utomo, sebagai kapasitas penelusuran kontak erat dan tes usap di Indonesia yang belum memadai. Menurut Ahmad, vaksinasi massal yang sedang berlangsung bukan satu-satunya solusi untuk mengendalikan penyebaran virus corona tanpa diiringi kapasitas melacak kontak erat (contact tracing) dan tes Covid-19 (testing) yang memadai. "Vaksin ini berguna untuk menurunkan orang bergejala. Tapi dia (vaksin) nggak bisa menekan angka baru. Angka baru itu dikendalikan dengan testing dan tracing," katanya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bahkan mengaku penelusuran kontak erat dengan orang yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, yang idealnya mendapatkan 30 kontak erat dari satu kasus. "Kenyataannya kita mungkin hanya mendapatkan baru empat. Empat itu bukan seminggu tapi dalam tiga minggu. Susah sekali melacaknya dengan manual," kata Budi Gunadi dalam siaran YouTube Kominfo, Selasa (12/01).
Sementara, test Covid-19 di Indonesia diklaim pernah mencapai "100%" dari target yang ditentukan WHO yaitu 1:1000. Tapi menurut data statistik, Indonesia menduduki posisi ke-30 dari 31 negara dengan angka Covid-19 tertinggi di dunia dalam kapasitas tes. Dicky Budiman, selaku pakar epidemiologi dari Griffith University, Australia, mengatakan tanpa strategi testing dan tracing yang memadai maka, "kita membiarkan terjadi begitu banyak infeksi. Kita juga membiarkan virus ini leluasa menyebar, menginfeksi manusia."
Menurutnya, ketika angka kasus terus meningkat tak terkendali, pada gilirannya akan berdampak terhadap tujuan vaksinasi massal yaitu pencapaian herd immunity atau kekebalan masyarakat. Waktu yang berlarut untuk mencapai kekebalan masyarakat karena angka kasus terus meningkat akan memberi peluang bagi virus untuk bermutasi. Sejauh ini, Dicky memperkirakan kekebalan masyarakat akan tercapai paling cepat empat tahun. Ini dengan asumsi tingkat efikasi vaksin sebesar 60%, angka Reproduksi 2, dan jangkaun vaksinasi 83% dari total penduduk Indonesia.
Kata Dicky, empat tahun adalah angka mencapai kekebalan masyarakat dengan catatan masyarakat menegakkan protokol kesehatan, dan pemerintah menggenjot kapasitas 3T (tracing, testing,dan treatment). Namun, ketika kondisinya tak berubah, "Ini akan menghambat, menjauhkan lagi walaupun kita punya vaksin sebagai pelengkap strategi, yang lorong yang tadinya sudah kelihatan ujungnya yang terang ini makin jauh lagi sekarang," kata Dicky.
Juru bicara dan ketua Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan angka testing Covid-19 pernah mencapai 100% sesuai standar WHO meskipun "perlu pemerataan". Wiku mengatakan testing dan tracing di Indonesia masih belum merata. Tapi, pemerintah akan mencanangkan sasaran pada wilayah-wilayah zona merah untuk meningkatkan kapasitas tracing dan testing. "Harus dilihat provinsi dulu. Mana provinsi yang penularannya tinggi tapi testingnya, itu saling berhubungan, harus memenuhi standar WHO. Kalau yang populasinya padat, testingnya harus memenuhi standar WHO, karena potensi kontak padat penduduk, kan lebih besar dari pada jarang penduduk," katanya.
Dari peningkatan kapasitas testing dan tracing ini, pemerintah ingin mencari positivity rate atau angka yang menunjukkan besaran orang yang terinfeksi virus corona dalam sebuah populasi. Awal pekan ini, positivity rate di Indonesia menunjukkan angka 31,1% berada jauh di atas standard WHO yang semestinya di bawah 5%. "Kalau itu [testing dan tracing] bisa tercapai maka pengendaliannya di tempat angkanya itu tinggi," tambah Wiku.
Vaksin belum terbukti mencegah penularan
Menurut ahli biologi molekuler, Ahmad Utomo, vaksin produksi Sinovac yang ditargetkan pada 181,5 juta penduduk Indonesia hanya terbukti mengurangi gejala ketika terinfeksi virus, bukan mencegah penularan. Vaksin juga belum diketahui berapa lama akan memberikan dampak terhadap imun tubuh. "Bukti yang kita punya mencegah gejala. Kita nggak punya bukti yang mampu mencegah penularan. Supaya habis vaksin, jaga 3M, dan pemerintah harus tingkatkan kapasitas 3T [tracing, testing, treatment] kita. Ini yang saya khawatir, kalau terlalu fokus ke vaksin, nanti angka harian itu nggak berkurang," kata Ahmad. (*)
Tags : Vaksinasi Massal, Penyebaran Virus, Covid-19,